Contents
Menyusul Subang Larang
Menyusul Subang Larang 3. Anak-Anak Subang Larang
Menyusul Subang Larang 3. Anak-Anak Subang Larang
“Assalamualaikum! Assalamualaikum! Sampurasun!”
“Waalaikumsalam! Rampes!” Seorang perempuan sebaya Subang Larang ke luar dari dalam rumah sembari menjawab. Netranya menatap Subang Larang penuh tanya menerka-nerka. Subang Larang tersenyum lebar kepada perempuan itu, tetapi senyumannya tidak tampak karena ia sedang mengenakan pasmina sekaligus menjadi cadar.
“Siapakah nisanak ini dan ada perlu apa?” tanyanya kemudian.
“Siapa?” Seorang pria seumuran Siliwangi muncul menatap Subang Larang dan bergantian menatap perempuan di sisinya penuh tanya.
“Aku juga tidak kenal.”
“Saya ... em ... saya ... saya Rara. Saya mencari pekerjaan. Mungkin juragan butuh pembantu.” Subang Larang mencoba mengarang nama dan ia terpikir menggunakan sedikit nama dari putrinya.
“Oh, mencari pekerjaan.”
“Saya Tisna dan ini Esih istri saya. Kebetulan pembantu kami sudah usia lanjut. Diberhentikan kasihan, dibiarkan kerja juga kasihan. Karena beliau sudah lama di sini, ya sudahlah kami anggap saja keluarga, kami anggap seperti orang tua kami. Kalau Nyai mau kerja di sini kami terima, tapi ya upahnya tidak banyak.”
“Saya mau berapa pun upahnya.”
“Punya suami dan anak?” tanya Esih.
“Punya.”
“Kerja apa suaminya?” tanya Tisna.
“Em ... em ... tidak bekerja, mangkanya saya mencari kerja.”
“Rumahnya di mana?” tanya Esih.
“Pajajaran.”
“Pajajarannya sebelah mana?” tanya Esih lebih detail.
“Em ... em ... hutan. Kami miskin jadi tinggal di hutan.”
“Misal Nyai menginap di sini bisa?” tanya Esih.
“Sangat bisa!” Subang Larang mengangguk berbinar karena ia memang sedang butuh tempat tinggal.
“Anak dan suami, Nyai, tidak apa-apa ditinggal?”
“Tidak apa-apa, mereka sangat mengerti.”
“Ya sudah, silakan, Nyai, bekerja di sini. Mari, silakan masuk!” Subang Larang merasa lega.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kian Santang tidak melihat Subang Larang. Mereka mencari-cari di seluruh istana, tetapi tidak ada. Mereka lantas bertanya-tanya kepada siapa pun yang ada di istana. Beberapa yang tahu mengabarkan dengan heran karena semua tahu pagi-pagi sekali Subang Larang dan Siliwangi baik-baik saja malah begitu mesra. Akan tetapi, tiba-tiba ada kabar saat makan pagi berduaan, Siliwangi mengusir Ratu Subang Larang karena sebuah surat. Ketiga anak Subang Larang lekas menemui Siliwangi untuk mencari kejelasan.
“Ayahanda Prabu, kami bertiga telah mendengar jika Ayahanda Prabu pagi tadi telah mengusir Ibunda kami. Apakah benar demikian, Ayahanda Prabu?” tanya Walang Sungsang.
“Benar.”
“Kenapa, Ayahanda?” tanya Rara Santang.
“Ibunda kalian berselingkuh.”
“Ibunda tidak mungkin seperti itu, Ayahanda Prabu!” tegas Rara Santang.
“Ada buktinya berupa surat ucapan terima kasih. Meskipun perbuatan Ibunda kalian hanya sebatas mengirimkan makanan untuk pria lain, tetapi Ibunda kalian kirimkan makanan itu dengan perasaan cinta kepada pria itu. Ayahanda tidak bisa terima itu. Ayahanda harap kalian bisa mengerti. Pergilah kalian!”
“Ananda sangat tahu, yang Ibunda cintai itu hanya Ayahanda Prabu, tidak ada yang lain! Pasti ada yang memfitnah Ibunda, Ayahanda Prabu!” ujar Rara dengan emosi.
