Try new experience
with our app

INSTALL

LATTE UNTUK MOCCA 

Ide Konyol vs Ide Bagus

"ADA satu tempat kosong, yang menurut saya strategis, Pak. Tepat di samping resto pizza itu. Dulunya itu counter punya Creamy Gelato. Saran saya, Pak Jo ambil tempat itu. Masalah sewanya masih bisa dinego.”

Bu Vero berhenti bicara, menunggu tanggapan Jo. Anehnya lelaki itu sedang menunduk, menatap lantai sambil menggenggam ponselnya kuat-kuat. 

Yohan meliriknya. Menyenggol bahu temannya sambil berbisik memanggil Jo. Barulah lelaki itu tersadar. 

“Ya Bu? Gimana? Maaf, saya tadi … sedang ….”

“Kami tertarik dengan counter itu, Bu. Kalo masih ada gerobak bekas jualannya mungkin bisa kami modifikasi supaya sesuai dengan tema I Coffee You akan lebih baik, Bu.” Yohan yang menjawab. Dia tidak mau terlihat tidak professional di depan Bu Vero, sang manajer operasional mall. 

“Ada, Pak. Nanti saya hubungi bagian operasional untuk menunjukkan gerobaknya. Kapan Pak Yohan mau cek?”

“Gimana kalo saya tunggu kabar dari Ibu, kalo gerobak itu sudah siap dicek saya akan datang lagi,” kata Yohan. 

Sementara Jo hanya manggut-manggut. Mendengarkan percakapan yang bagaikan dengungan lebah di telinganya. Dia tahu, dia sudah bersikap tidak professional. Tapi tinggal di rumah Mamanya, dengan Adelia berkeliaran di mana-mana sangat tidak baik untuk kesehatan mentalnya. 

Jo jadi merasa dikejar-kejar hantu Vanessa dan perselingkuhannya. Belum lagi urusan apartemen yang belum laku. Padahal Jo merasa sudah muak dan harus menyingkirkan semua benda yang ada hubungannya dengan Vanessa. Tapi apartemen itu malah kelihatan seperti horcrux Voldemort dalam novel Harry Potter, sulit dihancurkan. 

“Baik Pak Yohan, segera saya kontak lagi ya. Terima kasih,” ucap Bu Vero. Ternyata perempuan berbusana abu-abu itu sudah berdiri dan menjabat tangan Yohan. 

Jo gelagapan, lalu ikut berdiri dan menjabat tangan Bu Vero. Segera setelah perempuan itu menjauh, Yohan menyeretnya. Jo tahu, Yohan pasti murka padanya.

Mereka berjalan cepat menuju area parkir P3. Begitu sampai, Yohan mendorong Jo untuk masuk ke mobilnya. Lalu dia pun membanting tubuhnya di kursi pengemudi. Lelaki itu menghela napas, lalu berbalik menyamping. Menatap Jo yang sedang menutup mata sambil menyandarkan kepalanya.

“Lu maunya apa sih, Jo?”

“Maksud, lu?” tanya Jo.

“Kita kerja bareng ya, Jo. Kalo lu kacau, imbasnya ke kerjaan kita. Lu tau kan Bu Vero itu sudah baik banget sama kita. Dia bahkan mau nego harga untuk sewa tempat di mall sebesar itu, dan lu malah kaya orang bego!”

“Wow, wow, santai, man. Lu nggak usah marah-marah gitu juga,” elak Jo. 

“Trus lu maunya gue gimana?! Ikut bego kaya elu, gitu?!” Yohan memelotot lalu memukul setir dengan gemas. 

Setelahnya mereka berdua diam. Hanya suara helaan napas berat yang terdengar. Jo tahu dia mengacaukan semuanya hari ini. Dia bahkan sama sekali tidak menangkap pembicaraan Bu Vero dengan Yohan. Untunglah, Yohan sigap menangani situasi. 

“Gue nggak bisa fokus kerja, Yo, sorry.”

