Try new experience
with our app

INSTALL

Menyusul Subang Larang 

Menyusul Subang Larang 2. Pergi Apa Adanya

Menyusul Subang Larang 2. Pergi Apa Adanya 


“Ada apakah, Gusti Prabu? Apa yang membuat, Kakanda Prabu, sampai semarah ini dan sepertinya kok marahnya dengan Dinda?”


“Terima kasih atas makanan yang Ratu Subang Larang buat dengan tangan Ratu Subang Larang sendiri untukku kemarin, yang Ratu Subang Larang berikan sebagai balasan untuk cinta kita yang tidak kesampaian sampai saat ini. Akan tetapi, aku Jaluwuyo yakin, kalau suatu saat cinta kita akan bisa bersatu. Jauh di mata, tapi dekat di hati. Ratu Subang Larang selalu ada di dalam doaku dan mimpiku. Salam sayang dan rindu dari cintamu Jaluwuyo.” Siliwangi membaca kencang-kencang surat itu. Subang Larang mengernyitkan dahinya bagaimana bisa ada surat seperti itu sementara dirinya tidak pernah sama sekali mengirimkan makanan untuk Jaluwuyo.


“Ratu Subang Larang, bisa jelaskan ini? Buat apa, Ratu, mengirimkan makanan kepada Jaluwuyo? Sudah begitu, dibuat dengan tangan Ratu sendiri! Buat apa?” Siliwangi yang terbakar cemburu bertanya dengan membentak-bentak Subang Larang.


“Sama sekali hamba tidak melakukan apa yang dikatakan oleh surat itu, Gusti Prabu. Tidak mungkin Dinda memasak untuk Kakang Jaluwuyo.”


Kentring Manik yang mengintip untuk melihat hasil rencananya terbesit untuk semakin membuat panas. Ia juga harus membuat Siliwangi percaya pada surat itu. Tidak boleh ia biarkan Subang Larang bisa membuktikan kebohongan surat itu. Oleh karena itu, ia segera menghampiri Siliwangi dan Subang Larang.


“Oh, mangkanya surat itu harus sampai langsung kepada Gusti Prabu. Kalau tidak, pasti akan dirahasiakan. Gusti Prabu, masalah perselingkuhan ratu kerajaan bukan masalah pribadi seperti yang terjadi kepada rakyat jelata. Ratu kerajaan adalah kehormatan kerajaan. Jadi, masalah ini harus dipertanggungjawabkan dengan hukum di negeri ini. Para Senopati, abdi, dan rakyat harus tahu masalah ini. Ratu Subang Larang harus dihukum demi kehormatan Istana Pajajaran! Meskipun Gusti Prabu sangat mencintai Ratu Subang Larang, sebagai seorang raja haruslah bersikap bijak dan adil, hukum harus ditegakkan. Hamba akan sampaikan kepada para pembesar istana ini untuk membicarakan masalah ini. Demi kehormatan Pajajaran, hukuman apa yang pantas bagi ratu yang selingkuh.” Kentring Manik pergi.


“Tunggu!” Siliwangi mau mencegah, tetapi begitu cepat perempuan yang juga istrinya itu melangkah pergi. Hanya tangan Siliwangi yang terangkat seolah hendak meraih perempuan itu untuk menahan langkahnya. Namun, apa yang dikatakannya ada benarnya. Ratu adalah salah satu kehormatan suatu kerajaan. Jika ratu bersalah harus dihukum meskipun kesalahan pribadi karena berkaitan dengan kehormatan istana.


“Gusti Prabu, Kanda Prabu, surat itu tidak benar! Percayalah dengan Dinda, Gusti Prabu!” Subang Larang berdiri dari duduknya dan berharap suaminya lebih percaya dirinya daripada surat yang entah dari mana itu. Siliwangi tak acuh dan pergi dari hadapan Subang Larang. Subang Larang sungguh kecewa Siliwangi lebih percaya surat itu daripada dirinya yang katanya cintanya.


