Try new experience
with our app

INSTALL

Menyusul Subang Larang 

Menyusul Subang Larang 4. Tidak Sanggup Jauh darinya

Menyusul Subang Larang 4. Tidak Sanggup Jauh darinya


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


“Tunggu, Paman!” cegah Kian Santang yang sampai duluan di hadapan laki-laki yang sedang melajukan cikar.


“Benar, Paman bertemu Ibundaku Ratu Subang Larang?”


Kusir itu mengangguk. “Iya, Raden.”


“Paman, bawa aku dan kedua saudaraku ke desa Paman!”


“Baiklah, Raden.”


“Tunggu sebentar, dua Rakaku sedang menuju kemari!” Tidak lama kemudian, Walang Sungsang dan Rara Santang juga telah sampai di hadapan pengendara cikar.


“Aku sudah tanya, Raka, Yunda dan memang benar. Ayo, kita ke desa Paman ini, naik cikar Paman ini!” Rara Santang dan Walang Sungsang mengangguk. Ketiganya lekas naik ke kereta sapi.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


“Jauh dari Dinda Subang Larang karena masalah hati seperti ini rasanya menyesakkan. Ditambah lagi tidak tahu dia ada di mana dan bagaimana keadaannya. Dia pergi tanpa bekal apa pun. Sungguh menjadi beban pikiran dan hati. Ananda Kian Santang dan kedua kakaknya ke mana lagi mereka mencari? Sampai malam begini belum kembali. Kalau aku tahu Dinda Subang Larang ada di mana akan aku susul dia.” Siliwangi mondar-mandir kalang kabut.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


Sudah mulai malam ketika Kian Santang dan kedua kakaknya sampai di desa pengendara cikar. Pengendara cikar menunjukkan di mana ia terakhir kali melihat Subang Larang. Bakda magrib, ketiganya mencari dan bertanya-tanya ke warga setempat. Satu warga mengaku sempat menegur sapa mengingatkan Subang Larang kalau berbahaya tanpa pengawalan karena telah jauh melangkah dari istana. Setelah itu, warga itu hanya melihat arah Subang Larang pergi. Kian Santang dan kedua kakaknya segera mencari ke arah Subang Larang pergi. Rupanya arah itu bisa menuju ke hutan. Mereka menjadi mencari-cari ibu mereka di hutan. Namun, tidak bertemu juga.


Mereka kemudian kembali ke perkampungan, tetapi yang tidak jauh dari hutan. Mereka bertanya-tanya lagi. Seseorang warga yang ditanya lantas teringat keanehan yang ia dapati saat siang hari. Ia pun menjadi menduga-duga baju mewah dan perhiasan yang ia dapatkan adalah milik Subang Larang. Bajunya yang hilang juga bisa jadi diambil oleh Subang Larang.


Perempuan itu tidak mau kehilangan barang-barang mewah itu, apalagi dirinya miskin tidak pernah memiliki barang mewah, dan apalagi semewah itu. Ia menjadi menyembunyikan itu semua. Tiga bersaudara membaca gelagat perempuan itu.


“Sepertinya Ibu tadi menyembunyikan sesuatu,” ungkap Rara Santang saat telah ke luar dari rumah perempuan itu.


“Aku pun merasakan hal yang sama,” ujar Walang Sungsang.


“Iya, Raka, aku pun bisa membaca gelagat Ibu itu,” aku Kian Santang juga.


“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Rara Santang bingung.


“Kalau diberi hadiah besar dia mungkin akan jujur,” kata Walang Sungsang.


“Iya, aku setuju dengan Raka,” ujar Kian Santang.


“Ayo, kita datangi lagi dan tawarkan hadiah!” Rara Santang berjalan kembali menghampiri rumah perempuan itu dengan tidak sabar.


“Assalammualaikum!” seru Rara Santang yang sampai lebih dulu.


“Waalaikumsalam. Ada apa lagi, Nimas Rara Santang ?” Perempuan itu khawatir anak-anak Subang Larang mengetahui jika dirinya menyembunyikan sesuatu.


“Ada hadiah jika tahu keberadaan Ibunda kami. Tolong katakan di mana Ibunda kami!” paksa Rara Santang yang tidak bisa bersabar.


“Kami mohon dengan sangat, beritahu kami di mana keberadaan Ibunda kami!” ujar Walang Sungsang penuh harap.


“Ibu, sebagai seorang Ibu pasti tahu bagaimana perasaan seorang anak yang kehilangan Ibunya,” ujar Kian Santang yang juga sangat berharap perempuan itu mau jujur memberikan informasi mengenai Subang Larang.


“Apakah aku akan mendapatkan hadiah?”


“Iya, Insya Allah,” ujar Kian Santang.


“Apakah aku bisa mendapatkan dua kali lipat dari apa yang aku temukan?”


“Memang apa yang Ibu temukan?” tanya Walang Sungsang.


“Asalkan aku bisa mendapatkan dua kali lipat dari apa yang aku temukan akan aku beritahu.”


“Apa Ibu mau memeras kami, memanfaatkan kondisi kami?” kesal Rara Santang.


“Yunda, tidak apa-apa. Ibunda jauh lebih berharga dari harta. Memang apa itu yang Ibu temukan?”


“Aku bukan mau memeras. Aku menemukan barang berharga, tetapi di saat yang sama aku juga kehilangan bajuku. Meskipun bajuku sudah usang aku ini orang miskin. Aku tidak pernah memiliki barang berharga dan baju bagus, jika aku berikan ... terus terang aku tidak rela. Apalagi barang berharga itu sendiri yang datang ke rumahku.” Perempuan itu menunduk.


