Try new experience
with our app

INSTALL

PARIS RAPUNZEL (TAMAT) 

3. Belum bisa Move On

Duduk bersebelahan dengan Erin Kirby, dosennya, Vania tak berkedip menatap boneka-boneka hidup yang tengah berseliweran memamerkan koleksi busana terbaru milik rumah mode Audrey Deneuve. Sesekali berbincang dengan Mademoiselle Kirby soal detil fashion yang tengah berseliweran di depan mata mereka. 

Ratusan blitz berkilat-kilat membidik para tiang listrik cantik yang tengah melenggak lenggok anggun di atas catwalk diiringi musik techno yang menghentak-hentak. Tak berhenti pula kemeriahan penonton bertepuk tangan setiap kali mereka melintas. Wajah bidadari-bidadari itu semakin mendongak pongah tidak peduli.

Usai pagelaran, dia dan beberapa teman yang mendapat undangan malam itu, menikmati kudapan ringan dan coktail sembari ngobrol dengan orang-orang penting di rumah mode itu. Tentu saja hal ini tidak disia-siakan Vania meski dengan resiko pulang larut. 

Semester ini, jika tidak ada halangan dia harus magang. Untuk itu dia butuh koneksi. Koneksi yang bisa melancarkan jalannya untuk bisa magang di rumah mode Audrey Deneuve. Setelah magang, dia akan membuat suatu karya yang bakal menobatkannya menjadi sarjana di bidang fashion. Aku akan kembali ke Indonesia, membuka butik sendiri dan ketemu Radhika lagi.

Balik ke Indonesia adalah hal yang dirindukannya selama setahun belakangan ini. Tiga tahun, sebetulnya, bukanlah waktu yang lama. Tapi baginya, yang separuh hatinya masih tertinggal di Bandung, pastilah tiga tahun itu serasa tiga abad. Di kota itu, ada laki-laki bernama Radhika Dewaruci yang dicintainya setengah mati, dan hampir menobatkan cowok itu sebagai aikon abadinya akan cinta. 

Meski jelas-jelas Radhika, teman sekolahnya dulu itu telah menolaknya mentah-mentah dan lebih memilih Andita, teman satu sekolahnya juga, sebagai pacarnya. Meski juga ada Raditya, saudara kembar Radhika yang sempat dipacarinya, namun Radhika tetap duduk di ranking satu dalam hatinya. Belum tergantikan.

Vania menyimpan baik-baik sebuah kartu nama yang baru saja diberikan Madame Dubois padanya. Ibu itu memang bukan orang dari rumah mode Audrey, tapi dia punya posisi cukup penting dalam menyalurkan mahasiswa-mahasiswi yang akan magang sebagai salah satu syarat kelulusan. Madame Dubois bilang Vania bisa memasukkan lamaran secepat mungkin agar bisa diproses dan supaya awal musim panas nanti Vania bisa langsung magang. Vaniapun pulang dengan semangat dan hati yang optimis. Besok dia akan segera membuat lamaran dan diantar sendiri ke kantor Madame Dubois.

*

"No, no. Bukan begitu bikin surat lamaran yang baik." tukas Etienne yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Vania, mengintipnya membuat surat lamaran. Vania jelas kesal. Meski dia merasa surat lamaran berbahasa Prancis itu memang tidak begitu bagus, tapi jengkel juga jika ada orang yang bilang dengan terus terang seperti itu tanpa menunggu dimintai pendapatnya. Privasinya terganggu. 

Inginnya Vania membuat konsep itu di kamarnya sendiri. Namun apa daya, komputer ini memang dibeli untuk dipakai berdua dengan Tania jadi dia tidak bisa sembarang menaruhnya di kamar. Sementara laptopnya sekarang lagi rawat inap di service center karena rusak beberapa hari yang lalu. Akibatnya, ada mahluk sejenis Etienne yang bebas menganggunya seperti ini.

