Try new experience
with our app

INSTALL

Pertemuan 

Sebuah Kisah yang Lain

12 Oktober 1977

LASMI tak percaya akan takdirnya, ketika suami keduanya yang bernama Jali dibunuh di depan matanya sendiri, oleh anak  sulungnya  yang bernama  Rohmat.  Dengan  sepuluh tikaman di bagian punggung, dan satu tusukan yang mengoyak penuh perut bagian lambung kiri, membuat Jali tersungkur bersimbah  darah, tak berdaya di hadapannya. Rohmat, anak sulung Lasmi, hanya dapat berdiam diri setelah penusukan  yang ia lakukan.  Irama napasnya mulai tak beraturan,  anak umur 14 tahun  itu seperti kehilangan ingatan  dengan apa yang baru saja terjadi, matanya tajam menatap darah dingin yang menyelimuti di kedua tangannya. “Apa yang telah aku lakukan, Ibu?” Suaranya lirih, batinnya tak  mampu  menyangkal, jika pada akhirnya dirinya telah menjadi seorang pembunuh.

Kemarahan Rohmat kepada  ayah tirinya memang sudah  tidak  terbendung  lagi, setelah  sekian  lamanya  ia berdiam diri.

Lasmi    berusaha    bangkit,    mencoba    menggapai ujung meja untuk  menopangnya  berdiri,   lalu ia berjalan sangat pelan, sambil terus menahan  rasa sakit pada bagian perut  dengan  tangan  kirinya. Dihampirinya  Rohmat anak sulungnya, yang masih terdiam dalam kebingungan.

“Lepaskan pisaunya,  Nak,”  ucap Lasmi lirih  kepada anak  sulungnya  itu.  Lalu secara  perlahan-lahan,   dengan sangat tenang ia gapai sebilah pisau bersimbah darah dari genggaman  tangan  kanan  anaknya.  Tak lama  kemudian, Rohmat pun  meneteskan air mata  tatkala tangan  ibunya membelai dengan lembut rambut  dan wajahnya yang telah dipenuhi  dengan  bercak-bercak darah. “Sekarang pergilah, Nak! Biar Ibu yang menanggung  semua  ini,” ucap Lasmi kembali kepada anak sulungnya itu.

“Ibu,” kata  Rohmat yang tak kuasa menahan  tangis saat menatap lembut wajah yang sangat ia cintai.  “Maafkan aku, Bu.” Lalu ia memeluk kuat tubuh ibunya.

“Semua ini salah Ibu, Nak. Seandainya Ibu mengikuti kata-katamu  untuk  tidak menikah  lagi dengan  Bang Jali, mungkin nasib kita tidak akan seperti ini jadinya.  Kini Ibu sadar,  selama  ini  Ibu terlalu egois, selalu mementingkan keinginan Ibu sendiri, dan tidak pernah memberikan kesempatan kepadamu untuk bicara. Sekarang pergilah, Nak, sebelum anak buah Bang Jali datang,” kata Ibu.    Rohmat perlahan-lahan  mulai melepas pelukannya, lalu dia berjalan menghampiri  Marni,  adik perempuannya,  yang pada  saat kejadian  sempat  bersembunyi   di balik  pintu.  “Maafkan, abang, Dek. Jaga Ibu baik-baik, ya,” kata Rohmat.

“Abang, mau ke mana?” Anak perempuan  berumur delapan  tahun   itu  pun  memeluk  kuat  tubuh   abangnya. “Jangan pergi, Bang!” ucapnya kembali.

Rohmat sebenarnya tak kuasa meninggalkan adik dan ibunya. Akan tetapi, melihat kondisi saat itu, tak memungkinkan baginya untuk bertahan.

“Bu?” Rohmat kembali menatap wajah ibunya, seperti tak terima jika ia harus meninggalkan adik dan ibunya.

“Pergilah, Nak, sebelum anak buahnya Bang Jali datang. Jangan khawatirkan ibu dan adikmu,” kata Ibu.

“Ibu?” Rohmat semakin tak kuasa menahan rasa dalam dirinya. Ia masih tak percaya jika amarahnya yang selama ini terpendam, menjadikan dirinya seorang pembunuh.

