Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) A Movie In Our Story 

Zweiten Monat

“Jadi, kamar mana yang bisa kutempati?”

Tami Hiromasa menoleh pada gadis Indonesia yang baru masuk ke apartemen mereka sore ini. Ia yang sedang menyeduh kopi di dapur, segera menunjuk pada kamar kosong di sudut ruangan. 

Gadis itu menarik koper dengan tangan kiri sementara di tangan kanannya terdapat tas jinjing yang lumayan besar. “Wah, kamar yang bagus untuk menulis skenario. Terima kasih sudah menempatkanku di sini,” ucap gadis itu gembira dengan mata yang menyapu tiap sudut apartemen mereka.

Sebuah apartemen sederhana di München yang mereka tempati ini memiliki tiga kamar tidur, satu ruang dapur beserta ruang makan, satu ruang tengah untuk menonton televisi, dan satu ruang tamu yang semuanya didominasi oleh warna baby pink. Membuat Diana tertawa dalam hati karena terlalu girly baginya yang menyukai warna hijau.

Tami yang duduk di salah satu kursi ruang makan mereka mengangkat bahu dan alisnya. “Bukan masalah,” jawabnya pelan. “Maaf, aku lupa namamu…”

“Diana Alisya,” sela Diana sambil tersenyum manis dan mengulurkan tangannya di hadapan Tami untuk dijabat. “Panggil aku Diana.”

“Oh, oke Diana. Aku Tami Hiromasa. Senang bertemu denganmu, Gadis Indonesia.” Tami menjabat hangat tangan Diana juga membalas senyumnya.

“Omong-omong, bukankah kita sebenarnya bertiga? Lalu di mana satu orang lagi?”

“Aimee? Oh, dia….”

Pada saat yang bersamaan, pintu apartemen mereka terbuka dan gadis yang dimaksud muncul di hadapan mereka bersama seorang lelaki di belakangnya. “Wah, kalian sudah berkumpul rupanya. Maaf, aku terlambat.” Gadis itu melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal kamar mereka, sementara lelaki yang berada di belakang, pamit meninggalkan.

Gadis pirang itu menghampiri mereka di ruang makan. “Aku Aimee Verall. Senang bertemu dengan kalian.” Lalu menyalami Diana dan Tami satu persatu. Bola mata birunya ikut menatap mereka. Hangat. 

·

“ Guten morgen, Diana!”

Suara gaduh terdengar dari luar sehingga membuat Diana terjaga dari tidurnya. Ia keluar dari kamar dan mendapati Aimee yang sedang kesulitan memilih busana di depan cermin. Mulai dari baju, tas, aksesori, hingga sepatu. Diana menatap Aimee dari atas sampai bawah, lalu menggeleng. Sementara pemilik bola mata biru yang ditatapnya menghadapkan dua tas tangan yang berbeda warna, untuk meminta saran. “Menurutmu, mana yang lebih baik, pink atau merah?”

Diana mengerutkan keningnya. “Merah,” ucapnya sambil menggaruk-garuk kepala. “Memangnya, kau mau ke mana?”

“Hm… bisa dibilang kencan,” jawab Aimee ringan, sambil tersenyum riang.

Pembicaraan mereka berhenti karena pada saat itu Tami keluar dari kamarnya sambil membaca beberapa helai kertas di tangan. Gadis Jepang bermata sipit itu langsung menghempaskan diri pada sofa ruang tengah yang berada di samping kamarnya, seakan mengabaikan kedua temannya yang sedang berbincang-bincang di depan kamar mereka.

Diana mengangkat bahu sambil berjalan ke dapur untuk mencari leberwurst[1]sebagai menu sarapannya. Lalu, menatap Aimee yang masih berdiri di depan kamarnya dengan kebingungan. “Berkencan dengan yang kemarin? Kau sudah sarapan?”

“Sudah. Tadi aku menggoreng telur lebih. Kalau kau mau, bisa kau panaskan di microwave,” jawab Aimee, sejurus kemudian ia menghampiri Diana yang masih mengoleskan selai kacang di permukaan roti tawarnya. “Dia itu temanku,” kata Aimee membuka diri.

“Hmm?”

“Orang yang kubilang sebagai teman kencanku. Dia itu temanku. Mungkin akan kuceritakan padamu lain kali.”