“Benar, Ibunda Ratu Subang Larang tidak mungkin seperti itu, Ayahanda Prabu!” marah Walang Sungsang.
“Sekarang, Ibunda kami pergi ke manakah, Ayahanda Prabu?” tanya Kian Santang dengan nada lembut, tidak terpancing emosi.
“Aku tidak tahu.”
“Apakah ada yang mengantar atau mengawal Ibunda, Ayahanda Prabu?” tanya Kian Santang yang mulai merasa cemas, tetapi ia masih tetap tidak emosi.
“Tidak ada. Saat aku usir, Ibunda kalian langsung pergi.”
“Itu artinya, Ibunda tidak membawa bekal, Ayahanda Prabu?” tanya Kian Santang menyimpulkan yang kini semakin cemas karena mendapati kenyataan itu. Deg, Siliwangi baru menyadari hal itu. Walang Sungsang dan Rara Santang menjadi cemas juga.
“Rayi, kita harus mencari Ibunda sekarang juga!” Walang Sungsang menghormat ke Siliwangi lalu pergi. Rara Santang pun demikian.
“Ananda mohon diri mau mencari Ibunda, Ayahanda Prabu. Assalamualaikum.” Kian Santang menyempatkan berpamitan sebelum menghormat dan pergi.
“Waalaikumsalam,” ucap lirih Siliwangi. “Ungah-ungguh anak satu ini memang luar biasa meskipun dalam situasi begini. Ia pun tetap tenang tidak terpancing emosi,” pujinya kemudian kepada Kian Santang yang telah berlalu dari jangkauan netranya.
Kemudian, ia kembali menyadari mengenai Subang Larang. “Dinda Subang Larang pergi ke mana? Dia tidak membawa bekal dan pergi begitu saja. Dia akan tinggal di mana dan makan apa kalau tidak membawa bekal? Kalau ia pulang ke kampung halamannya itu jauh. Dia pergi tanpa pengawalan dan tanpa menyamar, sementara di luar banyak penjahat, banyak musuh Pajajaran, begitu banyak bahaya. Bagaimana aku sampai tidak memikirkan keselamatan Dinda Subang Larang? Kecemburuan telah membutakanku.”
Siliwangi sekarang menjadi kalimpasingan. Ia tidak mau terjadi hal buruk kepada wanita yang sangat dicintainya itu. Ia mondar-mandir bingung harus bagaimana sekarang.
“Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kian Santang sedang mencari. Semoga saja mereka segera menemukan Ibunda mereka. Ah, tapi aku tidak bisa tenang berdiam diri menunggu. Aku akan kerahkan prajurit untuk turut mencari.” Pergilah Siliwangi untuk menitahkan prajurit.
“Mau ke mana, Kanda Prabu?” tanya Kentring Manik, istri Siliwangi yang lain. Siliwangi yang sedang khawatir dengan keadaan Subang Larang hanya menengok sejenak kepada istri yang menyapanya itu lalu lekas melangkah lagi. Perempuan itu menjadi tersenyum kecut.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
Ketiga anak Subang Larang telah mencari. Para prajurit pun telah mencari. Mereka telah mendapatkan informasi kalau banyak warga sempat melihat Subang Larang. Namun, tidak ada satu pun dari warga yang melihat, yang tahu di mana keberadaan Subang Larang.
Surawisesa yang datang dengan diantar cikar melihat banyak prajurit menyebar. Dari penglihatan dan pendengaran, ia akhirnya mengetahui kalau para prajurit itu sedang mencari Subang Larang. Laki-laki yang mengendarai cikar pun tahu kalau para prajurit sedang mencari-cari Subang Larang.
“Jangan beri tahu! Biar aku sendiri yang akan memberi tahu keberadaan Ibunda Ratu Subang Larang!” tegas Surawisesa kepada kusir cikar.
“Baik, Raden.”
“Cepat sedikit, aku harus segera diobati!”
“Baik, Raden.”
