Contents
Before Wedding
BAB 4: Aku Akan Mencintaimu; Kalau Itu Memang Perlu
Acara Temu Media yang diadakan satu tahun sekali itu, berjalan dengan lancar. Banyak perwakilan media daring yang datang ke acara. Mulai dari media online paling populer seperti Lentera Media, MitMi, sampai media daring kecil seperti HaloNona. Yah, banyak media daring yang baru bermunculan, start-up di Indonesia cukup menjamur.
Pada akhirnya, Lentera mengenakan rok jean selutut berwarna light blue dengan aksen kancing hidup sampai lutut. Ia padukan rok dengan kemeja putih yang ia masukkan ke dalam rok.
Lentera duduk dan berkenalan dengan beberapa orang dari media lain. Beberapa orang lainnya, ia sudah mengenalnya lewat dunia maya maupun kenal secara langsung. Biasanya, tugas untuk datang ke acara ini merupakan Deenar sendiri. Lentera hanya mendengar dari cerita-cerita Deenar, bahwa tiap tahun ada saja media yang harus gulung tikar.
“Semoga HaloNona bertahan,” begitu harapan Deenar, yang selalu disambut ucapan mengaminkan dari anak buahnya.
“Eh, itu Gilang, ya?” Ers, perempuan wakil dari Renjana Media berkomentar, ketika melihat Gilang maju ke depan. Lelaki itu mendapatkan penghargaan karena Lentera Media menduduki nomor satu media online tahun 2019. Tentu saja, HaloNona tidak ada di nominasi.
“Yah,” sahut Lentera. “Dia Gilang.”
“Kalian satu kota, kan?” sahut Filan.
“Begitulah,” jawab Lentera, enggan. Selain masalah pribadi, Lentera juga cukup iri dengan kemajuan Lentera Media. Seandainya saja Deenar mengizinkan HaloNona memiliki tema lain, selain tema perempuan, mungkin HaloNona akan sebesar Lentera Media. Sayangnya, Deenar tipe orang yang menjunjung prinsip tinggi.
“Tampan, sukses, berkarakter. Boleh juga,” tambah Ers. Perempuan berambut bob itu tak mengalihkan pandangannya dari Gilang. Seperti dugaan Lentera, lelaki itu dikagumi hampir seluruh perempuan di Indonesia. Baiklah, ini hiperbola.
Semua peserta Temu Media terbius dengan pesona Gilang. Padahal, lelaki itu hanya mengenakan kaus berwarna putih, celana jeans dan kemeja yang ia biarkan tak terkancing. Namun, banyak perempuan yang terpesona kepadanya. Beberapa orang tertawa ketika dia melemparkan lelucon, yang sebenarnya menurut Lentera sangat garing.
Setelah selesai memberikan beberapa ucapan terima kasih, Gilang kembali ke tempat duduknya yang berada di sebelah meja Lentera. Sejenak, Lentera melihat lelaki itu, begitu juga sebaliknya. Dengan sigap, Ers, beranjak dari kursinya dan menghampiri Gilang.
“Halo, Gilang,” sapa Ers. Lentera menajamkan telinganya, mendengarkan apa yang akan Ers ucapkan pada Gilang. “Aku Ersa,” tambahnya.
“Oh, hai,” balas Gilang. “Aku Gilang.”
“Yah, aku tahu. Gilang, Pemilik Lentera Media, sukses di usia muda,” sahut Ers. “Siapa yang tak kenal?”
“Kau berlebihan, tetapi terima kasih,” balas Gilang.
Lentera bangkit dari tempat duduknya, ketika pembawa acara mengakhiri acara dan mempersilakan para tamu undangan untuk menikmati makan malam. Ia sudah tidak tertarik dengan obrolan Ersa dan Gilang. Terlihat keduanya sedang seru mengobrol, entah mengenai apa. Memang Gilang lelaki yang mudah bergaul dan enak diajak bicara. Tentu saja, obrolan mereka seru sekali.
Perempuan itu mengambil piring dan mengisinya dengan sayur brokoli, nasi dan ikan salmon saus lemon. Setelah itu, Lentera mengambil secangkir kopi. Di saat itulah, Gilang berada di sebelahnya, mengambil secangkir teh tanpa gula.
“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Gilang. Lelaki itu mengamati Lentera yang sedang mengambil piringnya.
