Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) Printemps a Paris 

5: Aku Punya Seorang Adik

“Julie! Julie! Bangunlah. Ini Maman, Sayang” sayup kudengar suara wanita yang terdengar lembut seperti marshmallow ditelinga. Aku mengusap-usap mata dan masih belum sadar dimanakah aku ini? Bukankah aku sedang ada di halaman rumah dan kakek sedang membujuk-bujukku untuk berangkat? Yeah, kemudian aku berada dalam kabin bersayap, melayang-layang di udara dan terdampar di sebuah taman luas dengan pemandangan menara indah. Hm, kepalaku berputar-putar dan samar kudengar lagi suara selembut marshmallow itu.

**

Jika tadi aku mengucap Paris, J’arrive dan Eiffel aku datang, kini aku harus mengucap, rumah, I’m coming. Séb dengan bahasa Prancisnya yang super lancar itu, menyuruh sopir taksi untuk berhenti. Oh, sudah sampai, gumamku.

“Namanya adalah rue Mouffetard, okey?” kata Séb “Cinquième arrondissement, distrik kelima. Kuberitahu ini, supaya jika kamu kesasar nanti, kamu bisa menyebut nama jalan tempat tinggalmu plus nomor daerahnya” 

Baiklah, aku belum menyimak benar-benar apa katanya tadi, karena masih sibuk celingukan melihat kanan kiri. Tapi aku mendengar kok Sébastien menyebut jalan Mouffetard di distrik kelima ini sebagai alamat tempat tinggal kami. Ruas jalan ini tidak begitu lebar, cukup diisi dua mobil saling dempet saja, namun padat terisi oleh deretan toko-toko dan kafe juga bangunan-bangunan tinggi berlantai lebih dari 3. Bantalan jalannya bukan diaspal seperti jalanan pada umumnya, tapi menggunakan paving block. Kau tahu, jalan ini mirip sekali dengan jalan Braga di Bandung. Tidak terlalu persis, memang. Hanya jika kau mau tahu seperti apa suasana jalan ini, kira-kira seperti itulah. 

Setelah membayar ongkos taxi, Séb kini sibuk menurunkan koper dan tas-tasku. Sambil membawakan seluruh barang-barangku, dia menuju sebuah pintu yang bentuknya mirip pintu gereja, yang letaknya terhimpit diantara dua toko. Dengan sikunya, Séb mendorong salah satu daun pintu mirip pintu gereja itu. 

“Ayo!” ajak Séb seperti tahu jika aku ragu-ragu masuk kesana. Aku bukannya ragu, hanya berusaha merekam tempat ini dengan mataku yang setengah watt lagi menjelang redup. Kami terus masuk melewati semacam lorong kecil dan didepan sana, terhampar halaman yang ditata dengan lantai paving block, sedikit rumput dan bebatuan kecil. Halaman yang tak begitu luas itu sangat asri disertai taman kecil dengan air mancur mini. Di sebelah kananku sekarang, ada bangunan bertingkat empat dengan jendela-jendela yang besarnya serupa pintu balkon. Bangunan itu seakan merengkuh halaman. Di sebelah kiriku, di depan bangunan berlantai empat itu, ada satu bangunan lagi yang lebih kecil. Modelnya nyaris sama. Kedua bangunan itu saling berhadapan dan masing-masing pintu dan jendelanya, menghadap ke taman. Rupanya, gerbang tadi merupakan pintu masuk menuju tempat ini. Séb menggiringku masuk ke bangunan yang lebih kecil dan mempersilahkanku masuk.

Well, actually, ini adalah apartemen, sama seperti bangunan yang ada di depan itu. Jadi, aku dan keluarga baruku akan bertempat tinggal di apartemen? Yeah, setelah meninggalkan rumah ‘normal’ yang besar di Jakarta, kini aku harus menerima diriku tinggal di apartemen. 

Welcome home” kataSéb, setelah pintu terbuka “Marie pulang sebentar tadi kemudian pergi lagi. Tidak tahu kemana. Tadi dia sempat menerima teleponmu, kan?”

Aku hanya mengangguk kecil, kemudian kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.Bentuk kecil saja, namun terlihat efektif. Aku melewati ruang tamu, ruang keluarga dan dapur  yang menyatu dengan ruang makan, kemudian naik tangga. Séb membawaku naik ke lantai atas.

           “Silahkan masuk. Inilah kamarmu” ujarnya, seraya membuka pintu. Kamarku, katanya? Wow! Kamar ini seukuran 3x3 saja namun indah sekali. Dindingnya dilapis wallpaper bermotif bunga-bunga kecil berwarna merah maroon. Yang bikin aku tertarik adalah jendela serupa balkon itu, sama persis dengan bangunan di depan.

