Contents
(TAMAT) A Movie In Our Story
Dritten Monat
Sudah berapa lama ia tidak datang ke sini?
Aimee memutar bola matanya, meraba memori untuk mengingat sesuatu. Ia menangkap ada bayangan dirinya berdiri sedang memanjakan pendengaran untuk menikmati musik dari musisi jalanan, lalu berjalan-jalan menghirup udara musim semi di antara gedung-gedung tinggi Marienplatz di sore hari. Itu berarti, kemungkinan sudah lebih dari dua bulan yang lalu ia tidak menikmati udara di sini. Semuanya karena ia sudah duduk di tingkat akhir perkuliahan dan waktunya begitu sempit, bahkan untuk sekadar jalan-jalan seperti ini. Namun sesuatu telah mengganjal memorinya ketika ia mengingat sebuah kenangan pahit.
Ya, kenangan pahit. Yang begitu ingin dibuangnya jauh-jauh.
“Namamu Aimee?”
Pertanyaan itu terlontar dari seorang gadis bertubuh sedikit gemuk dengan tatapan sinis.
Saat itu Aimee hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu membiarkan gadis yang tak dikenal itu kembali melempar muka masam padanya. Gadis ini, marahkah ia?
“Kita perlu bicara,” sahutnya tegas.
Gadis yang tak dikenal itu membawa Aimee ke sisi gedung di jalanan Marienplantz yang sepi. Mata sinis gadis itu berkobar mengiringi ucapannya yang menyakiti hati Aimee. Semua yang diungkapkan begitu menusuk seakan lawan bicaranya memiliki hati batu. Keras dan tidak peka.
Aimee yang cantik tapi egois. Aimee yang penggoda kekasih orang lain. Aimee yang murahan!
Dan beberapa kalimat cercaan yang menyakitkan lainnya seperti enggan menghilang dari daftar kenangan pahit Aimee. Sebelumnya, Aimee memang sering menerima teguran, bahkan labrakan dari berbagai gadis yang tak dikenalnya. Mereka hanya salah paham dan mengira Aimee adalah perusak hubungan dengan kekasih mereka. Tapi di antara sederetan perbuatan itu, hal yang paling direkam Aimee adalah pada saat seorang gadis yang mencacinya di jalan ini. Memori itu seakan tidak ingin pergi.
Seperti sekarang, Aimee tetap mengingatnya ketika ia kembali berdiri di jalanan Marienplantz padahal kejadian itu sudah melalui banyaknya waktu.
“Aimee? Kau melamun lagi…”
Aimee menoleh ke sumber suara. Matt, seorang lelaki yang kerabatnya di berbagai kegiatan universitas, berdiri di sampingnya. Lelaki ini, lelaki ini yang pernah menjadi pencoreng nama baiknya. Yang membuat ia harus menelan pahit kata gadis murahan menjadi label namanya. Dan kini bisa berdiri di sampingnya dengan senyum tanpa bersalah.
“Nanti bretzel[1]mu tidak enak lagi,” ucapnya lagi.
Aimee melihat sekantung bretzel kesukaannya di tangan. Iya, sepertinya sudah dingin. Tadi, ia sempat membeli di toko pinggir jalanan sepulang perjalanannya saat mencari kabar tentang Geffrey. Ah iya, bicara tentang Geffrey, ia hampir lupa memeriksa ponselnya yang kemungkinan akan memberi kabar tentang pianis itu. Bagaimana kelanjutannya?
“Pihak Chauncy Geffrey sudah memberimu kabar?” tanya Matt.
Aimee menggeleng ketika melihat ponselnya yang sepi. Aneh sekali, tidak ada satu pemberitahuan pun tentang Geffrey. Baik telepon, pesan, maupun e-mail. Seperti ini, bentuk penolakan kah?
“Kau yakin sudah mengirim e-mail pada manajemennya?”
“Iya. Sudah,” jawab Aimee singkat.
“Mungkin, kita perlu waktu untuk menunggunya,” hibur Matt sambil menepuk pundak Aimee.
