Try new experience
with our app

INSTALL

Love in The Thin Air 

6: Air Terjun Terjatuh

(Juli)

Pil Joo

Dari sisi kiri air terjun Pil Joo menemukan spot foto keren. Ada satu bongkahan batu besar yang mengucurkan air cukup deras, selain terjunan air yang lain. Menariknya batu itu dinaungi sebuah pohon dengan ranting terbesar membentuk lengkungan seperti dua tangan yang menggenggam ke atas.

“Fen, tolong fotokan aku dari sini.” pinta Pil Joo pada Fendi yang memang suka membawa kamera DLSR.

“Mau foto di mana?” tanya Fendi.

“Sana.” cengir Pil Joo sambil menunjuk tempat air terjun bermula.

“Bahaya lho, Joo.” Fendi mengingatkan ketika matanya melihat area sekitarnya.

“Lihat saja nanti.” sahut Pil Joo mengabaikan peringatan Fendi tetap berjalan menyeberang aliran yang tidak terlalu besar. Memanjat bebatuan mirip tebing hingga mencapai pada area berumput. Kemudian berjalan mendaki jalur curam hingga sampai pada batu yang diinginkan.

Pil Joo memanjat batu paling besar yang berdiri agak miring seperti ada dongkrak yang mengganjal. Berhasil berada di puncak batu, segera dia memberi kode pada Fendi agar memotretnya. Berbagai pose dia peragakan. 

Merasa cukup mengambil latar dari depan, Pil Joo balik badan ingin memotret background belakang dengan sudut pandang air terjun dari atas. Berkali-kali Pil Joo menggerakkan tangan mencari posisi yang pas dengan kebutuhan instagramable. Sempat berjongkok, lalu berdiri lagi, mundur, dan karena terlalu konsentrasi pada layar kamera, Pil Joo tidak sadar kakinya telah mencapai batas pinggir batu. 

Ketika sadar kaki kanan tak lagi memijak rataan batu, tubuh Pil Joo sekonyong-konyong terjun bebas menghempas batu di bawahnya sebelum merosot ke dataran berumput. Sekujur tubuh Pil Joo terasa ngilu. Namun yang paling berdenyut hebat kaki sebelah kirinya.

Pil Joo berusaha bangun untuk melihat kondisi kaki. Tulang keringnya robek berlumuran darah, Pil Joo meringis kesakitan lalu melolong meminta bantuan.

***


 

(Juli)

Hari kecelakaan terjadi…

Pagi buta ketiga wanita petualang itu sudah menuju air terjun sekaligus pemandian air panas yang berada di belakang danau. Perjalanan kurang lebih lima belas menit menyeberangi aliran sungai yang cukup deras. Sesuai petunjuk Royan ketiganya melakukan orientasi medan menandai tujuan langkah berikutnya.

Suara gemuruh air semakin jelas terdengar. Setelah menuruni bukit terjal sebuah air terjun setinggi kurang lebih 2-3 meter tercurah dari arah danau Segara Anak. Selagi belum ramai pengunjung, ketiganya langsung melakukan aksi berendam air panas pada kolam yang terbentengi batuan. 

Rasanya sangat segar. Sin Chan yang bajunya basah kuyup karena berendam menggunakan pakaian lengkap segera mengganti baju pada cerukan dengan penghalang matras yang dibentang oleh Dania dan Rexa. Tak lama setelah mereka selesai mandi, bukan mandi sebenarnya karena tanpa sabun_demi menjaga lingkungan, pendaki lain berdatangan. 

Perjalanan pulang ke tenda membuat mereka kembali berkeringat. Tapi masih lumayan, daripada tubuh tidak tersentuh air sama sekali. Berikutnya gantian Royan menuju kolam spa. Para gadis jelas tersenyum gembira, begitu tiba di tenda sarapan pagi menu sarden telah tersedia. 

Terima kasih Royan... 

Ucapan itu mengiringi langkah Royan yang melenggang dengan handuk di leher dan dua botol air yang kosong. Sumber air layak minum memang berada setelah tempat berendam air panas. Tidak seperti danau Ranu Kumbolo yang aman untuk diminum, danau Segara Anak mengandung mineral belerang yang bisa membahayakan tubuh jika dikonsumsi. Namun tetap saja ada yang nekat menggunakan air danau, entah sengaja karena malas mencari sumber air lain atau malah tidak tahu sama sekali.

