Contents
Hujan di Belanga (TAMAT)
1. Teman Tak Terperhatikan
“Kutidurkan kamu dalam hujan
Agar kamu tahu aku dekat denganmu
Seperti air dan bumi
Lalu memberimu nama..."
Jemari Jettro berhenti menorehkan bait berikutnya untuk puisi yang baru saja melintas di kepalanya. Diletakkannya buku tulis bergaris dan pulpennya, kemudian melongok keluar jendela. Di luar sana, ribuan butir titik air tipis, jatuh membasahi bumi. Musim penghujan, membuat kota yang dingin ini menjadi semakin dingin.
Jetrro merapatkan jaket sambil menarik napas dalam-dalam. Seketika, partikel-partikel kecil debu perpustakaan yang menyatu dalam udara, terhirup masuk ke dalam kerongkongannya. Ketika membayangkan berapa juta partikel yang pastinya mengandung polusi akan meracuninya, segera dia hempaskan lagi udara keluar dari kerongkongan, lalu duduk lemas di sofa.
Dia capek sekali. Jika saja bukan karena uang dan bukan karena paman Hendra, adik bungsu ibunya yang kini menjadi satu-satunya orang yang mau melindunginya, mungkin Jettro sudah asyik nongkrong di warung kopi dan kongko-kongko dengan pemilik warung di depan sana sambil merokok. Tapi, ya sudahlah.
“Tolong, buku-buku yang ada di kardus ini kamu susun rapi di rak sebelah sana, Jett. Paman sudah memberi label. Kamu tinggal meletakkannya sesuai abjad”
Jett mengangguk dalam posisi duduk enaknya di sofa itu. Sebetulnya, ingin sekali dia teriak, AKU CAPEK PAMAN!! Bisa gak aku istirahat sebentar aja??
Namun, itu mustahil dilakukannya. Jettro terlalu ngeri untuk dibilang; Anak-tidak-tahu-diuntung-sudah-ditolong-tetapi-melawan, oleh paman Hendra.
Maka dengan beringsut, dia mendekati kardus-kardus berisi buku-buku yang baru dibeli Paman Hendra dan mulai mengeluarkan isinya, satu demi satu.
Pamannya, tersenyum. Seolah puas sekali dengan hasil kerja keponakannya. Dia manggut-manggut hingga jenggot peraknya yang sengaja dia biarkan panjang itu bergoyang-goyang. Alis paman bertaut dan sesekali mengelus-elus jenggot kesayangannya ketika memperhatikan Jettro bergerak lincah tanpa banyak bicara. Persis seperti ayahnya.
Jettro melirik sekilas pamannya yang telah melangkah menjauh. Ah, paman, betapa beruntungnya aku memilikimu. Jettro membayangkan bagaimana hidupnya jika tidak ada laki-laki itu. Mungkin akan buruk.
Paman Hendra, adalah adik bungsu ibunya. Entah bagaimana sejak ibu dan ayahnya dinyatakan meninggal, Paman Hendra langsung menjadi wali asuhnya. Dia belum menikah, diusianya yang mendekati 45 tahun.
Sejak kecil, Jettro sudah mengenal pamannya itu sebagai dosen sekaligus seniman. Paman sengaja merelakan tiga perempat bagian rumahnya untuk dijadikan sanggar seni yang dinamai “Belanga’.
Sanggar ini berdiri di atas tanah satu hektar, terdiri dari rumah utama Paman Hendra, ruangan bengkel sastra untuk tempat pelatihan menulis, membaca puisi dan berteater. Di tengah sanggar ada pendopo utama untuk berbagai pertunjukan seni dan pameran. Ada juga balai pertemuan untuk berdiskusi para seniman dan kafe bersegmen ‘Young Adult’. Serta yang terakhir, tempat yang baru berdiri setahun yang lalu, yaitu perpustakaan khusus buku-buku sastra dan tempat baca lesehan yang dilengkapi Wi-Fi. Keinginan paman memang menjadikan sanggar seni Belanga ini semacam ‘One Stop Art’. Hebat!
Sementara Jettro? Hanya membantu usaha pamannya ini sebagai penjaga perpustakaan selepas pulang sekolah. Dia sendiri sebetulnya kurang suka membaca. Pusing. Sehari-hari, otaknya sudah dijejali pelajaran sekolah yang memuakkan. Kalau terpaksa harus membaca, apalagi bacaan sastra, bisa-bisa kepalanya meledak!
Ketika hal itu dia ungkapkan, paman tampak sedikit tidak senang. Bagaimanapun, Jettro tetap harus membaca karya-karya yang ada di perpustakaan Belanga. Ini adalah bagian dari jobdesc pekerjaan.