Aimee mengangkat bahu sambil menghela napas pelan. Ia berharap Geffrey tidak menghindarinya. Tidak karena hubungan terakhir mereka yang begitu dingin saat mereka sama-sama masih di Prancis. Aimee menggigit bibir bawahnya dan mengatur emosi, pikiran yang kalut masih menginginkan respons dari pianis itu. Setidaknya ia harus meyakinkan seluruh kru, termasuk HerrSouth, tidak perlu casting untuk peran utama lagi. Ia hanya perlu menunggu dan beroptimis bahwa Geffrey akan menyetujui tawaran ini. Dan cepat atau lambat mereka akan bertemu.
Aimee menghadap Matt di sebelahnya. Lelaki itu sedang asyik dengan gerakan tubuhnya mengikuti irama musik jalanan. Sesekali ia menyesap minuman soda kalengnya, lalu menawarkan satu kaleng soda bersegel yang di sebelah tangan pada Aimee. “Aku membelimu satu lagi. Ini.”
Kaleng minuman soda itu diambil Aimee. Lalu ia mencari bangku kosong di sekitar mereka, mengingat sedari tadi mereka hanya berdiri di depan salah satu gedung tinggi di situ.
“Matt,” gumam Aimee setelah sekali menyesap minuman itu.
“Hm..?”
Aimee menatap mata Matt. “Kau mengapa masih ingin berjalan bersamaku?” tanyanya sambil menggigit bibir bawah. Seharusnya, pertanyaan itu ia lontarkan dari dulu. Sebelum mereka menghabiskan waktu untuk jalan bersama. Seperti akhir-akhir ini.
Ada raut terkejut di wajah Matt sebelum menjawab pertanyaan Aimee. “Maksudmu?”
Aimee mengembalikan pandangannya ke depan, enggan menatap wajah Matt. “Bukannya kau sudah tahu kalau aku menolakmu? Kenapa kau masih di sini?” tanya Aimee pelan. Ia tahu pertanyaan itu terkesan seenaknya, apalagi pada orang yang pernah mengaku menyukainya. Tapi, ia hanya ingin memberikan penegasan pada lelaki itu, supaya tindakannya tidak menyakiti siapa pun.
Matt berdeham sebelum akhirnya menjawab, “Aimee, kau masih sakit hati pada Sarie? Aku…”
“Aku tidak bermaksud mengungkit masalah itu lagi,” sela Aimee. “Aku hanya ingin tahu jawabanmu. Jadi, tolong jawab,” tegasnya.
Lelaki asal Kanada itu tersenyum, “Aimee, kau tahu kalau aku menyukaimu. Tentu saja aku senang menghabiskan waktu bersamamu, mempercayaimu sejak awal sebagai seorang yang bisa berbagi cerita denganku. Harapanku tidak berubah untuk mendapat kesempatan darimu,” ungkapnya tanpa ragu.
Aimee tertawa kecil. Gadis itu menghirup udara Marienplantz yang sejuk sebelum akhirnya menanggapi, “kalau kau sejak awal menganggapku sebagai teman untuk bercerita, kenyataan itu tidak akan berubah. Pikiranku juga masih sama. Aku tidak bisa memberimu kesempatan. Kumohon, berhentilah menemuiku.”
“Aimee…”
“Aku hanya tidak ingin menyakiti hati siapa pun. Maafkan aku, Matt,” tukas Aimee. Lalu gadis itu segera menutup rapat jaket merah muda menutupi kulit kuning langsatnya, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Matt sendirian di bangku.
Karena Aimee tahu pasti tentang seseorang yang memenuhi pikiran dan hatinya. Lelaki itu sudah disimpan sebagai rahasianya sejak lama.
·
“Siapa ini?”
Suara Diana dari ruang televisi membuat Tami yang sedang mengikat rambutnya di depan cermin menghadap pada gadis itu. Ia menghampiri Diana yang memegang buku sambil duduk di depan televisi.
“Pacarmu?”
Mata sipit Tami membulat begitu Diana mengacungkan foto dari halaman pertama buku itu. Foto seorang lelaki memakai jaket hitam dengan senyum khas yang begitu dikenalnya. Dengan cepat ia mengambil buku dari tangan Diana. Nyaris seperti merampas. Membuat gadis berkulit sawo matang itu kaget di tempat.