Baru saja mereka beres-beres tenda, tiba-tiba Royan kembali dengan napas memburu.

“Sin Chan!” seru Royan. “Ayo ikut!” Royan sudah menarik lengan baju Sin Chan yang berontak.

“Apaan sih?” Sin Chan menghalau tangan Royan.

“Ada yang jatuh. Parah.” ucap Royan sambil menunjuk arah air terjun.

Begitu mendengar penjelasan Royan yang singkat padat semi terengah-engah, Sin Chan segera mengambil tas P3K dan berlari mengikuti laju kaki menderu laki-laki pujaannya itu.

Sin Chan mengikuti gerakan Royan memanjat tebing pinggir air terjun. Pengalamannya sebagai anak tebing cukup membantu acara merayap-rayap di tubuh tebing yang nyaris tegak lurus. Royan membantu seperlunya, karena tahu kemampuan Sin Chan. Tiba di lokasi kecelakaan gunung, dia segera mengamati luka pada kaki korban. 

Sin Chan mengatur napas sembari mengingat rentetan pertolongan pertama bila seseorang menderita luka terbuka akibat tulang yang patah keluar. Sin Chan segera membongkar peralatan P3K-nya.

“Kak Roy tolong carikan tiga bilah kayu dan tali webbing untuk membidai.” kata Sin Chan sembari mencoba menangani luka. “Ukuran kayu usahakan sepanjang kaki.” 

“Ya, Chan.” Royan mengangguk bergegas turun. 

“Aku bantu cari,” ucap si baju kotak-kotak.

Pandangan Sin Chan berpindah pada si rambut pirang yang terduga teman si korban celaka. “Bisa bawakan beberapa baju, sleeping bag dan jaket kemari?”

“Oh baik,” sahutnya. “Tolong jaga dia ya.” Orang yang dimintai tolong Sin Chan beranjak menyusul Royan. 

“Tahan ya, akan saya bersihkan dulu.” ucap Sin Chan. “Oh ya, nama Sin Chan. Nama Kakak siapa?” oceh Sin Chan sebagai pengalih perhatian rasa sakit.

Tak ada jawaban. 

“Kalau asal Kakak mana?” tanya Sin Chan sembari mengguyur bagian luka terbuka pakai cairan antiseptik. “Keturunan Tionghoa, orang Jepang, atau Korea?”

Bukan jawaban lagi yang didapat melainkan lolong kesakitan, Sin Chan menutup luka terbuka dengan menggunakan pembalut wanita yang masuk dalam perlengkapan P3K. Fungsinya untuk menghisap darah dan memberi bantalan pada tulang yang mencuat sebelum dibalut dengan perban. Untung darah yang keluar tidak terlalu banyak, dan semoga tidak menjadi banyak. Untuk jaga-jaga bagian atas luka diikat pakai perban agak kencang namun tidak ketat guna meminimalisir darah mengucur cepat.  

“Bukan orang Indonesia ya?” gumam Sin Chan yang menduga pasiennya tidak bisa Bahasa Indonesia. “My name is Sin Chan. What’s your name?” dengan berbekal Bahasa Inggris pas-pasan Sin Chan mencoba berdialog dengan orang itu.

Luka telah berhasil Sin Chan tutup. Tak lama kemudian kayu bakal pindai datang. Perawat dadakan itu menempelkan kayu ala kadarnya pada kaki yang patah. Dua di samping kanan-kiri, satu lagi bawah luka yang dialasi Sleeping bag. Sebagai bantalan bawah lutut hingga bawah mata kaki sebelum ditautkan ikatan. Sejenak Sin Chan tercenung, dia butuh kain untuk mengikat pada bagian atas luka demi meminimalisir gerakan.

Ragu-ragu Sin Chan mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Sebuah bandana warna hijau terlipat rapi terbungkus plastik enggan dia keluarkan. Setelah menghela napas, tangannya mulai melipat bandana diagonal kemudian menempelkan pada tempat luka dan mengikatnya pada bagian bawah betis.

