Try new experience
with our app

INSTALL

ASTER 

4. Siapa?

Green membisu, bingung harus merespon bagaimana. Apakah menerima tawaran dosen sekaligus Kakak temannya, atau menolak niat baik itu. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Green memilih opsi kedua, ia memutuskan untuk pulang sendiri, lagipula Green telah berjanji pada Alta untuk tak dekat dengan lelaki manapun. 

“Gue pulang sendiri aja Cher, makasih Pak atas tawarannya,” tolak Green sopan.

“Udah sore Green, di luar juga mendung. Lo mau naik apa emang?” tanya Cherry, matanya mengarah pada langit yang tiba-tiba berubah gelap.

Mata Green mengikuti arah pandang Cherry, memang benar apa yang dikatakan Cherry, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, namun Green tetap bersikeras untuk pulang sendiri. “Gue bisa naik ojek online, Cher.”

“Udah ada yang gratis kenapa milih yang bayar sih, Green?” 

“Cher, please gue gak enak sama Pak Langit,” bisik Green.

Langit mengamati interaksi dua wanita di hadapannya. Ia bisa melihat Green tengah berbicara pada Cherry dengan suara berbisik, namun ia masih mampu mendengar ucapan Green.

“Tidak apa-apa Green, ayo saya antar.” Langit membuka suara, melerai perdebatan yang terjadi diantara keduanya. 

Green menatap Cherry dengan tatapan meminta bantuan, namun yang ditatap justru tak paham dengan kode yang diberikan. Dalam pikiran Green, apa yang akan terjadi jika ia berada di dalam mobil berdua saja dengan dosennya, dan lagi bagaimana jika Alta tahu? Sudah bisa dipastikan lelaki itu akan marah besar, dan Green tak ingin hal itu terjadi, Green sangat mencintai Alta, ia akan melakukan apa saja untuk menjaga hubungannya dengan lelaki itu.

“Tapi pak…”

Suara guntur menggelegar, tampaknya hujan akan turun sebentar lagi. Hal itu digunakan Cherry untuk kembali membujuk Green, “Lo denger suara barusan kan? bentar lagi hujan Green, atau lo mau nginep di sini?” tanya Cherry yang langsung dibalas gelengan oleh Green.

“Kalau gitu lo pulang sama Kak Langit, lo tenang aja kak Langit udah jinak,” goda Cherry sambil tertawa kecil.

Green tampak menimbang-nimbang, jika ia menerima tawaran Langit, ini merupakan kali pertama dirinya diantar pulang oleh lelaki lain, dan bagaimana dengan janjinya pada Alta? Namun benar kata Cherry, langit telah gelap dan sepertinya hujan akan turun dalam waktu dekat, ia tak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Akhirnya, Green memutuskan untuk menerima tawaran Langit, setelah ini ia akan meminta maaf pada Alta dan menjelaskan semuanya, Green yakin Alta akan mengerti. “Apa tidak merepotkan, Pak?” tanya Green hati-hati.

“Sama sekali tidak, ayok.”

“Lo hati hati Green, Kak hati-hati lho ya, anterin temen gue sampe rumah, awas aja kalau sampe lecet!” ancam Cherry.

“Iya bawel.”

Sebelum benar-benar berpisah, Cherry memeluk Green cukup erat, ia berbisik tepat di telinga wanita itu, “Kalau ada apa-apa atau butuh temen cerita, lo bisa cari gue, mulai sekarang kita temen. Lo mau kan jadi temen gue?”

Dari balik dekapan itu, Green menganggukan kepala, “Makasih, Cher.”

“Sama-sama,” jawab Cherry sambil melepaskan pelukan itu.

Setelah pelukan yang berlangsung selama beberapa menit, Green dan Langit berjalan beriringan, hanya sebentar karena setelahnya Green memilih berjalan di belakang Langit.

“Sebentar, saya ambil mobil dulu.”

Green mengangguk singkat sebagai jawaban. Selama beberapa menit ia menunggu, akhirnya Langit kembali dengan mobil hitamnya. Lelaki itu turun sembari membukakan pintu untuk Green, “Ehh Pak, tidak usah repot-repot,” ujar Green dengan nada tidak enak.

“Sama sekali tidak repot.”

“Terima kasih, Pak.”

***

Keheningan menyelimuti perjalanan mereka, Green merasa canggung berada di sebelah Langit. Sementara Langit santai saja, ia mengemudi dengan tenang. Tak ada yang membuka suara, baik Green maupun Langit keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Hujan turun dengan sempurna, tanda yang tadi diberikan langit bukan hanya sekadar tanda, melainkan sesuatu yang nyata, terbukti dengan hujan yang turun dengan derasnya.

Setelah beberapa menit mengemudi, Langit mengajak Green bicara. “Green, rumah kamu dimana?”