“Makan siang,” sahut Lentera. “Yang kesorean,” tambahnya. Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul dua sore bagian Bandung. “Kau tidak makan?”
“Teh saja,” jawab Gilang. Lentera mengangguk, kemudian meninggalkan Gilang dan kembali ke mejanya. Tetapi, lelaki itu mengikutinya dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Ers.
“Selamat,” ucap Lentera. Dia menyesap kopinya. “Atas Lentera Media,” sambungnya. “Aku tulus, omong-omong dan sedikit bangga.” Dan juga iri.
Gilang tersenyum, “Terima kasih.”
“Sama-sama,” balas Lentera. “Aku akan makan.”
“Silakan,” balas Gilang. Lelaki itu kemudian mengecek ponsel pintarnya, menekan sesuatu di sana. Kemudian dia berkata, “Aku ada urusan sebentar. Kau jangan ke mana-mana,” dia berkata pada Lentera tentu saja. Seperti biasa, tanpa menunggu jawaban Lentera lelaki itu pergi.
“Selalu saja.”
***
Aku sudah bilang pada kau, jangan ke mana-mana, ckckck
Lentera membaca pesan dari Gilang, tepat ketika dia baru saja merebahkan diri pada kasur di kamar hotelnya. Setelah membaca pesan tersebut dia meletakkan ponselnya begitu saja. Tidak peduli dengan pesan Gilang. Lalu, Lentera melepaskan bajunya, dan masuk ke kamar mandi.
Dia sama sekali tidak mendengar dering telepon berkali-kali dari Gilang. Sampai ia selesai mandi satu jam kemudian. Baru itulah, Lentera mengangkat telepon dari Gilang.
“Kau di mana?” tanya Gilang.
“Di kamar. Ada apa?”
“Datanglah ke kolam renang,” ucap Gilang, kemudian telepon terputus. Lentera kesal sekali, lelaki itu suka sekali berbuat sesuka hatinya. Dia mendesah, kemudian mengecek aplikasi perpesanannya.
Pada aplikasi itu, Lentera mengirim pesan kepada Raka. Sejak tadi pagi dan sampai sekarang pesan tersebut hanya centang satu. Lentera sudah mencoba menghubungi lelaki itu, tetapi tidak tersambung.
Lentera mendesah. Mungkin, Raka masih dalam perjalanan atau entah ke mana dia. Terkadang, Lentera dilema dengan sikap Raka. Kekasihnya itu jarang sekali menunjukkan emosinya. Bahkan, ketika membaca catatan di tepi buku yang ditulis oleh Gilang.
Raka tidak bereaksi apa-apa. Dia hanya tersenyum kecil dan mengembalikan buku itu pada Lentera. Bahkan, Raka tidak mempermasalahkan hubungannya dengan Gilang. Semestinya, untuk laki-laki yang mengajaknya menikah, Raka akan marah dengan perjodohan ini dan mungkin cemburu?
Cepatlah, Perempuan Pembenci Hujan
Sebuah pesan masuk, dari Gilang.
“Aku tidak benci hujan,” lirih Lentera. Dia segera berganti pakaian, mengenakan rok yang dipakainya pada acara tadi dan mengenakan kaus lengan panjang berwarna merah muda. Setelah meraih tas bahunya, Lentera segera keluar kamar dan menuju kolam renang yang berada di lantai atas.
***
Lentera naik ke lantai 5 di hotel Crowne Plaza Bandung, tempat dia menginap di acara Temu Media. Gilang berkata lelaki itu ada di kolam renang, yang seharusnya lelaki itu di sana. Pada kenyataannya, Lentera tidak menemukan lelaki itu.
Kolam renang di hotel ini, berada di rooftop tepat di tepi gedung, sehingga langsung menghubungkan dengan pemandangan Bandung. Pada sisi-sisinya dibatasi oleh dinding kaca. Pada sisi lain terdapat restoran kecil, untuk bersantai bersama keluarga.
Lentera mengedarkan pandangan ke sekitar kolam renang, dia belum menemukan Gilang, hanya ada beberapa orang berenang di sore hari sembari bermandikan sinar matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Dia pun sudah mengirim pesan kepada lelaki itu, bertanya posisinya berada di mana. Tapi, lelaki itu tak kunjung membalasnya.
Tepat ketika Lentera hendak pergi, dia melihat laki-laki yang baru saja keluar dari kolam renang. Lelaki itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana renang berwarna hitam. Untuk beberapa waktu, Lentera tidak berkedip sampai lelaki itu melihatnya.
