Try new experience
with our app

INSTALL

Sempurna Harmoni 

PENGAKUAN

SEJAK kejadian kemarin, ponsel Alya seakan tak berhenti berdering. Nama Rendra yang selalu muncul di layar ponsel untuk memanggilnya. Namun tak pernah diangkat oleh Alya. Jasmin telah memberitahu Rendra bahwa Alya tidak bisa pulang bersama dengannya karena sakit. Namun setelah mendengar kabar Alya sakit, hal itu malah semakin membuat Rendra menjadi khawatir, sehingga dia berkali-kali menelpon Alya. 

Aku sungguh tidak bisa menghadapi persoalan cinta yang ternyata serumit ini, bahkan sebelum semuanya dimulai, batin Alya sembari mematikan ponselnya. 

Selepas salat Subuh, Alya berniat untuk berjalan-jalan di sekitar kosnya, sekadar untuk melegakan pikirannya yang dipenuhi dengan Rendra. Namun betapa kagetnya Alya saat membuka pagar, dia mendapati Rendra yang duduk di atas motornya. Alya sekilas melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum pendeknya menunjukkan angka lima. Mentari bahkan belum keluar dari peraduannya, tetapi lelaki yang memporak-porandakan hatinya ini telah ada di depannya.

Raut wajah Rendra terlihat sangat lega, karena akhirnya telah melihat Alya secara langsung. “Al, kamu nggak apa-apa kan? Aku khawatir banget.” 

“Ren, kamuuu di sini sejak kapan?” 

“Kamu nggak apa-apa kan Al, sudah sehat? Aku ajak jalan-jalan sebentar naik motor kuat kan?”

“Hah? Emmh sebentar, aku ambil helm dulu ya.”

Rendra hanya mengangguk, sambil tersenyum tipis menatap Alya. Senyum Rendra tak sehangat biasanya, seakan banyak sekali beban pikiran yang tersimpan dalam hatinya.

Setelah mengambil helm hitam bergambar hello kitty miliknya, Alya segera memakainya. Sesaat sebelum menaiki motor merah Rendra, dia menutup ritsleting jaket abu-abunya lalu memakaikan hodie ke kepalanya. Kemudian segera memakai helmnya. Ini sempurna untuk menghalau udara dingin di pagi hari, batinnya.

***

RENDRA mengajak Alya ke perbukitan yang dekat dengan pusat kota. Dia mengajak Alya melihat matahari terbit. Sesampainya di sana, bukit itu telah ramai dengan orang-orang yang punya niat sama dengan mereka. 

“Aku beli minuman hangat dulu ya Al.”

“Iya, aku tunggu sini ya.”

Alya terkesima dengan tempat ini. Semerbak aroma sejuk embun pagi, ditambah dengan hamparan pemandangan yang ada di depannya, rumah-rumah penduduk yang sebagian lampunya masih menyala. Dan yang paling utama adalah pemandangan langit dengan semburat jingganya yang tipis. Bagaimana bisa ada tempat yang indah seperti ini di dekat kosnya. 

Rendra menyodorkan secangkir milo panas kesukaannya. “Ini buat kamu Al, hati-hati panas.” 

“Makasih Ren,” ucap Alya sambil menggeser duduknya, memberikan tempat untuk Rendra.

“Cantik ya Al,” ucap Rendra setelah menyeruput kopinya, sambil melihat langit yang penuh dengan semburat jingga di mana-mana. 

Alya menoleh ke arah Rendra. Dia mengangguk dan berpikir tempat ini sempurna sepertinya. 

“Al, pernah nggak kamu merasakan kehilangan?” tanya Rendra tiba-tiba di tempat seindah dan secantik ini.

Alya kini beralih pada pemandangan indah yang terhampar di depannya. “Aku...kurasa belum pernah.” 

“Aku nggak tahu ini bisa dikategorikan kehilangan atau nggak, karena aku masih belum tahu apa-apa saat itu terjad,.” Rendra menarik napas tanda akan melanjutkan ceritanya.

“Ibuku meninggal saat melahirkan aku,” tambah Rendra. 

Lelaki itu tampak sangat lega setelah menceritakan rahasia yang selalu disimpannya pada Alya. Sebuah cerita yang tidak pernah dibagikannya kepada orang lain selama ini. 

“Sampai Sekarang ayahku selalu membenciku. Ayah melihatku seperti orang yang merampas kebahagiaanya bersama ibu. Aku dianggap sebagai orang yang membuat ibu pergi dari sisinya.”

Alya yang bingung harus bereaksi seperti apa, hanya bisa menatap Rendra. Rendra yang dimatanya sempurna, ternyata menyimpan luka yang teramat dalam. 

Rendra kini menundukkan kepala, terdengar jelas suaranya bergetar. “Seandainya ayah tahu, aku pun juga sama, merasa kehilangan ibu. Bahkan sebelum bisa merasakan kasih sayangnya.” 

“Aku nggak mau ngerasain kehilangan lagi Al. Maka dari itu aku nggak pernah mau berurusan dengan cinta. Karena selama aku hidup di dunia ini, yang aku lihat ya cinta yang seperti ayah dan ibuku. Aku beneran tahu sakit seperti apa yang dirasakan oleh ayah setelah kepergian ibu. Bahkan sampai detik ini, sampai delapan belas tahun setelah ibu pergi, rasa sakit dalam hati ayah masih tetap utuh.” 

Rendra menghela napas sekali lagi, kali ini lebih panjang seakan berat sekali mengatakan kelanjutan dari kalimatnya. Lelaki itu frustasi menceritakan tentang isi hatinya pada Alya. 

