Contents
Paragraf Terbuang
Bloger dan Vloger
Mata Zhiya berbinar kala menangkap sosok Aswin yang mendekat ke arahnya. Sahabat yang biasa ia andalkan selama dua tahun tinggal di Jogja. Ini tahun ketiganya kuliah.
Zhiya sedang menikmati sarapannya di kantin gelanggang, Gedung unit kegiatan mahasiswa. Dosen tasrif, pola perubahan kata dan makna bahasa Arab, pagi ini tidak hadir.
“Hai, Win, kosong juga?” sapanya menyambut Aswin sambil memperbaiki hijabnya.
Tak ada kewajiban untuk mengenakan hijab saat kuliah, tapi Zhiya risih kerap kali disindir oleh dosen. Ia juga merasa terlalu mencolok, gadis tomboy tanpa hijab berada di antara hijaber dengan aura kelompok yang islami. Akhirnya Zhiya menyesuaikan diri, memakai hijab setiap berangkat kuliah.
Aswin dikenalnya saat makan siang di kantin ini. Zhiya menekuni teater sedang Aswin aktif di Mapala. Kedua ruang UKM itu bersebelahan sehingga mereka seringkali bertemu. Lelaki berambut ikal gondrong sebahu itu seharusnya sudah lulus dari kampus. "Biar tetap berstatus mahasiswa," katanya setiap ditanya kapan lulus. Menurutnya, lebih baik dijuluki mahasiswa paling lama daripada menyandang status pengangguran.
“Heem,” jawab Aswin singkat tak bersemangat.
Kuliah pagi memang menyebalkan bagi laki-laki seperti Aswin yang sering begadang. Terlebih setelah bersusah payah bangun pagi, atau belum tidur, lalu memaksakan diri masuk kuliah, eh … dosennya gaib.
“Temenin bikin konten, yuk?” Zhiya menodong Aswin.
"Yuklah, daripada suntuk juga," jawab Aswin cepat. Ia memesan kopi hitam lalu duduk kembali menemani Zhiya makan sambil ngobrol.
Aswin suka menemani Zhiya. Apa pun yang gadis itu minta, tak pernah bisa ia tolak. Saat Aswin bosan dengan segala urusan kampus dan Mapala, ia mampir ke kosan Zhiya. Kadang Zhiya mengajaknya pergi ke suatu tempat, atau Aswin yang mengjaknya lebih dulu.
Aswin tak berani mendekat lebih jauh ke hati Zhiya, karena ia tahu, Zhiya tak suka main hati. Bila rasa sukanya tertangkap indera Zhiya, Aswin bisa saja ditinggalkan. Bagi Zhiya, ikatan persahabatan terlalu indah untuk dinodai oleh keinginan memiliki. Seberharga itu arti sahabat bagi seorang Zhiya.
Saat tak ada kuliah, gelanggang jadi tujuan pertama Zhiya, sumber inspirasi dan tempat tepat membunuh sepi. Gelanggang tak pernah benar-benar lengang, setiap UKM selalu punya penghuni tetap yang lebih sering tidur di sana daripada di rumah atau kamar kosnya.
Setengah piring nasi pecel ditambah dua potong mendoan, sudah mengenyangkan untuk sebuah sarapan. Dilengkapi secangkir kopi susu, yang merupakan menu wajib Zhiya setiap pagi, rasanya sempurna. Biasanya secangkir kopi susu saja sudah Zhiya anggap sebagai sarapan, tapi ia sadar kebiasaan itu tak sehat. Apalagi, hari ini tubuhnya akan banyak bergerak.
Aswin mengarahkan motornya ke Malioboro sesuai rencana Zhiya. Motor diparkir di jalan Ketandan, salah satu area terkenal di Malioboro. Ketandan dikenal sebagai pecinan, dengan banyak spot instagramable.
Selasa Wage sangat pas untuk membuat konten karena itulah hari pembebasan jalan Malioboro dari kendaraan bermotor. Aswin dan Zhiya harus sedikit memutar jalan untuk mencari tempat parkir.
Tak ada penjual kaki lima di sepanjang koridor yang biasanya sesak. Pedestrian tetap ramai, berbagai komunitas seringkali memanfaatkannya untuk melakukan "show" untuk berbagai tujuan.
Sambil mengobrol, Zhiya asyik memperhatikan berkelompok-kelompok manusia yang unjuk berbagai seni, bela diri maupun sekedar menyebar tawa membahana menggantikan gaduh deru mesin.
