Contents
Pertemuan
Tentang Mei 1998
MENJELANG pagi, tepatnya jam sebelas malam lewat lima puluh tiga, aku baru saja menyelesaikan surat yang aku tulis untuk ibuku di Jakarta. Baru pada lipatan pertama surat itu di tanganku, aku seperti mendengar suara ibuku, di antara suara Opa, Oma dan beberapa suara lainnya yang berasal dari ruang tamu. Tanpa berpikir lama, aku segera berjalan menuju sumber suara itu. Berharap bahwa di antara suara itu, ada suara yang selama ini aku rindukan. Ternyata benar, suara itu adalah suara ibuku, suara yang hampir tiga tahun ini tidak pernah hilang dari ingatanku, dan kini pemilik suara yang indah itu telah berdiri tepat di hadapanku. Benar-benar malam itu telah menjadi malam yang sempurna bagiku.
“Ibu.” Aku segera berlari untuk memeluknya.
“Cakra.” Ibu merentangkan kedua tangannya menyambutku.
“Ibu, aku bahagia bisa bertemu Ibu kembali,” kataku. Aku lihat kerinduan di wajahnya, sama denganku.
“Maafkan Ibu, karena telah lama meninggalkanmu di sini,” ungkapnya.
“Ibu,” kataku kembali. “Aku baru saja menulis surat ini untuk Ibu.” Kemudian kutunjukkan surat itu kepadanya. Tak lama, aku melihat dua bola matanya berkaca-kaca.
“Kenapa menangis?” Kuusap air mata Ibu dengan kedua tanganku.
“Membaca tulisanmu, Ibu jadi teringat ayahmu.” Ibu berusaha tersenyum untuk meredam kesedihannya.
“Aku berharap Ibu tidak lagi meninggalkanku di sini,” pintaku.
Ibu menganggukkan kepala tanpa suara. “Kenapa tak ada suara?” tanyaku.
“Mulai saat ini, kita akan berjuang bersama di sini,” balas ibuku.
“Kamu ini mirip sekali dengan ayahmu.” Ibu lalu mengajakku untuk diperkenalkan dengan beberapa orang yang datang bersamanya. “Ini Cakra, anakku,” lanjut Ibu memperkenalkan aku.
***
Malam itu, Ibu datang ditemani Haji Hasan dan Pak Han bersama keluarganya. Keluarga Pak Han adalah warga keturunan Tionghoa pemilik toko elektronik yang selamat dari kerusuhan yang terjadi di Jakarta, 14 Mei 1998.
Letak toko elektronik milik keluarga Pak Han berada persis di samping kiri warung makan milik Haji Hasan, tempat selama ini Ibu bekerja. Awalnya, mereka berdua tidak pernah menyangka jika tempat usaha mereka akan menjadi sasaran penjarahan serta pembakaran yang dilakukan oleh massa. Karena dua hari sebelumnya, demo besar juga terjadi di sekitar tempat usaha mereka, tetapi semua berjalan tertib, tidak beringas seperti hari itu.
Sebelum kejadian, Haji Hasan dan Pak Han sempat memperhatikan ada beberapa orang yang selalu mondar- mandir di depan toko mereka. Orang-orang itu berambut pendek seperti potongan rambut seorang tentara. Dan saat demo berlangsung, mereka berjalan menyebar masuk ke kerumunan massa. Tidak lama kemudian, tiba- tiba massa berubah menjadi beringas dan merusak semua fasilitas umum serta infrastruktur milik pemerintah. Sampai akhirnya perusakan itu merambat ke pembukaan secara paksa pintu-pintu toko yang sengaja tutup karena adanya demo. Semua barang dikeluarkan oleh mereka. Sebagian ada yang dibawa pergi, dan sebagian lagi ada yang dibakar di tengah jalan. Tak lama kemudian, datang beberapa orang dengan potongan rambut yang sama mengendarai sepeda motor, lalu melemparkan bom molotov ke arah toko-toko tersebut secara acak tanpa mempedulikan orang-orang yang masih berada di dalamnya. Kenang Haji Hasan dan Pak Han yang saat itu memilih untuk segera meninggalkan tempat usaha mereka.