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
“Aku membawa Raden Surawisesa yang sedang terluka,” terang kusir itu setelah sampai di gerbang Istana Pajajaran. Para prajurit melihat ada Surawisesa di dalam cikar. Mereka khawatir dan segera membiarkan cikar masuk. Surawisesa turun dari cikar dibantu kusir. Ia tertatih dipapah kusir cikar. Di saat itu, berpapasanlah dengan ketiga anak Subang Larang yang hendak pergi mencari Subang Larang lagi.
“Kenapa, apa yang terjadi?” tanya Walang Sungsang kepada Surawisesa.
“Jelas aku terluka dan sudah pasti karena bertarung, masih perlu bertanyakah?” jawab Surawisesa dengan balas bertanya dengan nada kesal.
“Mari aku bantu! Raka dan Yunda duluan saja cari Ibunda Ratu Subang Larang. Nanti aku akan menyusul,” ujar Kian Santang yang menghampiri Surawisesa dan menggantikan kusir cikar memapah Surawisesa.
“Kalian mencari Ibunda kalian? Aku tahu di mana Ibunda kalian berada.”
“Di mana?” tanya Rara Santang dengan tidak sabaran.
“Akan aku beri tahu kalau aku sudah sembuh,” ujar Surawisesa.
“Rayi!” bentak Rara Santang yang geram atas jawaban itu. Surawisesa membatu tidak peduli dengan bentakan itu.
“Kalau begitu, ayo obati lukamu! Paman, ini ada hadiah untuk Paman karena Paman sudah berbaik hati mengantarkan saudaraku.” Kian Santang memberikan sebuah kantong berisi sedikit emas ke kusir cikar.
“Terima kasih, Raden. Kalau begitu Paman mohon pamit.”
“Iya, sekali lagi terima kasih.”
“Assalamualaikum.” Kusir menghormat lalu pergi.
“Waalaikumsalam.” Kian Santang segera membawa masuk Surawisesa. Walang Sungsang dan Rara Santang menjadi urung mencari Subang Larang dan memilih mengekor kedua adik mereka karena informasi keberadaan Subang Larang ada pada Surawisesa.
✨✨✨✨❤️✨✨✨✨
Kian Santang membantu Surawisesa merebahkan tubuh di tempat tidur. Kemudian, Kian Santang mengeluarkan tenaga dalamnya mengobati Surawisesa. Surawisesa perlahan menjadi pulih.
“Bagaimana, Rayi?” tanya Kian Santang.
“Iya, sudah baikan.”
“Sekarang, tolong, Rayi, beritahu di mana Ibundaku.”
“Sekarang aku sudah pulih, tapi belum benar-benar pulih. Aku perlu istirahat. Setelah aku benar-benar pulih, baru aku akan memberi tahu kalian di mana Ibunda Subang Larang berada.”
“Rayi!” geram Rara Santang.
“Entah bagaimana keadaan Ibunda sekarang. Sebaiknya kita cari sendiri, tidak perlu menunggu Rayi Surawisesa!” tegas Walang Sungsang. Kian Santang menghela napas lalu mengangguk.
“Tunggu!” cegah Surawisesa, ketika ketiga saudaranya sudah hendak melangkah pergi.
“Kami tidak bisa menunggu, kami harus mencari Ibunda kami!” ujar Rara Santang dengan galak.
“Kusir cikar tadi mengantarku karena dibayar oleh Ibunda Ratu Subang Larang. Kusir cikar itu meminta satu kantong penuh sementara Ibunda Ratu hanya membawa satu kantong. Ibunda akhirnya menyerahkan satu kantong itu kepada kusir cikar itu. Di desa kusir cikar itulah terakhir kali aku bertemu Ibunda Ratu Subang Larang.”
“Lekas kita ikut Paman tadi!” seru Walang Sungsang. Ketiga anak Subang Larang lekas berlari mengejar kusir cikar. Ketiganya semakin panik mendapati dengan sangat jelas jika Subang Larang tidak membawa bekal sama sekali. Kian Santang sampai mengeluarkan energi melesat secepat kilat agar tidak tertinggal Paman itu dan kehilangan ibundanya.
Bersambung
Terima kasih
✨❤️❤️❤️✨
DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)