Contents
Ros dan Chandra
3. Tinggal di Bandung
Dentang bel disambut sukacita seisi kelas. Semua siswa bergegas memasukkan buku-buku dan peralatan sekolah mereka ke dalam tas.
“Ayo KM, pimpin doa dulu!”
Bu Etty, guru Ekonomi yang barusan menyuruh mereka membuat rangkuman Bab 1 dari buku menepuk bahu Arief, KM di kelas 2-1.
Setelah berdoa dan mengucapkan salam kepada guru, seisi kelas berhamburan keluar. Hari ini Sabtu, hari terakhir sekolah yang membuat semua anak sangat bersemangat.
Beberapa anak lelaki, langsung membuka baju seragam mereka dan menyimpannya di dalam tas. Di balik baju seragam, mereka sudah mengenakan kaus oblong. Mereka adalah para penggila bola basket, yang merasa harus selalu men-dribble bola saat pulang sekolah sampai sore tiba. Anak-anak perempuan sibuk mengobrol sambil membereskan tas masing-masing. Mungkin mereka sedang merencanakan acara malam mingguan bersama pacar masing-masing atau kongkow dengan teman-teman.
Ros merogoh-rogoh laci di bawah mejanya, khawatir ada peralatan sekolahnya yang tertinggal.
“Ros.” Bahunya ditepuk orang.
Ros menoleh dan tersenyum. Reni, teman sebangkunya yang berambut panjang dan berkulit putih itu menatapnya.
“Mau langsung pulang?”
“Iya.”
“Jalan dulu yuk, ke BIP. Kan besok libur.”
“Wah, ga bisa.”
Ros menutup tas sekolahnya sekarang. Reni cemberut demi mendengar jawabannya. Gadis itu sungguh tak paham mengapa sulit sekali untuk mengajak Ros pergi main. Tak seperti teman-temannya yang lain, yang bahkan selalu main dulu setiap hari setelah pulang sekolah, Ros sama sekali tidak tertarik.
“Ga bisa wae … kenapa sih Ros, pengen cepet pulang terus.”
“Mmh … bantu Ibu di rumah.”
“Aduh kamu mah, udah di sekolah pinter, di rumah rajin bantu-bantu. Baik pisan kamu teh, Ros.”
Ros tertawa kecil. Reni tak tahu bahwa ‘Ibu’ yang dia maksud adalah majikan di rumah, dan posisinya sebagai pembantu tak memungkinkannya untuk pergi jalan-jalan sepulang sekolah. Reni dan teman-teman sekelas mereka belum tahu kenyataan sebenarnya tentang Ros. Ros tidak bermaksud menyembunyikannya, tapi ia hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk bercerita.
“Ya udah atuh, aku pergi sama anak-anak ya.”
“Iyaa, dadaah ….”
Reni melambaikan tangannya sambil bergegas menghampiri teman-teman perempuan mereka lainnya. Ros juga ikut berjalan menuju gerbang sekolah. Tas punggungnya mengayun perlahan di belakang.
Di sisi kiri dan kanannya, puluhan anak SMA lain berjalan bersisian, sendiri-sendiri, maupun bergerombol. Hari Sabtu selalu menyenangkan. Meskipun waktu pulang masih sama, dengan hari-hari lainnya, namun entah kenapa selalu terasa lebih cepat. Mungkin karena keesokkan harinya, semua anak tak harus memikirkan untuk buru-buru datang ke sekolah supaya tidak terlambat. Juga tak harus pusing memikirkan tumpukan PR.
Di seberang gerbang sekolah, beberapa angkot berwarna hijau sudah siap menunggu para siswa. Teman-teman Ros yang memang naik angkot untuk pulang, kemudian ramai-ramai menyeberangi jalan. Ros sendiri berbelok ke kanan, lalu berjalan lurus.
Di pertigaan, dia berbelok lagi ke kanan. Di sini dia harus berhati-hati sebab harus menyeberangi jalan di depan sebuah rumah sakit. Meski tak banyak kendaraan lalu lalang, dia tetap tak ingin sembrono. Jika dia tak waspada dan tertabrak becak misalnya, itu akan menjadi sesuatu yang tidak lucu.
Udara Bandung yang sejuk dan rindangnya jalan karena banyaknya pepohonan besar yang memayunginya, membuat langkah Ros mantap mengayun. Dia terutama sangat menyukai udara kota ini yang sangat kontras dengan kota asalnya. Meski semenjak tinggal di sini dia lebih sering mengenakan baju hangat karena dinginnya cuaca, Ros sangat menikmatinya.
Pulang ke rumah Bapak Hendrik (istrinya melarangnya memanggil “juragan”), sebetulnya Ros bisa memakai angkot, hanya rutenya agak memutar saja. Ongkos angkot pun sudah diberikan oleh Ibu Lina, istri juragan, eh, Pak Hendrik. Namun, Ros lebih memilih untuk berjalan kaki. Selain karena sehat, juga dia bisa menyimpan uang ongkos tadi. Siapa tahu suatu hari dia membutuhkannya.
Tak terasa sudah satu bulan dia tinggal di kota Bandung, di rumah putih besar yang dulu membuatnya jeri. Semakin lama, dia semakin betah, meski sesekali masih merindukan ibu dan kedua adiknya di Wanayasa. Hingga hari ini, dia belum berani minta izin pulang. Sebab pelajarannya di sekolah pun cukup menyita kesibukannya.