Dalam situasi yang semakin memanas, Pak Haji Hasan meminta Pak Han untuk segera mengajak istrinya naik ke mobil yang sudah terparkir di depan toko. Tapi Pak Han terlihat bingung dan panik. Begitu juga dengan istrinya yang masih disibukkan dengan bon-bon tagihan miliknya. Melihat kondisi itu, tanpa pikir panjang Pak Haji Hasan langsung menarik tangan kedua suami istri itu untuk segera naik ke mobilnya.
“Sudah, lupakan tokonya. Lihat itu! Di sana semua toko sudah dibongkar dan dibakar massa!” kata Haji Hasan kepada mereka berdua. Setelah itu, Haji Hasan meminta semua karyawannya, termasuk ibuku, untuk segera meninggalkan rumah makan miliknya.
“Sari, kamu ikut saya dan yang lainnya silakan pulang. Jangan hiraukan tempat usaha saya, sudah biarkan saja,” perintah Haji Hasan sambil keluar diikuti oleh semua karyawannya.
Dan pada saat Pak Haji Hasan akan men-starter mobilnya, ia melihat ibuku masih berada di depan meja kasir.
“Sariii! Sudah, biarkan uang itu. Cepat naik!” bentak keras Haji Hasan kepada ibuku. Tapi ibuku tidak mempedulikan bentakannya. Ibuku masih bersikeras mengambil semua uang yang tersimpan di laci kasir. Setelah semua uang itu diambilnya, ia pun segera berlari menuju mobil.
“Maaf, Pak Haji. Ini semua uang Pak Haji,” kata ibuku sambil meletakkan semua uang itu di depan Haji Hasan, yang masih berusaha menyalakan mobilnya.
“Gak guna uang itu. Pentingkan keselamatanmu!” jawab Haji Hasan menampakkan wajah kesal, yang membuat Ibu hanya terdiam di dalam mobil. Tak lama kemudian, mobil itu berhasil dinyalakan. Akhirnya mereka dapat menjauhkan diri dari kerusuhan. Meskipun tampak jelas kesedihan di wajah mereka, saat mereka melihat secara langsung dari balik kaca jendela mobil, tempat usaha mereka dirusak, dijarah, lalu dibakar oleh massa.
Dalam situasi seperti itu, Pak Haji Hasan masih berusaha menenangkan hati mereka, dan dia mengatakan, “Hilangnya benda bisa dicari, tetapi hilangnya nyawa hanya meninggalkan duka. Kita menyelamatkan nyawa, bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk orang-orang yang mencintai kita dan masih berharap banyak dengan kehadiran kita. Yakinlah bahwa semua benda yang terbakar itu bisa kita bangun kembali,” ucap Haji Hasan sambil terus mengatur laju mobilnya.
“Terima kasih, Pak Haji. Pak Haji sudah mengingatkan saya,” kata Pak Han dan istrinya.
***
“Ibu.” Mataku mengarah ke arah wajah Ibu. “Jangan pergi lagi,” pintaku sambil tanganku mendekap tubuhnya dari samping kanan.
Ibu membalasnya dengan memberikan belaian lembut pada rambutku. Aku sempat melihat ada sedikit kengerian di wajah Ibu, ketika Haji Hasan menceritakan tentang pelecehan seksual yang dialami oleh tiga perempuan muda keturunan Tionghoa di pinggir jalan, saat kendaraan mereka dihentikan oleh massa. Akan tetapi, untungnya ketiga perempuan itu berhasil menyelamatkan diri, meskipun kendaraan mereka pada akhirnya harus dirusak dan dibakar.
“Turun! Turun! Cepat turun!” teriak massa sambil memukul bagian depan mobil Haji Hasan, saat mobil Haji Hasan terjebak dalam kerumunan massa dan membuat semua yang berada di dalam mobilnya menjadi semakin panik. Terkecuali dirinya, yang masih berusaha untuk tetap tenang menghadapi kepungan massa.
