Try new experience
with our app

INSTALL

Sempurna Harmoni 

SEMAKIN MENGENAL

SETELAH mereka sepakat untuk bersama, Rendra mengajak Alya berkeliling kota. Mereka berencana untuk sarapan berdua. Di balik boncengan Rendra, Alya membuka kaca helmnya. Dia memejamkan mata untuk merasakan sejuknya udara pagi yang menerobos masuk ke dalam rongga pernapasannya. Dia lalu membuka mata menikmati pepohonan rindang yang berjejer di samping kanan dan kiri. Terasa damai, sangat cocok dengan  suasana hatinya saat ini.

“Laper banget Al, kamu mau makan dulu nggak?” tanya Rendra.

Alya tertawa dari boncengan belakang motor Rendra. “Iya sama aku juga laper. Kemarin nggak nafsu makan soalnya.” 

“Sudah nggak kepikiran makanan sih Al lebih tepatnya,” timpal Rendra diikuti dengan tawa renyahnya.

“Hehe bener juga sih. Kamu mau makan di mana?” 

“Kalau aku sih terserah kamu Al.”

“Di mana ya enaknya, kalau pagi gini sih enaknya makan pecel.”

“Pecel ya Al, atau mau ke pasar minggu sekalian?”

Pasar minggu adalah destinasi favorit para mahasiswa di kota pelajar ini. Alya pun segera menyetujuinya. Beberapa menit kemudian, mereka akhirnya sampai di pasar minggu. Setelah memarkirkan motornya, sejenak Rendra melirik Alya yang ada di sampingnya, lalu mantap menggenggam tangannya. Demi mendapat perlakuan seperti itu, jantung Alya serasa akan melompat dari tempatnya. Dia hanya bisa menyembunyikan pipinya yang berubah merah dengan menatap hamparan rumput liar yang sedang diinjaknya. Alya tak tahu, bahwa Rendra pun juga merasakan hal yang sama dengannya. 

Dengan bergandengan tangan, mereka berkeliling mencari stand pecel yang sekiranya nampak ramai pembeli. Setelah lima menit berkeliling, akhirnya mereka menjatuhkan pilihannya pada stand pecel yang bertuliskan “RASA SAYANG” pada bannernya. Persis seperti yang sedang mereka rasakan saat ini.

Karena ramainya pengunjung yang mengantre, Rendra butuh waktu sepuluh menit untuk bisa memesan makanannya. Sedangkan perjuangan Alya juga tak kalah melelahkan, untuk mencari tempat duduk. Dia harus menunggu pelanggan sebelumnya selama lima menit untuk bisa duduk di tempatnya sekarang. 

“Akhirnya beres juga Al. Perjuangan banget ya cuma makan pecel aja,” ujar Rendra sembari mencoba meluruskan kakinya sejenak. 

“Hehe iya ya, awas aja kalau rasanya nggak enak.” ucap Alya sambil berbisik di samping Rendra. Bisikan itu segera disambut dengan anggukan antusias dari lelaki berlesung pipi itu.  

***

ESOKNYA mereka pulang ke kota asalnya dengan mengendarai motor. Karena tiket kereta yang dulu Alya beli, sudah tidak berlaku lagi. Dan jika ingin membeli tiket kereta untuk kepulangan jarak dekat tidak akan bisa, karena semua tiket telah habis terjual. Rendra menjemput Alya di kosnya selepas salat Subuh. Mereka sepakat berangkat dari pagi buta supaya tidak terjebak macet di jalan. 

Di pertengahan jalan, mereka beristirahat sambil sarapan bersama. Rendra melirik alojinya, dan bersyukur masih sepagi ini mereka sudah sampai setengah perjalanan. Mereka memutuskan berhenti di rest area yang sering disinggahi oleh keluarga Rendra. Setelah memarkirkan motor merahnya, Rendra berjalan mencari tempat duduk.

Rendra membuka ritsleting jaketnya, lalu melepas dan menyampirkan jaket itu di tangannya. “Kamu mau duduk di mana Al?”

“Di samping kolam ikan itu aja kali ya.”