“Lurus aja Pak, nanti belok kanan, masuk gang sempit.”

Langit mengangguk kemudian mengemudikan mobilnya sesuai petunjuk dari Green, “Gang ini?” tanya Langit lagi.

“Iya Pak, betul.”

Langit menepikan mobilnya, bersamaan dengan itu Green hendak bersiap turun, namun Langit mencegahnya, “Hujannya deres banget Green, tunggu agak reda gimana?”

“Saya bawa payung kok, Pak.” Green merogoh tasnya, mencari-cari payung yang biasa ia letakkan di sana. Namun kali ini sepertinya ia lupa membawa payung, Green panik kemudian mengeluarkan seluruh isi tasnya, dan benar saja ia tak menemukan benda yang dicari.

Langit yang menyaksikan kepanikan Green hanya tersenyum tipis, sangat kentara bahwa wanita itu kurang nyaman berada di dekatnya, entah karena dirinya yang berstatus dosen di kampus tempat Green berkuliah atau ada hal lainnya.

“Payungnya ada?” tanya Langit yang menangkap ekspresi Green seperti tengah berusaha mengingat-ingat sesuatu.

“Harusnya ada, tapi kayaknya ketinggalan di rumah, saya lupa masukkin,” terang Green.

“Ya sudah, tunggu di sini dulu saja sebentar. Kebetulan di mobil saya juga tidak ada payung.” Langit memberi saran.

Green melihat ke luar jendela, benar yang dikatakan Langit, hujan turun dengan derasnya. Green bisa saja menerobos hujan, namun jarak tempuh menuju rumahnya masih cukup jauh. Jika ia memaksa menerobos, bisa dipastikan baju dan seluruh tubuhnya akan basah kuyup, belum lagi bagaimana jika nanti ia sakit sementara ada banyak hal yang harus ia lakukan esok hari. Lagi-lagi, Green pasrah dengan keadaan, ia memutuskan menunggu sejenak sampai hujan sedikit reda, seperti yang dikatakan Langit.

“Green..,” panggil Langit.

Green menoleh, “Iya pak?” jawabnya setengah berteriak agar lelaki itu mendengarnya.

“Kenapa memilih menganalisis novel saya?” tanya Langit memancing obrolan. Menurutnya, Green tipe wanita yang harus didahului, Green tidak akan memulai pembicaraan apalagi dengan orang baru.

“Karena quotes di depan sampul novelnya.”

“Hanya karena itu?”

Green mengangguk. Memang benar, ia tak berbohong perihal jawaban tersebut. Quotes di sampul depan novel itu memang menarik minatnya untuk membaca novel Kilas Balik secara keseluruhan. Dari sudut matanya, Green dapat melihat Langit tersenyum tipis, ia tak sengaja melihat lesung pipi lelaki itu. Menyadari bahwa apa yang ia lakukan tidak benar, Green segera mengalihkan pandangan, ia menatap rintik air yang jatuh dari langit, ia selalu suka pemandangan itu. Melihat tetes demi tetes air yang jatuh dari langit mampu membuatnya tenang, tanpa sengaja pikirannya kembali tertuju pada Alta. Ia ingat betapa lelaki itu sangat membenci hujan, sangat berbanding terbalik dengan dirinya. 

“Sayang hujan, ayo neduh di sana.” Alta menarik tangan Green dan mengajaknya berlari, sementara Green menghentikan langkahnya, menikmati setiap tetes air yang membasahi wajah.

“Sayang ayo cepet, nanti kamu sakit.”

“Kamu khawatir kalau aku sakit?” tanya Green dengan senyum mengembang.

“Tentu aja aku khawatir sayang.” Alta kembali menarik tangan Green, menutupi kepalanya agar tidak basah.

Momen yang terjadi saat dirinya dan Alta masih SMA tiba-tiba hadir memenuhi kepala, Green tersenyum mengingat momen itu, rasanya baru kemarin ia dan Alta memutuskan berpacaran, dan saat ini hubungan mereka sudah memasuki 4 tahun, sungguh waktu berjalan sangat cepat. 

“Kamu baik-baik saja Green?” 

“Aku kangen kamu.”

***

Langit memilih diam, membiarkan Green hanyut dengan pikirannya. Terlalu asyik mengenang memori bersama Alta membuat Green lupa, bahwa ada manusia lain di sampingnya, “Maaf, Pak,” tutur Green dengan nada tidak enak.

“Tidak apa-apa Green.” Langit menanggapinya dengan santai.

Hening kembali menyelimuti keduanya, hujan belum juga reda, suara guntur kembali bersahut-sahutan. Orang-orang yang berlalu lalang berlarian mencari tempat berteduh, mereka yang awalnya memutuskan melanjutkan perjalanan pada akhirnya dikalahkan oleh hujan.