“Entschuldigung,” gumam Diana.
Tami menatap Diana kosong. Ia menggigit bibir bawahnya yang sedikit bergetar. Lalu pergi ke kamar meninggalkan Diana sendirian di kursinya.
“Tami...,” panggil Diana. Ia harus meminta maaf atas kelancangannya. Tami pasti marah. “Maaf, tadi aku tidak sengaja menemukan bukumu yang terbuka di atas meja. Aku juga minta maaf sudah bertanya seenaknya padamu. Maafkan aku…”
Diana menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Ia masih ingat betul tanggapan teman-temannya tentang Tami. Kalau Tami marah, maka suasana akan kacau, dan ia sendiri tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Gawat.
Tetapi Tami Hiromasa tersenyum tipis. Gadis itu menutup pintu kamarnya dari luar lalu menaruh buku itu di atas meja makan. Ia mengambil minuman di kulkas dan duduk di salah satu kursi makan.
“Duduklah.” Ia mempersilakan Diana yang sedari tadi berdiri untuk duduk. Mungkin sudah saatnya ia memerlukan seseorang untuk berbagi cerita. “Tenang saja, aku tidak marah padamu.”
Mata Diana berbinar begitu Tami menyelesaikan kalimatnya. “Benarkah? Syukurlah…” Ia mengembuskan napas lega. Tadi ketakutannya sangat berlebihan.
“Ya, bisa dibilang kami pernah berpacaran. Aku benar-benar sangat mencintainya,” ungkap Tami yang akhirnya bisa membuka diri, tanpa bisa menghindari wajahnya yang memerah karena malu. Ia sendiri tidak mengerti kenapa bisa begitu membuka rahasia pada teman barunya ini.
Diana tersenyum. “Aku bisa melihat itu dari raut wajahmu tadi. Kalau boleh aku tahu, siapa namanya?”
“Yoshi. Toshiro Yoshi,” jawab Tami singkat. Gadis itu menunduk, menyimpan wajah malu dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Karena di sepanjang ingatannya, Tami tidak ingin membagi cerita tentang Yoshi pada siapa pun. Ia sulit menemukan seseorang yang bisa dipercaya untuk masuk ke ruang pribadinya. Namun, keadaan seperti ini tiba-tiba membuat pola pikirnya berubah arah. Mungkin ia bisa mempercayai Diana untuk menyimpan rahasianya, mengingat gadis itu sudah terlanjur tahu.
“Tami…,” sela Diana sambil menangkupkan tangannya di atas tangan Tami. “Kau tahu, selain menjadi partner proyek, aku juga bisa kau percaya sebagai teman curhatmu. Kalau kau tak keberatan.” Senyum tulus Diana mengembang setelah menyelesaikan kalimatnya. Sama seperti yang ia lakukan dengan sahabatnya yang lain, tiap kali mereka kesulitan dalam masalah pribadi, ia hanya ingin membantu, kalau mereka tak keberatan.
Tami tertawa kecil. “Arigatou. Kau juga bisa melakukan hal yang sama padaku. Bercerita tentang Aurich, contohnya.”
Mata Tami terbelalak, bibirnya terbuka, wajah polosnya terpancar. “Kau… tahu? Bagaimana bisa?”
Tepat saat itu bel apartemen mereka berbunyi. Seperti bersekongkol dengan Tami untuk menyelamatkan suasana akibat rasa penasaran Diana.
·
Pintu apartemen akhirnya dibuka. Aimee yang berdiri di depannya sudah terlihat pucat. Tubuh yang lelah karena berjalan jauh juga emosi yang terkuras membuat harinya melelahkan. Rasanya merebahkan diri pada kasur adalah jawaban yang tepat untuk saat ini.
“Hi! Kau sudah pulang? Masuklah…” Tami membuka pintu apartemen mereka lebih lebar, mempersilakan Aimee masuk.
Sebenarnya Aimee tidak ingin berpikir macam-macam. Tapi malam ini aneh, ketika ia menemukan Tami tersenyum. Tak seperti biasanya. Ya, ia ingat betul. Gadis Jepang itu seperti sudah menanggalkan wajah dinginnya yang biasa ia kenal.