“Saya seorang veteran. Tolong, hormati saya. Biarkan saya bersama keluarga saya lewat. Saya mau pulang,” ungkap Haji Hasan sembari mengeluarkan kartu anggota veteran miliknya yang ditunjukkan ke arah kerumunan massa. Kemudian salah satu orang di antara kerumunan massa yang sempat menghentikan mobilnya itu, meminta kepada semua rekan-rekannya untuk memberikan jalan.
“Buka jalan! Buka jalan! Mereka keluarga pejuang! Bukan Cina! Kasih jalan! Ayo, kasih jalan!” teriak orang itu sembari terus mengawal mobil Haji Hasan keluar dari kepungan massa. Akan tetapi, baru sampai setengah jalan, tiba-tiba seseorang dari sebelah kanan mobil memukulmukul kaca jendela mobil Pak Haji Hasan berkali-kali dengan tangannya.
“Woi, lihat itu! Lihat itu! Di dalam mobilnya ada orang Cina! Ada orang Cina!” teriak orang tersebut, tetapi untungnya aksinya itu langsung dihentikan oleh beberapa orang yang berada di sampingnya.
“Jangan! Jangan! Mereka keluarga veteran! Mereka keluarga veteran! Biarkan mereka jalan! Tolong berikan mereka jalan!” teriak beberapa orang yang terus berusaha mengawal mobil Pak Haji Hasan keluar dari kepungan massa, sampai akhirnya mereka pun selamat.
***
Bangsa ini seperti kehilangan kontrol, kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang dikenal dunia dengan keramahannya. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika ibuku menjadi bagian dari korban kerusuhan itu. Mendengar cerita Pak Haji Hasan dan Pak Han, membuat aku tak ingin lepas dari pelukan ibuku.
“Ibu.” Aku memohon kepadanya. “Jangan pergi!” ucapku kembali. Ibu semakin kuat memelukku, “Ibu akan tetap bersamamu.” Wajahnya teduh menatapku.
“Aku sayang Ibu,” kataku.
***
Kerusuhan itu menurut Haji Hasan, berawal dari krisis ekonomi yang mengakibatkan naiknya harga pangan, dan meningkatnya jumlah pengangguran akibat PHK besar-besaran, yang terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia. Ditambah lagi tekanan politik yang selama itu diterapkan oleh pemerintahan Soeharto dalam menekan dan menyumbat kebebasan rakyat dalam mengeluarkan pendapat, membuat rakyat semakin tertekan hidupnya. Puncaknya adalah gugurnya empat mahasiswa Universitas Trisakti, di antaranya adalah Elang Mulya, Hendrawan Sie, Herry Hertanto, dan Hafidin Royan, akibat tembakan aparat yang berusaha menghalangi aksi damai mahasiswa pada saat mereka sedang membagi-bagikan bunga di sepanjang jalan menuju gedung DPR/MPR, 12 Mei 1998.
Maka setelah kejadian itu, amarah rakyat semakin memuncak. Mereka semakin berani mengobarkan semangat perlawanan terhadap pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Sayang, amarah rakyat saat itu justru dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk kepentingan politiknya, dengan berusaha membangun isu-isu yang membuat keadaan semakin keruh. Seperti isu kecemburuan sosial terhadap warga keturunan Tionghoa, yang membuat sepanjang jalan banyak ditemukan spanduk bertuliskan anti Cina.
Isu ini sengaja dibangun pada saat situasi negara semakin tak terkendali, dan orang-orang yang membangun isu ini nantinya akan muncul sebagai tokoh yang dianggap mampu mengamankan dan mengendalikan keadaan.
