Try new experience
with our app

INSTALL

Ros dan Chandra 

1. Keputusan Berat

Wanayasa, 1995.

Rumah lapuk itu dia pandangi lekat-lekat. Dinding temboknya yang sudah retak di beberapa bagian akan teramat dia rindukan. Kamar kecilnya yang ditempati bersama dua adiknya mendadak menjadi tempat terindah yang sulit dia tinggalkan. Bahkan poci teh kumal yang ada di sudut dapur seolah menahannya pergi. Semua ini terlalu menakutkan.

"Ros ...."

Tangan Ros terhenti di udara. Kaus ungu pupus yang tadi hendak dilipatnya hanya teronggok pasrah. Kedua matanya memanas. Ia tahu ibunya mematung di sana, ragu untuk sekadar mencolek punggungnya. Ibunya selalu begitu, tak pernah bisa mengungkapkan kata-kata dan memilih menanggung kesakitan sendirian.

"Aya surat ..."

Ketika akhirnya suara ibunya terdengar, Ros tahu dia telah mengumpulkan keberanian begitu besar. Tangan keriput ibunya terulur dari samping kirinya, mengangsurkan sehelai amplop putih bergaris merah biru di pinggiran. Amplop seharga 50 perak di warung Ceu Tarsih.

Ros memandangi surat itu. Tanpa informasi apa pun dari ibunya, ia sudah paham. Siapa lagi selain Deden yang akan mengiriminya surat, di hari terakhir ia menghuni rumah ini.

"Ros ..."

Suara ibunya tersendat. "Tos atuh tong nangis wae[1]."

Bagaimana bisa?

Ringan sekali bagi ibunya untuk berkata begitu. Bukan ibunya yang harus pergi dari sini, dan menjadi pembantu di rumah orang. Melainkan dia, yang baru saja naik ke kelas 2 SMA.

"Nanti di rumah Juragan Hendrik, kan kamu bisa tetep sekolah. Ibu juragan sudah bilang ke Emak."

Isak Ros kini tak tertahan lagi.

"Kita tidak ada pilihan lagi, Ros. Pikirkan adik-adikmu."

Ya, selalu begitu. Selalu kedua adiknya yang harus dia pikirkan.

Bukan dia tak mau, sungguh. Sebagai anak perempuan tertua, dia memang berkewajiban menyumbangkan tenaga demi kelangsungan hidup keluarga ini. Meskipun dia memiliki seorang kakak lelaki, tapi kehidupan rumah tangga kakaknya yang serba pas-pasan tidak memungkinkan untuknya menggantungkan hidup. 

Dulu masih ada Bapak yang bekerja. Penyakit TBC membuatnya harus diistirahatkan dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik. Sekarang Bapak sudah tak ada. Bapak menyerah pada penyakit yang telah menggerogotinya selama bertahun-tahun. 

Ia sangat tahu. Namun ini sungguh berat. Bagaimana mungkin ia akan bisa tinggal di rumah orang asing, yang hanya ia kenal lewat sepotong nama? Bagaimana dia akan hidup di sana nanti? Apakah mereka orang baik? Apakah mereka akan menerimanya dengan baik? Bagaimana dengan sekolah barunya nanti? 

Ia tergugu di atas baju-baju yang selesai dilipat, yang kini sebagian menjadi lembab karena ditumpahi air matanya.

“Ros ….”

***

Lipatan kertas bergaris yang jelas disobek dari buku tulis itu dia buka.

Assalamualaikum.

Ros,

Aa baru tau kalo kamu mau pergi ke Bandung besok. Jika saja Yuyun tak main ke WS, pasti Aa tak pernah tahu. Kenapa kamu ga bilang?

Ros, meskipun Bandung itu dekat, kamu pasti kangen sama kampung kita. Bilanglah sama Ibumu, kamu tetap di sini. Nanti Aa yang tanggung SPP kamu. Aa sudah bisa menyisihkan uang dari WS, sedikit demi sedikit. Kamu mau sambil kerja di sini juga boleh.