Kata paman, jika bekerja harus all out, jangan setengah-setengah. Setidaknya, kalau ada yang bertanya tentang isi buku yang akan mereka pinjam, Jettro tidak akan kebingungan lagi dan tidak harus bertanya-tanya pada karyawan lain. Ada benarnya juga, pikir Jettro. Sejak itu, dia mulai membuat agenda, jadwal dan target membaca buku-buku yang ada di Belanga.
“Bagus! Ternyata kerjamu cepat juga, Jett. Terimakasih, ya” ujar paman Hendra seraya terkekeh, “Paman yakin, dengan lay out yang baru seperti ini, semua makin betah membaca di sini”
Paman menepuk pundak Jettro sambil terkekeh-kekeh. Sementara yang ditepuk pundaknya hanya bisa tersenyum kecil yang dia sendiri sangsi paman bisa melihat senyumnya. Laki-laki itu kemudian menatap Jettro lama.
“Kamu persis seperti Papamu. Pekerja keras dan tidak banyak bicara. Aku bangga punya keponakan sepertimu. Kalau saja papa dan mamamu masih ada, tentu mereka akan bangga juga”
Mendadak, mata Jettro memanas. Begitulah tiap-tiap kali ada yang menyinggung soal kedua orangtuanya, hati Jettro langsung tak nyaman dan terasa tersayat-sayat.
“Kalau semuanya sudah beres, aku pamit pulang dulu, Paman” kata Jett cepat-cepat. Tujuannya adalah supaya paman keterusan membicarakan ayah dan ibunya yang telah tiada.
“Baik,” sahut paman “Hati-hati di jalan ya”
Sekelebat, Jett sempat melihat mata paman berkaca-kaca. Dia yakin paman juga sedih jika mengenang kedua orangtua Jettro. Cowok jangkung dengan tinggi 179 Cm, berumur tujuhbelas tahun itu segera membereskan buku tulis dan bulpen ke dalam tasnya, memakai jaket, helm, lalu meraih kunci motor yang ada di meja dan melesat pulang.
*
Seseorang meletakkan buku di meja untuk dicatat. Jettro hanya melihat bayangannya dengan ekor mata, tanpa menoleh. Dia masih sibuk di depan komputer, menata ulang data.
“Nomor anggotanya berapa?” tanya Jettro, dengan mata tetap ke layar komputer.
“Hmmm, kalau mau jadi anggota caranya bagaimana? Aku belum jadi anggota” jawab suara yang berasal dari seorang anak perempuan. Jettro menoleh, untuk melihat sosok yang sedari tadi diacuhkannya. Astaga! Jettro mengenal cewek yang kini ada di depannya, dengan seragam putih abu-abu berbalut hoodie kelas mereka yang berwarna Oranye.
“Lizkia?!”
Anak perempuan dengan wajah oval, berdagu lancip yang sangat ayu, bermata lebar yang jernih. Matanya bernaung pada sepasang alis tebal yang terbentuk indah alami. Gadis yang bernama lengkap Lizkia Oryza itu melempar senyum. Dia sebetulnya sudah melihat Jettro sejak masuk tadi dan agak sedikit surprise ketika melihat cowok itu.
“Kamu kerja di sini?”
Jettro mengangguk dan agak sedikit kikuk. Dia benar-benar tidak menyangka ada seorang teman sekelas yang ‘menemukannya’ di Belanga. Ini kejutan. Apalagi cewek itu Lizkia, cewek yang diam-diam sudah mencuri perhatiannya sejak kelas satu dulu.
“Mau jadi anggota?” tanya Jettro.
“Sebetulnya, yang mau nyewa buku ini bukan aku, sih. Tapi, gak apa-apa kan kalau aku yang jadi anggota?”
“Oh, gak masalah. Oke, aku butuh kartu pelajar kamu”
Lizkia mengeluarkan dompet, mengambil kartu pelajar, lalu menyodorkan ke Jettro.
“Biayanya berapa? Aku cuma punya uang sepuluh ribu. Kalau kurang, aku daftar besok aja deh”
Jettro tidak menjawab dan hanya melempar senyum sambil mencatat data di komputer, lalu menulis di kartu anggota. Selesai mencatat, Jett menyerahkan kartu anggota perpustakaan yang terbuat dari karton berwarna kuning pucat pada Lizkia. Liz menyerahkan lembaran sepuluhribuannya. Jettro menolak.