“Ah, kau lama sekali,” ucap lelaki itu, yang ternyata adalah Gilang.
Gilang mengambil handuk dari tempat duduk di tepi kolam, mengeringkan rambutnya yang basah. Kemudian, dia mengambil air mineral dari tempat yang sama dan meminumnya. Lentera memperhatikan setiap gerak gerik Gilang, sampai-sampai ia lupa untuk bernapas.
Dada lelaki itu sangat bidang, perutnya rata meskipun tidak atletis dan tidak kerempeng. Singkat cerita, tubuh Gilang mengalihkan dunia Lentera. Bahkan, Lentera sempat berpikir, tubuh lelaki itu lebih menarik daripada milik Raka.
“Astaga, aku pasti sudah gila,” lirih Lentera.
“Sampai kapan kau akan berdiri di situ?” celetuk Gilang.
Lentera menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya, dia berusaha untuk mengatur emosinya. “Ada apa?” tanyanya, tanpa basa-basi.
“Apa rencanamu hari ini?”
“Entah. Ers mengajakku keliling Bandung,” jawab Lentera. Sebelum ke sini, Ers mengajak Lentera untuk keliling Bandung. Dia mengajak ke Jalan Braga.
“Denganku saja,” putus Gilang.
“Apa?”
“Ers juga mengajakku tadi, aku menolak. Kubilang ada janji lain,” jelas Gilang. Lelaki itu sedang mengelap tubuhnya, sedangkan Lentera berdiri di sisinya. “Kau pergi saja denganku.”
“Tidak,” tolak Lentera.
“Aku tidak meminta persetujuan,” balas Gilang. Lelaki itu berjalan meninggalkan Lentera, sebelum itu dia berkata, “Aku jemput pukul tujuh di kamarmu.”
Lentera menyamai langkah kaki Gilang. “Kenapa kau menyebalkan sekali? Seenaknya sendiri, menyuruhku ini dan itu, memangnya kau siapa?”
“Calon suamimu,” balas Gilang enteng. “Lagi pula, ada yang ingin aku bicarakan mengenai HaloNona.”
“Apa?”
“Aku jemput pukul tujuh.”
***
Gilang menjemput Lentera tepat pukul tujuh malam, keduanya berangkat ke Jl. Braga, berjalan bersisian, menikmati keramaian Jl. Braga di malam hari.
“Temanku bilang Jalan Braga mirip Jalan Legian, Bali,” ucap Lentera. Dia sesekali berhenti melihat seniman yang memamerkan lukisannya di tepi jalan. “Ternyata, memang mirip. Hanya saja, Bali lebih ramai. Kau tahu, banyak turis dengan aroma alkohol di mana-mana.”
“Yah, aku pernah menginap di sana,” balas Gilang. “Kau mau makan apa?”“Belum ingin,” sahut Lentera.
“Baiklah, kalau begitu ayo ngopi saja,” putus Gilang. Lelaki itu mengajak Lentera ke salah satu kafe yang berada di Jl. Braga, Lentera mengikutinya. Seperti biasa, Lentera memesan kopi dan Gilang secangkir teh.
“Kau bilang ngopi, tetapi kau pesan teh,” tukas Lentera, setelah mereka mendapatkan minumannya.
“Aku tidak suka kopi.”
“Nah, kan,” sahut Lentera. “Kita memang tidak cocok.”
Gilang tertawa, “Kau menentukan ketidakcocokan kita dari apa yang kita pesan?”
“Itu bisa menjadi salah satu faktor,” Lentera mengangkat bahunya. Dia mengaduk kopinya, detik berikutnya dia mendengar air jatuh dari langit. Lentera mendesah. “Benar-benar sedang musim hujan, ya.”
Perempuan itu mengecek ponselnya. Ada pesan dari Deenar. Beberapa pesan dari grup HaloNona dan tidak ada pesan dari Raka. Dahi Lentera bertekuk, dia mendesah dan semua gerak geriknya itu diperhatikan oleh Gilang.
Lelaki di depan Lentera mengetuk meja tepat di depan Lentera dua kali, “Siapa yang kau tunggu?”
“Raka,” sahut Lentera. Dia sama sekali tidak peduli dengan perasaan Gilang. Dan dia tahu, Gilang tidak akan merisaukan hal semacam ini. “Sejak tadi pagi, nomornya tidak aktif.” Dia kembali mendesah.