“Percayalah, Nak, ibu dan adikmu akan baik-baik saja,” kata Lasmi, lalu kemudian mendampingi anak sulungnya itu keluar melalui pintu belakang. “Cepat pergi, Nak! Pentingkan keselamatanmu!” Lasmi terus meyakinkan  Rohmat  untuk segera  meninggalkan  tempat  itu  sebelum  anak  buahnya Bang Jali datang, untuk  mengantarkan setoran keamanan pasar seperti biasa.

“Rohmat bingung, Bu,” kata Rohmat.

“Pergilah, Nak! Bawa uang dan kalung ini.” Lasmi memberikan kalung dan uang seadanya dari dalam dompet kecil yang biasa ia selipkan di bra hitamnya.

Rohmat pun pergi meninggalkan ibu dan adik perempuannya. Dalam  sepi,  dalam  kebingungan, dan  dalam waktu sebelum turunnya hujan.

***

Pembunuhan ini berawal ketika Jali, suami kedua Lasmi yang gemar berjudi meminta Lasmi, istri ketiganya untuk  melayani dan menemani  tidur Tuan Hongli, seorang pengusaha kopi sekaligus pemilik gedung bioskop yang letaknya tidak begitu jauh dari warung nasi tempat Lasmi biasa berjualan. Tuan Hongli yang merupakan orang paling berpengaruh dan dihormati di wilayahnya, ternyata telah lama memendam  nafsu  yang dalam, kepada  kemontokan tubuh Lasmi, setelah sering kali ia melihat Lasmi berjalan melewati gedung bioskop miliknya. Entah ada kesepakatan apa antara Jali dan Tuan Hongli, sehingga Jali dengan tega meminta istri ketiganya itu untuk meladeni nafsu berahi Tuan Hongli.

Mendengar   permintaan   dari  suami  keduanya  itu, Lasmi menjadi  murka  dan  benar-benar  tak  percaya  jika suami keduanya tega berbuat seperti itu kepadanya. “Anjing kau, Mas!” umpat Lasmi kepada Jali.

“Kamu itu gak usah munafik! Kamu itu sama seperti Leha! Bekas pelacur!” balas Jali.

“Anjing kau, Mas! Anjing kau!” Lasmi tak kuasa menahan amarahnya. Ia mengamuk sejadi-jadinya. Ia jambak sekuat- kuatnya rambut suami keduanya, lalu ia menamparnya berkali-kali, sehingga  menimbulkan  kegaduhan  yang luar biasa di sore itu, membuat Rohmat dan Marni yang baru saja pulang berjualan kue apem, mengintip dari balik pintu dalam sebuah rumah yang masih berbilikkan bambu.

“Dasar  pelacur!”  Jali  mencoba   menahan   amukan Lasmi dengan mendorongnya, membuat Lasmi hampir saja terjatuh.

“Memangnya kenapa kalau aku pelacur! Dasar anjing kau! Gak punya otak! Laki-laki bangsat!” “Bajingan!” teriak  Lasmi.

Satu tamparan keras Jali membuat Lasmi terjatuh. Lasmi berusaha bangkit, tatapannya  tajam, napasnya  mulai menggebu-gebu. Lasmi berjalan  mendekati Jali. Jali pun perlahan-lahan  mundur ke belakang.

“Sudah mulai berani  ternyata kau,” ucap Jali, yang selama ini tidak menyangka akan ada perubahan tajam pada istrinya.

“Mas, selama ini aku selalu bersabar  dengan  segala perilaku burukmu, tapi kali ini aku benar-benar tidak terima dengan caramu memperlakukan aku seperti sampah.” Suara Lasmi padat menggerus,  tangannya  mencoba  menggapai silet yang biasa ia selipkan di bilik bambu rumahnya.

Dalam batinnya ia ingin sekali merobek tenggorokan suaminya. Sayang, niatnya  itu  tak  tersampaikan tatkala sebuah tendangan keras Jali mengarah ke perutnya, membuat Lasmi terjatuh untuk kedua kalinya.