Setelah ia melangkahkan kaki memasuki ruang apartemen, dialihkan penglihatannya pada Diana yang duduk di salah satu kursi ruang makan. “Guten nacht[2], semuanya. Sedang apa malam-malam begini?”
“Sambil bercerita, kami menunggumu pulang,” jawab Diana. Ia menghampiri Aimee yang berjalan menuju kamarnya. “Jadi, bagaimana hasilnya? Kau menemui pihak Geffrey?”
Aimee hanya menoleh sekilas pada Diana, lalu menoleh Tami. “Besok saja ya kuceritakan, sekarang aku mau tidur.” Tanpa basa-basi, Aimee masuk dan menutup pintu kamarnya, mengabaikan Diana dan Tami yang menunggu jawaban.
Diana menyilang kedua tangannya di depan dada sambil memiringkan kepala. “Sepertinya aku tahu jawabannya,” gumamnya.
“Aku juga,” balas Tami di sampingnya.
·
Diana melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju ruang apartemen. Sesekali ia melompat kecil sambil tersenyum riang memegang sekantong belegte brötchen[3]di tangan. Pagi ini begitu menyenangkan, toko belegte brötchen di depan apartemen mereka tidak begitu ramai seperti biasanya. Jadi, ia bisa membeli beberapa potong sekaligus. Seperti sekarang ini, di kantong bawaannya ada empat potong.
Udara segar samar-samar tercium dari depan apartemennya. Ia menekan bel sambil menebak-nebak sesuatu. Apa yang mereka lakukan di dalam?
“Hi! Dari mana saja kau? Pagi-pagi sudah menghilang,” cecar Aimee begitu pintu sudah dibuka. Lalu mata gadis itu terpaku pada barang bawaan Diana. “Eh, apa ini?”
Diana ikut menoleh pada bawaannya yang ditunjuk Aimee. “Belegte brötchen. Ambil saja kalau kau mau,” tawarnya sambil memberikan kantong itu pada Aimee. Ia membuka sepatu dan menggantinya dengan sandal kamar. “Tadi pagi sekali aku jogging, sambil menunggu toko belegte brötchen di depan gedung apartemen kita terbuka. Kau tahu, belegte brötchen di sana enak-enak sekali. Aku baru pertama kali mencobanya dan langsung jatuh cinta.”
“Benarkah?” tanya Aimee, lalu merogohkan tangan pada kantong belegte brötchen dan mengambil salah satunya. “Kalau begitu, aku mau.”
Diana mengangguk, lalu melangkahkan kakinya ke dapur. Menghampiri sumber udara segar yang tercium dari depan ruangan apartemen mereka. “Kau sedang membuat apa?” tanyanya begitu melihat sebuah teko panas di dekat kompor.
“Tadi aku dan Tami coba membuat teh,” kata Aimee, menjawab pertanyaan Tami sambil mengunyah belegte brötchen di mulutnya. Lalu ia langkahkan kakinya menghampiri Diana di dapur ketika membaca tulisan di belakang jaket Diana. “Ma-rio Göt-ze?” ejanya. “Kau penggemarnya Mario Götze?”
Diana melihat ke punggungnya sekilas sebelum menjawab pertanyaan Aimee. “Oh, tentu saja!” serunya. Lalu ia menuangkan teh dari teko ke dalam cangkir, menyesapnya, dan kembali melanjutkan tanya, “bagaimana denganmu?”
“Apa? Aku?” sela Aimee tersentak, disusul tawa kecil menghias wajahnya. “Tidak. Aku bahkan tidak begitu kenal dengan pemain bola.”
“Bukan hanya pemain bola. Maksudku, kau punya idola yang terkenal?”
Aimee memutar-mutar bola matanya. Menerawang ingatannya. Idola? Selama ini ia tidak terlalu terobsesi dengan orang terkenal mana pun. Mungkin sekilas pernah mengagumi, namun beberapa waktu kemudian rasa kagum itu hilang. Baik pada perancang busana terkenal di Paris, tokoh politik, musisi…
Eh, Musisi? Apakah perasaannya pada seorang pianis yang merangkap musisi itu termasuk dalam bentuk pengaguman pada idola?