“Di sini sistemnya langsung pesen dan diambilkan sama ibu penjualnya Al. Nanti kita gantian ya pesennya,” jelas Rendra setelah mereka duduk di tempat pilihan Alya.

Alya mengangguk mengerti dengan penjelasan kekasihnya sembari melepaskan ikat rambutnya. Dia merapikan sebentar rambut ikalnya, lalu membiarkannya tergerai karena masih ada bagian rambutnya yang basah. “Oh gitu. Kalau gitu kamu duluan aja yang pesen.” 

Sejenak Rendra mematung, terpesona memandang kekasihnya. “Mulai sekarang rambutnya jangan sering dikuncir ya Al. Kamu cantik banget kalau digerai kayak gitu rambutnya.”

Seperti biasa, pipi Alya berubah merah kala gadis itu tersipu. Rendra mengelus rambut Alya, wangi vanilanya tercium sangat manis. “Aku duluan yang pesen ya?”

***

SETELAH satu jam perjalanan dari rest area, mereka akhirnya behenti di depan rumah minimalis bercat putih. Di depan rumah itu nampak sepasang suami istri paruh baya. Istrinya yang berbadan mungil dan berwajah kalem memakai gamis biru tua bermotif batik dengan kerudung senada. Dia terlihat menjinjing sebuah  tas kerja, kepunyaan sang suami. Suaminya yang tinggi besar terlihat memakai kemeja batik berwarna hitam dengan corak merak, yang nampak sangat licin dan rapi tanda baru saja disetrika. Dia menerima tas yang dibawakan istrinya, lalu bersalaman dan mencium keningnya.

Pasangan suami istri itu kemudian dipanggil mama dan papa oleh Alya. Kini akhirnya Rendra tahu dari mana tinggi badan Alya yang semampai didapatkan, jelas dari papanya. Sedangkan wajah dan senyumnya yang lembut didapatkan dari mamanya. Sejurus kemudian Rendra dengan sigap segera turun dari motor merahnya, dan memarkirkannya seadanya. Dia bergabung dengan Alya dan orang tuanya yang terlihat sangat terkejut melihat pemandangan langka ini –Alya pulang diantar oleh teman lelaki. 

“Assalamualaikum,” ucap Alya gembira, sambil mencium tangan dan memeluk mamanya.

“Waalaikumsalam, kak akhirnya kamu pulang juga nak. Mama kangen banget,” ucap mama Alya dengan mata berkaca-kaca.

“Sama ma, aku juga kangen banget sama mama.”

Selanjutnya Alya segera mencium tangan papanya yang akan berangkat bekerja, lalu mengenalkan Rendra kepada mereka berdua. Orang tua Alya tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya saat putrinya mengenalkan pacarnya untuk yang pertama kali. 

“Oh iya kenalkan ma pa, ini Rendra,” ucap Alya 

Rendra bersalaman dengan mama dan papa Alya bergantian, dia lalu menyerahkan oleh-oleh yang mereka beli saat di perjalanan pada mamanya, “Rendra om, tante.”

“Wah terima kasih ya Ren. Rendra ini...?” tanya Kinanti tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu tentang status lelaki yang mengantarkan putrinya.

“Pacar ma,” jawab Alya mantap. Seketika pipinya kembali terasa panas.

Kinanti dan Anjar, papa Alya, refleks saling menatap. 

Mengetahui putrinya telah mempunyai pacar, Anjar segera mengaktifkan mode posesif. Dia segera menginterogasi Rendra. Melihat hal itu, Kinanti berusaha mendorong tubuh Anjar yang tinggi besar. Menyelamatkan Rendra dari interogasi dadakan. “Papa ayo segera berangkat, tadi katanya sudah terlambat.” 

“Oh iya sampai lupa sudah jam segini. Papa berangkat dulu ya kak, sampai ketemu nanti sore.”

“Iya pa, hati-hati ya,” Jawab Alya sembari melambaikan tangan pada papanya. 