Ya, juragan Hendrik (ah, gara-gara Bapak dan Emak, panggilan itu begitu melekat) menepati janjinya pada Ibu. Ros disekolahkan di salah satu SMA negeri di Bandung. Setelah canggung karena menjadi murid baru, sekarang Ros sudah merasa kerasan menjadi bagian dari sekolah tersebut. Teman-teman di sekolah baru menyambutnya dengan baik. Membuat Ros menghapus pikiran menakutkan akan teman-teman baru yang tidak menyenangkan. Maklum, asalnya yang dari kampung membuat Ros sangat minder untuk bergaul dengan anak-anak di kota besar ini.
Selain itu, ada banyak kejutan di rumah keluarga Hendrik yang sebelumnya tak pernah Ros duga. Seperti misalnya, Bu Lina ternyata juga orang Sunda. Tadinya Ros menyangka akan berhadapan dengan Enci-enci paruh baya yang sering dia lihat di toko besi di dekat rumahnya di kampung.
Bu Lina adalah perempuan Sunda asal Sukabumi yang menemukan jodohnya dalam sosok Hendrik Wijaya, seorang Tionghoa yang lahir dan besar di Bandung.
Bu Lina juga sangat ramah. Ia mengajak Ros berkeliling rumahnya yang luas, sambil menunjukkan apa saja yang menjadi tugas dan tanggungjawab Ros.
Memasak dan mencuci (memakai mesin), dan menjaga kebersihan lantai satu (dapur, ruang tamu, ruang tengah dan kamar utama) itu tugasnya Bik Ida. Ros kebagian menyapu, mengepel dan membereskan kamar-kamar di lantai dua, yang semuanya dihuni oleh anak-anak Bapak Hendrik dan Ibu Lina. Setiap tiga hari sekali, mereka juga dibantu oleh Teh Lilis, tenaga tambahan untuk bagian menyetrika pakaian.
“Kalo semuanya dikerjain sama kamu atau Bik Ida mah repot, di sini baju yang mesti dicuci sama dilicin banyak pisan.” Begitu kata Bu Lina.
Ros hanya mengangguk.
Di lantai dua, ada empat kamar yang semuanya besar-besar, plus satu kamar tamu berukuran lebih kecil. Anak-anak majikan ada empat, dan baru tiga orang yang sudah bertemu dengan Ros. Ada Mutiara, anak terkecil yang masih di SD, dia anak yang ceria dan senang bernyanyi.
Lisa, anak ketiga bersekolah di SMP. Dibanding saudara-saudaranya, Lisa lebih pendiam. Ia tak banyak omong, dan di rumah pun ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku atau menonton TV. Kemudian ada juga Sandy, yang kebetulan seusia dengan Ros, dan bersekolah di sekolah yang sama.
Alangkah sungkannya Ros, ketika berpapasan dengan Sandy di lorong sekolah atau lapangan saat upacara hari Senin, meski Sandy selalu melemparkan senyum manis kepadanya. Sebab seperti Ayah dan Ibu mereka, anak-anak majikannya ini juga ramah dan baik hati.
Saat pertamakali Sandy tersenyum padanya di sekolah, Reni yang centil langsung menginterogasinya di kelas.
“Siapa tadi? Dia anak 2-6, kan?”
“Eh, iya.”
“Namanya siapa? Kok kamu kenal? Pacar kamu ya?” berondong Reni.
“Bu-bukaan. Kenal aja kok. Namanya Sandy.”
“Iih … ganteng ya. Orang Cina dia teh? Mirip Aaron Kwok ya.” Reni memilin-milin rambut panjangnya yang ia kibaskan dengan anggun, meniru model iklan Sunsilk.
Ros mengangguk. Sandy memang ganteng. Paduan darah Tionghoa dan kecantikan Bu Lina yang orang Sunda, memberinya wajah yang tampan. Selain itu Sandy baik sekali. Di rumah jika dia kebetulan lewat ketika Ros sedang bekerja, Sandy selalu menyapanya.
Itulah ketiga anak majikan yang sudah bertemu dengan Ros. Sedangkan anak sulung mereka, yang hanya Ros pernah lihat dari foto besar yang terpampang di ruang tamu, berkuliah di Jakarta.
Lamunan Ros terputus karena bunyi klakson dari arah belakangnya. Sebuah motor besar berhenti di sebelahnya.
“Ros, hayu! Bareng.” Wajah Sandy menyembul di balik helm full-face-nya.
“Eh, ga usah. Saya jalan aja.”
“Ih, cepetan … lumayan kan ga cape.” Sandy dengan santainya menarik tangan Ros.
Ros yang gelagapan akhirnya tak punya pilihan lain, selain kemudian naik dan duduk membonceng di belakang Sandy. Motor GL Pro itu meluncur menuju arah Jalan Cipaganti.
“Ros! Nanti minta Bik Ida nganterin makan saya ke kamar ya! Mau sambil maen Sega.” Suara Sandy kencang, berusaha bersaing dengan deru motornya sendiri.
“Iya.”
Di antara angin sejuk kota Bandung yang menampar-nampar wajah dan menerbangkan rambutnya, Ros tersenyum. Lelaki yang sedang memboncengnya ini begitu ramah menawarkan persahabatan di luar fakta status mereka yang begitu berbeda.
Ros merasa amat hangat.