Seolah-olah menyelamatkan Aimee dari pertanyaan Diana, pintu kamar Tami terbuka. Gadis Jepang itu keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi, lengkap dengan rambut yang terikat, dan tas tangan berwarna gelap. Dari segi keformalan busananya, Tami lebih mirip pegawai kantoran dibanding mahasiswi tingkat akhir.
“Hari ini aku akan berkumpul dengan senior-senior sesama sutradara. Kami akan membahas ulang konsep Melodie der Liebe,” ucap Tami pada kedua temannya di meja makan.
“Kau akan meeting? Berarti akan bertemu Aurich?” Diana menyela, mengingat Aurich bekerja sebagai salah satu sutradara di film ini.
Tami mengangkat sebelah tangannya, mengabaikan pertanyaan Diana. Ia menghadap gadis itu dan melontarkan pertanyaan, “Jadi, bisa dijelaskan padaku, bagaimana perjalanan skenariomu?” Lalu menolehkan kepalanya ke arah Aimee. “Dan kelanjutan kabar Geffrey?”
·
Aimee menggigit bibir bawahnya sambil menunduk. Pikirannya tersudut ketika duduk di depan Tami dan Diana. Inikah saatnya berbagi cerita pada orang lain tentang rahasianya? Karena, selama ia tinggal di Jerman, ia selalu bisa menyimpannya sendiri, tanpa memerlukan siapa pun untuk berbagi. Percuma, menurutnya. Semenjak banyak gadis yang tak dikenal menjulukinya sebagai gadis centil perebut kekasih orang, hari-harinya menjadi sulit untuk menemukan sesama perempuan yang menjadi tempat berbagi. Semakin lama, semakin terbiasa. Ia juga enggan mencari sosok seorang sahabat.
Sekarang, ketika di depan ada dua orang yang peduli padanya, haruskah ia meruntuhkan dinding kokohnya?
“Aimee…”
Aimee menoleh ketika namanya dipanggil. Suara itu milik Diana.
“Baiklah,” hempas Aimee, lalu menyandarkan badannya ke sandaran kursi makan mereka. “Sejak beberapa hari yang lalu, sampai kemarin, Geffrey masih sulit ditemui. Tapi kumohon, percayalah padaku, kita akan berhasil mengajaknya dalam film ini.”
“Apa yang membuatmu bersikukuh menjadikannya peran utama? Kalau dia tidak mau, kita bisa ganti yang lain.” Kali ini suara penegasan itu milik Tami. Ia tidak tahu bahwa yang orang yang ditanya memiliki pikiran yang kalut.
“Dia pianis hebat. Aktor hebat. Kemungkinan film ini berhasil akan ada, jika dia peran utamanya.”
“Selain itu?” Tami masih mendesak Aimee dengan pertanyaannya.
Aimee menunduk lagi, menghela napas. Mencari udara segar di sekitar ruangan apartemen mereka yang siapa tahu bisa membantu menjelaskan semuanya.
Diana mengambil alih situasi. Ditangkupkan tangannya di atas tangan Aimee. Gadis itu bisa merasakan ada getaran di balik tangan temannya. “Aimee, anggap saja kami keluargamu, tempatmu secara leluasa berbagi. Setidaknya, kau bisa menaruh kepercayaan pada kami selama kita tinggal bersama. Terlebih lagi, ini masalah proyek kita. Kami berdua berhak tahu,” papar Diana dengan kalimat bijaknya.
Aimee akhirnya mengangkat kepala, menghadap pada jendela terdekat dari tempatnya duduk. Situasi ini seperti merangkapnya menuju bagian yang paling diingat sekitar tujuh tahun yang lalu. Paris, bunga matahari, dan alunan musik Geffrey di ruang musik sekolah mereka.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Geffrey saat itu ketika ia selesai memainkan sebuah lagu baru di pianonya.
Aimee yang duduk di sampingnya, tersenyum sambil memejamkan mata. “Indah. Sangat indah. Kau benar-benar berbakat,” gumamnya.