“Biaya pendaftarannya gratis, kok. Simpan aja uangnya buat jajan” kata Jettro. Lizkia tersenyum lebar. Jettro tak lagi bisa menghitung, berapa kali cewek teman sekelasnya di SMA Persada II itu tersenyum senang.
“Beneran? Wah, hari ini beneran surprise banget sih. Pertama, gak sengaja ketemu kamu dan ternyata kerja di sini. Kedua, biaya pendaftarannya gratis. Benar-benar gak nyangka. Malah kirain uangku bakal kurang”
“Tolong simpan kartunya baik-baik dan dibawa tiap-tiap datang. Peminjaman pertama ini aku gratisin deh karena kamu temanku. Nanti selanjutnya peminjaman maksimal 6 buku dan biayanya tergantung buku yang dipinjam. Kalau kamu mau tahu berapa harga sewa bukunya, ini...”
Jettro menunjukkan harga sewa yang tertulis dengan stiker kecil di cover depan buku yang dilapis plastik.
Lizkia mengangguk-angguk mengerti. Setelah itu, keduanya terdiam. Jettro kikuk dan tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Lizkia juga tampak bingung mau ngomong apalagi.
“Ya udah, kalau udah selesai, aku pulang dulu. Makasih ya, Jett. Sampai besok di sekolah” ujar Liz berpamitan sambil melambaikan tangan.
Jettro diam tidak membalas. Tubuhnya kaku. Di sekolah, Jettro dan Lizkia tidak pernah berkomunikasi. Jika tiba-tiba ketemu tidak sengaja seperti ini memang jadinya aneh sekali. Jettro ingin membalas lambaian tangan Lizkia, tapi tidak dilakukannya. Dia memutuskan untuk menangkupkan kedua telapak tangan dan membungkukkan badan sedikit.
“Makasih juga, hati-hati dijalan” ujarnya.
Lizkia terkekeh,
“Kamu membungkukkan badan ke aku?”
Jettro tersenyum malu. Dia menjelaskan pada Lizkia bahwa itu prosedur standar yang diwajibkan pimpinan sanggar kepada karyawan dalam menghadapi setiap yang datang ke sanggar ini, terutama perpustakaan. Pembaca perpustakaan adalah customer yang harus dihormati, kata Paman Hendra padanya waktu pertama kali Jettro bekerja. Meski kadang berat, Jett selalu melakukan tangkupan tangan dan bungkukan badan itu karena digaji. Lumayan, uangnya bisa buat jajan dan beli rokok.
“Daaaghh!!” teriak Liz sebelum punggungnya menghilang dari pandangan Jett. Cowok itupun menarik napas lega, lalu kembali ke tempat kerjanya sambil geleng-geleng kepala. Mimpi apa aku semalam bisa ketemu Lizkia di sini?, tawanya dalam hati.
Jettro senyum sendiri, mengingat apa yang dia inginkan sejak lama baru sekarang menjadi kenyataan. Iya, sejak kelas satu, Jettro hanya bisa melihat Lizkia dari jauh karena mereka beda kelas dan diluar dugaan, mereka ditakdirkan bersama dalam satu kelas di kelas dua. Tapi, meski sekelas, tidak pernah sekalipun Jettro mengobrol dengan Lizkia.
Lizkia anak yang supel dan ramah. Kepandaiannya tidak bikin Lizkia jadi anak sombong. Malah sebaliknya, hampir semua anak di sekolah mengenalnya. Di kelas, tidak satupun murid yang tidak pernah diajaknya ngobrol. Kecuali Jettro, mungkin. Itupun salahnya, bukan salah Lizkia. Jettro merasa tidak punya kepentingan apa-apa untuk mulai ngobrol dengannya. Lagipula, Lizkia selalu bersama Christian. Jadi, kalau tadi bisa mengobrol meskipun sebentar, itu sebuah keajaiban. Hati Jettro masih berbuncah senang ketika sebuah suara membangunkannya dari lamunan.
“Mas, saya mau pinjam ini”
Jettropun kembali pada pekerjaannya.
*
Dengan gembira, Lizkia berlari kecil keluar dari sanggar seni Belanga sambil membuka-buka buku pesanan Christian. Saking senangnya, dia menabrak seseorang yang sedang terburu-buru masuk ke Belanga.
“Ups, maaf!” ujarnya. Laki-laki yang ditabraknya hanya mengangguk pelan, sambil mengangkat tangan, tanda bahwa dia ‘baik-baik’ saja. Dia memakai jaket kotak-kotak coklat dengan tudung kepala hampir menutupi seluruh wajahnya hingga Lizkia tidak bisa mengenali.
