Contents
UNLOCK YOU
Getaran Pertama
Lintang
DI kantin Bu Indro sekarang ada aku, Repi dan-O iya, aku sampai lupa nama cowok ini. Kami bertiga duduk barisan paling belakang di bangku panjang dari kayu bercat kuning. Meja panjang beralas plastik bermotif bunga-bunga menjadi pemisah, plus sebagai tempat kerupuk, kecap, saus, dan jeruk nipis yang aku yakini pasti kantin ini menyediakan menu soto.
Es teh sudah ada di depanku. Repi memilih es jeruk, dan cowok menjulang ini hanya pesan air putih dengan es batu. Repi yang sedari tadi berwajah nyebelin, kini seperti berusaha mengeluarkan semua pesonanya di hadapan cowok berhidung bangir di depan kami.
Oke, aku ngaku, aku sepertinya juga cocok jika satu kelompok LDO bareng cowok ini. Bukan masalah fisik, atau tampang dia yang lumayan. Tapi lebih karena aku yakin dia bukan tipe cowok yang nurut 100% apa titah para senior. Di kasus ini, kami sejalan. Sama-sama pembangkang.
"Sori, gue lupa nama lo," kata pembukaku singkat.
"Kok tumben daya ingat lo tiarap, Lin. Kan tadi udah kenalan," protes Repi nggak terima.
"Aku, Bara," sebutnya cool, sambil melempar tangannya ke arahku.
Belum kubalas uluran tangannya, Repi sudah mencomot tangannya dan sukses menjadi gadis pertama yang bersalaman dengannya.
Siapa yang tadi protes, siapa sekarang yang mupeng?
"Repila Arda," ucapnya dengan suara yang rada ditahan-tahan. Niatnya sih biar kedengeran seksi, tapi malah lebih terdengar mirip kambing kejepit pintu pick up.
"So, ngapain lo nyari gue? Trus ngajak ke kantin segala? Gue males basa-basi! Jadi cepat dikit!" giliranku yang angkat bicara dengan ketus dan pasang muka sok sangar.
Ternyata sudah bertahun-tahun lamanya, perasaanku ke cowok di belahan dunia manapun belum juga berubah. Skeptis. Satu prinsip hidup yang akan kupegang entah sampai kapan. Apalagi dari gelagat Bara, aku bisa tangkap sisi playboy darinya. Inilah bikin aku semakin antipati sama dia.
"Ketus amat?" tanya Bara tersenyum. "Kamu nggak lagi ngomong sama musuh, tapi teman kelompok."
"Suka-suka gue dong. Lagian lo cuma mau bilang kan kalau lo sekelompok LDO sama gue? Makanya lo nyari gue?" bantahku dengan wajah yang masih garang.
Aku juga nggak ngerti, kenapa tiap di depan semua mahluk yang namanya cowok, aku selalu saja seperti ini. Ada rasa nggak percaya. Semacam alam bawah sadar menyuruh diriku untuk membuat tameng. Ya, dan ngomong kasar sama mereka adalah salah satu tameng.
"Emangnya lo pengin lebih?" katanya Bara sambil berdiri, menghabiskan tegukan terakhir air mineral yang sudah mengembun karena es batu.
Ih najis banget.
"Wait wait wait Bara. Sorry, maafin si galak Lintang ini, jangan pergi dulu, kita belum selesai bahas tugas bulan pertama LDO lho. Jadi, please tunggu dulu," sergah Repi sambil menarik lengan Bara yang hampir saja hengkang dari kursi panjang kantin Bu Indro.
Silakan sana pergi. Mau gimana lagi, sifatku memang sudah kepalang seperti ini? Masak aku harus manis-manis sama dia? Cih, mana bisa bermanis-manis ria sama kaum playboy macam Bara? Ogah!
"Siapa yang mau cabut, aku mau nambah air. Lagian, aku suka cewek galak," ucapnya santai dan berhasil bikin emosi jiwa. "Bu Indro, tambah air putih dinginnya satu ya."
"Duduk Bar, lanjut bahas LDO yuk," kata Repi bahagia melihat Bara tak jadi pergi.
"Bentar, Rep. Emangnya lo satu kelompok juga sama gue?" tanyaku heran dengan aksi Repi yang pakai cegah-cegah Bara pergi.
"Enggak," jawab Repi sambil menggeleng bloon.
"Terus? Ngapain lo bela-belain mohon Bara tetap duduk segala? Sok ngomongin bahas rapat tugas pra-LDO bulan depan lagi?" tanya gue shocked dengan jawaban Repi yang malah kini beralih ke wajah nyengir kuda.
Aku bisa lihat mata nakal Bara lurus menatap ke arah Repi. Sengaja. Dia pasti emang bikin aku kesal. Sumpah! Aku nggak tahan lagi.
"Udah puas belom ya, saling tatap dan senyam-senyum nggak jelasnya," ucapku menghentikan aktivitas mereka berdua yang saling lempar kode. "Oke, terus rencananya mau gimana? Gue belum punya catatan apa-apa," ucapku sengit.
Pemandangan Bara dan Repi ini bikin polusi mata. Aku sudah tidak tahan duduk lama-lama. Repi yang sepertinya tertarik dengan Bara, nggak pernah lepas memandangi cowok tinggi ini. Dan aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala gemas.
"Masalahnya, kita masih belum nemu satu lagi anggota kelompok kita," ucap Bara ketus dan serius.
"Memang siapa?"
"Namanya Bumi," jawab Bara.
"Bumi? Si culun itu?!" teriak Repi tiba-tiba.
"Lo kenal?" tanyaku spontan.
"Enggak kenal sih," suara imut Repi berhasil membuat aku langsung menepuk jidat. "Tapi, gue tahu orangnya kok," timpal Repi cepat.
"Entar pas kuliah tunjukin aku ya, Rep," kata Bara memohon sambil melayangkan senyum andalannya.
"Well, ntar kalo dah ngumpul bertiga, kita omongin lagi soal tugas bulan pertama, gue cabut dulu ya," kataku pamit.
"Bye.. bye, Lintang...," kata Repi manis sambil melambai-lambaikan tangannya. Aku nggak peduli dengan basa-basinya itu. Aku hanya ingin ke perpus sekarang. Setidaknya mengistirahatkan kakiku sebentar, sebelum kuliah terakhir jam dua siang nanti.
Susah payah aku pun berdiri dari kursi kantin Bu Indro, menahan nyeri yang rasanya sampai dalam tulang sendi. Tantangan tersulit kali ini adalah tetap berjalan senormal yang kubisa. Namun, gagal. Ah, segitu tragiskah kakiku? Sampai semua mata di kantin memandang nanar kasihan. Tak terkecuali makhluk sok kegantengan bernama Bara ini. Dia malah ikut berdiri di sampingku dan pura-pura perhatian.
"Kaki kamu nggak apa-apa?" tanya Bara tiba-tiba mendekat.
"Kalo kaki gue nggak apa-apa, jalan gue sudah lurus, nggak somplak gini! Pake nanya lagi!"
"Sakit aja judesnya minta ampun," kata Bara cengar-cengir.
"Minggir, gue mau ke perpus," ujarku sambil mengempas tubuhnya yang mencoba menghalau langkahku. Bodohnya aku karena saking emosi, dan kaki yang nyeri parah, aku gagal mengempas tubuh Bara.
Sial! Malah, tubuhku yang seperti kehilangan keseimbangan, dan aku nyerah jatuh-
dipelukan Bara.
"Makanya, hati-hati...," bisik Bara kepadaku sambil tersenyum jail.
NJIR!