Zhiya merekam beberapa pertunjukkan yang menurutnya menarik. Aswin memegang ponsel Zhiya, layaknya kameramen dan reporter, saat Zhiya melakukan "live" di area yang tak terlalu padat.
Matahari belum sampai puncaknya ketika Zhiya duduk santai bersama Aswin di Kilometer Nol Yogyakarta. Zhiya memilih salah satu bangku di bawah beringin besar agar kulit coklatnya tak semakin gelap tersorot sinar ultraviolet.
"Eh, ke rumah Kin aja, yuk? Tapi, sambil keliling-keliling dalam benteng keraton, ya?"
"Siap Nyonya, bensinnya belum diisi neh!" canda Aswin.
"Tenang aja, Kang ojek, ada nyonya bos!" Zhiya berdiri menepuk dadanya.
Keduanya berjalan kembali ke parkiran. Melintasi Pasar Beringharjo, Taman Budaya Yogyakarta dan Taman Pintar.
Zhiya menepuk pundak Aswin sejak motor berbelok di perempatan KM Nol agar ia mengurangi laju sepelan mungkin. Zhiya ingin merekam gedung cagar budaya menjulang, gedung bersejarah khas arsitektur Eropa, sisa zaman Belanda yang pernah berfungsi sebagai studio siaran Radio Repubik Indonesia. Gedung itu sekarang digunakan oleh sebuah bank negara.
“Ke mana lagi nih?" tanya Aswin.
“Mampir Taman Sari, aku mau nambahin tulisan di blog tentang beberapa destinasi wisata Jogja. Udah lama mau ke sini gak jadi melulu."
Aswin juga bukan orang Jogja, tapi ia sering jadi supir dadakan teman-temannya. Ia hapal hampir semua jalan di Jogja, termasuk jalan tikus yang aman dari kejaran polisi.
Aswin menemani Zhiya menjelajahi kolam pemandian para puteri raja, The Fragrant Garden. Taman istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang lebih dikenal dengan Taman Sari. Danau, pulau buatan dan puing bangunan tua nan eksotis menyajikan panorama mengagumkan.
“Win, fotoin aku, dong!” pinta Zhiya.
“Wani piro?” tantang Aswin.
“Makan siang di warung Bang Zaki?"
“Hahaha, curang, Bang Zaki kan selalu gratisin kita makan di sana!"
"Kalo gitu, warung Mbak Alifa!"
"Sama aja, Cantik!" Aswin menarik ujung hijab belakang Zhiya, gadis itu tertawa sambil memperbaiki hijab yang dirasa tak nyaman karena ulah Aswin.
Zhiya dan Aswin menyusuri labirin lorong rahasia masjid bawah tanah, Sumur Gumuling. Cahaya menyusupi celah bangunan, menciptakan siluet tubuh Zhiya di hadapan. Aswin tak melewatkan sudut memukau itu. Kamera gawainya setiap saat siap menangkap keindahan di depan mata.
Bagian tengah labirin adalah lokasi yang paling disukai Zhiya. Mimbar tinggi dengan tangga dari empat sisi, dihujani sinar dari atasnya. Aswin penyuka fotografi, ia banyak mengambil gambar Zhiya di lokasi yang menurut mata jeli seorang fotografer sangat layak diabadikan.
Zhiya suka melakukan banyak hal bersama Aswin. Lelaki itu membuatnya merasa nyaman bertingkah laku tanpa perlu jaga imej. Banyak orang meyakini bahwa tidak ada persahabatan antara perempuan dan lelaki, yang ada salah satu atau keduanya memendam rasa. Tidak bagi Zhiya, mereka yang berpendapat begitu hanya tidak bisa membedakan rasa cinta atau peduli. Tak ada yang bisa disalahkan, karena kisah-kisah romantis dalam novel atau film, menjelaskan setiap sikap dan kata-kata manis adalah cinta. Hingga, makna peduli semakin samar. Zhiya tak tahu seberapa kuat usaha Aswin menyembunyikan perasaannya.
Matahari semakin terik di atas kepala. Zhiya menyudahi agenda membuat konten hari itu dan meminta Aswin membawanya ke tempat yang berulang kali disebut. Sebuah rumah yang bisa menghapuskan rindunya pada Ayah dan Ibu.
Zhiya masih mencari Ibu. Di setiap tempat yang ia datangi, harap selalu melambung. Ibu bisa saja berbelanja di salah satu mal, di saat yang bersamaan dengannya. Siapa tahu, ada saat Ibu sedang berlibur dengan keluarga barunya dan bertemu tanpa sengaja. Zhiya menunggu keajaiban se