“Tapi semua itu tiba-tiba berubah saat aku ketemu kamu. Aku tahu kamu sejak kalian bertiga duduk di meja yang kena tampias hujan. Kamu yang sederhana dan nggak peduli sama sekitarmu membuatku penasaran setiap hari. Aku hampir gila  tiap mikirin gimana cara buat kenalan sama kamu Al.”

Rendra menertawai kebodohannya sendiri saat menceritakan bagaimana semalam penuh dia berlatih dialog perkenalan saat akan memberikan modul praktikum pada Alya. Dan bagaimana rasanya saat ternyata realita yang terjadi tak sesuai ekspektasinya, Alya hanya mengambil modul itu sebentar dan segera pamit pergi karena ada urusan. 

“Sampai akhirnya saat pembagian kelompok praktikum fisika, aku lihat namamu dan namaku dalam satu kelompok. Pengumuman itu jadi salah satu hal yang paling aku syukuri setelah pengumuman diterima di Universitas ini Al.” 

Rendra juga membuka rahasia yang dia simpan selama ini. Dia menceritakan tentang ratusan pesan draft yang tersimpan di ponselnya, yang sampai Sekarang pun tak pernah dikirimnya, karena dia tak punya cukup punya keberanian untuk menyapa Alya lebih dulu. 

“Aku nggak bisa menahan perasaanku lagi Al. Please... tetaplah tinggal di sisiku... sampai kapan pun.”

Demi mendengar semua pengakuan mengejutkan dari Rendra yang tiba-tiba, seketika Alya menoleh. Mata mereka beradu. Alya bisa melihat dengan jelas, warna mata Rendra yang coklat menjadi  semakin terang karena terbias sinar matahari yang semakin meninggi. Alya semakin terbius oleh pesona lelaki yang saat ini duduk di sampingnya. 

Dia tak percaya Rendra yang sempurna telah lama mengamatinya dan menyimpan perasaan untuknya. Mengapa dari sekian banyak mahasiswi cantik dan pintar di jurusannya, Rendra yang sempurna malah memilihnya yang biasa. Alya mencubit pipinya untuk mengetes apakah ini hanya mimpi. 

“Ini sama sekali bukan mimpi Al,” ujar Rendra saat melihat Alya mencubit pipinya.

Alya kembali menoleh ke arah rumah-rumah penduduk yang cahaya lampunya telah padam.

Alya menggigit bibir, mencoba memahami situasi yang membingungkan ini. “Kenapa harus aku Ren?” “Lantas kenapa nggak boleh kamu Al?” tanya Rendra frustasi pada Alya dan dirinya sendiri. 

Alya kembali menoleh ke arah Rendra, dia melihat lelaki itu menunduk lesu menatap kedua kakinya. Kopi di sampingnya terlihat masih setengah penuh. Sepertinya Rendra tak berniat untuk menghabiskannya lagi. 

“Jujur aku bingung sama kondisi ini Ren. Gimana bisa the shining Rendra, mahasiswa yang paling terkenal sejurusan ilmu gizi, bisa jatuh cinta sama the ordinary Alya yang bahkan keberadaannya nggak banyak diketahui orang,” ucap Alya mulai membuka kalimatnya.

Sejurus kemudian Rendra menoleh, memperhatikan setiap kalimat yang keluar dari bibir Alya, seakan itu adalah hidup dan matinya.

“Aku pun juga sama Ren, selama delapan belas tahun aku hidup, nggak pernah sekalipun terlibat urusan cinta. Bukan karena aku punya trauma sepertimu, tapi lebih ke simply nggak ada yang bisa buka gerbang yang terkunci di dalam sini –ucap Alya sambil menunjuk dadanya. 

“Singkat cerita tiba-tiba ada momen yang bikin aku sadar kalau gerbang yang mungkin sudah karatan itu, karena saking lamanya terkunci, akhirnya kebuka. Tapi pada momen itu juga aku langsung ngasih peringatan ke diri sendiri kalau jangan dia, karena dia nggak sebanding sama aku.” 

Alya menghela napas, dia tak kalah frustasi dengan kondisinya. Karena setiap kali bertemu Rendra, pikiran sadarnya terus memperingatkan untuk tak jatuh cinta pada lelaki itu. Pikirannya terus memperingatkan bahwa dirinya tidak pantas untuk Rendra yang sempurna. 

“Sekarang saat aku sudah mulai menuruti suara-suara yang kudengar dari pikiran ini, ternyata tiba-tiba dia bilang kalau selama ini dia juga punya perasaan yang sama kayak aku.”

Demi mendengar kalimat itu Rendra terlihat sangat lega seakan beban berat telah terangkat dari pundaknya. Dia  mendongak menatap langit, lamat-lamat mengucap syukur.

Alya menunduk lemas, menatap sandal jepit hello kittynya. Jelas sekali suaranya bergetar. “Aku bingung harus gimana Sekarang. Kemana larinya semua suara teriakan yang memperingatkan aku selama ini.”

Kini semburat jingga di langit telah pudar, digantikan oleh langit yang sempurna terang. Pada momen yang bersejarah dan akan selalu mereka ingat dimasa depan ini, tanpa mengatakan apapun, Rendra menarik Alya ke dalam pelukannya. Rendra merasakan kelegaan yang luar biasa, karena akhirnya setelah delapan belas tahun hidupnya, dia berhasil menemukan rumah tempatnya berbagi kebahagiaan dan pundak tempatnya berbagi kesedihan. Dia menemukan makna cinta yang sederhana pada diri Alya.