Suara  tangisnya   membaur   dengan  napasnya   yang berat, menahan rasa sakit yang tidak bisa ia terima, membuat Rohmat anak pertamanya yang menyaksikan  kejadian itu dari  balik pintu  tak  kuasa  melihatnya.  Rohmat,  seorang anak yang dikenal penurut dan pendiam itu pun lari menuju dapur. Ia ambil sebilah pisau yang biasa ia taruh  di tungku tempat biasa ia membantu ibunya memasak.

Rohmat terus mengingat perlakuan kasar yang selalu ia terima dari ayah tirinya itu. Bayang-bayang tentang pemukulan  dan  penyiksaan  atas  dirinya  selama  ini terus terbayang dalam benaknya, membuat semangatnya  untuk membunuh  Ayah  tirinya itu  semakin  berkobar. Napasnya semakin kuat menyala, genggaman tangannya pun semakin kuat mengepal, dalam dendam yang selama ini terpendam. Dengan jiwa yang tak terkendali, ia lari menuju  rintihan tangisan ibunya.

“Anjiing!!” Teriakan Rohmat mengiringi  tusukan  pisau berkali-kali di  punggung  ayah tirinya  dan  menciptakan cipratan  darah  yang  menyebar ke segala arah. 

Jali yang saat itu  tidak menyangka  akan mendapatkan serangan tiba-tiba dari anak tirinya, berusaha membalikkan badan untuk melakukan perlawanan balasan. Sayang, belum sepenuhnya  badannya berbalik, sebuah tusukan  pisau dari tangan kanan Rohmat menembus tepat ke lambung kirinya.

Wajah dendam Rohmat mengiringi rintihan Jali atas rasa  sakit yang tak kuasa ia rasakan. Matanya memelotot tak mampu menahan datangnya ajal. Jali pun tersungkur bersimbah darah di hadapan istri dan kedua anak tirinya. Kini mandor pasar itu tak bernyawa dalam balutan darahnya sendiri.

***

Satu jam kemudian, setelah kejadian itu, Eep, Jawir dan Toing, anak buahnya Bang Jali yang biasa mengantarkan setoran keamanan, datang ke tempat kejadian. Betapa terkejutnya mereka, tatkala melihat Jali yang kabarnya memiliki ilmu kebal senjata, terkapar bersimbah darah dengan usus yang terburai.

“Bang Jali!” teriak Eep, anak  buah  Bang Jali yang pertama kali melihat bosnya terkapar.

“Siapa yang melakukan ini?!” bentak Jawir.

“Saya!” jawab Lasmi, siap menerima segala risikonya.

“Bang Jawir, pintu belakang terbuka!” teriak Toing.

“Siapa  yang  melakukan  ini? Jawab  dengan  jujur!” bentak Jawir semakin kuat karena tak percaya akan jawaban Lasmi.

“Saya yang melakukannya! Memangnya kenapa?!”

“Bohong! Bang Jali bukan orang sembarangan. Ini pasti orang yang berilmu tinggi yang membunuhnya!”

“Saya yang membunuhnya. Selama ini kalian telah dibohongi. Jali tidak kebal akan senjata,” kata Lasmi.

“Bang, ada bekas jejak darah ke arah sana,” kata Toing kepada  Jawir  dan  Eep, setelah  dirinya  memeriksa  pintu dapur.

“Itu pasti selingkuhanmu, yang memiliki ilmu tinggi,” bisik Jawir di hadapan  Lasmi. “Cari, Ing! Sampai ketemu!” perintah Jawir kepada Toing.

“Terus mereka berdua kita apakan, Bang?” tanya Eep kepada  Jawir.

“Kamu jaga mereka berdua, biar saya cari bantuan  ke mandor-mandor yang lain untuk bantu kita cari si pembunuh Bang Jali, sekalian lapor polisi. Ingat, jangan sampai mereka berdua pergi, karena mereka adalah saksi mata atas kejadian ini. Ingat itu!”

“Siap, Bang!”