“Benarkah?”
Aimee mengangguk mantap. Bunga matahari kecil beserta pot yang dipegang di tangannya seakan setuju dengan gagasan itu. Begitu cerah dan terlihat ceria. Membuat waktunya yang sengaja diluangkan demi lagu baru Geffrey tak sia-sia.
Namun tidak lama kemudian, dering ponselnya menghampiri mereka. Telepon dari Bill. Matanya berbinar begitu mengetahui teman baru mereka yang dari Amerika menelepon. Tanpa sadar ia berkeputusan untuk meninggalkan Geffrey di ruang piano dan menghampiri Bill yang memintanya datang ke lapangan basket. Ia yang beberapa hari ini terlalu antusias pada Bill, tak sadar ada lubang yang menganga di hati Geffrey ketika ia mengabaikannya.
Sejak itu ia tahu, Geffrey merasa tersakiti dan berusaha menjauhinya.
“Menjauhimu?” Diana menyela penuturan Aimee dengan nada heran, sebelum Aimee melanjutkan ceritanya.
Aimee mengangguk. Ia kembali menerawang dan menceritakan bagian selanjutnya. Ketika bunga matahari di jendela ruang piano itu tak lagi secerah biasanya.
“Mungkin aku terkesan keanak-anakan. Tapi biarkan aku meminta kepastian padamu,” tegas Geffrey saat itu. Wajahnya tampak serius menatap Aimee, “Kau pilih aku atau Bill?”
Aimee tercekat. Ia tidak menduga akan dihadapkan pertanyaan seperti itu dari Geffrey. Lelaki itu kembali pada sikap sebelum ia mengenalnya. Dingin dan terkesan cuek.
“Geffrey…”
“Kau…, ah, biar aku bertanya ulang. Aku, atau Bill?”
Aimee terpaku di tempatnya. Ia tidak bisa memilih. Kedua lelaki itu memang baik, mereka berdua berbeda, dan ia memiliki kesan tersendiri pada keduanya. Membuatnya sadar akan kesalahan selama ini. Selalu bersikap terbuka pada setiap lelaki yang mendekatinya sehingga tidak memberi penegasan hubungan pada mereka. Sekarang, siapa yang harus ia pilih?
“Oke. Aku tahu pada akhirnya kau akan memilih Bill. Aku mengerti. Terima kasih untuk waktumu selama ini,” tukas Geffrey kemudian sebelum ia melangkah pergi meninggalkan Aimee di tempatnya.
Aimee ingin menahan lelaki itu. Tidak ingin membiarkannya pergi. Karena bagaimanapun, hatinya sulit mengatakan bahwa ia menyukai Geffrey. Ia hanya sulit meyakinkan diri. Termasuk pada Bill.
Dan ia tidak tahu, ketika ia mulai memastikan hatinya pada Bill, lelaki itu justru pergi meninggalkannya. Ke Amerika.
Tami mengernyit setelah mendengar semua penuturan Aimee. “Jadi, sebenarnya urusan proyek kita ini kau kaitkan dengan urusan pribadimu?” ujarnya dengan nada menyelidik.
Sepasang mata milik Diana menegur Tami secara tersirat. Sementara mata milik Aimee menyiratkan permohonan.
“Aku berjanji, Tami…,” gumam Aimee memohon. “Kalau Geffrey berhasil bergabung dengan kita, aku menjamin untuk tingkat keberhasilan film ini. Aku tahu sendiri siapa Geffrey. Please…” Aimee menangkupkan kedua tangannya di depan Tami membentuk permohonan. Wajah sendunya sulit lagi untuk dibendung demi memperoleh persetujuan Tami.
Diana menatap Tami, sementara yang ditatap menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Sepertinya ia tak punya pilihan lain selain menyetujui temannya.
Kecuali, dengan satu syarat!
[1] Kue kering khas Jerman. Seperti biskuit berbentuk hati dengan bubuhan garam di atasnya.
[2] Selamat malam
[3] Roti isi khas Jerman dengan isi yang bermacam-macam. Berbeda dengan sandwich yang memakai roti tawar.