“Alta pasti sosok yang sangat berarti bagi kamu.” Langit membuka obrolan.

Green menoleh sebentar kemudian kembali menatap lurus ke depan, tangannya memeluk tas ransel yang berada di pangkuan. Sejak tadi ia belum menyentuh ponselnya, keinginannya untuk melihat benda itu sangat kuat, namun ingatan tentang Alta yang melarangnya bermain ponsel saat hujan turun menghentikan niatnya, “Bisa dibilang begitu, Pak,” lirih Green.

Sesuatu dalam diri Green membuat Langit tertarik untuk mengenal Green lebih jauh, ia melihat Green tak seperti wanita kebanyakan saat bertemu dirinya. Wanita itu bahkan terkesan cuek dan tak peduli, padahal Langit yakin bahwa Green tahu siapa dirinya.

“Green..,” panggil Langit pelan, Langit sangat menyukai nama itu.

“Iya pak?” jawab Green.

“Sebaiknya jangan panggil Bapak, saya masih terlalu muda untuk mendapat panggilan itu. Lagipula, selain di kampus saya bukan dosen kamu.”

Green merasa tidak enak. Pasalnya, lelaki itu secara terang-terangan menolak panggilan yang ia sematkan, lantas apa panggilan yang diinginkan lelaki tersebut? Green bertanya-tanya dalam hati.

“Panggil saya Kak, seperti Cherry memanggil saya,” ujar Langit sambil tersenyum tipis.

Saat Langit tersenyum, lesung pipi lelaki itu tercetak meskipun tak cukup jelas. Lagi-lagi Green salah fokus karenanya. Buru-buru Green mengalihkan pandangan sebelum tertangkap basah oleh Langit.

“Bagaimana Green? Kamu tidak keberatan kan?” tanya Langit memastikan.

“Ti… tidak pak, eh Kak,” ralat Green yang mendadak gelagapan.

“Kenapa? Ada yang salah?” Langit bertanya demikian karena menangkap kegugupan dalam nada bicara Green.

“Tidak, Kak.”

“Boleh saya bertanya sesuatu?”

“Silakan.”

“Kamu tahu siapa penulis novel Kilas Balik?”

Green teringat akan novel yang dimaksud Langit. “Saya baru tahu Kak Langit penulisnya.” Green jujur pada Langit, menurutnya itu lebih baik daripada berbohong dan mengatakan omong kosong.

Reflek tangan Langit terangkat kemudian mengacak-acak rambut Green. Green yang mendapatkan perlakuan itu segera menjauhkan diri, lagi-lagi pikirannya tertuju pada Alta. Rasa bersalahnya membuncah, ia menatap Langit dengan tatapan tak suka. “Maaf Kak, sebaiknya tidak melakukan hal begitu lagi, saya permisi.” Green buru-buru keluar dan menerobos hujan. Persetan dengan basah kuyup dan sakit, yang terpenting dijauhkan dengan hal-hal yang membuat ia tanpa sengaja menyakiti Alta.

Langit yang belum sempat meminta maaf berusaha menahan kepergian Green, namun wanita itu terus berlari tanpa mengacuhkan panggilannya. Rasa bersalah akibat perlakuannya beberapa saat lalu membuat Langit kehilangan kesempatan untuk mengenal Green lebih jauh. 

***

Sesampai di rumah, Green menangis sejadi-jadinya, merasa bersalah pada Alta atas apa yang ia lakukan hari ini. Diantar oleh Langit, bahkan Green mengizinkan lelaki itu mengacak-acak rambutnya, sebuah kebiasaan yang hanya boleh dilakukan Alta.

Green menghapus air matanya dengan kasar, ia mengambil ponsel dan menyalakan ponsel tersebut. Tak ada panggilan ataupun pesan singkat dari kekasihnya, bahkan pesan yang ia kirimpun hanya sekadar dibaca. Green memutuskan untuk melihat pesan lain, matanya tertuju pada sebuah pesan yang berisi foto. Ia membuka foto yang dikirimkan Sindi— rival olimpiadenya semasa SMA dan berkuliah di tempat yang sama dengan Alta. Meskipun Sindi pernah menjadi rivalnya, komunikasi keduanya masih berlanjut hingga sekarang. Sesekali Green bercerita tentang Alta, dan sesekali juga Sindi menghubungi dirinya untuk sekadar haha hihi dan basa-basi.

Sembari menunggu foto tersebut terbuka, Green mengeringkan rambutnya dengan handuk pemberian Alta.