            “Ini dulu kamarku. Sekarang aku pindah disana, di bâtiment[1] depan itu” katanya sambil menunjuk bangunan di depan sana.

            “Maksudnya? Kamu tidak tinggal di sini?” tanyaku.

            “Aku sudah besar, Nona. Sudah saatnya mandiri, meskipun tinggal di apartemen milik orangtua sendiri belumlah disebut mandiri secara total. Setidaknya aku sedang berusaha” kata Séb meninggalkan kebingungan dalam hatiku. Tapi aku memutuskan untuk tidak bertanya ini itu dulu pada Séb. Aku masih punya banyak waktu untuk mengenal keluarga baruku ini. Séb lalu bangkit mendekati jendela dan membuka tirainya. Terlihatlah bangunan dengan jendela kaca yang besar itu.

            “Kamu lihat jendela di depan itu, kan? Dulu, ada penyewa namanya Claudine. Dia mahasiswi dari Marseille yang cantik dan seksi” kata Sébastien sambil tersenyum. Oh, yeah rupanya dia adalah orang yang senang menebar senyum.Mungkin sadar jika senyumnya itu menarik.

“Claudine tidak pernah menutup tirai jendelanya jika sedang ganti baju dan aku sering mengintipnya. Padahal ketika itu aku masih kelas 5 SD, lho! Nah sekarang kamar Claudine itu, aku sewa pada papa untuk jadi kamarku” katanya lagi, kali ini sambil tertawa “Mungkin kamu menganggap aku gila. Tapi aku memang terobsesi dengan Claudine” Sébastien tertawa geli, mentertawai kekonyolannya. Akupun ikutan tertawa.

“Kira-kira dimana dia sekarang?”

“Setelah lulus dan keluar dari sini, aku tidak tahu kabarnya lagi. Mungkin sudah bekerja dan menikah” jawab Séb mengedikkan bahu.

            “Aku kira, kamu tinggal di sini juga” kataku, sambil lalu.

            “Kenapa? Mulai suka sama aku, ya?”

            “Euhm, bukan begitu,” aku tersipu, sedikit malu dengan keterusterangannya barusan “Aku baru saja senang dapat teman sepertimu, aku jadi tidak merasa asing”

            “Hey! Bukankah jendela kita saling berhadapan? Kita masih bisa saling komunikasi bukan? Ohya, kamar Françoise ada di depan kamar ini. Tuh pintunya. Jika perlu apa-apa dengannya, kamu bisa panggil dia. Papa sengaja menempatkan kamar anak cewek di lantai ini supaya kalian bisa saling komunikasi”

            “Françoise?” tanyaku.

            “Adikku. Umurnya tiga tahun lebih muda darimu dan masih duduk di lycée, première degree” jawabnya. 

            “Oke,” sahutku cepat setelah berhasil mentransformasi frasa lycée, première degree itu dengan kata kelas satu SMA dalam Bahasa Indonesia.

“Sedangkan kamar Didier di bawah, bersebelahan dengan kamar papa et maman

            “Didier, siapa lagi tuh?”

            “Adikku juga. Ups maksudku adik kita berdua, karena dia adalah anak dari papa dan Marie. Jadi, Didier adalah adikku juga adikmu”

Surprise! Maman tidak pernah cerita dia telah punya anak dari papa tiriku. Berapa umurnya?”

“Lima tahun. Kalau lihat nanti, pasti gemas padanya. Dia gendut, berambut merah dan chubby sekali. Pokoknya lucu, deh!”

Séb kemudian bercerita panjang lebar tentang papanya, adik perempuannya yang bernama Françoise, adik kami Didier yang membuat hatiku makin berdebar-debar menanti orang-orang baru di kehidupanku yang disebutkan Sébastien tadi. Aku berusaha menanggapi obrolannya walaupun rasa kantuk ini tidak bisa kutahan. Aku menguap untuk yang kesekian kalinya.

Mungkin karena bosan bicara terus daritadi sementara aku hanya diam karena berjuang menahan diri untuk tidak ketiduran mendengar ocehannya, Sébastien bangkit dan mempersilahkan aku untuk istirahat sambil menunggu maman dan lainnya pulang.

            “Séb” panggilku. Meski senang akhirnya dia mau beranjak dari kamar, aku ingin bertanya sesuatu dulu, sebelum dia pergi.

            “Oui?”

            “Boleh tanya, gak? Siapa nama papamu?”

            “Namanya Alain Riquet. Jika ada sesuatu yang ingin kamu ketahui tentang keluarga barumu, jangan ragu untuk tanya sama aku, ya! Now, I want to say: selamat datang di keluarga Riquet! Semoga betah di sini” kata Séb lalu melangkah keluar kamar.