"Sudah, Chéri... Jangan ganggu Vania. Dia paling gak bisa diganggu kalau lagi kerja." kata Tania dari ruang TV. 

"Aku hanya berusaha bantuin. Surat lamaran itu pasti penting banget buat dia." jawab Etienne.

"Penting atau gak penting itu bukan urusanmu, Etienne!" sergah Vania kemudian mematikan komputer itu. Jengkel banget!

"Yeaah, Tuan Putri mengamuk. Tania, ada apa sih dengan sepupumu?" tukas Etienne, membuat Vania semakin meradang. 

"A' Iyen, sudah!" tukas Tania.

"Tan, dia masih bermulut besar kayak gini? Kenapa sih lo bawa orang ini kesini lagi?"

"Vania.. Aa' Iyen, udah dongg" setengah memelas Tania memohon keduanya untuk damai. Vania menatap Etienne. 

"Tan, ajarin cowok lo ini ngomong yang benar! Atau perlu gue ajarin pake tangan gue??"

Etienne tidak takut, justru malah menantang Vania.

"Tania, Sayangku.. Coba kamu carikan dia pacar, supaya gak uring-uringan kayak begini." kata Etienne. Vania merasa dadanya dihantam batu besar seketika. Kurang ajar banget bule yang satu ini!

"Sudahlah A', kamu gak tahu siapa dia" timpal Tania. Vania mengatup bibir menahan tangis. Dia segera balik badan dan berlari ke kamarnya.

"Memangnya siapa dia? Gadis kuper yang belum juga punya pasangan?? Gimana mau punya pacar, orang judes kayak gitu"

Samar, Vania masih mendengar mereka bicara. Tania sibuk menjelaskan tentang dirinya dan Etienne sibuk menyangkal-nyangkal. Vania tidak mau lagi mendengar. Ditutupnya kuping dengan bantal dan dia menangis. Menangis diam-diam. Terngiang lagi kata-kata Etienne 'Coba carikan dia pacar, supaya gak uring-uringan kayak begini'. 

Oh, Etienne, gampang sekali kamu bicara. Andai semudah itu. Vina kesal bukan main! Kalau saja Etienne bukan pacar Tania, sudah dari tadi mulutnya dia sumpal dengan tonjokkan tangan. Dia masih menghormati sepupunya itu. Vania hanya bisa berdoa semoga saja Etienne cepat tergantikan oleh cowok yang gak bermulut kayak cewek. 

Pikirannya melayang kembali ke Bandung. Kota penuh kenangan yang enggan enyah dari otaknya sebab hatinya masih tertinggal di sana. Sampai hari ini, belum tergantikan. Karenanya, Vina ingin cepat-cepat menyelesaikan studinya dan kembali ke Bandung. Dia berharap, tiga tahun akan mengubah Radhika. Ya, Vania sangat berharap.

Vania ingat pertama kali ketemu sama Radhika di eskul Basket, ketika mereka sama-sama jadi anak baru di SMA Internasional Bunda Pertiwi Bandung. Radhika, cowok pendiam yang tidak pernah macam-macam. Selama di eskul Basket, Radhika tidak ingin terlalu menonjol padahal coach tahu potensinya. 

Jujur, Vania sangat tertarik sama kepribadian Radhika yang seperti itu. Tapi, sayang dua tahun Vania lewatkan hanya untuk memperhatikan Radhika dari ‘jauh’. Karena keberadaan Radhika selalu di’tempel’ Raditya dan satu lagi teman sekelas sekaligus sahabatnya sejak mereka masih kecil, Andita.

Vania senyum mengingat dirinya yang dulu. Dulu, Vania tidak pernah melewatkan kesempatan untuk jalan dengan semua cowok yang mendekatinya. Putus sambung dalam pacaran sudah sangat biasa buat Vania. Termasuk kembaran Radhika, Raditya Dewaruci, yang berhasil memacarinya, enam bulan sebelum dia memutuskan pindah ke Jogyakarta.