Contents
PUNDEN DEMIT
GANTUNG DIRI (Tahun 1984)
Di ruang kerja berukuran 4x4 meter, cahaya yang temaram mengisi ruangan. Hanya lampu-lampu syahdu berwarna kuning yang menyala di sudut ruangan dan lampu kerja di atas meja yang memberikan penerangan. Ruangan ini teratur dengan penataan meja yang diletakkan miring di sudut dekat jendela untuk mendapatkan sinar matahari pagi. Pemilik meja dapat memantau seluruh isi ruangan. Sinar matahari pagi yang langsung masuk ke mesin tik memberikan energi tambahan saat bekerja. Di sudut ruangan, terdapat lemari kaca yang berisi berbagai macam buku, pajangan yang menggambarkan kota-kota di luar negeri, serta empat buah piala dan tumpukan kertas kerja. Beberapa toples makanan juga menghiasi sudut lainnya dan diletakkan bersama meja kecil. Di dinding terdapat poster film horor dan beberapa foto dokumentasi saat menerima penghargaan.
Ruangan ini memiliki plafon yang tinggi, sehingga udara menjadi sejuk dengan baik. Di atasnya, terdapat dua palang balok yang berfungsi untuk menggantungkan kipas angin dan menjaga kekokohan dinding gedung Radio Studio/4. Furniture di ruangan kerja ini tidak terlalu banyak, dan plafon yang tinggi mempersempit ruangan setelah palang balok. Akustik ruangan ini menyebabkan bunyi teredam dan suara menjadi jelas. Di luar ruangan, suasana kantor sudah sangat sepi pada saat itu. Sebagian besar karyawan sudah pulang, sementara beberapa orang masih bekerja hingga tengah malam ketika siaran berakhir.
Di salah satu sudut ruangan, seorang perempuan menangis tersedu-sedu. Tangisnya memenuhi ruangan yang temaram itu. Pintu tertutup dan terkunci. Rintihannya menunjukkan kelesuan yang mendalam, seperti tangis yang tak ada artinya. Dia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi padanya, yang telah meruntuhkan semangatnya. Otot-ototnya kaku dan sulit digerakkan.
"Aku tidak mengerti semua ini..." gumamnya. "...aku lebih baik mati saja..." sambungnya dengan suara lirih. Air mata tak terbendung mengalir begitu saja, membasahi pipi, leher, dan tangan perempuan tersebut.
Saat itu sudah malam, sekitar pukul 10 malam. Tidak ada lagi karyawan yang tersisa di lantai satu gedung tersebut, dari dua lantai yang ada. Sedangkan di lantai dua masih ada beberapa karyawan yang bertugas hingga dini hari. Di lantai dua, tidak ada yang mendengar apa yang terjadi di lantai bawah. Hanya seorang sekuriti yang berjaga di luar bangunan. Tidak ada yang mendengar, tidak ada yang dapat menolong. Tidak ada seorang pun yang mengetuk pintu dan menenangkan tangisnya. Hanya sunyi, temaram, dan sepi.
Perempuan itu bangkit dan berjalan perlahan mendekati meja. Dia mengambil gulungan tali dari dalam laci. Tali berwarna biru, terbuat dari plastik, seperti yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian. Dia melemparkan sepatunya dengan kasar, melepaskannya dengan tendangan. Satu sepatunya dia letakkan di atas meja. Dia naik ke kursi, lalu berdiri di atas meja. Dengan kaki, dia menggeser mesin tik ke arah kiri. Tempat mesin tik itu digantikan oleh kedua kakinya yang tidak lagi mengenakan alas kaki. Perempuan itu membungkuk untuk mengambil sepatu yang tadi diletakkannya. Dia mengikatkan sepatu itu dengan tali plastik sampai terasa cukup kuat.
Tali itu sudah memiliki pemberat di ujungnya. Dia melemparkan ujung tali melalui balok di atas plafon ruangan. Kemudian, tali itu jatuh dan tergantung pada balok-balok yang melintang di atas plafon. Sambil terus menangis, dia mengikatkan tali yang menggantung tersebut. Dia membentuk simpul tali menjadi bulatan seukuran kepala manusia.
"Mama, Papa, maafkan Ra Nuh..." bisik Ra Nuh pelan. Ujung bibirnya mengalirkan tetesan air mata yang jatuh ke mesin tik di bawahnya. Kertas yang masih terpasang di gulungan mesin tik menjadi basah dan membaurkan tinta ketikan yang ada.
Lalu, dengan gemetar, dia memegang erat tali dengan kedua tangannya. Telapak tangannya basah. Tali plastik yang licin sulit digenggam dengan kuat. Cahaya temaram menerangi dinding dan menjadi saksi bisu. Perempuan itu lunglai, memasukkan kepalanya perlahan ke dalam tali. Dia menangis semakin keras, teringat akan kedua orangtuanya, masa kecil yang indah, dan semua pencapaian yang pernah dia raih di gedung itu. Tangisnya semakin menggema ketika membayangkan cacian dari seseorang dan tekanan dari teman-temannya yang membuatnya trauma. Kejadian demi kejadian yang pada akhirnya dia memilih jalan untuk mengakhiri hidup. Dengan menggantung lehernya dengan tali biru.
Tangisnya tak henti sedetik pun. Dia menyadari kalau melangkah maju selangkah, dunia Ra Nuh berhenti selamanya.