“Apa lagi sih masalahnya?!” bentak Yohan. 

“Gue mau jual apartemen gue, tapi belum laku juga. Gue mau beli rumah, yang agak jauh dari nyokap,” kata Jo letih.

“Emang kenapa kalo lu tinggal sama nyokap?”

“Lu nggak tau, Yo. Gue bisa gila kalo tinggal di sana terus. Tiap malem, tiap pagi gue disuguhi pemandangan bayi sialan itu! Setiap kali gue liat bayi itu, gue langsung inget Ghi dan Vanessa hari itu. Gue nggak bisa hidup kaya gini terus, nggak bisa!”

Yohan berdecak mendengar itu. Dia pun tidak mau Joaquin terus-terusan tenggelam dalam trauma. Dia menyadari banyak perubahan yang terjadi dalam diri sahabatnya ini. Fokusnya gampang terganggu, dan Jo terlihat muak melihat perempuan genit. Itu sama sekali tidak seperti Jo. 

Lelaki ini memang bukan playboy. Tapi dia normal. Topik pembicaraan mereka sangat normal untuk ukuran laki-laki. Tertarik pada perempuan cantik dan seksi, dan membicarakan hal mesum bukan hal tabu bagi mereka. Khas laki-laki. 

Sekarang semua hal semacam itu mendadak hilang dari Jo. 

Yohan tahu kebiasaan minum Jo mulai mengkhawatirkan. Lelaki itu menghabiskan uangnya untuk minuman mahal. Hampir setiap malam Jo mengunjungi klub malam. Yohan sudah berusaha menghalanginya dengan cara memberikan lelaki itu banyak pekerjaan. Hasilnya, Jo selalu berhasil menyelinap ke klub malam. 

“Lu kenal kan sama Ghi?” tanya Jo tiba-tiba.

Dua alis Yohan bertemu. “Maksud lu?”

“Ya lu kenal nggak sama Ghi? Kita semua kan satu SMA dulu, pernah nongkrong bareng juga sama Andi, Ghi, elu, Dendy juga.”

“Terus apa hubungannya?” tanya Yohan tidak mengerti. 

“Gue mau cari Ghi,” ucap Jo datar. 

“Mau ngapain, lu?” Yohan merasa sekarang dia bergidik. 

“Gue mau nyerahin bayi itu sama Ghi. Gue mau dia tanggung jawab. Gue mau cari Ghi,” terang Jo. Wajahnya terlihat tegang ketika memberi tahu Yohan.

“Kacau lu ya,” kata Yohan. Dia bingung bagaimana menanggapi. Menurutnya itu bukan ide bagus. Yohan khawatir Jo akan menyesal kalau memang itu terjadi. 

“Dia yang terakhir nidurin Vanessa, sebelum perempuan itu hamil. Gue nggak mau hidup gue kacau gara-gara bayi haram hasil perselingkuhan. Gue akan cari Ghi. Lu harus bantu gue, Yo!”

Yohan melirik Jo, mengunci mulutnya rapat-rapat hanya supaya perdebatan mereka tidak berlanjut. Dia tidak setuju dengan rencana Jo. Tapi tidak tahu cara mencegah lelaki yang sedang frustasi ini supaya tidak menjalankan ide konyolnya itu. 

@@@

LAPTOP Irma menyala, menampilkan beberapa file yang sedang dibukanya. Sementara perempuan itu sedang menopangkan satu tangan ke wajahnya. Foto Adelia yang digunakannya sebagai background malah yang sedang menjadi fokusnya. 

Tiga bulan ini perasaannya resah tidak berkesudahan. Bayangan malam-malam yang dilaluinya dengan Adelia dan sikap tertutup Jo yang semakin parah. 

Tadinya Irma berpikir Jo akan mulai jatuh cinta pada Adelia. Bayi itu lucu, tidak rewel dan sangat menggemaskan. Ternyata dia salah. Jo terlihat tersiksa setiap kali melihat bayi itu. Irma dan Hadyan beberapa kali mencoba meletakkan Adelia di pangkuan Jo. 

