Try new experience
with our app

INSTALL

LATTE UNTUK MOCCA 

Anniversary

JO terbangun karena alarm digitalnya berbunyi. Dia berbalik dan mengulurkan tangan untuk mematikan alarm. Angka lima yang tertera di alarm mengundang kantuknya lagi. Lelaki berkulit cokelat itu berbalik lagi, memeluk perempuan yang masih terlelap di sampingnya. 

Mata Jo menelisik wajah istrinya. Perempuan berkulit cerah dengan bibir penuh dan rambut ikal panjang yang dicat caramel brown. Lelaki itu tidak tahan untuk tidak mengecup pipi mulus Vanessa. Menghujaninya dengan ciuman lembut. 

Perempuan itu membuka mata, menatap Jo dengan setengah mengantuk. “Apaan sih, Jo?” katanya merengut.

“Gemes,” ucap Jo terkekeh.

“Masak gemes lagi, semalem udah gemes berkali-kali juga,” protes Vanessa. Dia berbalik, memunggungi Jo dan bersiap memejamkan mata lagi. 

“Sayang, jangan tidur lagi dong. Bercinta lagi yuk,” goda Jo. Tangannya mulai membelai tubuh Vanessa, sambil sesekali mendaratkan kecupan menggoda. 

“Capek tau, Jo.”

“Satu kali aja, please,” ucap Jo lagi.

“Besok lagi ya, Jo. Lagian kamu, kan ntar kerja, katanya ada janjian pagi sama Yohan.” Vanessa mengelak, menjauhkan tubuhnya dari Jo dan menarik selimutnya lebih rapat. 

“Katanya pengen punya bayi, makanya ayo bercinta lagi.” Jo belum menyerah. Dia sengaja menggoda Vanessa, tahu pada akhirnya perempuan itu akan menyerah pada rayuannya. 

“Jangan sekarang ya, Jo. Badanku rasanya remuk gara-gara kamu.” Vanessa menyingkirkan tangan Jo dari pahanya. Mendorong Jo untuk menjauh. 

Lelaki itu akhirnya bangkit sambil masih tersenyum geli. Dengan hati-hati ditariknya laci di samping tempat tidurnya. Dia mengeluarkan kotak beludru berwarna biru. Mendekati Vanessa yang sudah terlelap lagi. 

“Nes, coba liat sini.” Jo menarik selimut Vanessa, lalu meraih bahunya. “Aku punya hadiah buat kamu,” bisiknya.

Mendengar kata hadiah Vanessa membuka mata, lalu berbalik perlahan. Hal pertama yang ditangkap matanya adalah kilauan berlian dari dalam kotak itu. Matanya yang tadi masih mengantuk, tiba-tiba membuka lebar. Cincin dengan mata berbentuk kelopak bunga itu tidak hanya dihiasi satu berlian, ada beberapa berlian kecil mengelilingi satu berlian yang lebih besar.

Perempuan cantik itu bangkit, membuka mulutnya dan langsung meraih kotak di tangan Jo. “Gosh, Jo. Ini … cantik banget. God, kok kamu bisa tau sih apa yang aku pengen?!” katanya, dengan mata masih menatap pada cincin yang terlihat mahal itu.

“Apa sih yang nggak buat kamu, Nes,” bisik Jo. Lelaki itu mengecup leher istrinya. Lalu mengambil cincin dan memasangnya di jari terawat Vanessa.

Mata Vanessa semakin berbinar. Memperhatikan cincin itu di jarinya, lalu merentangkan lengannya memeluk Jo dengan perasaan bahagia yang tidak ditutup-tutupi.

“Makasih ya, Jo. I love you so much. Btw ini hadiah dalam rangka apa sih?” 

“Ck, kamu lupa lagi. Sekarang anniversary kita, sayang. Dua tahun pernikahan kita,” ucap Jo.

“Ya ampun, aku kok bisa lupa sih. Maaf ya, Jo. Kemarin aku sibuk banget sama orderan, sampe nggak liat kalender.” Vanessa memasang wajah memohon maaf. 

Jo hanya tersenyum tipis. Seperti biasa, dia paham dengan kesibukan Vanessa. Dan tidak pernah protes karena Vanessa kadang begitu sibuk dengan bisnis barang branded-nya. Lelaki itu bangkit, setelah mengecup kening dan bibir istrinya. 

“Aku mandi dulu ya, oh iya nanti ada kiriman cake. Aku yang pesen, Nes,” katanya sambil berjalan ke kamar mandi. 