Setelah mobil papa tak lagi terlihat di ujung gang, Kinanti mempersilakan putri dan pacarnya memasuki rumah. Rendra memasuki ruang tamu bercat warna soft pink, warna kesukaan Alya. Di setiap sudut ruang tamu ada berbagai macam tanaman hias yang diletakkan di dalam pot putih bergaya minimalis. Pasti ini hobi mamanya, batin Rendra. Alya memang pernah cerita kalau mamanya hobi mengoleksi tanaman hias.

Rendra mengedarkan pandangannya di ruang tamu ini, mencoba mengamati sudut ruang tamu rumah kekasihnya. Terdapat banyak furniture  yang terbuat dari kayu jati di rumah yang rapi ini, mulai dari kursi tamu, lemari yang menyimpan berbagai pajangan unik di dalamnya, sampai set meja makan yang dari ruang tamu terlihat dengan jelas karena tidak ada dinding pembatas. Tak ketinggalan di dindingnya ada beberapa foto keluarga yang ditata rapi. Penataan ruang tamu yang hangat, batin Rendra.

Kinanti berbisik pada Alya “Kamu gak bilang sih kalau mau bawa pacar, mama kan bisa masak lebih banyak hari ini.”

“Nggak perlu ma, Rendra cuma mampir sebentar aja kok. Masih ada waktu besok ma, kan kita juga masih lama liburannya.”

“Rendra kamu sarapan di sini dulu kan?” tanya Kinanti tanpa menunggu jawaban Alya.

Alya terkejut mendengar tawaran mamanya. Dia segera mencegah mamanya supaya tak berlebihan. “Ma, kita sudah sarapan tadi di jalan.”

“Nggak apa-apa Al, kabohidrat tadi pagi sudah teserap semua untuk fokus nyetir.”

“Nah kan kak, Rendra masih laper tuh. Tante siapin dulu ya Ren.”

“Iya tante terima kasih,” jawab Rendra ramah.

Setelah sarapan untuk yang kedua kalinya, Alya menunjukkan foto-foto masa kecilnya pada Rendra sambil menemaninya beristirahat sebentar. Setelah kurang lebih dua jam beristirahat, Rendra segera pamit kepada Alya dan mamanya untuk pulang ke rumah. Tidak lupa Kinanti membawakan satu bingkisan besar yang berisi makanan kepada Rendra untuk dibawa pulang ke rumahnya.

***

Rendra

Al aku senang sekali hari ini. Kita bisa pulang sama-sama.

Aku bisa ketemu sama mama dan papa, 

bahkan dibawakan bingkisan sebesar tadi.

Beberapa isinya sudah aku bagikan ke nenek dan mbak Rena, kakakku

karena nggak mungkin bisa menghabiskan 

sebanyak itu kalau hanya aku dan ayah.
 

Alya

Iya Ren, aku juga makasih banget sudah dianterin sampai rumah dengan selamat. Hehe semoga keluargamu cocok ya Ren sama masakan mama.

Rendra

Sudah pasti cocok Al hehe. 

Oh iya Al, besok lusa aku ajak berkunjung 

ke rumahku mau nggak?

Alya

Alhamdulillah kalau gitu. Besok lusa ya 

Ren, iya bisa kok aku.

Rendra

Oke Al, besok lusa aku jemput jam 8 ya.

Good night Al, I love you.
 

***

SESUAI janji mereka, Rendra sampai di rumah Alya tepat saat jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Setelah berpamitan pada mamanya, mereka berangkat menuju rumah Rendra. Kali ini Rendra terpaksa menolak tawaran Kinanti untuk sarapan terlebih dahulu di sana, dengan alasan takut terjebak macet di jalan jika berangkat terlalu siang. Kinanti dengan berat hati menyetujui alasan yang masuk akal itu, sambil tetap menodong Rendra untuk makan di rumah Alya lain kali.

Setelah satu jam perjalanan, sampailah mereka di rumah besar tetapi terkesan sederhana, berwarna cat oranye muda. Dari luar terlihat pria paruh baya dengan memakai baju koko coklat mudanya duduk di ruang tamu sambil membaca Al-Qur’an. 