Bilang Ibumu ya Ros. Aa … ingin kamu tetap di sini. Telepon Aa ya 0264 - 662 6791 (kamu kan bisa ikut nelepon ke wartel).

Jangan lupa, Ros.

Ros tertegun.

Siapapun yang berada di lingkaran pertemanannya dan Deden, tahu persis bahwa Deden suka padanya. Yuyun sudah membisikinya, saat dulu pertama kali mereka bertemu di acara Idul Adha di masjid kampung. Pun ketika dia tahu bahwa Deden mengelola Taman Bacaan ‘WS’ di ujung jalan kampung. ‘WS’ adalah singkatan dari ‘Wiro Sableng’, serial silat favoritnya Deden.

Deden sering sekali memaksanya meminjam banyak buku dari WS, tanpa harus menyewa, sebab dia tahu betapa Ros suka membaca. Setumpuk buku yang bahkan sering diantarkan Deden ke rumahnya, lebih dari sekadar isyarat bahwa Deden memang menganggapnya sebagai seseorang yang istimewa.

Meski kampungnya erletak di jalan utama, tapi penduduknya tak pernah benar-benar menikmati gemerlap kota kecilnya. Sebab jalan utama dipenuhi toko bahan bangunan, toko besi, toko keramik, dan deretan warung sate yang menjadi ciri khas kampungnya. 

Rumah-rumah penduduk justru ada di belakang bangunan-bangunan tersebut, tersembunyi di belakang gang-gang kecil yang saling sambung menyambung. Rata-rata pekerjaan di kampungnya adalah buruh pabrik, petani atau bekerja di salah satu toko. Tidak banyak lahan pekerjaan yang bisa dikatakan mapan, bahkan sekolah negeri pun hanya ada satu saja. Untuk bisa mencapai pusat kota, penduduk kampungnya harus menempuh perjalanan lebih dari sepuluh kilometer.

Ros menarik napas.

Juragan Hendrik adalah majikan Bapak sewaktu masih bekerja di pabrik. Orang Cina yang baik, kata Emak. Sepeninggal Bapak, juragan Hendrik menawarkan pekerjaan pada Emak. 

D pabrik alat berat tak ada pekerjaan yang cocok untuk ibunya, yang sudah sering terkena rematik karena keseringan mencuci pakaian. Maka, diambilah jalan tengah. Ros, sebagai anak kedua diterima bekerja. Tidak di pabrik, melainkan di rumah Juragan Hendrik di Bandung. Imbalannya tentu gaji dan dijanjikan meneruskan sekolah di sana.

Ros ingin sekali tetap tinggal di Wanayasa, kampungnya. Dia tak ingin tinggal di kota besar seperti Bandung, tak peduli bahwa menurut orang, jaraknya dekat. Itulah sebabnya tawaran Deden lebih menggiurkan untuknya.

“Cuma dua jam da kalo pake bus mah,” kata Yuyun, sahabatnya, yang memang sering jalan-jalan ke Bandung menggunakan bus.

Ros sebetulnya sudah mencoba bernegosiasi. Dia sudah menawarkan pada ibunya, untuk mengambil alih profesinya sebagai buruh cuci. Paling tidak tenaganya pasti lebih kuat. Namun, ibunya menolak dengan keras. Mengatakan bahwa gaji Ros nantinya bisa digunakan untuk membantu membayar SPP Lia dan Jaya, dua adiknya yang masih duduk di bangku SD. 

Tawaran meneruskan sekolah dari juragan Hendrik juga salah satu yang membuat ibunya mendukung. Ibunya tahu Ros senang membaca dan belajar.

“Bapak dulu pesan sama Emak, si Ros mah kudu sakola luhur[2].” Kata ibunya dengan mata berkaca-kaca.

Ros memasukkan kembali lembaran kertas bergaris tadi ke dalam amplopnya.

Maaf ya, A Deden.

 

 

 

 

 


--------------------------------

[1] Sudah jangan menangis terus

[2] Si Ros harus sekolah tinggi