Almost finish, be patient please!” ucap Sin Chan tetap ingin menjaga interaksi dengan orang yang terluka. Untuk apa, agar orang itu tidak terlalu memikirkan lukanya atau rasa sakitnya.

“Dia bisa Bahasa Indonesia.” kata si rambut pirang yang sudah muncul dengan barang yang diminta Sin Chan. “Dari SMP dia sudah tinggal di negara kita.”

“Oh,” Sin Chan tersenyum kecut merasa tertipu sampai dia harus berpikir keras mencari kosakata Bahasa Inggris saat ingin berinteraksi dengannya. Rasanya ingin sekali menekan luka pria itu, yang masih menutupi matanya memakai lengan bawah. 

“Hei, kenapa kamu diam saja?” tegur temannya, namun, tidak berbalas jawaban.

“Kak Roy, kita juga butuh tandu.” kata Sin Chan tidak ingin berlama-lama membiarkan si pria terluka dalam posisi tidak nyaman. “Kakinya sama sekali tidak boleh bergeser atau mendapat tekanan.”

Royan mengangguk. “Kita ada webbing, kan? Baiklah. Tapi aku perlu bantuan.”

“Mereka berdua siap bantu.” kata si pirang pada porter dan guide-nya.

Royan lalu mengajak porter mereka mencarikan kebutuhan bagi korban celaka. Sekali lagi meninggalkan Sin Chan bersama laki-laki yang masih menahan nyeri dan seorang temannya.

“Saya Fendi,” si pirang memperkenalkan diri.

“Sin Chan.” tangan Fendi terjabat erat oleh Sin Chan.

“Namanya seperti kartun.” Fendi tersenyum geli. “Terima kasih ya, sudah membantu Pil Joo.” lanjutnya.

“Oh, namanya Pil Joo, orang Korea?” tebak Sin Chan. 

“Iya, tapi sudah lama tinggal di Indonesia.”

“Oh begitu?”

“Kamu perawat?” tanya Fendi. 

“Bukan,” sahut Sin Chan meringis malu. “Ini hanya pertolongan pertama. Tindakan selanjutnya harus petugas medis yang mengurus.”

“Tapi kamu kelihatan terampil.” puji Fendi.

“Dulu pas SMA pernah ikut PMR. Trus waktu kuliah pernah ikut diklat P3K untuk darurat gunung.” 

“Sejak kapan suka mendaki?” tanya Fendi lagi.

Sin Chan meringis. “Sejak kuliah. Oh ya, kalian dari mana?”

“Jakarta.” sahut Fendi singkat.

“Kalau saya Purwokerto.” kata Sin Chan tanpa ditanya. “Ngomong-ngomong, bagaimana kejadiannya?”

“Biasalah, dia ini rajanya selfie.” tunjuk Fendi dengan menggunakan isyarat matanya.

Sin Chan manggut-manggut dengan sedikit tidak mengerti. Bukankah sudah sering terjadi kecelakaan saat asyik berfoto. Bahkan belum lama ini ada sepasang calon pengantin yang batal menikah karena keduanya meninggal kala melakukan foto pre wedding di atas air terjun. Kira-kira sama persis dengan orang ini yang terlena dengan aneka pose melupakan keselamatan diri.

“Jangan bicara tidak-tidak.” Pil Joo menyibak tudung jaket hoodie menyisakan guratan rambut kecokelatan yang berantakan. Mata sipitnya memandang kesal pada Fendi.

Tanpa mempedulikan ocehan kawannya, Fendi terus bercerita. “Nggak puas dia kalau hanya mendapat foto biasa. Dia tadi naik ke atas sana.” tunjuk Fendi pada kedua belah tebing tempat meluncurnya air dari Segara Anak. “Mungkin licin, dia jadi terpelanting membentur batuan. Begitukah, Joo?”

“Sudahlah, sakit ini!”

“Makanya jangan suka pecicilan.” cetus Fendi.

Sin Chan tersenyum geli saat keduanya adu mulut. Matanya berpindah-pindah dari Pil Joo ke Fendi mengikuti arah pembicaraan keduanya. Lalu sebuah ilham merasuki pikiran Sin Chan. Mulutnya mulai komat-kamit seakan sedang merapal suatu mantra.