“Kutunggu di bawah saat makan malam, ya!!” lanjutnya sambil menutup pintu dan tak lupa meninggalkan senyum. Astaga, senyumnya memang benar-benar manis!

Aaahhhhh...! Aku menarik napas panjang dan merebahkan diriku di kasur. Selamat datang di Paris, di kamar ini dan di keluarga Riquet, kataku pada diri sendiri. Sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna hijau tosca, warna yang membiuskan. Akupun terlelap dan senyum Sébastien Riquet menjadi bunga tidurku.

**

Mendengar suara lembut tadi, pelan-pelan, sukmaku masuk ke raga. Perlahan ingatanku kembali lagi. Yeah, aku sudah di Prancis bukan di Jakarta lagi. Kau tahu, ini seperti mimpi saja, baru kemarin aku berangkat diantar kakek dan Naro, kini aku sudah tidur di sebuah kamar berwallpaper merah maroon di sebuah rumah di jalan Mouffetard Paris. Ketika kubuka mata, maman memelukku.

            “Julie! Maman kangen” begitu ucapnya “Lama sekali kamu tertidur, hah? Tapi tidak apa-apa. Pasti kamu jetlag hingga tidur tidak tahu waktu” lanjutnya lagi. 

Ohya? Berapa lama aku tertidur? Seingatku, aku tertidur sore-sore ketika aku baru tiba. Yeah, benar dan jam berapa sekarang? Astaga! Aku hampir terjengkang ketika melihat jam tangan yang masih menempel erat di pergelangan tangan. Jam 11 siang waktu Prancis! Kau tahu artinya? Aku telah tidur selama 14 jam!!

            “Semalam, semua menunggumu untuk makan malam bersama. Tapi kamu tak muncul-muncul. Tadi pagi, semuanya menemuimu di sini, tapi kamu masih juga tidur”

Aku menepuk dahiku, kemudian menyatakan penyesalan.

            “Tidak apa-apa. Nah, sekarang mandilah, lalu turun ke bawah, okey? Maman sudah menyiapkan masakan khusus untukmu” Maman mencium dahiku dan berlalu dari kamar. Aku bengong sebentar sambil melihat jendela besar di depanku. Aku menghampiri dan membuka daun jendelanya. Tapi perkiraanku salah. Kamu tahu? Ini samasekali bukan jendela. Tapi benar-benar pintu balkon! 

Aku keluar untuk menghirup udara dan menggeliat sepuasnya. Di depanku, pada bangunan empat lantai itu, aku melihat berbagai aktivitas. Ada yang menjemur pakaian, ada yang duduk-duduk di balkon sambil membaca buku, mengobrol. Siapa mereka? Tetanggakah? Atau mereka itu masih saudara dengan keluarga Riquet? Dan Séb kemarin bilang dia tinggal di apartemen milik orangtua sendiri? Tiba-tiba aku ingin segera mandi dan menemui mama. Aku ingin menanyakan segala hal tentang keluarga baruku. Ya, semuanya!

            “Julie, kamu sudah rapi. Oh, anak gadisku, kamu tampak segar dan cantik sekali! Kamu pasti jadi rebutan pria-pria Prancis” kata maman. Aku tersipu. Ada-ada saja. Kulihat maman sedang menyiapkan sesuatu di dapur.

            “Mumpung Maman sedang libur” katanya sambil mengaduk-aduk Sukiyaki yang wanginya bikin aku lapar. Rupanya itulah makanan khusus untukku seperti yang dibilang maman tadi. Ternyata, meski tidak pernah mengasuhku sejak umur 6 tahun, maman tahu makanan kesukaanku. Mungkin maman sudah lebih dulu observasi dengan bertanya pada Mbok Waji, pembantu setiaku di Jakarta. Mataku menyapu ke seluruh dapur berdesain modern itu dan di sudut dapur, kulihat asap dari rice cooker sudah mengepul-kepul tanda nasi sudah matang.

            “Ada nasi, Maman?” tanyaku gembira. Terusterang, hatiku agak sedikit lega, sebab tadinya aku membayangkan jika di Prancis ini tidak ada nasi. Jelas, aku belum siap untuk meninggalkan nasi.

            “Hari ini ada, karena Maman sedang ada di rumah. Tapi jika nanti Maman kerja dan kamu ingin makan nasi, masaklah di rice cooker ini, ya? Lauk pauknya terserah kamu. Beli aja yang instan di supermarché di depan sana. Ya, di sini kamu sebisa mungkin mandiri, Julie. Sébastien saja sering masak sendiri, kecuali makan malam, dia pasti kesini” kata mama,Maman tahu, kamu pasti belum biasa makan makanan Prancis yang pastinya tidak mengenyangkan buatmu”

            “Tidak apa-apa, Maman, aku akan berusaha menyesuaikan lidah dan perutku, seperti orang Prancis” kataku.