Kejadian ini, hampir mirip dengan kejadian yang terjadi di tahun 1965 - 1966 hanya saja pola pemicunya yang berbeda. Jika tahun 1965-1966 berawal karena adanya konflik internal yang terjadi dalam tubuh TNI Angkatan Darat. Yang terjadi pada saat ini adalah murni karena dipicu oleh adanya krisis ekonomi, yang lalu kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menggulingkan Soeharto. Dari semua kejadian itu, yang menjadi korbannya adalah rakyat Indonesia sendiri yang tidak paham dengan kondisi dan situasi seperti ini.
Mereka mudah sekali dikompori dan dimanfaatkan amarahnya untuk kepentingan politik seseorang, terang Haji Hasan sambil mengenang masa kelam pada malam tanggal 23 Maret 1966, saat di mana salah satu sahabat karibnya yang merupakan mantan pejuang menjadi korban dari kejamnya fitnah politik di masa lalu, dan sahabatnya yang menjadi korban itu tiada lain adalah kakekku sendiri, Ayah kandung dari ibuku. Menurut informasi yang dia dapatkan dari beberapa orang yang bisa dipercaya, mengatakan bahwa pada malam sebelum kejadian, kakekku sempat mendapatkan serangan fitnah yang disebarkan oleh orang dalam partainya sendiri, yang mengatakan jika kakekku adalah orang komunis yang menyusup ke dalam Partai Nasional Indonesia, dan telah banyak mempengaruhi orang-orang di dalamnya untuk mendukung tindakan penculikan yang terjadi di malam 30 September 1965 terhadap enam jenderal dan satu perwira menengah. Tentu saja hal ini langsung dibantah keras oleh kakekku, dia berusaha menjelaskan posisi dan pandangan politiknya di dalam partai yang jelas-jelas mengutuk terhadap tindakan penculikan tersebut, tetapi sayang penjelasannya itu sama sekali tidak dihiraukan oleh massa yang sudah telanjur mengepung, serta melempari rumah kakekku dengan batu, kayu, dan api.
Tak lama dari itu, mereka menarik kakekku keluar dari rumah. Tiba-tiba, dorr! Suara keras letusan peluru, sempat sejenak mengheningkan kegaduhan yang terjadi pada malam itu. Dalam hitungan detik, kakekku tersungkur bersimbah darah di atas tanah setelah timah panas menembus bagian belakang kepalanya. Nenekku hanya sanggup menatap diam, menahan tangis dalam ketakutannya, sambil terus memeluk ibuku yang saat itu masih berumur sembilan bulan.
Sebenarnya Opa dan Pak Haji Hasan ingin sekali mengungkap kasus penyerangan yang terjadi di rumah kakekku, tetapi kondisi politik pada saat itu tidak memungkinkan mereka untuk mengungkap kasus tersebut. Meskipun mereka berdua sama-sama perwira aktif.
***
“Pak Haji, tolong jemput anak saya, Meimei. Saat ini di sekolahnya sedang ada ujian dan kemungkinan pulangnya lebih cepat dari biasanya,” pinta Ibu Lina.
“Iya, saya juga dari tadi kepikiran Meimei, Bu,” balas Pak Haji Hasan sembari mengatur laju mobilnya.
“Ambil kiri aja, Pak Haji. Lewat perumahan lebih aman,” kata Pak Han sambil terus memberikan arah yang dirasa aman menuju sekolahnya Meimei, anak semata wayangnya.
Haji Hasan pun terus mengikuti arahan yang diberikan Pak Han untuk menjemput Meimei anaknya di sekolah menengah pertama yang letak sekolahannya tidak begitu jauh dari lokasi kerusuhan.
“Stop! Stop! Pak Haji! Itu Meimei, Pak Haji!” Bu Lina menunjuk ke arah anaknya, yang sedang berjalan terpisah dari teman-temannya. Haji Hasan pun mengarahkan mobilnya ke arah yang ditunjuk. Setelah mereka bertemu Meimei, mereka lalu melanjutkan perjalanannya menuju rumah Pak Han. Tapi sayang, sesampainya mereka di sana, rumah Pak Han sudah dirusak dan dibakar oleh massa. Akhirnya mereka memutuskan segera pergi meninggalkan rumah itu, yang masih dikerumuni oleh massa.
