Contents
PARIS RAPUNZEL (TAMAT)
4. Kenapa Jantungku Berdetak Begini Hebat
"Van, udah bobo belum?" Sambil bertanya itu, Tania mengetuk daun pintu kamar Vania.
"Masuk saja, Tan. Enggak dikunci."
"Ada yang cari lo, tuh!"
"Bilang saja sibuk, gak bisa diganggu."
Vania pikir itu Etienne yang akan datang padanya untuk minta maaf atas kejadian beberapa hari lalu. Seraut wajah yang sangat tidak diduga Vania muncul di belakang Tania. Jacques! Dia melambaikan tangannya.
"Oh, hai!" sapa Vania gugup.
"Salut! Sedang apa? Ganggu gak?"
"Non. Kebetulan aku lagi menggambar beberapa sketsa untuk portofolioku."
"Wah, ganggu ya?" tanya Jacques. Vania membukakan pintu lebar-lebar untuk Jacques. Tidak sopan menolak tamu, apalagi ini Jacques, tetangga baru mereka di apartemen.
"Tidak apa-apa. Aku bersedia menerimamu, kok." katanya kemudian.
"Aku kesini untuk diukur. Kan aku mau membuat jas." kata Jacques. Alis Vania terangkat.
"Jadi serius mau membuat jas sama aku?"
"Apa aku tidak terlihat serius?" tanya Jacques dengan mimik yang lucu, membuat Vania tertawa dan itu tampak manis sekali di mata Jacques.
"Ya, ya. Percaya deh kamu serius," kata Vania "Ayo, aku ukur sekarang. Masuk yuk"
Etienne yang sedang duduk di ruang TV, menyeletuk,
"Silahkan saja masuk. Jangan merasa tidak enak!" serunya. "Kami malah bersyukur akhirnya ada laki-laki yang mau mampir untuknya." tambah Etienne. Vania pura-pura tidak dengar.
Jacques masuk kamar Vania dan menutup pintunya sedikit.
"Benarkah katanya tadi?"
"Quoi?"
"Bahwa akhirnya ada laki-laki yang mampir untukmu?"
"Jangan dengerin mulut cowok bawel kayak dia"
Vania mengambil meteran baju dan mulai mengukur badan Jacques. Vania melakukan pekerjaannya tanpa canggung. Inilah pekerjaan tukang jahit. Harus mau mengukur-ukur badan orang seperti ini. Meski belum bisa dikatakan couturière profesional karena jam terbangnya belum tinggi. Tapi selama sekolah fashion, setidaknya dia telah menerima puluhan kali orderan. Bukan siapa-siapa, sih. Hanya tetangga di apartemen dan teman-teman saja.
"Tapi dia memang benar" jawab Vania akhirnya mengaku. Jacques berekspresi tidak percaya.
"Iyakah?" Dipandanginya wajah Vania dengan seksama, mengamati setiap detil anggota tubuh pada wajah itu. "Tidak pernah ada cowok mampir untuk gadis secantik kamu?" tanyanya sambil merentangkan tangan karena diperintah Vania. Dia membalikkan badan, lalu menuruti perintah Vania, kembali ke hadapannya. Gadis itu mengukur bahu, lengan dan lingkar dada Jacques.
"Tidak tahu, ya" Vania mengedikkan bahu "Tidak ada yang mau atau aku yang tidak memberi kesempatan pada mereka, mungkin. Lagipula, aku tidak merasa diriku cantik."
Vania ketawa dalam hati. Ingat ketika SMA dulu di Bandung, dia dipuja seantero sekolah karena kecantikannya. Saat itu, Vania juga merasa jika dia memang cewek paling cantik di sekolah itu, karenanya dia menjadi cewek yang angkuh dan menyebalkan. Masa lalu yang kelam, Vania mendesah. Neneknya dan Jogyakarta juga Paris, telah menyadarkannya. Here is my new me. Aku bukanlah cewek paling cantik di dunia ini. Apalagi setelah Radhika menolakku.
"Masa? T' est très belle, tu sais?"
"Mais non.."
"Si ... Setidaknya menurutku."
Kini wajah mereka saling berhadapan, tatap mereka bertemu. Mata biru laut Jacques yang bening tertahan di bola mata coklat gelap milik Vania, lalu turun ke hidung dan bibir yang merah alami itu. Vania menahan napas, begitupun Jacques. Entah berapa lama mereka bertatapan dan waktu seolah jadi terbendung.
"Maaf aku harus mengukur lingkar pinggangmu." kata Vania memecah kebisuan dan melemparkan tali pengukur itu ke belakang tubuh Jacques. Jacques menggeser posisi berdirinya hingga jadi begitu dekat dengan tubuh Vania. Aroma tubuh bercampur parfum Jacques membuat Vania sedikit gemetar. Mengapa jantungku jadi berdetak begini hebat? Vania berbisik dalam hati.
"Voilà, Monsieur , c'est tout! Proses mengukurnya sudah selesai. Sekarang tinggal kamu yang memilih model jas yang seperti apa yang kamu inginkan" ujar Vania seperti tidak terjadi apa-apa, padahal dalam hati sangat gugup. Terusterang, hatinya berdebar-debar tidak karuan. Kenapa jadi begini?
Vania mengeluarkan album berisi foto beberapa model jas pria. Sementara Jacques sibuk memilih-milih, Vania mengamati wajah Jacques. Hm, ganteng juga.
"Aku pilih yang ini. Apa jenisnya? Sepertinya tuksedo, ya?"
"Betul. Tapi ini modifikasiku yang baru. Nyaris seperti tuksedo hanya lebih trendy. Ujungnya akan lebih rounded, tidak terlalu lancip."
"Baguslah. Kuharap aku lebih percaya diri ketika memakainya nanti."
"Pasti!" jawab Vania yakin. Jacques menatapnya lagi.
"Vania," Jacques bermaksud meraih tangan Vania, tapi tangan itu terlalu sigap, hingga tak tergapai.
"Kamu benar-benar sangat cantik.."
"Ehm, Jacques, kurasa semua sudah beres," Vania berusaha mengatur napas "Kamu tinggal menunggu saja beberapa minggu, jas ini segera jadi. Ohya, kamu mau bayar berapa untuk uang muka?"
Itu cara Vania mengalihkan perhatian, bukan karena dia benar-benar butuh uang muka untuk jas itu, melainkan karena tidak sanggup melihat mata Jacques yang tiap-tiap menatap seolah menebar jerat. Oh yeah, sepertinya ini tidak mungkin. Terlalu cepat. Semoga saja tidak mungkin.