“Tunggu dulu!” stop Sin Chan pada pertengkaran keduanya.

Fendi memandang Sin Chan setengah bingung. “Ada apa?”

“Kalian Rainbow?” vonis Sin Chan setelah melakukan investigasi melalui bukti fisik muka, alamat tempat tinggal, asal negara, dan pertengkaran mereka. 

Fendi terhenyak sesaat memandang Sin Chan agak lama. Menimbang sesuatu. Seolah memberi efek ketegangan seperti pada sinetron.

“Yah, ketahuan deh. Jangan-jangan kamu penggemar kami.” mata Fendi berbinar. Sementara Pil Joo telah menyilangkan tangannya depan mata lagi.

Sin Chan mendadak panas dingin. Dua laki-laki ganteng, dari empat anggota Rainbow terpampang di depannya. Boyband Rainbow terdiri dari empat orang dari negara yang berbeda. Fendi yang sedang mengobrol dengan Sin Chan jelas made in Indonesia, lalu yang terkapar di depannya Yoon Pil Joo dari Korea, yang dua lagi Omeshwar asal India dan satu lagi Abebe bernegara Nigeria. 

“Omesh dan Abe?” tanya Sin Chan tidak menjawab pertanyaan Fendi.

“Mereka nggak suka piknik beraroma petualang macam ini.”

“Enggak nyangka ternyata kalian punya hobi naik gunung. Kalian muncak kapan?” tanya Sin Chan yang memang tidak begitu memperhatikan siapa saja yang muncak bersamanya.

“Kita muncak hampir bersamaan, kan?” ucap Fendi membuat Sin Chan ternganga.

“Oh ya?” Sin Chan mencoba mengingat-ingat. Terlalu banyak orang, sementara dia terlalu antusias dengan pemandangan sekitar sehingga tidak memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang.

“Tapi kami tahu kalian. Empat perempuan perkasa. Kupikir demikian. Kalian tampak mencolok karena mendaki tanpa porter meski perempuan semua. Ternyata ada satu cowoknya ya.”

Sontak Sin Chan tertawa. Royan yang berambut gondrong mereka kira perempuan juga. 

“Tapi cewek benarannya cuma tiga lho.” perjelas Sin Chan. “Nah, itu dia cewek gadungannya datang.” tunjuk Sin Chan pada Royan yang kembali bersama empat orang sambil membawa tandu sederhana dari webbing.

“Cewek gadungan?” lontar Royan seraya menyodorkan termos dan gelas.

“Kak Roy,” sahut Sin Chan lalu menuang air dari termos yang berisi teh ke dalam gelas plastik. “Ini, minum dulu.” sodor Sin Chan pada Pil Joo yang sedari tadi berbaring dalam diam. Mungkin sedang menghayati rasa luar biasa dari luka yang menganga.

Fendi membantu menegakkan tubuh Pil Joo. 

“Hati-hati masih panas.” Sin Chan mengingatkan. 

Selanjutnya Pil Joo berpindah baring ke atas tandu yang telah dialasi kantung tidur. Sebelum diangkat tak lupa tubuh bagian bawah dibungkus sleeping bag lain, diikat lagi menyatu tandu pada bagian dada serta pergelangan kaki.

Empat orang membawa tubuh Pil Joo menuruni tebing terjal menuju area camping ground di sekitar danau Segara Anak. Dua orang porter asli, seorang guide mereka dan membayar dua orang porter lagi untuk membantu. Saat menuruni tebing beberapa pendaki turut serta membantu, karena curamnya tebing sebagai jalan turun. 

“Masa aku dikira cewek gadungan.” kata Royan yang berjalan paling belakang sesudah Sin Chan, setelah mereka melewati medan kritis.

“Makanya potong rambut.” cetus Sin Chan. “Kak Roy sama Anggara sama saja. Sama-sama anti gunting rambut.”

“Iya deh, daripada disangka cewek gadungan.”

“Nah, gitu.”

Mereka kemudian berpisah menuju tenda masing-masing. Rexa dan Dania tengah sibuk ngopi-ngopi lagi setelah semua carrier siang angkut. Mereka berdua yang merapikan semua. Paling tinggal membersihkan lokasi kemping. Sweeping sampah.