“Pak Haji, kenapa kita gak jemput Bu Hajjah sekalian?” tanya Pak Han kepada Haji Hasan.
“Tenang, Pak Han. Istri saya masih di tempat anak saya, Satria, di Malang,” jawab Haji Hasan.
“Bagaimana dengan rumah Pak Haji sekarang?”
“Mana ada yang berani jarah perumahan ABRI, Pak Han?” jawab Haji Hasan.
“Oh ya, ya, saya lupa, Pak Haji. Jadi sekarang tujuan kita ke mana, Pak Haji?” Pak Han menanyakan kembali Haji Hasan.
“Untuk sementara ini, kita ke tempat sahabat lama saya. Kebetulan di sana ada seorang anak yang selama tiga tahun ini ditinggal ibunya,” jawab Haji Hasan.
Ibu hanya terdiam, mendengar sindiran halus dari Pak Haji Hasan.
“Maksudnya Pak Haji, ke panti?” tanya Pak Han.
“Iya, ke panti sahabat lama saya yang pernah saya ceritakan ke Pak Han. Insyaallah di sana aman, karena tempatnya jauh dari keramaian,” terang Haji Hasan.
“Baik, Pak Haji. Saya tahu itu, Pak Haji. Nanti kita nyupirnya gantian. Kalau Pak Haji cape ngomong aja langsung ke saya,” kata Pak Han.
“Boleh, Pak Han. Tapi sekarang, Pak Han tidur saja dulu. Nanti kalau badan saya sudah merasa cape, saya akan bangunkan Pak Han,” jawab Haji Hasan.
“Siap, Pak Haji,” kata Pak Han.
Setelah itu, Pak Han dan keluarga pun tertidur di dalam mobil, sedangkan Haji Hasan masih terus mengendarai mobilnya. Sambil mengamati wajah Ibu dari kaca spion tengah, Haji Hasan kemudian berkata, “Kalau mau anaknya berhasil, orang tua itu harus selalu berada di sampingnya.” “Iya, Pak Haji. Tapi saya butuh uang untuk biaya sekolah anak saya,” kata ibuku.
“Kamu datang ke Jakarta untuk mencari uang atau mencari suamimu?” tanya Haji Hasan.
“Dua-duanya, Pak Haji,” jawab ibuku.
“Kenapa kamu gak sekalian bawa anakmu ke Jakarta?” tanya Haji Hasan lagi.
“Jakarta bukan tempat yang cocok untuk anakku,” jawab Ibu.
“Tapi cara yang baik untuk mendidik seorang anak adalah kita harus selalu ada di sampingnya,” kata Haji Hasan.
“Saya bingung, Pak Haji,” jawab Ibu.
“Kalau mau memperjuangkan sesuatu, perjuangkanlah yang paling kamu harapkan dalam hidup,” jawab Haji Hasan.
“Saya bingung, Pak Haji,”jawab Ibu kembali.
“Sudahlah, kalau begitu kamu tidur saja. Hidup itu sebenarnya simple. Pikirkan saja apa yang ada di depanmu, dan batasi keinginan untuk fokus hanya pada satu tujuan. Karena orang tua yang berhasil adalah mereka yang sanggup menciptakan generasi yang lebih hebat dari dirinya Bersyukur, Sari, kamu masih punya banyak waktu untuk anakmu,” kata Haji Hasan.
“Terima kasih, Pak Haji,” jawab Ibu.
“Untuk apa?” tanya Haji Hasan.
“Karena sudah mengingatkan saya untuk kembali ke anak saya,” jawab Ibu.
***
Lalu, ibuku bersandar untuk memejamkan kedua matanya yang sudah tampak sangat letih. Begitulah cerita yang disampaikan oleh ibuku, yang menjadi dasar keputusannya untuk tetap bersamaku di panti, membantu Opa dan Oma mengurusi anak-anak di panti.
“Terima kasih, Ibu, sudah mau kembali bersamaku,” kataku.