“Ada aku di sini, kenapa kau masih memikirkan lelaki lain?”
“Kenapa aku harus memikirkan kau, kalau kau ada di depanku?” balas Lentera. Keduanya tertawa kecil. “Aku tidak membenci hujan, omong-omong.” Gilang menaikkan kedua alisnya. “Tadi kau memanggilku, ‘Perempuan Pembenci Hujan’ dan aku tidak membencinya.”
“Kau selalu menggerutu kalau hujan turun,” balas Gilang.
“Karena hujan identik dengan kesedihan dan aku tidak suka itu.”
“Itu hanya stigma masyarakat saja. Parahnya, banyak yang menghubungkan hujan dengan kesedihan, muram, musibah, dan hal menyebalkan lainnya.”
“Charlie Chaplin berjalan di bawah hujan untuk menyembunyikan kesedihannya, kau tahu?”
“Lelaki lucu dengan kumis dan topi itu?”
“Ya.”
Gilang diam. Dia sedang berpikir. Lentera menunggu pendapat lelaki itu. “Bukan hujan yang membuatnya sedih, justru hujan membantunya untuk menyembunyikan air matanya. Kau tahu, lelaki itu identik dengan tawa. Dia hanya tak ingin orang lain tahu, dia sedang bersedih.”
“Kau benar-benar suka berdebat, ya.”
“Aku hanya sedang berkomunikasi denganmu, kau tahu itu.” Gilang beranjak dari tempat duduknya, menuju ke kasir dan memesan sesuatu. “Aku pesan makanan.”
“Oke.”
Gilang mengeluarkan ponselnya. Kemudian, dia memasukkannya lagi. Lentera baru menyadari, bahwa sejak tadi lelaki itu tidak mempedulikan suara pesan masuk dari ponselnya. Hanya ketika ada dering telepon saja, itupun dia tidak mengangkatnya.
“Kenapa tidak kau jawab?”
“Dari Dion, anak LM. Bisa aku jawab nanti,” jawabnya santai. Gilang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Lelaki itu memperhatikan Lentera. Kemudian, dia tersenyum.
“Kenapa?” diperhatikan seperti itu, mau tak mau membuat Lentera tersipu dan hampir salah tingkah.
“Sejujurnya, kau sama sekali tidak cantik,” tukas Gilang. Mata Lentera membulat, tidak mengerti. “Rambutmu tidak halus, kulitmu pun tak putih bersih, hidungmu lumayan mancung, bibirmu juga tidak seksi.”
Lentera mendesah, kesal. Selama hidupnya, dia tidak pernah dikomentari buruk mengenai fisiknya. Terutama oleh laki-laki. Dan sekarang, lelaki di depannya ini berkomentar macam-macam mengenai wajahnya.
Baru saja Lentera ingin memaki Gilang, lelaki itu berkata, “Tetapi aku suka melihatnya.”
Kemarahan Lentera mereda, entah kenapa. Lalu, pramusaji datang membawa dua piring nasi goreng ke meja mereka.
“Apa kau mengajakku keluar sekadar ingin mengolok-olok rambutku?” tukas Lentera.
“Tidak, aku hanya ingin mengobrol denganmu. Ketika di Surabaya, kita tak punya banyak waktu untuk ini.”
“Mengenai perjodohan kita,” Lentera mengambil jeda, “Kau sudah memikirkannya dengan baik? Maksudku, apa kau serius dengan perjodohan ini?”
Gilang menatap Lentera. “Apa kau pikir, aku sedang bercanda?”
“Kenapa? Kau tidak mencintaiku, kenapa harus menikah denganku?”
Bagi Lentera, pernikahan tanpa adanya perasaan cinta itu omong kosong. Tidak akan bisa bertahan lama. Terlebih lagi, dia tidak percaya dengan pernikahan. Yang saling mencintai pun bisa saling menyakiti, sampai akhirnya berpisah, apalagi yang tidak memiliki perasaan sama sekali?
“Aku akan mencintaimu, kalau itu memang perlu.”
Sungguh, Lentera tak pernah mengerti jalan pikiran laki-laki di depannya ini.
“Aku cinta kau, Lentera.”
***
“Kau tidak boleh sembarangan mengatakan mencintai seseorang,” tukas Lentera. Keduanya masih berada di dalam kafe di Jl. Braga. Hujan di luar semakin deras, bahkan terdengar suara guntur serta angin yang cukup kencang.