Bahu Green meluruh kala melihat foto tersebut, setelahnya Sindi mengirimkan pesan, Green, lo ke Jogja kok gak ngabarin gue? Parah lo ya!” Green mengabaikan pesan Sindi, ia segera melihat kumpulan status WhatsApp. Perasaannya tidak enak, pikirannya berkecamuk, namun ia berusaha untuk tenang. Ketenangan yang berusaha Green ciptakan lenyap seketika, ia tak melihat status Alta, padahal jelas sekali foto yang diberikan Sindi merupakan hasil tangkapan layar dari status Alta, sepertinya Alta memprivasi postingannya agar tak dilihat Green. 

Green mengamati foto yang dikirim Sindi sekali lagi. Foto siluet dua manusia yang tengah menatap matahari terbenam. Green yakin lelaki dalam foto itu Alta, meskipun itu hanya siluet Green bisa mengenalinya. Namun, yang di sebelah laki-laki itu bukan dirinya, siapa wanita itu? 

Tanpa pikir panjang, Green segera menghubungi Alta, Green menunggu sampai Alta menjawab panggilannya, Pada dering ketiga, Alta mengangkat panggilan tersebut. Lelaki itu menyapa Green dengan suara khas orang bangun tidur, “Hai sayang.”

“Al, kamu tidur?”

“Iya sayang, maaf ya aku ketiduran sebelum sempet bales teks dan angkat telepon kamu,” ujar Alta dengan nada bersalah.

Green mengabaikan ucapan Alta, ia justru bertanya hal lain. “Seharian ini kamu ngapain aja?” tanya Green.

“Seharian ini aku di kampus sayang, bareng temen-temen organisasi, kita lagi melakukan penggalangan dana buat bantu korban banjir.”

“Yakin cuma itu? gak ke pantai?”  Green bertanya dengan nada curiga.

“Ke pantai? Enggak. Ngapain? Kamu boleh tanya Daren kalau gak percaya, aku barengan dia juga tadi.”

Daren adalah teman SMA mereka yang juga berkuliah di tempat yang sama dengan Alta, namun sudah lama Green tak berkomunikasi dengan laki-laki itu.

“Kemarin, kemarinnya, atau seminggu yang lalu gak ke pantai juga?” Green memastikan.

“Sayang, kamu kenapa? Aku gak ke pantai hari ini kemarin atau seminngu yang lalu, kamu kan tau aku gak suka mainan air.”

“Bener? Kamu gak bohong kan?”

“Enggak sayang, buat apa aku bohong?”

“Oke, aku percaya.”

Meskipun dalam hatinya masih ada sedikit keraguan, Green memutuskan untuk percaya pada kekasihnya, mungkin itu hanya orang yang kebetulan mirip dengan Alta. Ia percaya Alta tidak akan berkhianat apalagi mengingkari janjinya.

“Ya udah, aku mau ngerjain tugas sayang, besok harus dikumpulin soalnya. Aku tutup dulu gak apa-apa ya?” 

“Iya, semangaat Al.”

“Kamu juga semangat ya, jangan lupa istirahat, jangan terlalu capek.”

“Iya, aku cinta kamu.”

“Aku juga.”

Alta mengakhiri panggilan teleponnya, sepertinya budaya Green yang harus selalu mematikan telepon akan benar-benar hilang, mengingat sudah dua kali Alta melakukannya.

Green berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk tentang Alta dan mengabaikan informasi dari Sindi, rasa percayanya pada Alta melebihi rasa percayanya pada siapapun.

Green kembali melanjutkan aktivitasnya mengeringkan rambut, tak lama kemudian Ponsel Green kembali berdering, nama Sindi memenuhi layar, Green segera mengangkat panggilan itu.

“Greennnnnnnnnnn.., lo keterlaluan banget sih, kenapa ke Jogja gak ngasih tau gue? Gak mampir lagi!” teriakan Sindi cukup memekakkan, Green menjauhkan ponsel dari terlinganya.

“Sin, lo sok tau bangett sih,” jawab Green pura-pura kesal.

“Kemarin gue liat Alta ke pantai sama cewek. Satu-satunya cewek di hidup Alta kan  cuma lo, jadi gue  yakin itu lo. Eh pas mau nyamperin adek gue malah nangis minta pulang.”

Keyakinan dan kepercayaan yang tengah Green upayakan kembali berantakan setelah mendengar penjelasan Sindi, Green diam beberapa detik hingga Sindi kembali bersuara.

“Sumpah ya, lo jahat banget. Gue gak mau tau, kalau lo ke Jogja lagi, harus nginep di rumah gue, titik!” 

“Iya Sin, nanti gue nginep. Ya udah, gue tutup dulu teleponnya ya.”

“Oke deh, see u Green.”

“See u.”

Green meletakkan ponselnya dengan tatapan berkaca-kaca, siapa yang harus ia percaya? Jika Sindi benar, siapa wanita yang bersama Alta?