Rohmat  terus berlari,  tak  lama kemudian  turunlah hujan, membasahi semua tubuhnya yang dipenuhi lumuran darah.  Arah pikiran yang tak menentu,  membuat dia hanya terus berlari mengikuti ketakutannya  pada semua bayangan pembunuhan yang ia lakukan.

Di empat pertemuan jalan, Rohmat berhenti, lalu sembunyi di sebuah rumah tua peninggalan Belanda. Matanya  terus  mengawasi  ke luar rumah, saat dirinya melihat beberapa orang melintas di depannya.

“Ing! Mau ke mana loe hujan-hujan gini?” tanya seseorang.

“Bang, loe lihat orang lari ke arah sini gak?” tanya Toing kepada empat orang pemuda yang ia temui.

“Kagak lihat, Ing. Emang ada apa, Ing?” tanya pemuda itu.

“Bang  Jali  dibunuh!  Gua  lagi  cari  pembunuhnya!” jawab Toing.

“Apa! Bang Jali dibunuh?” kata keempat pemuda serempak.

“Iya, dibunuh! Kemungkinan yang bunuh orang sakti! Karena Bang Jali, kan, punya ilmu kebal! Jadi, kemungkinan pembunuhnya  bukan  orang  sembarangan. Bantuin nyari, yuk!” ajak Toing.

“Saya gak berani, Ing! Nanti malah kita yang dibunuh sama pembunuhnya!” jawab mereka.

“Aduh,  kita,  kan,  berlima! Masa takut, sih?” balas Toing.

“Berlima. Tapi, kan, kita gak punya ilmu apa-apa?” jawab mereka lagi.

Tak lama kemudian  terdengar suara “krek”  seperti ranting yang terinjak dari  dalam  rumah  tua  peninggalan Belanda, tempat Rohmat bersembunyi. Rohmat langsung duduk merunduk, sambil menggigit kain bajunya menahan rasa takut, akan suara yang tiba-tiba saja terlintas di dalam rumah tempatnya bersembunyi. Matanya dipejamkan sekuat-kuatnya untuk tetap bertahan karena tak mungkin ia keluar dari tempat persembunyiannya.

“Suara apa, tuh?” celetuk Toing pelan.

“Suara itu dari dalam rumah tua, Ing,” jawab salah satu pemuda.

Semua  terdiam,  saling  menatap   satu   sama   yang lain, hingga kumpulan  wajah mereka  membentuk  sebuah lingkaran kecil.

“Kabarnya, rumah itu ada kuntilanaknya,” jawab Toing.

“Kuntilanak?” tanya mereka.

“Iya, kuntilanak,” jawab Toing kembali.

“Lariii!!” Semuanya pun lari berhamburan ketakutan.

Rohmat  hanya  bisa  bertahan   di  dalam  rumah  tua itu  dengan  terus  menggigit  kain  bajunya. Dan  setelah sekian lama ia menutup matanya, ia pun  mulai mencoba untuk  membukanya  secara perlahan-lahan. Meskipun  rasa takut  masih terus menghantuinya, “Uh! Ternyata kucing!” celetuknya, lalu ia pun bersandar melepas apa yang baru saja ia rasakan.

***

Sembilan hari setelah terbunuhnya Jali, Lasmi dinyatakan  bersalah  dan  harus  menerima  hukuman kurungan penjara selama tiga tahun enam bulan masa kurungan. Karena dengan tidak sengaja telah membunuh suami keduanya.

Dalam persidangan, Lasmi berusaha menutupi apa yang sebenarnya  terjadi dengan mengatakan  bahwa pembunuh suami  keduanya  adalah  dirinya  sendiri. Dan  pembunuhan itu ia lakukan atas dasar kebencian terhadap perilaku buruk suaminya. Ini dilakukan Lasmi semata-semata  hanya untuk melindungi anak sulungnya dari aksi balas dendam  yang mungkin akan dilakukan oleh anak buah suaminya.

Dengan adanya kejadian ini, Lasmi menjadi sadar atas kesalahan-kesalahan yang ia lakukan di masa lalu. Lasmi juga tidak pernah menyangka, jika salah satu penjaga lapas tempatnya di tahan  yang bernama  Pak Bahrun,  meminta Marni, anak perempuan Lasmi untuk diasuh olehnya.