“Sepertinya hamba bukan sungguh-sungguh cintanya Gusti Prabu. Kalau hamba benar cintanya Gusti Prabu harusnya Gusti Prabu percaya kepada hamba. Gusti Prabu hanya bermulut manis kepada hamba.” Subang Larang berkaca-kaca.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


Sementara itu, Siliwangi menimang hatinya. “Menghukum Ratu Subang Larang? Aku terluka, aku sungguh sangat marah, tapi aku tidak akan bisa menghukumnya. Bagaimana caranya agar dia tidak dihukum? Dia harus pergi dari istana. Sebelum aku dipaksa menghakiminya, akan aku usir dia sekarang juga.”


Ia merasa tidak sanggup kalau harus menghukum kekasih hatinya itu. Ia berpikir jika lebih baik Subang Larang pergi dari istana. Pergilah ia untuk menemui kembali Subang Larang.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


Subang Larang berbinar melihat kehadiran Siliwangi kembali. Ia berharap dan menduga, jika Siliwangi telah mempercayai dirinya. Ia berpikir, oleh karena itulah, Siliwangi kembali menghampirinya.


“Apa, Kakanda Prabu, sudah tidak percaya dengan surat itu? Kakanda Prabu lebih percaya Dinda?” tanya Subang Larang penuh harap.


“Entah bagaimana caranya aku bisa tidak percaya, Ratu? Ingin tutup mata dan berharap hanya mimpi, tapi ini pagi, Ratu. Pikiranku masih segar, bisa membedakan mana mimpi mana nyata.” Deg, harapan dan dugaan Subang Larang patah. Kata-kata itu mengartikan Siliwangi masih mempercayai surat antah berantah itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba datang menghancurkan seketika saat-saat yang indah lagi menggembirakan.


“Ratuku, Dinda Subang Larang, kau sungguh memberatkanku. Mana sanggup aku menghukummu?”


“Berarti Gusti Prabu tidak akan menghukum hamba?”


“Hukum harus ditegakkan, Ratu. Apa kata Ratu Kentring Manik sungguh benar. Namun, apalah daya cintaku terlalu besar kepadamu, Ratuku Subang Larang. Sebelum aku diminta untuk membawamu untuk mengadilimu, pergilah dari istana!”


“Lebih baik, Gusti Prabu, adili hamba saja, hamba tidak akan kabur!”


“Bukan kabur, aku mengusirmu! Tidak ada tempat untukmu tukang selingkuh di istana ini! Pergi sekarang juga dari istana ini!” bentak Siliwangi dengan sangat lantang menuduh menusuk jantung tanpa berdarah.


“Gusti Prabu, hamba sungguh kecewa. Cinta Kakanda Prabu ke Dinda tidak ada apa-apanya!” Deg, Siliwangi merasa cintanya yang begitu besar tidak dianggap. Subang Larang lekas mengenakan alas kakinya yang ia lepas untuk duduk melantai di tikar. Ia pergi dengan apa adanya yang ada pada dirinya sekarang. Bajunya masih rapi ala ratu, tetapi ia hanya membawa sebuah kantong kain yang berisi sedikit keping emas saja. Tidak ada yang dibawanya selain yang melekat pada dirinya itu.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


Subang Larang melangkah tak tentu arah. Tidak tahu harus ke mana pergi. Ia mengikuti saja ke mana kakinya melangkah dan matanya menatap. Di jalan banyak yang mengenalinya dan menyapanya. Ia hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Ia baru menyadari melangkah tanpa tujuan setelah jauh melangkah dan seseorang mempertanyakannya.


“Gusti Ratu Subang Larang hendak ke mana? Kok sendirian? Tidak takut nanti kalau ada yang jahatin?”


“Em ... em ... kan masih di Pajajaran. Ada banyak prajurit lalu-lalang patroli.”


“Meskipun masih di Pajajaran, ini jauh loh dari istana, Gusti Ratu.”


Subang Larang tidak menjawab hanya tersenyum lebih lebar dari sebelumnya lalu pergi. “Permisi. Sampurasun. Assalamualaikum.”


“Rampes. Waalaikumsalam, Gusti Ratu. Hati-hati!”


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


Ia lantas membatin, “Iya iya aku akan ke mana? Pulang ke orang tuaku? Ah, tidak, sebaiknya tidak. Lalu aku akan ke mana? Sebaiknya untuk saat ini aku pergi ke alas saja. Di sana sepi. Iya aku sedang butuh menyendiri.”


