Contents
My Husband My Enemy
7. Masih Tentang Negosiasi
Otak Andin menjadi tumpul saat mendengar penjelasan Aldebaran barusan. Menikah sungguhan? Melakukan semua hal yang dilakukan dua orang yang telah menikah? Artinya ... uhuk!
Andin tersedak salivanya sendiri. Pikirannya yang sudah tercemar oleh berbagai hal vulgar yang seringkali diceritakan oleh Vega, langsung saja memikirkan hal ke arah 'sana'.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Aldebaran. Lekas menyodorkan air pada Andin.
Andin meminum air yang diberikan Aldebaran. Menepuk-nepuk dadanya yang terasa perih. Padahal, dia tidak sedang memakan apa pun. Tapi bisa-bisanya dia tersedak hingga separah itu. Memalukan saja!
"Thank you," gumam Andin enggan.
Aldebaran mengangguk. "Sebenarnya, apa yang kamu pikirkan?" dia tanya.
Pipi Andin seketika merasa panas mendengar pertanyaan tersebut. Entah Aldebaran sungguh tidak tahu, atau berpura-pura tidak tahu dan sengaja menggodanya.
"Ngg ... enggak. Gue cuma kebetulan aja keselek."
Aldebaran mengulum senyum karena reaksi ketus Andin. Sejujurnya dia tahu apa yang Andin pikirkan. Dan dia juga memang sengaja memancing Andin untuk berpikir ke arah sana untuk menggoda perempuan itu.
"Saya pikir, kamu sedang memikirkan hal yang tidak-tidak," gumam Aldebaran pelan, tetapi masih cukup untuk bisa didengar Andin.
Lelaki itu tersenyum samar. Namun, Andin jelas menangkap kerlip terhibur di mata pria itu. Sial. Dia mendumel dalam hati.
Andin berusaha untuk bersikap biasa saja. Dia tahu bahwa Aldebaran orang yang licik. Apa yang dia lakukan sejak mereka bertemu lagi, sudah membuat Andin yakin bahwa pria itu memang berbahaya.
"Kenapa lo enggak mau dijodohin sama Elsa-Elsa itu? Dari yang gue lihat, dia cantik, elegan, kayaknya juga punya value tinggi?" delik Andin tak mengerti. Ayolah, Andin saja sebagai seorang perempuan sangat suka melihat paras Elsa dan penampilannya yang menarik. Masak Aldebaran tidak?
"Saya cuma enggak mau. Saya enggak suka dia. Mau dia cantik, elegan, tajir, atau apa pun itu."
"Hei. Lo enggak ... gay, kan?" Andin bertanya dengan suara yang sangat pelan di akhir kalimatnya.
Kali ini, giliran Aldebaran yang tersedak. Skakmat! Andin tertawa dalam hati.
"Enak saja! Saya normal!" pekik Aldebaran keras.
Untung saja saat ini mereka hanya berdua di ruangan yang cukup private. Jika saja mereka berbicara di depan, sudah dipastikan Aldebaran akan menjadi pusat perhatian sekarang.
Andin kini tertawa. "Sorry. Habisnya, enggak habis pikir aja. Dari dulu, kayaknya gue jarang banget lihat lo punya pacar. Gue pikir, waktu itu karena lo masih bocah SMA. Eh, ternyata masih bertahan sampai sekarang jomlo dan pilih-pilihnya."
Aldebaran sama sekali tidak menganggap serius pertanyaan Andin. "Saya hanya malas ribet kalau punya hubungan, istilahnya pacaran."
"Terus, kenapa sekarang mau nikah sama gue?"
"Karena kamu juga sama-sama enggak tertarik menjalin hubungan dengan kesan romansa di dalamnya, kan?"
Andin termenung. Rupanya, Aldebaran tahu. Tapi, dari siapa?
Ah, Vega! Pasti dia. Andin mengerang kesal dalam hati.
Andin mengembuskan napas dengan kasar. "Setinggi apa, sih, standar lo sebenarnya? Dulu, lo nolak perasaan gue karena gue enggak menarik di mata lo. Padahal, gue cewek yang cukup populer," ucap Andin spontan. "Sekarang juga ...."
Aldebaran yang mendengar hal itu seketika tersenyum. Benaknya dilemparkan pada ingatan masa lalu, ketika ia dan Andin masih murid dengan seragam putih abu-abu.
Waktu itu, Andin memang merupakan sosok yang cukup populer. Sejak Aldebaran menjadi pengawasnya ketika Masa Orientasi Siswa, Aldebaran bisa melihat Andin paling mencolok di antara murid yang lain.
Andin tidak begitu pintar. Tapi dia sangat aktif dan cerewet. Dia kritis terhadap banyak hal. Bahkan pada Aldebaran yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua OSIS.
Aldebaran ingat bagaimana mereka pertama kali terlibat dalam sebuah percakapan yang cukup panjang. Waktu itu, Andin datang terlambat sekolah. Anggota OSIS yang tengah bertugas jelas saja langsung menghentikan Andin dan menuliskan namanya di daftar siswa terlambat dan wajib mendapatkan hukuman sesuai dengan ketetapan. Andin tidak terima. Katanya, dia cuma telat lima menit. Pokoknya, Andin nyolot sekali tidak mau namanya ditulis. Anggota yang piket sampai lelah berhadapan dengannya. Kebetulan, Aldebaran menyaksikan hal itu di lapangan sehingga menghampirinya.
"Kamu sudah tahu kan aturan di sekolah bagaimana? Datang pukul tujuh tepat. Bukan pukul tujuh lewat satu menit, dua menit, apalagi sampai lima menit!" Aldebaran memperingatkan Andin dengan tegas.
Andin memicingkan mata. "Kasih kelonggaran dikit, kek. Lagian ini pertama kalinya buat saya, Kak."
"Tidak bisa. Entah ini pertama kalinya atau bukan, saya tidak bisa memberikan kelonggaran."
"Kak, pleaseeee!"
"Tidak ada." Aldebaran menatap nametag di dada Andin, bermaksud untuk membaca siapa gerangan namanya. Namun tiba-tiba ....
"Eh! Kak Al mesum, ya?!" Andin berteriak keras seraya menunjuk wajah Aldebaran. Pada detik itu, hampir semua orang yang berada di sekitar sana langsung menoleh ke arahnya.
"Ih, kok Kak Al natap dada saya sampai sebegitunya?!" Sekali lagi Andin berteriak.
Aldebaran pada detik itu hanya bisa menggeram kesal. Baru saja maju untuk membungkam mulutnya, eh Andin malam semakin menjadi. Akhirnya, Aldebaran hanya bisa pasrah dan melotot tajam padanya.
Sialnya, Aldebaran ternyata terjebak dengan permainan kotor yang dilakukan Andin. "Maaf ya, Kak. Soalnya Kak Al kok susah banget diajak negosiasi."
He he he.
Andin terkekeh garing. Amat memuakkan di telinga Aldebaran.
***