Diana hanya tersenyum dan mengangkat alisnya menanggapi ucapan Aimee. Gadis Prancis ini aneh menurutnya. Ia tidak mengerti mengapa Aimee berputar topik menjadi pembicaraan tentang orang yang Diana-sendiri-tak-tahu-siapa-yang-dimaksud. Namun ia tak ingin ambil pusing, jadi lebih baik melahap leberwurst di tangannya. Hmm…

“Aimee…,” panggil Tami dari ruang tengah. Ia membalikkan posisinya pada Aimee yang masih berdiri di ruang dapur yang terletak di belakang. “Kapan kau mau bertemu dengan Chauncy Geffrey?”

“Apa? Oh, tidak hari ini. Aku sudah mengontak mereka, dan sampai sekarang masih menunggu balasan.” 

Tami menggaruk-garuk kepala sementara bibirnya juga menggerutu dengan suara yang sulit ditangkap Aimee dan Diana di dapur.

“Oh, ya, Tami.” Diana menyahut dari dapur. “Nanti siang aku akan ke Preussweg bertemu dengan teman-temanku.”

“Preussweg? Lalu skenariomu?”

“Bisa kukerjakan di sana, santai saja,” balas Diana tenang. Ia mengernyit, sementara kepalanya sibuk menilai gadis sipit itu. Aneh sekali, mentang-mentang diangkat sebagai asisten sutradara, hidupnya seperti hanya berkutat pada proyek saja. 

Sementara gadis sipit itu mendengus keras. Dibalikkan badan dan berhadapan kertas-kertasnya dengan wajah serius. Berusaha keras untuk memendam emosi ketika mendengar jawaban Diana.

·

“Jadi, kau mengambil proyek film itu, Di?”

Susan, salah seorang teman Diana yang sama-sama berasal dari Indonesia bertanya, ketika mereka bertemu di salah satu kafe di daerah Preussweg.

Diana tersenyum pada ketiga teman sesama Indonesia-nya. Mereka bertiga yang sangat karib dengan Diana saat studienkolleg[2]memilih untuk menetap dan belajar di sini, sebuah kota di daerah Aachen dan membuat Diana terpisah sendiri. Membuat Diana harus merelakan dirinya naik Zug[3] dari München tiap kali ingin bertemu mereka. Sekaligus merelakan diri menembus jarak yang lumayan jauh dan menempuh waktu yang lebih dari lima jam, demi bisa berbagi cerita. Seperti sekarang ini. Ia datang dan menyuguhkan cerita proyek Melodie der Liebe pada ketiga temannya. “Iya. Sebenarnya aku sangat keberatan. Waktuku jadi sangat sempit sehingga tidak bisa menonton pertandingan Mario Götze. Hanya saja…”

“Hanya saja?” sela Susan lagi.

“Aurich juga di sana. Ia ikut membuat proyek film ini beserta beberapa alumni kampus lainnya. Kemarin kami berkumpul dan aku begitu terkejut begitu menemukannya saat rapat pertama. Jadi…begitu deh.” Diana menjelaskan sambil menyesap gelas cappuccino-nya. Ia menatap ketiga temannya yang terlihat mengantre untuk memberi respon.

“Jadi… kau mengambil proyek itu karena Aurich? Senior yang sekarang menjadi alumni kampusmu, yang kau sukai itu?” Sarie, salah seorang teman Diana menyimpulkan.

Senyum Diana mengembang setiap kali otaknya mengingat Aurich. Lalu ia menjawab, “Iya. Karena kupikir, tidak ada lagi cara lain untuk bisa di dekatnya selain menerima kesempatan ini.” 

“Diana, pengagum berat Mario Götze yang tergila-gila dengan Aurich Manfred. Yang katanya, Aurich Manfred itu sangat mirip dengan Mario Götze. Kau tahu, Di, mereka berdua sama sekali tidak mirip.” Citra, teman Diana yang lain menimpali kalimat, yang mereka yakin sahabatnya ini sudah mendengar puluhan kali. Mereka masih tidak mengerti mengapa Diana menyerupakan dua pribadi yang bertolak belakang. Satunya pemain bola, yang satu lagi sebagai alumnus kampusnya.