Lelaki itu menolak. 

Setiap Adelia terbangun di malam hari, Irma dan suaminya yang akan menenangkan. Padahal Irma sengaja menempatkan Adelia di kamar bayi, tepat di samping kamar Jo. Berharap lelaki itu akan tergerak ketika mendengar tangisan Adelia. Tapi itu tidak terjadi. 

Irma memang belum menyerah, tapi dia lelah. Sampai kapan Jo akan berubah keras kepala begini, pikirnya. 

“Selamat siang, Prof. Lagi sibuk?” 

Irma tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Eh, siang Bu Luluk. Nggak sibuk, silakan, Bu.”

Perempuan dengan rambut dipotong pendek itu tersenyum, lalu duduk di kursi di hadapan Irma. “Maaf, Prof, saya tadi udah ngetuk pintu. Tapi Prof Irma nggak denger,” ucapnya.

“Nggak papa, Bu. Saya lagi ngelamun tadi,” Irma terkekeh. 

“Ngelamunin apa to, Prof? Ada artikel yang belum publish ya?” canda Bu Luluk. 

Irma tersenyum kaku. Seandainya permasalahannya hanya semudah artikel yang belum publish, dia pasti tidak akan melamun sedalam itu. Masalah dalam kariernya tidak pernah menjadi beban untuk Irma. Dia baru mendapat gelar guru besar di usia 58 tahun, ketika koleganya sudah lebih dulu mendapat gelar yang sama. Itu bukan masalah besar. Sejak dulu fokus utamanya adalah keluarga, bukan karier. 

“Ah bukan masalah kerjaan kok. Ngomong-ngomong ujian tesisnya jadi hari apa?”

“Nanti akan ada rapat terkait itu, Prof, karena program studi mau ujiannya dalam minggu yang sama. Saya ke sini mau ngasiin undangan dari Pak Sutanto,” kata Bu Luluk sambil mengulurkan undangan berwarna pastel. 

“Pak Sutanto mantu? Bukannya anaknya udah pada nikah?” heran Irma. 

“Ini anak sulungnya yang mau nikah lagi, Prof. Istrinya dulu kan meninggal kecelakaan. Trus anaknya Pak Tanto rada stress gitu, kan. Akhirnya sama Pak Tanto dicariin istri, dijodohin gitu ceritanya. Alhamdulillah anaknya manut. Ini sekarang malah mau nikah,” cerocos Bu Luluk. 

Mata Irma yang tadinya bersinar redup berubah cerah. Ada ide yang melintas di kepalanya. Pandangannya tertuju pada undangan yang sudah dibukanya. Dia mengerjap, sambil berharap nama Joaquin yang tertulis di situ. 

“Jadi betul ya, Prof, obat patah hati itu ya cinta baru.” Bu Luluk tergelak senang. 

Tawa itu menular pada Irma. Perempuan itu ikut tertawa sambil sibuk memikirkan ide yang sekarang berkembang di kepalanya. Siapa kira-kira perempuan yang cocok untuk Jo?! Perempuan yang akan menaklukan keangkuhan dan mencairkan kerasnya hati Joaquin. 

Tok tok tok

Lagi-lagi lamunan Irma buyar. Dia dan Bu Luluk menatap ke ambang pintu bersamaan. 

“Selamat siang, Prof. saya mau menyerahkan file power point untuk webinar.”

Perempuan berhijab kuning pucat itu tersenyum hangat. Bahkan Irma sampai lupa berkedip, karena ide yang sejak tadi berputar di kepalanya menemukan jawaban. 

“Siang, Mocca. Masuk,” kata Irma. Senyum tipisnya berubah penuh. Dia tahu, betapa jantungnya yang empat bulan ini berdetak gelisah, sekarang menjadi merdu. 

Semua itu karena Mocca. Gadis yang sekarang menatapnya dengan mata berbinar riang.