“Apa maksudnya?” tanya Rara Santang mengernyitkan dahinya.


“Tunjukkan saja apa yang Ibu temukan. Insya Allah akan kami ganti dua kali lipat,” ujar Kian Santang karena baginya yang penting bisa menemukan ibundanya dengan selamat segera mungkin.


“Sebentar.” Perempuan itu masuk ke dalam kamarnya. Kemudian, ia ke luar dari kamar itu sembari membawa tumpukan baju yang terlipat rapi. Rara Santang, Walang Sungsang, dan Kian Santang terbelalak mengenali baju dan perhiasan yang ditunjukkan.


“Inilah yang aku temukan. Baju yang sangat bagus dan perhiasan. Di saat yang sama, bajuku satu setel hilang. Mungkin yang mencuri ....”


“Apa Ibu mau bilang Ibundaku yang mencuri baju Ibu?” tanya Rara Santang dengan nada kesal Subang Larang dituduh mencuri.


“Ibunda tidak bermaksud mencuri baju Ibu. Ibunda menukar baju Ibu dengan baju dan perhiasan ini untuk membayar baju Ibu. Ibunda mungkin sedang tidak ingin menampakkan diri ke masyarakat. Ibunda sedang ingin menyendiri. Sebagai putranya, aku meminta maaf. Sungguh Ibundaku tidak bermaksud mencuri baju Ibu. Jadi, baju dan perhiasan ini menjadi hak Ibu. Akan tetapi, sesuai janji tadi, Ibu juga akan mendapatkan hadiah dua kali lipat dari yang Ibu temukan,” ujar Kian Santang.


“Sungguh, Raden?”


“Insya Allah, tetapi besok baru bisa karena kami tidak membawa hadiahnya untuk saat itu. Em ... itu artinya Ibu tidak melihat Ibundaku?”


“Tidak, Raden.”


“Em ... tapi dengan ditemukannya baju Ibunda ini, berarti Ibunda sekarang sedang menyamar. Kalau Ibunda tidak membawa bekal, berarti kemungkinan masih tidak jauh-jauh dari sekitar sini,” kesimpulan Kian Santang.


“Ini sudah terlalu malam untuk mencari, tapi kalau kita tunda khawatir Ibunda keburu pergi jauh,” ujar Walang Sungsang.


“Kalau begitu kita terus mencari saja. Aku tidak mau kehilangan Ibunda, Raka, Rayi,” ujar Rara Santang dengan wajah gelisah dan sedih.


“Iya, aku juga, Yunda,” ujar Kian Santang. Ketiga putra Subang Larang terus mencari di seputaran wilayah itu.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


“Aku tidak sanggup jauh darinya. Bagaimana kalau justru dengan begini Jaluwulyo mendapatkannya? Aku akan semakin tidak sanggup kehilangan cintaku itu. Tidak, aku tidak bisa biarkan Jaluwuyo atau pria lain mendapatkannya. Kalau Dinda Ratu Subang Larang ada perasaan kepada Jaluwuyo maka aku harus merebut hatinya dan menghapus Jaluwuyo dari hatinya. Aku tidak bisa berdiam diri. Aku harus turun tangan sendiri mencari Dinda Subang Larang. Akan aku cari ke mana? Aku akan coba cari terlebih dahulu Kian Santang, Rara Santang, dan Walang Sungsang. Mungkin mereka memiliki petunjuk.” Siliwangi tidak sanggup jauh dari Subang Larang sehingga pergilah ia turun tangan mencari.


Siliwangi tidak menemukan keberadaan Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kian Santang. Ia lantas menjadi berpikir, “Apa mungkin mereka pergi ikut Ibunda mereka? Mereka turut meninggalkanku? Tidak aku tidak sanggup ditinggalkan mereka dengan cara seperti ini. Aku harus temukan anak-anak dan istriku Subang Larang.” Siliwangi kembali menyebarkan prajurit yang kali ini juga untuk mencari ketiga putra-putrinya dari Subang Larang. Ia pun turut mencari.


Tidak lama kemudian, salah satu prajurit datang melaporkan jejak anak-anak. “Gusti Prabu, ada yang melihat kalau Raden Walang Sungsang, Nimas Rara Santang, dan Raden Kian Santang menaiki sebuah cikar. Cikar itu katanya datang ke istana untuk mengantarkan pulang Raden Surawisesa yang sedang terluka.


“Surawisesa pulang dalam keadaan terluka? Mau ke mana Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kian Santang naik cikar? Akan aku lihat dulu kondisi Surawisesa.”


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


“Katanya kau terluka, Surawisesa?” tanya Siliwangi saat memasuki kamar Surawisesa.


“Iya, Ayahanda Prabu.”


“Bagaimana keadaanmu? Apa yang terjadi sampai kamu bisa terluka?”


“Sudah membaik, Raka Kian Santang yang mengobatiku. Ananda bertarung dengan pendekar jahat yang ilmunya di atas Ananda.”


“Lalu bagaimana, Ananda, bisa selamat? Ananda, bisa menang, melawan pendekar itu yang ilmunya lebih dari Ananda?”


“Em ... em ... Ibunda Ratu Subang Larang datang menolong Ananda dan melawan pendekar itu dengan akal, Ayahanda Prabu.”


Siliwangi terbelalak mendengarnya. “Di mana, Ananda, bertemu dengan Ratu Subang Larang?”


Bersambung

Terima kasih

✨❤️❤️❤️✨


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)