Try new experience
with our app

INSTALL

LATTE UNTUK MOCCA 

Hancur

TANGAN Jo mengepal erat, bersamaan dengan keringat yang membasahi keningnya. Dia tahu matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih tapi marah. Lelaki itu merasa kepalanya kosong selama beberapa saat. Dia menjadi bodoh, tidak tahu bagaimana menghadapi situasi yang tidak pernah ada dalam pikirannya ini. 

Lelaki dan perempuan itu mendesah nyaris bersamaan, mengungkapkan kepuasaan atas perzinahan yang begitu menjijikkan bagi Jo. Dan saat itulah tangan Jo mendorong pintu. Membukanya lebar, dan langsung menatap Vanessa dengan mata memerah. 

“Jo!” jerit Vanessa yang langsung meraih selimut. 

Sedangkan lelaki berkulit terang itu langsung menyingkir dari tubuh Vanessa. Dan Jo langsung mengenali siapa lelaki yang baru saja meniduri istrinya. 

“Ghi?! Kamu … brengsek! bajingan! ”Jo sudah menghambur ke arah Ghiandra, menarik lelaki itu dari ranjangnya yang sekarang berantakan. 

Kemarahan Jo tidak dapat lagi ditahan. Dia mengarahkan tinjunya ke muka Ghiandra yang hanya bisa menangkis. Ketika Ghi tersungkur Jo menggunakan kakinya yang bersepatu boot untuk menendang lelaki itu. 

“Jo, cukup! Berhenti, Jo! Ghi bisa mati. Please, Jo!” 

Mata Jo membelalak. Vanessa, istri yang dicintainya sekarang sedang bersimpuh di depannya. Melindungi Ghi dari serangannya. Perempuan itu bahkan memohon dengan wajah basah oleh air mata. 

Jo merasa dia melewatkan sesuatu. Ada apa dengan Vanessa?! Dia memohon untuk Ghi?! Apa sebenarnya yang terjadi?

Ghiandra Akbar, lelaki ini adalah temannya sejak SMA. Mereka cukup dekat, bahkan sering nongkrong bareng. Jo mengenal baik lelaki berkulit terang ini. Setahunya Ghi bukan tipe lelaki yang akan mengusik rumah tangga orang. Tapi, kenyataan yang sekarang terlihat di depannya sangat berbeda.

“Jo, jangan sakiti Ghi. Aku cinta sama dia, Jo. Aku cinta sama Ghi!” isak Vanessa.

Hati Jo serasa diremas, dihempaskan dan hancur berkeping mendengar itu. Bagaimana mungkin Vanessa mencintai orang lain dan dia sama sekali tidak tahu?! Betapa tololnya dia karena tidak bisa mengendus ketidaksetiaan yang terjadi tepat di depan hidungnya. 

“Apa?! Kamu bilang apa?!” tanya Jo. Seakan pernyataan Vanessa tidak cukup menyakiti hatinya. 

“Aku cinta Ghi, sudah lama, Jo. Maafkan aku,” Vanessa mencicit lagi. Menangis pilu entah karena apa.

Sedangkan Jo hanya berdiri kaku. Membeku mendengar pengakuan Vanessa. Senyum yang sejak pagi menghiasi bibirnya sudah lenyap. Perasaan beruntung karena dia memiliki semuanya di usia 32 tahun hilang tidak berbekas. 

Sekarang dia hanya seorang lelaki menyedihkan yang ditipu istri yang begitu dicintainya. Joaquin Airlangga yang sangat goblok karena dengan mudah dikhianati Vanessa. 

Lelaki itu menunduk, merenungi semua kekalahannya. Terbersit pikiran di kepalanya, seandainya saja dia tidak pulang siang ini. Seandainya dia tidak bersikeras membawa pulang cake ini, dan menunggu saja sampai malam. Seandainya saja dia tidak bodoh. Seandainya saja dia bukan Joaquin. 

Mata Jo menatap kosong pada Vanessa yang masih menangis sambil memeluk Ghi. Perempuan cantik itu terlihat berantakan. Bahkan tubuhnya hanya berbalut selimut. Mungkin selimut yang sama yang semalam dipakainya bersama Jo. 

Tiba-tiba Jo merasa muak. Perempuan yang begitu dicintainya ini ternyata hanya pezina. 

“Jo, please maafkan aku. Aku nggak bermaksud membohongi kamu. I was about to tell you that I love someone else. Please, Jo,” Vanessa menggumam di antara tangisnya. Tangannya yang dingin memeluk kaki Jo. 

Jo masih sempat melihat cincin berlian yang tadi diberikannya melingkar anggun. 

Dia mundur, melepaskan kakinya dari dekapan Vanessa. Tanpa mengatakan apa pun dia melangkah menuju kamarnya. Menahan rasa sakit hati melihat ranjang yang tadi dipakai Vanessa dan Ghi, Jo membuka lemari. Menarik asal pakaiannya, memasukkan ke dalam tas. Lalu berjalan keluar. 