Vanessa hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada cincin yang memukau itu. Dia tidak peduli apakah ada cake atau apa pun itu. Sudah tidak penting karena cincin berlian yang sejak lama dimintanya pada Jo, hari ini sudah menjadi miliknya.

@@@

JO berdiri di depan kaca, merapikan kemeja yang baru saja dikenakannya. Bayangan percintaan dengan istrinya mengisi benaknya. Dia tidak bisa menahan senyum. Sangat bahagia karena di usianya yang baru 32 tahun, pencapaiannya melampaui pencapaian teman-teman seusianya. 

Dia memiliki tiga gerai Take Mie with You yang penjualannya naik terus. Gerai yang didesain dengan gaya remaja itu menjual mie dengan berbagai modifikasi. Harganya yang terjangkau membuat gerainya diserbu pembeli berusia remaja. 

Tiga bulan lagi dia akan membuka gerai baru, I Coffee You. Gerai yang ini akan fokus pada minuman berbahan kopi dengan segala variasinya. Kepala Jo dipenuhi berbagai rencana ambisius untuk bisnisnya. 

Dia, Joaquin Airlangga, penyandang gelar master of engineering dari salah satu universitas di Jepang. Pemilik bisnis yang sukses di usia muda, sekaligus suami yang sangat bahagia. 

Ingatan Jo melayang pada masa-masa awal ketika dia memutuskan berbisnis, tidak mengikuti jejak orangtuanya untuk menjadi dosen. Ayahnya mendukung penuh, dan Mamanya sedikit khawatir karena pendidikan Jo sama sekali tidak berkaitan dengan bisnis. Kekhawatiran Mamanya tidak terbukti karena Jo sukses dengan gerai mie pertamanya. 

Lalu, ingatannya berpindah pada momen pernikahannya dengan Vanessa. Perempuan itu adalah cinta dalam hidupnya. Mereka sudah berpacaran sejak SMA. Terkenal sebagai pasangan populer sekolah, bagaikan high school sweethearts. Jo menikahi Vanessa, 6 bulan setelah dia menyelesaikan pendidikan masternya. 

2 tahun menikahi Vanessa, dia merasa lengkap. Bukan hanya bahagia. Apalagi tiga bulan yang lalu Vanessa memberitahu kalau sudah melepas kontrasepsinya. Jo merasa kebahagiaanya akan semakin lengkap karena membayangkan dia dan Vanessa akan memiliki anak. 

“Jo, kamu mau sarapan?” Suara Vanessa terdengar dari dapur. Jo keluar dari kamarnya, berjalan menghampiri istrinya yang sedang membuat kopi.

“Mau sarapan bubur Manado nggak? Aku beliin di bawah,” tawar Vanessa. 

Jo menggeleng, duduk di salah satu kursi di kitchen island mengamati Vanessa. “Kalo telur mata sapi aja gimana?”

Vanessa berbalik, memegang coffee pot di tangan kanan dan cangkir di tangan kiri. “Aku nggak sempat bikinnya, Jo. Aku janjian sama Anita ntar jam 9. Dia mau ngenalin aku ke club arisan sosialita, biar daganganku makin banyak yang beli,” terang Vanessa.

Lelaki berkemeja biru itu mengangguk. Enggan memaksa istrinya memasak walaupun hanya telur mata sapi. “Ya udah, aku nanti sarapan sama Yohan. Btw cakenya belum sampe juga?” Jo mengecek arlojinya. 

“Belum tuh,” kata Vanessa mengangkat bahu. 

Tangan Jo mengutak atik ponsel, mengirimkan pesan pada penjual cake. 

[Mohon maaf, Pak. Cakenya akan dikirim jam 12 siang ke kantor Bapak.] Balasan dari akun bisnis berlabel Romantic Cake itu membuat Jo mengerutkan kening. Tapi screen shot yang berisi pesan Jo tentang jam berapa dan ke mana cake itu harus dikirim membuat lelaki menarik napas panjang. Lelaki itu baru ingat kalau awalnya berencana memberikan kejutan pada Vanessa di kantornya. 

“Aku berangkat duluan ya kalo gitu, nggak papa kan? Mungkin pulangnya malem, aku mau cek beberapa keperluan untuk gerai I Coffee You,” kata Jo.

Vanessa menggeleng. “Nggak papa, Jo. Aku paling sampe apartemen jam 4 sore. Ntar makan malem aku beliin sekalian ya.” Katanya sambil mengecup pipi suaminya.  Setelahnya dia mengantar Jo sampai ke pintu apartemen. Jo masih sempat berbalik sebelum memasuki lift. Melambai dan meniupkan ciuman untuk istrinya. 