“Marni, ikut  Bapak, ya!” pinta  Pak Bahrun  penjaga lapas.

“Ibu, gimana?” tanya Marni kepada penjaga lapas, yang suatu hari nanti mengantarkan Marni menjadi seorang pengacara yang hebat.

“Setiap  minggu, kamu  bisa jenguk ibumu. Sekarang, Marni ikut Bapak,” kata Pak Bahrun.

“Terima kasih, Pak. Sudah mau menerima Marni,” kata Lasmi setelah menyerahkan anak keduanya itu.

Pak Bahrun adalah orang yang sangat baik. Meskipun sudah memiliki dua orang anak laki-laki, dia bersama istrinya masih mau menerima Marni untuk ikut bersamanya. Di sana Marni disambut dengan hangat oleh istri dan kedua anak laki-lakinya.

“Kenalkan, namaku Ronny dan ini kakakku, Bagus,” kata Ronny, anak kedua Pak Bahrun yang umurnya terpaut satu tahun di atas Marni. “Kamu, suka main kelereng?” lanjut Ronny.

“Suka,” jawab Marni sambil menganggukkan kepala.

“Ayo, kita main di depan rumah,” ajak Ronny. Marni mengarahkan  kepalanya ke arah Pak Bahrun dan istrinya, seperti mencari jawaban.

“Boleh main,  tapi  sebelum Asar harus  sudah  ada di rumah,” kata Pak Bahrun yang disambut ekspresi kebahagiaan dari anak keduanya.

“Bagus, gak ikut main?” tanya Yeni, istri dari Pak Bahrun.

“PR Bagus masih  banyak,  Mah,”  balas Bagus, yang kemudian  berjalan  menuju  kamarnya. 

Setelah itu,  Bagus kembali menghampiri  adiknya dengan membawa sekaleng kelereng miliknya. “Ini, Dek, kelerengnya. Ingat pesan  Ibu, sebelum Asar, sudah sampai rumah,” lanjutnya.

“Kakak, benar gak mau main?” tanya Ronny.

“Kakak masih banyak PR, Dek. Kamu berdua saja main sama Marni. Jangan jauh-jauh, ya,” balas Bagus.

Marni pun senang, bermain di depan halaman rumah Pak Bahrun dan merasakan  kegembiraannya saat bersama keluarga barunya. Meskipun kadang dalam hatinya, Marni selalu ingat ibu dan abangnya.

Dari balik jendela, Bagus tersenyum melihat kebahagiaan pada wajah adiknya, yang sedang  mengajarkan Marni bermain kelereng. “Seperti ini caranya,” kata Ronny sembari menunjukkan  keahliannya cara bermain  kelereng. “Bagaimana, mudah, kan?” tanya Ronny yang membuat Marni tersenyum.

***

Rohmat meringkuk  sendiri  dalam dump  truck yang ditumpanginya, tak tahu ke mana arah tujuan. Angin berembus terlalu dingin, membawa batin kepada suatu ingatan  akan kerinduan  dengan wajah ayahnya yang telah lama menutup  mata. 

“Kamu anak laki satu-satunya.  Jaga ibu dan adikmu.” Terngiang pesan terakhir mendiang sang ayah.

Hatinya semakin kalut, janji kepada ayahnya tak terpenuhi. Rohmat semakin sakit pada bayangan akan nasib ibu dan adiknya. “Ayah, maafkan Rohmat,” bisiknya kepada angin dan malam yang dingin.

Tak lama,  tertidurlah  ia  dalam  kebingungan akan nasibnya di masa depan.

***

Malam berlalu, ada sedikit terang menembus di sela- sela  perjalanan. Rohmat  yang  baru  separuhnya   terlelap dalam tidurnya, terbangun. Ternyata telah tampak  cahaya di  matanya. Dia  berusaha  bangkit,  lalu mengusap  kedua matanya. Dalam keadaan setengah mengantuk Rohmat mengamati sekelilingnya. Suasana pasar yang terlihat ramai, membuatnya teringat akan adik dan ibunya.

