Contents
Ros dan Chandra
2. Rumah Baru
Rumah besar berwarna putih itu membuatnya gentar.
Ros mencengkeram tas kain butut berisi pakaiannya. Mobil sudah berhenti di depan rumah juragan Hendrik tapi ia masih duduk di jok belakangnya. Tadi pagi dia dijemput dari kampung oleh sopir juragan dan sampai saat ini dadanya masih bergemuruh, akibat menahan perasaan. Lia dan Jaya, kedua anak itu menangis tersedu-sedu melepasnya pergi. Berbeda dengan ibunya, yang hanya berdiri mematung di pagar kayu depan rumah, sambil sesekali menyeka ujung matanya.
Rumah besar putih itu akan menjadi rumah barunya, entah sampai kapan.
Suara lelaki berdehem, membuatnya terlonjak.
“Ros … hayu atuh turun.”
Pak Amin, sopir keluarga juragan Hendrik, membukakan pintu mobil baginya sambil tersenyum. Ros menyukainya. Pak Amin mengingatkan Ros pada almarhum Bapak.
Perlahan Ros keluar dari dalam mobil. Tangannya masih mencengkeram erat tas. Kedua kakinya seolah lemas tak bertenaga.
“Mau Bapak bawakan?” Tangan Pak Amin menunjuk ke tas dalam pelukannya.
Ros menggeleng. Rasanya tak pantas meminta sopir membawakan tasnya. Dia bukan majikan, melainkan calon pembantu.
“Hayu atuh.” Pak Amin memimpin jalan di depannya. Ros menarik napas dan berusaha untuk berhenti gemetaran. Dia merasa seperti seekor hewan ternak yang sedang digiring ke rumah jagal.
Ketika mobil memasuki halaman tadi, Ros bisa melihat pekarangan depan rumah itu luas sekali. Setengahnya dipenuhi berbagai tanaman yang indah. Ros mengenali bunga mawar, sedap malam dan bougenville. Tepat di tengahnya ada sebuah bangku taman berwarna cokelat. Asri sekali.
Di satu sisi halaman terdapat garasi besar, bersebelahan dengan sebuah ring basket yang cukup tinggi. Terlihat ada dua mobil yang terparkir. Ditambah mobil yang tadi mengantarkannya ke sini, sebetulnya ada berapa buah mobil yang juragan Hendrik punya?
Pak Amin mengarahkannya menuju garasi. Di belakang dua mobil yang terparkir, ada pintu yang terbuka lebar.
“Assalamualaikum!” Pak Amin menanggalkan sandalnya dan menyimpannya dengan rapi di sebuah rak sepatu di sebelah pintu masuk.
Ros mencontohnya. Sandal jepitnya yang berwarna biru, dia letakkan bersisian dengan sandal Pak Amin. Aduh, jelek sekali sandalnya itu!
“Wa alaikumsalam!”
Seorang perempuan paruh baya bertubuh lebar datang menyambut mereka. Wajahnya berseri-seri, jenis orang yang senang tertawa. Dia mengenakan celemek berwarna putih di luar daster batiknya.
“Eeh … hayu hayu masuk ….” Perempuan itu tersenyum menatap Ros.
“Ibuna aya pan? Tacan angkat?[1]” Tanya Pak Amin.
“Ayaaaa … pan nuju ngantosan si Neng ieu, saha namina?[2]” Lengan gemuk perempuan itu menunjuk Ros.
“Ros.” Suaranya lirih menjawab.
Pak Amin bergegas mengambil kembali sandalnya yang tadi ia simpan di rak sepatu. Ros memandanginya bingung, seolah takut ditinggalkan. Dia merasa seperti anak hilang.
“Nya tos atuh, abdi ka kantor deui weh. Bilih Bapak peryogi[3].”
Selesai memakai sandalnya lagi, Pak Amin menoleh ke Ros. “Tos di dieu we sareng Bi Ida nya[4]. Nanti ketemu Ibu. Assalamualaikum!”
Belum sempat Ros menjawab, lelaki itu sudah melangkah pergi menuju halaman depan. Ros menelan ludah, dia mulai merasa gugup lagi. Tak berani dia mengangkat wajah. Tatapannya dia arahkan ke petak-petak keramik yang dilihatnya di dalam ruangan dari pintu yang terbuka.
Bik Ida mengawasinya sambil tetap tersenyum. Rupa gugup Ros terasa lucu baginya. Dari pertama melihatnya Bik Ida memutuskan dia sudah menyukai Ros yang terlihat pemalu. Kini Bik Ida akan memiliki teman untuk bersama-sama mengurus rumah majikan.
“Hayu Ros … Ibu sudah nunggu.” Bik Ida menggamit gadis itu masuk.
Ros memasuki rumah besar bercat putih itu dengan perasaan campur aduk. Ini adalah babak baru dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya Ros harus bisa bertahan sendirian.
***
[1] Ibunya ada kan? Belum berangkat?
[2] Ada, kan sedang menunggu si neng ini, siapa namanya?
[3] Ya sudah, saya ke kantor lagi, takutnya Bapak ada perlu
[4] Sudah di sini saja sama Bik Ida ya