“Assalamualaikum.” 

“Waalaikumsalam, masuk Ren.”

“Kenalin yah ini Alya,” ucap Rendra kaku pada pria itu, terkesan banyak sekali jarak yang dibangun oleh ayah dan anak ini.

Alya bersalaman lalu memberikan bingkisan kepada ayah Rendra. “Alya om.” 

“Terima kasih Alya,” ucap ayah Rendra singkat, sesaat dengan menatap Alya. Dia lalu membetulkan posisi kacamatanya, lalu kembali menatap Al-Qur’an di tangannya.

“Oh ya terima kasih juga bingkisan makanan yang kemarin ya Al, nenek dan mbak Rena senang sekali sama ayam laos bikinan mama kamu,” ujar ayah Rendra setelah menyelesaikan halaman terakhirnya. Berbeda dengan percakapannya dengan Rendra, kali ini kalimat yang baru saja diucapkannya terasa sedikit ramah.

“Alhamdulillah kalau cocok sama masakan mama om,” jawab Alya kini lebih rileks.

Suasana rumah itu terlihat sepi, di dindingnya ada beberapa foto keluarga yang hanya berisi tiga anggota keluarga, digantung rapi. Mereka bertiga mengobrol ringan selama setengah jam. Membicarakan neneknya yang kini hobi berkebun dan selalu meminta diantarkan membeli tanaman baru yang sama persis dengan milik tetangganya. Kemudian tentang  mbak Rena yang baru saja diterima bekerja sebagai guru sekolah islam internasional di kota ini. Ayahnya lega sekali karena mbak Rena tak perlu mengekos lagi. 

Kemudian setelah ayahnya masuk ke dalam kamarnya, Rendra juga menunjukkan foto masa kecilnya pada Alya. Di album foto yang sampulnya telah menguning itu, Alya melihat foto wanita muda yang tersenyum bersama pria di sampingnya. Mereka berdua terlihat bahagia sambil menggandeng seorang gadis kecil yang memakai rok merah dengan topi berwarna senada. Senyum wanita itu mirip sekali dengan senyum Rendra, yang sejuk dan hangat di saat bersamaan.

Rendra seperti mengerti isi pikiran Alya, dia lalu menjelaskan dengan singkat. “Ini foto ibu Al. Kata mbak Rena, di foto ini ibu sedang hamil aku.” 

“Mirip banget sama kamu Ren senyumnya,” jawab Alya.

“Banyak sekali yang bilang kayak gitu Al. Katanya aku ini fotocopy an ibu,” jawab Rendra sembari mengembuskan napas panjang.

Alya beralih menatap Rendra di hadapannya. Dia memegang tangan kekasihnya supaya tak terlalu sedih membicarakan ibunya. “Iya emang mirip banget sih,” ucap Alya setuju.

“Setelah ini kita makan siang di warung langgananku ya Al. Lalu aku ajak kamu ke makam ibuku. Mau kan Al?” 

“Iya Ren.”

***

RENDRA membersihkan tempat peristirahatan ibunya yang dipenuhi dengan daun-daun kering. “Assalamualaikum bu, aku sudah pulang. Maaf karena sejak kuliah di luar kota, aku jadi jarang berkunjung ke sini lagi.”

“Bu, sekarang aku mengajak Alya, pacarku. Dia gadis yang baik dan lembut. Aku selalu bahagia jika bersamanya. Mungkin perasaan ini juga yang dirasakan ayah pada ibu,” tambah Rendra.

“Assalamualaikum tante, saya Alya. Saya nggak bisa selalu menjanjikan kebahagiaan pada Rendra, tapi saya pasti akan menepati janji untuk selalu tetap berada di sisinya,” ucap Alya yang kini merasakan matanya mulai panas. 

Alya menarik napas sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya. “Terima kasih tante... atas perjuanganmu melahirkan Rendra. Saya janji setelah hari ini dia tidak akan pernah lagi menyebut dirinya sebagai penyebab kepergian tante. Karena saya yakin tante pun juga nggak merasa begitu,” janjinya pada mendiang ibunya.