“Marni, biarkan abangmu  saja yang bawa. Badanmu tak  cukup kuat bawa sayuran itu,” kenang Rohmat akan suara Ibu dan senyuman manis adiknya.

Angin dingin berembus mengeringkan air mata, “Sudah  bukan   lagi  waktunya   menangis,”  ucapnya. 

Tak lama kemudian, truk yang ditumpangi  Rohmat berhenti di suatu tempat yang sama sekali tidak ia kenali. Rohmat melompat dari atas dump truck, berjalan perlahan mendekati sang sopir yang baru turun dan menutup pintu. “Terima kasih, Pak,” ucap Rohmat.

“Sudah bangun ternyata, ” kata sopir truk tersebut.

“Oh ya, kamu ini sebenarnya dari mana dan mau ke mana?” tanya sopir truk tersebut.

Rohmat bingung mau menjawab apa. Ia sangat takut jika sesuatu  yang  telah  terjadi  kepada  dirinya  diketahui orang lain.

“Kok, diam? Kamu kabur, ya, dari rumah?” tanya sopir itu kembali.

“Gak, Pak. Saya mau ke sana!” jawab Rohmat sekenanya.

“Ke panti?” Sopir itu menunjuk ke arah utara pasar.

“Iya, Pak!” jawab Rohmat.

“Ternyata kamu ini anak panti. Hati-hati, jangan jauh- jauh mainnya.  Jangan nakal, sudah  sana  pulang. Kasihan pengurusmu,  pasti  pusing mereka mencarimu,” kata sopir dump truck.

“Iya,  Pak.” Rohmat  pun   segera   berlalu.   Dalam keadaan perut yang kosong, ia berjalan dan berharap dapat menemukan warung nasi untuk singgah sejenak dan makan. Akan tetapi, warung nasi yang ia harapkan tidak ia temukan. Hingga pada akhirnya ia melihat seorang gadis penjual buah mangga, Rohmat pun berjalan menghampirinya.

“Berapa harga satu mangga?” tanya Rohmat kepada gadis penjual mangga tersebut.

“Sekilonya seratus lima puluh. Mau beli berapa?” jawab gadis penjual mangga.

“Satu saja. Saya ambil yang ini,” kata Rohmat.

“Satunya tujuh puluh lima rupiah,” jawab gadis itu.

“Boleh  pinjam  pisaunya?” pinta  Rohmat, dan  gadis itu  mengiyakan. Tidak lama kemudian  Rohmat mengupas mangga tersebut, tetapi belum sepenuhnya mangga itu terkupas. Rohmat  teringat  akan   pembunuhan   yang  ia lakukan. Lalu dengan cepat ia membuang pisau dan mangga tersebut ke tanah, membuat gadis penjual mangga dibuat bingung olehnya.

“Kamu kenapa?” tanya gadis penjual mangga. Rohmat terdiam, mencoba menenangkan diri.

“Gak apa-apa.” Dengan sedikit gugup Rohmat mencoba mengambil uang dari sakunya. “Ini uangnya.”

Rohmat pun segera berlalu, ia merasa malu kepada gadis penjual mangga tersebut karena telah bertingkah aneh di depannya.

Rohmat juga sangat khawatir jika terlalu lama di tempat itu, identitasnya sebagai pembunuh akan diketahui. Rohmat berusaha menutupi  diri, kemudian ia berlari menjauh dari tempat itu, setelah membayar  buah  mangga  yang belum sempat  dinikmati.  Tanpa  Rohmat  sadari,  ketika  dirinya akan  membayar  mangga  yang  dibelinya,  terselip  kalung emas milik ibunya, sehingga kalung tersebut terjatuh.

Gadis penjual mangga yang melihat kejadian itu segera memanggil Rohmat dan mengejarnya. Akan tetapi, Rohmat yang sudah telanjur lari dalam bayangan ketakutan, tak mendengar  panggilan  gadis penjual  mangga tersebut. Sampai akhirnya, Rohmat menghilang dalam keramaian pasar.

“Ada apa dengan dirinya?” tanya gadis itu dengan terus menggenggam kalung emas di tangannya.