Sepanjang perjalanan ke kantornya pagi ini, Jo tidak bisa berhenti berpikir betapa dia sangat beruntung. Tidak ada yang bisa menyamai pencapaiannya saat ini. Tidak ada, pikir Jo.

@@@

"KAK Jo, ada kiriman cake buat kamu, nih.” Vita, salah satu pegawainya muncul di ambang pintu. Lelaki itu memang meminta pegawainya memanggilnya Kakak, supaya tidak terkesan terlalu serius. Ini juga salah satu strateginya dalam memimpin, berusaha dekat dengan bawahan tanpa melupakan etika. 

“Makasih, Vit. Tolong taruh di meja itu ya,” katanya menunjuk meja bundar di samping sofa. 

“Wah ada acara apa, Jo?” Yohan mendekati cake, menatapnya dengan air liur siap menetes. 

“Eits, jangan disentuh. Itu buat Vanessa. Hari ini anniversary pernikahan kami,” kata Jo.

“Pantesan dari tadi bersinar-sinar itu muka, pasti lu habis dapet jatah semalem. Hadiah anniversary gitu. Dapet berapa ronde lu, bro?”

“Mulut ya mulut, jomblo aja sok tau urusan orang udah kawin.”

“Biar jomblo gue paham lah urusan ranjang. Lu jangan ngeremehin gue ya, Jo,” Yohan bersungut-sungut.

“Udah jangan ngomel mulu ya, ini urusan cari tempat bisa nggak lu kontak Bu Vero. Gue sudah kasi intro sama beliau.”

“Lu mau ke mana, Jo?” Yohan menatap Jo heran. 

“Gue mau ke apartemen dulu, naruh cake. Siapa tau Vanessa ntar pulang lebih dulu dari gue.”

Jo langsung beranjak, meraih paper bag berisi cake dan berlalu sebelum Yohan bertanya lagi. Anak Jakarta yang sudah lama menetap di Malang itu memang kadar kekepoannya kadang di luar batas. Khususnya kalau menyangkut urusan mesum.

Dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya, Jo mengendarai Expander putihnya menuju apartemen. Benaknya sudah sibuk membayangkan bagaimana raut wajah Vanessa ketika melihat Devil Cake ini menyambutnya nanti. Perempuan itu selalu lemah pada makanan manis, berbeda dengan Jo yang tidak terlalu suka manis.

Jo tahu betul bagaimana Vanessa tergila-gila pada berbagai macam cake berbahan cokelat. Devil cake, chocolate ganache, black forrest, sacher torte dan cake lain yang Jo tidak tahu namanya. Senyum Jo semakin lebar. 

Tak lama dia sudah memarkir mobilnya di basement. Lalu bergegas menuju lobi, memencet tombol lift dengan sekali tekan. Lelaki itu berhenti di lantai 10 dan melangkah cepat menuju unitnya. 

Ketika akan menekan tombol password, tangannya mendadak gemetar. Jo sempat heran sendiri. Apalagi ketika dia merasa seakan-akan dadanya berdebar gelisah. Lelaki itu menghembuskan napas, sekadar melepas resah lalu menekan password. 

Dia mendorong pintu, dan menemukan dua cangkir di atas meja ruang tamu. Debaran di dada Jo semakin cepat. Kakinya yang melangkah menyusuri apartemen mendadak gemetar. Dia mendengar suara dari kamarnya. 

Apakah Vanessa sudah pulang? Bukankah tadi istrinya bilang akan pulang jam 4 sore? Tapi kenapa sekarang Jo mendengar desahannya?! Atau ini hanya angan-angannya saja?!

Langkah Jo semakin mendekati pintu kamar yang tidak tertutup sepenuhnya. Dari celah itu dia melihat pemandangan yang membuat dunianya runtuh. Paper bag berisi cake di tangannya terjatuh begitu saja. membentur lantai apartemen yang dingin, dan pasti membuat bentuknya berantakan. 

Napas Jo mendadak sesak. Bukan hanya itu, seperti ada sesuatu yang memukul kepalanya. Matanya yang membulat terasa berair. Ini tidak mungkin! Dia adalah Joaquin, lelaki yang memiliki pencapaian sempurna. 

Tapi apa yang dilihatnya sekarang sama sekali tidak sempurna. Di sana, di atas ranjang yang semalam dipakainya bercinta dengan Vanessa, dia melihat kehancuran hidupnya. 

Vanessa sedang bergumul dengan lelaki lain!