“Jo, kamu mau ke mana?” Vanessa menyambutnya di ruang tamu. Sementara Ghi sudah terbaring di sofa.

“Keluarkan dia dari sini! Ini apartemenku! Milikku! Aku nggak mau tempat ini menjadi lebih penuh dengan dosa kamu dan dia!” geram Jo. 

Vanessa masih mematung. Terlihat bingung karena Ghi sepertinya tidak kuat berdiri. “Tapi, Jo-“

Tangan Jo meraih cangkir, melemparnya sehingga benda itu pecah berkeping-keping. “Kamu denger apa kataku kan?! Suruh laki-laki keparat ini pergi dari apartemenku!”

“I-i-iya, Jo, oke, oke. Lalu, gimana dengan aku?” gumam Vanessa.

Jo mengernyitkan wajahnya. Menatap Vanessa dengan jijik. “Go to goddamn hell! I don’t give you a f*ck!” desisnya geram. 

Tanpa mempedulikan wajah sendu Vanessa, Jo melangkah lagi. Sebelum meraih handel pintu, dia berhenti. Berjalan menghampiri Vanessa yang terperangah. Dengan kasar Jo menarik cincin berlian yang tadi pagi dipasangnya di jari Vanessa.

“Kamu sama sekali nggak pantas dapat hadiah ini, Nes!” gumamnya sebelum benar-benar pergi.

@@@

Seminggu kemudian

"BANG ini kopinya.” Irma menyodorkan secangkir kopi di depan Jo yang terlihat melamun. Perempuan 50 tahun itu sangat memahami apa yang sedang dirasakan putra sulungnya. Jo bukan hanya sedih, lelaki itu hancur. 

“Bang, minum dulu kopinya.” Irma menyentuh tangan Jo dengan lembut. Membuyarkan lamunan pedih Jo yang sekarang terus-terusan menghantuinya. 

“Makasih, Ma.”

“Kamu ada rencana apa hari ini?” tanya Irma lembut.

Jo menggeleng. Matanya masih menatap kosong pada kopi di dalam cangkir putih itu. Seminggu ini dia begitu tersiksa, karena setiap saat menutup mata memori tentang perselingkuhan Vanessa seakan diputar lagi. 

“Pagi, Jo,” sapa Hadyan. Lelaki itu menepuk bahu Jo, lalu duduk tepat di samping putranya. 

“Pagi, Yah.” Jo membalas tanpa semangat.

“Hari ini ke kantor?” tanya Hadyan.

“Belum tau.” Jo mengangkat cangkirnya, menyesap sedikit kopi buatan Mamanya. 

“Ke kantor dong, jangan sampe bisnis kamu berantakan. Kamu masih punya kami, Jo. Ayah, Mama dan Jordan selalu mendukung kamu.”

Jo menunduk. Ayah, Mama dan Jordan, adiknya sudah tahu apa yang terjadi pada hubungannya dengan Vanessa. Seminggu yang lalu Jo memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Satu-satunya tempat yang muncul di benaknya yang kusut. 

Dan saat itu, dia ingat Mama menyambutnya. Memeluk Jo yang datang dengan wajah tersaput mendung. Mamanya tidak bertanya apa pun. Hanya memeluk dan menepuk punggungnya dengan hangat. 

“Saya akan menceraikan Vanessa,” ucap Jo.

Tidak ada jawaban. Hanya tangan Mamanya yang terulur, lalu meremas lembut tangan Jo. Jordan yang baru saja memasuki ruang makan, ikut tertegun mendengar itu. 

“Kamu pasti sudah memikirkan keputusan ini dengan matang,” ucap Hadyan. Matanya menatap Jo dengan lembut. Walaupun jauh di dalam sana, hatinya ikut hancur melihat Jo. Putra yang sangat disayanginya, yang dibesarkannya dengan penuh cinta. Harus terpuruk karena pengkhiantan istrinya. 

“Ayah dan Mama percaya sama kamu. Apa pun langkah yang kamu ambil, kami percaya itu bukan karena emosi sesaat, iya kan?!” tegas Hadyan lagi.

Jo mengangguk yakin. Hari ini dia akan menemui Vanessa. Dia sudah mengirim pesan, dan mereka setuju akan bertemu di apartemen. Semuanya harus berhenti hari ini. Impian Jo tentang rumah tangga yang bahagia bersama Vanessa, hanya cukup sampai di sini.

@@@

DAN sekarang di sinilah Jo, duduk di kitchen island yang sama seperti hari itu. Dia bahkan lupa itu hari apa. Semua hari sama pentingnya ketika dia bersama Vanessa, begitu pikiran Jo saat itu. Ketika semuanya masih baik-baik saja. Ketika hidupnya masih penuh dengan pencapaian yang membanggakan. 