“Sekali lagi maaf ya, Mas”
Lizkia melihat Christian, sedang duduk di teras pos keamanan di ujung gang. Dia menghampiri.
“Chris!!” panggilnya. “Gue nemu buku yang lo cari nih,” lanjutnya, sambil menyodorkan buku itu.
Cowok berkulit putih bersih, berwajah melankolis dengan rambut poni yang selalu jatuh ke dahi itu menerima buku dari Lizkia. Mata Chris membesar seketika. Itu novel karya J.B Mangunwijaya, Burung-burung Manyar. Christian senang.
“Bener yang itu, kan?” tanya Lizkia.
“Iya, benar! Akhirnya, ketemu juga! Ini buku yang selama ini gue cari-cari! Makasih ya, Liz!”
“Sama-sama...”
Mereka pulang berjalan kaki menuju jalan raya.
“Kenapa sih lo gak mau kesana sendiri? Lo terlalu pemalu ah! Gue gak suka! Kapan-kapan, lo sendiri ya yang kesana” ujar Liz ditengah perjalanan pulang mereka.
Christian bungkam karena asyik membolak balik halaman novel. Kupingnya mendengar apa yang Lizkia katakan, tapi dia memilih mengacuhkannya. Betul. Tadi dia terlalu malu untuk masuk kesana, jadi hanya mengutus Lizkia untuk mencarikan buku yang dicarinya.
“Tempatnya nyenengin banget. Sejuk dan asri. Kayaknya lo bakalan betah deh di sana. Buku sastranya ratusan. Judulnya macam-macam. Sayang, gue gak hapal karya sastra. Gue hanya cari novel pesanan lo aja”
“Oh, begitu?” komen Christian.
“Terus, ada lesehan untuk baca, ada kafe, ada Wi-Fi-nya juga. Chris, ajak gue kesana lagi, ya kalau lo mau cari buku-buku sastra lainnya. Lo juga bisa daftar dan biayanya gratis”
Christian menoleh dan menautkan alis. Lizkia mengangguk-angguk, membenarkan kata-katanya sendiri.
“Pendaftarannya gratis. Buku yang lo pegang itu juga gratis sewa”
“Sewa ini gratis??” Christian mengacungkan novel itu “Kok bisa??”
“Lo pasti juga gak nyangka. Penjaga perpustakaannya, teman kita sendiri; Jettro! Lo pasti tahu, kan? Cowok pendiam yang duduknya paling pojok belakang!” kata Liz semangat.
“Jettro Hendra?”
“IYA!!”
“Dia?”
“Gue gak nyangkaaa banget, kalau tadi itu Jettro. Kirain selama ini dia itu sombong. Seumur-umur, baru kali ini gue ngobrol sama dia” Liz berhenti sebentar, “Ternyata, anaknya baik banget !!” ujarnya dengan pekik tertahan.
Sambil berkata begitu, mata Liz menewarang, membayangkan Jettro. Satu dari sekian murid yang tidak pernah dia perhatikan di kelas. Atau, karena mungkin orangnya tidak suka cari perhatian? Jettro memang sangat pendiam. Tidak pernah bicara di dalam kelas. Tidak pernah terlihat mengobrol dengan siapapun. Datang suka telat, pulang paling duluan. Istirahat juga suka menghilang. Tapi, kenapa tadi dia cerewet dan ramah sekali? Banyak melempar senyum lagi! Lizkia geli sendiri mengingat gerakan Jettro menangkupkan tangan dan membungkuk di depannya tadi.
Christian memandang temannya itu heran.
“Kenapa, Liz?”
“Ah, enggak!” Liz buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tidak ingin Chris melihatnya senyum-senyum.
“Kok senyum-senyum sendiri. Hayoo.., Lo suka ya sama dia??” tembak Christian.
“Sama siapa??” Liz geragapan.
“Sama Jettro”
“Idddih...”
“Oooh,” Chris menjentikkan jarinya “Gue ngerti. Pantesan aja elo bakal senang kalo kesana lagi. Ada Jettro, kan?”
“Sembarangan! Enak aja ngomong!” Liz meninju lengan Chris.
“Enggak apa-apa, Liz. Bilang aja kalo suka. Move on dong, move on..”
“Apa siiih!!”
Lizkia garuk-garuk kepala yang gak gatal sambil senyum kecut. Dia paling sebal jika perasaan yang belum tentu benar itu jadi bahan ejekan sama Christian. Sementara Christian tertawa-tawa dan makin semangat meledek. Dilihatnya, wajah sahabat sejak kecilnya itu sudah memerah seperti semangka.
***