            “Mais, non! Kamu memang orang Prancis, Sayangku!” maman melotot.

            “Iya, Maman, maaf...”

Kami sunyi sesaat sebelum kemudian aku ingat ingin bertanya sesuatu padanya.

            “Maman,” kataku membuka percakapan “Aku penasaran. Bangunan apa sih di depan itu?”

          “Itu apartemen. Sama dengan bangunan ini” jawab maman “Alain punya dua unit apartemen, satu yang kita tempati ini dan satu lagi ada di bangunan depan itu, sekarang ditempati Séb. Ukurannya lebih kecil dari yang ini”

            “Oooh,” hanya itu yang keluar dari mulutku. Begitu rupanya. Rasa penasaranku terjawab.

          “Mana Didier, Maman? Aku ingin kenalan”

            “Oh, kamu sudah tahu? Pasti Sébastien yang cerita ya?” tanyanya. Maman melongokkan kepala kearah ruang tamu.

            “DIDIER...???”

“Kurasa dia sedang main sepeda di taman depan. Ajaklah bicara” kata maman

Aku segera berlari kesana. 

En français[2]!” teriak maman.

Ketika membuka pintu, kulihat seorang anak kecil yang gendut dan lucu. Dia sedang asyik sendirian sambil mengayuh sepedanya mengitari halaman kecil di taman depan ini. Wah, ini tentu sebuah kejutan yang menyenangkan selama aku hidup. Aku-punya-seorang-adik!

            “Allô..!” sapaku, dia menoleh dan mengerut alis. Aku menghampiri dan mengajaknya salaman.

            “Tu es Didier, n’est-ce-pas? Je m’appelle Julie, euhmm...je suis ta soeur” kataku, memperkenalkan namaku dan memberitahunya jika aku ini adalah kakak perempuannya. Alis Didier naik turun dan tampaknya dia bingung atas perkenalan ini. Tapi dia mengulurkan tangannya, menerima tanganku.

            “Boleh aku main sama kamu?” tanyaku. 

            “Boleh” jawabnya “Ayo kita main basket saja. Aku sudah bosan main sepeda” katanya dengan bahasa Prancis yang sangat kumengerti karena dia bicara dengan sangat lambat sekali. Meskipun belum terlalu jelas, tapi aku mengerti, kok. Tiba-tiba, aku merasa pede luar biasa berbicara Prancis pada anak kecil ini dan kekakuan yang tadi sempat terjadi diantara kami, perlahan-lahan melumer. Jika aku mentok karena tidak tahu bahasa Prancisnya apa, aku berteriak pada maman minta  diterjemahkan. 

Setelah capek main basket, Didier mengajakku melihat-lihat mainannya yang dia simpan di kotak kayu di bawah kursi ruang tamu. Rupanya itu tempat rahasia bagi Didier. Dia berbisik, “Jika Maman tahu, dia akan marah karena aku tidak boleh menaruh mainan di ruang tamu”  katanya. 

Akupun berjanji untuk menjaga rahasia itu. Sementara Didier mengambil mainannya di sudut terpencil, mataku terpaku pada foto keluarga.  Dalam foto yang tercetak 20 R itu, aku melihat seorang laki-laki separuh baya yang berbadan besar dan berperut agak buncit, berjambang tebal dan memakai kacamata yang tampak kecil di wajahnya yang lebar. Mungkin dialah Alain Riquet, suami maman. Di sebelahnya, ada maman dan Didier yang masih bayi. Kemudian yang jongkok di bawah itu adalah Séb lagi tersenyum lebar sambil mengacungkan ikan besar hasil tangkapannya. Berdiri di sebelah Alain adalah seorang gadis berambut lurus coklat keemasan yang cantik sekali. Bingkai matanya persis seperti Séb dengan sorot yang indah namun tajam dan dia tidak melempar senyum seperti yang lain.

            “Itu Françoise, kamu belum pernah ketemu dengannya, bukan?” tanya bocah kecil itu. Oh, dia tahu aku sedang memandangi gadis itu. Jadi ini yang namanya Françoise? 

“Julie, kamu harus sedikit tenang jika berhadapan dengan Françoise nanti, ya!” katanya lagi, membuatku terkesiap. Memang kenapa dengannya? Aku ingin bertanya namun kuurungkan dan membiarkan rasa penasaran itu menghinggap. Alain dan Françoise. Bagaimana sikap mereka terhadapku? Aku gemetar menghadapi mereka berdua nanti malam.


 

[1] bangunan

[2] Pakai bahasa Prancis!