“Kenapa begitu?”
“Kalau kau mengatakannya dengan mudah, tanpa beban dan rasa khawatir. Kau tak benar-benar mencintainya,” balas Lentera. “Cinta datang tak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga penderitaan. Tak banyak orang yang bisa berkata jujur mengenai perasaan mereka. Lebih parah lagi, ketika dia tak menyadari perasaan mereka sendiri.”
“Bagaimana bisa kau menilaiku tidak mencintaimu dengan sungguh-sungguh, hanya karena aku bisa mudah mengatakannya?”
“Kau punya kekasih,” balas Lentera.
“Sudah kukatakan pada pertemuan kedua kita. Aku akan menikah denganmu, ada tidaknya kekasihku.”
“Sinting!”
“Sudah banyak yang berkata demikian. Aku hanya lelaki yang mudah mengungkapkan perasaannya, itu saja.”
Gilang melihat ke arah luar kafe, hujan sudah mulai reda. Malam semakin gelap. “Sudah pukul sepuluh. Kau mau lanjut jalan-jalan atau pulang?”
“Pulang saja,” sahut Lentera. “Aku ingin tidur.”
Mereka memesan taksi online untuk kembali ke hotel. Dalam perjalanan, mereka tak banyak bicara. Lentera lebih memilih melihat ke luar jendela mobil, melihat orang-orang bergelut dengan sisa-sisa hujan. Mobil yang mereka tumpangi terjebak macet dan itu membuat Lentera kesal. Ia pun, jatuh tertidur.
“Kita sudah sampai,” ucap Gilang. Dia baru menyadari Lentera tengah tertidur sembari bersandar pada kursi mobil, kepalanya bersandar pada kaca jendela. Gilang tertawa kecil. Dia merasa heran, kenapa perempuan ini mudah sekali tertidur.
Gilang menyentuh bahu Lentera, menggoyangkannya perlahan. “Kita sudah sampai,” lirihnya. Lentera membuka mata, kedua matanya memicing. “Kau mengantuk sekali, ya?”
Perempuan itu mengangguk singkat, meraih tas bahunya dan keluar mobil. Gilang mengikutinya dari belakang, memastikan perempuan itu baik-baik saja.
“Aku akan mengantarmu ke kamar,” ucap Gilang, dia memencet tombol lift.
“Tidak perlu,” balas Lentera. Dia bersandar pada dinding lift. Tenaganya benar-benar habis. Ketika pintu lift terbuka, Lentera keluar, Gilang mengikutinya. “Sudah kubilang tak usah diantar.”
“Aku memaksa,” balas lelaki itu.
Lentera mengeluarkan kunci kamar hotelnya, yang berupa kartu. Dia menempelkannya ke pintu. “Oke, terima kasih.”
“Kau baik-baik saja?” tanya Gilang.
Lentera mengangguk. “Aku hanya mengantuk. Itu saja.”
“Baik.”
“Ah iya,” seru Lentera. “Kau bilang, mau membicarakan mengenai HaloNona.”
“Kalau sudah di Surabaya saja.”
Lentera mendesah. Gilang melihat ke arahnya. “Ada apa?”
“Aku ingin menarik kata-kataku,” ucap Gilang. Lentera mengerutkan kening. “Soal bilang kau tidak cantik.”
Lentera tersenyum singkat, kemudian hendak berbalik. Akan tetapi, Gilang mencekal pergelangan tangannya. Lelaki itu menariknya, kemudian mencium bibirnya. Ia merasakan napas Gilang memburu. Awalnya, Lentera hanya merasakan bibir Gilang menempel pada bibirnya, kemudian Gilang mulai melumat bibirnya. Ia merasakan tangan Gilang menarik pinggulnya lebih kuat. Lentera mencoba meronta, tetapi tenaganya habis.
“Kau …,” tukas Lentera, setengah berteriak ketika dia berhasil melepaskan pelukan Gilang. Seperti halnya dengan Gilang, napasnya juga memburu. Dia melihat ke arah lelaki itu. Tatapan lelaki itu tak ubahnya dengan dirinya.
Alih-alih menarik diri dari Gilang, Lentera justru melangkahkan kakinya ke arah lelaki itu. Membiarkan Gilang menciumnya lagi dan lagi.
Malam itu, Gilang bermalam di kamar Lentera.
***