Sarie mengambil alih situasi. Ia tahu kalau kalimat itu ditekankan lagi pada Diana, gadis itu akan menjelaskan opininya tentang kedua lelaki yang dimaksud tak ada habis. Jadi, lebih baik topik dialihkan, “Anyway, tadi kau bilang, Aimee Verall dan Tami Hiromasa menjadi teman apartemenmu, Di?”

Diana menatap Sarie dengan alis yang terangkat. “Iya. Kau kenal?”

“Tentu saja,” Sarie tersenyum bangga. “Si Jepang yang perfeksionis dan si cantik Prancis yang centil.”

Kening Diana berkerut, menuntut kejelasan perkataan Sarie. Bagaimana mereka bisa menyimpulkan sesingkat itu?

“Kami pernah berurusan dengan mereka dalam kasus yang berbeda. Tapi tenang saja, bukan hal yang besar,” jelas Citra ikut-ikutan.

“Maksudnya? Bisa kalian jelaskan?” desak Diana.

Susan berdeham. “Kami pernah bekerja sama dengan Tami Hiromasa pada salah satu event. Gadis Jepang itu perfeksionis sekali, terkadang ia terlalu individualis untuk bekerja kelompok. Menyebalkan. Dia juga sulit diajak bicara,” gerutunya kesal begitu menggali ingatan tentang Tami. Kerja sama yang paling buruk! Ia bersumpah, di antara orang yang paling egois ditemuinya untuk bekerja sama, mungkin Tami Hiromasa-lah ratunya!

“Aimee Verall pernah berurusan denganku dan beberapa temanku. Ia sering berkencan dengan lelaki yang sebenarnya sudah dimiliki gadis lain. Dan dia adalah salah satu alasanku memutuskan hubungan dengan Matt,” tutur Sarie sambil tersenyum masam begitu mengingat Matt. Lelaki asal Kanada yang pernah membuatnya jatuh cinta di negeri ini, dan harus ditinggalkan setelah ia sempat memergoki lelaki itu memegang mesra tangan Aimee di sebuah bar. Pemandangan yang menyesakkan.

Diana menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya, bisa saja ia tidak peduli pada apa pun yang diucapkan temannya. Mereka hanya beropini, dan siapa pun bisa melakukan itu. Tapi, kalau seandainya apa yang dikatakan mereka adalah kenyataan, apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi teman se-apartemen yang benar-benar menyebalkan? Oh, dear…

·

Aimee membenarkan posisi bando cokelat di kepala. Berkali-kali ia memeriksa ponsel selama perjalanan pulang menuju apartemen. Tadi, ia meminta pulang pada lelaki itu lebih awal demi bisa menggunakan sisa waktu untuk memeriksa data hasil casting dan melakukan tugas lainnya sebagai asisten casting director.Ditambah lagi, tadi pagi ia melihat sekilas wajah Tami Hiromasa yang terkesan tidak suka padanya. Setidaknya, pikiran yang tercampur aduk itu mendukungnya untuk bekerja lebih baik, terutama untuk menemukan kabar orang yang dicarinya.

Ponselnya berbunyi. Panggilan yang ditunggunya datang. Sederet nomor telepon dari Prancis.

Bonjour,Tiffany?” sapanya pada si penelepon. Ia menyesap lemonade di sebelah tangannya sebelum kembali membuka suara, “Bagaimana? Kau dapat kabarnya?” 

“…”

“Jerman? Bayreuth? Kau serius?”

“…”

“Baiklah. Aku mengerti. Merci beacoup.[4]” Aimee menutup panggilan.

Kabar dari keberadaan Chauncy Geffrey di Bayreuth sejak beberapa hari yang lalu telah didapatnya dari Tiffany, temannya di Prancis. Sebuah kabar yang membuat hatinya berdegup lebih kencang dan membuat egonya memimpin lebih cepat. Geffrey, ia ingin sekali menemui lelaki itu.

¸


 

[1] Salah satu menu khas Jerman berupa sosis yang mengandung cincangan hati.

[2] Sekolah persiapan bagi calon mahasiswa yang akan melanjutkan kuliah di Jerman.

[3] Kereta yang biasanya digunakan untuk perjalanan jarak jauh.

[4] Terima kasih banyak (dalam bahasa Prancis)