Di depannya Vanessa mencengkram cangkir kopinya. Menunduk, menghindari tatapan Jo. Perempuan itu terlihat ayu. Dengan rambut ikal cokelat yang dijepit sederhana. Matanya bahkan tidak terlihat sembab. 

Jo merasa hatinya semakin ngilu. Menyadari Vanessa tidak kehilangan apa-apa. Sudah ada Ghi yang menunggunya. Mungkin setelah percakapan ini, lelaki itu akan datang dan memeluk Vanessa.

“Apa kabar Jo?”

“Baik.” 

“Kamu mau … kopi, atau soda?” tawar Vanessa.

“Kamu nggak perlu berbaik-baik sama saya,” sindir Jo. 

“Jo, aku peduli sama kamu. Masih peduli.” Vanessa mengulurkan tangannya, bermaksud meraih tangan Jo. 

Laki-laki itu menarik tangannya seketika, menghindari tangan cantik Vanessa. Wajah Vanessa berubah tegang.

“Bisa berhenti maen drama, Nes? Saya akui kamu aktris yang hebat. Saya nggak pernah sedikit pun nyangka kalo kamu selingkuh. Sama Ghi?! Oh come on, Nes. Nggak bisa kamu milih laki-laki yang nggak saya kenal?!”

Vanessa memijit pangkal hidungnya. Menarik napas seakan untuk mengumpulkan kekuatan. “Kamu … Joaquin Airlangga yang begitu sibuk dengan bisnis kamu. Begitu sibuk mengejar mimpi kamu. dan aku hanya Vanessa yang kesepian. Kamu sadar nggak, Jo?! Dalam sebulan berapa kali kamu pulang sore?! Berapa lama waktu kita berduaan?”

“Jadi alasan kamu cuma itu?! A piece of shit! Kamu tahu saya mati-matian di luar sana cari duit untuk bahagiain kamu. Kamu tahu gimana caranya saya bisa dapetin berlian yang selalu kamu sebut-sebut itu?! Pernah kamu pake otak mesum kamu buat mikir?!”

“Demi Tuhan, Jo. Aku nggak ada maksud selingkuh. Tapi kamu nggak pernah ngertiin aku, kamu nggak tau apa yang benar-benar aku butuhkan.”

“Oh ya?! Dan Ghi tahu apa yang kamu butuh?! Apa?! Penghangat ranjang kamu?! Gitu?!”

Wajah Vanessa berubah pilu. “Aku nggak serendah itu, Jo!” desisnya.

“Kamu nggak usah jelasin, saya sudah tahu seberapa rendah kamu! Ternyata kamu cuma butuh selangkangan lain, iya kan?!”

Vanessa berdiri, menggebrak meja. “Cukup, Jo!”

“Ya, memang sudah cukup. Kita akan bercerai. Saya nggak punya alasan untuk mempertahankan perempuan seperti kamu!”

“Itu, itu yang bikin aku berpaling sama Ghi. Kamu sama sekali nggak punya … perasaan. Nggak sensitif. Kamu nggak mau tau gimana perasaan aku. Ya aku memang selingkuh. Aku cinta Ghi, dan kami sudah mulai berhubungan sebelum kita menikah!”

Jo terperangah. Apa yang didengarnya bukan hanya mengiris hatinya. Hatinya yang sudah hancur, semakin hancur. Sudah tidak berbentuk. Jadi, sudah selama itu pengkhianatan Vanessa berlangsung? Dan dia tidak tahu. Sama sekali tidak melihat tanda apa pun.

Congratulation Joaquin. Kamu laki-laki paling menyedihkan yang pernah ada di dunia ini.

Jo merutuk dirinya sendiri dalam hati. Sejenak dia merasa linglung. Kenyataan pahit yang menghantamnya ini begitu mendadak. Dia sama sekali tidak punya persiapan untuk menghadapinya. 

“Maafkan aku, Jo. Aku tau kamu nggak pantes dikhianati. Tapi … aku … aku nggak bisa menghindar. Aku mencintai Ghi, maaf,” bisik Vanessa. Ada sedikit iba melihat ekspresi Jo yang seperti tertampar. 

Lelaki itu tidak menjawab. Dia berbalik. Terhuyung menuju pintu keluar. Tiba-tiba dia berhenti. Berbalik menatap Vanessa. 

“Secepatnya, keluar dari sini! Saya mau jual apartemen sial ini! Saya kasi kamu waktu seminggu. Jangan tinggalkan apa pun. Saya nggak mau liat kamu lagi! Dan jangan harap saya akan memaafkan kamu! Don’t you even dare to hope so!”

Joaquin melangkah lagi. Membanting pintu apartemen dan terseok menuju lift. 

Semua sakit ini, kenapa harus terjadi sekarang?! Ketika hidupnya sudah begitu sempurna. Joaquin mengusap wajahnya. Mengacak rambutnya yang sekarang tidak tertata rapi. Ada apa dengan hidupnya? Kenapa semua mendadak berbalik menyakitinya.