Pergilah Subang Larang ke hutan yang tidak jauh dari perkampungan yang sedang ia lalui. Sesampainya di hutan, ia mendengar suara orang berkelahi. Ia menjadi penasaran. Ia lantas mengikuti arah suara itu. Ternyata yang berkelahi adalah Surawisesa dengan entah pendekar siapa. Ia lantas segera mendekat. Ia lihat Surawisesa kewalahan dan terluka. Ia terbelalak dan cemas. Ia lekas menolong Surawisesa menghadapi lawan.


“Hia cia cia!” Subang Larang berhasil menangkis serangan yang ke sekian kalinya hampir mengenai Surawisesa. Kemudian, ia lanjutkan melawan lawan Surawisesa itu.


Ia tahu lawannya cukup tangguh. Oleh karena itu, ia gunakan akalnya untuk mengelabuhi musuh dan menggunakan apa pun yang tersedia di alam untuk melawan. Akhirnya, musuh berhasil dibuat kewalahan menghadapi dirinya. Musuh khawatir kalau kalah sehingga kabur.


“Surawisesa!” pekik Subang Larang sangat khawatir sembari berlari mendekat ke Surawisesa yang tergeletak setengah terduduk di tanah.


“Bagaimana keadaanmu?”


“Bisa lihat sendirikan?” tanya balik Surawisesa dengan nada kasar.


“Ayo, aku bantu berdiri!” Subang Larang membantu Surawisesa berdiri.


“Kamu harus segera pulang ke istana,” kata Subang Larang.


“Aku tidak kuat,” ungkap Surawisesa.


“Aku tidak mungkin mengantarmu ke istana.”


“Meskipun aku bukan putra kandungmu, tidak seharusnya kau bersikap jahat kepadaku!” protes kasar Surawisesa.


“Bukan begitu, aku sedang tidak bisa ke istana.”


“Kenapa?”


“Aku diusir Gusti Prabu.” Entah Surawisesa harus senang atau sedih mendengar hal itu. Satu hal yang pasti, ia saat ini sedang butuh bantuan untuk sampai ke istana. Butuh diantarkan Subang Larang.


“Lalu aku bagaimana?” tanya Surawisesa yang sedang butuh Subang Larang dengan nada bicara tetap kasar.


“Begini saja, aku akan bayar orang untuk mengantarkan dirimu dengan selamat sampai di istana.”


“Ya sudah, ayo, lukaku sakit sekali!” bentak Surawisesa yang memang kesakitan dan tidak tahan.


“Sabar, Ananda.” Subang Larang memapah Surawisesa. Mereka menuju ke luar alas dan mencari orang yang bisa mengantarkan Surawisesa.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


“Permisi, Kisanak. Kisanak punya cikar. Bisa aku minta tolong antarkan Putraku Surawisesa sampai istana? Soalnya aku tidak bisa mengantarkan Putraku pulang. Aku akan bayar.” Subang Larang dan Surawisesa menghampiri seorang pria yang tampak mengendarai cikar.


“Bisa.” Subang Larang segera memberikan satu keping emas.


“Aku mau satu kantong itu! Yang aku antarkan bukan orang sembarangan. Mana cukup sekeping emas?”


“Bagaimana kalau setengah kantong?” tawar Subang Larang.


“Satu kantong!”


Sementara Subang Larang dan laki-laki pengendara cikar tawar-menawar, Surawisesa membatin,” Sepertinya hanya membawa satu kantong itu.”


“Sisakan untukku seperempat kantong saja!”


“Tidak, aku mau satu kantong! Jika, tidak, antarkan sendiri Putramu ke istana, Gusti Ratu Subang Larang!”


“Pelit sekali sih, satu kantong sudahlah berikan! Aku sudah tidak tahan, sakit sekali!” paksa Surawisesa dengan keluhan.


“Baiklah, tapi tolong antarkan Putraku sampai dengan selamat ke Istana Pajajaran.”


Surawisesa kembali membatin, “Kalau satu kantong diserahkan, itu artinya dia tidak punya bekal. Baguslah biar kelaparan dan gelandangan.”


“Baik, Gusti Ratu.” Akhirnya, pria itu membantu Surawisesa naik ke atas cikar lalu pergi meninggalkan Subang Larang sendirian.


Saat Cikar pergi, di hati Surawisesa terbesit rasa manusianya kepada Subang Larang. “Mungkin dia akan kelaparan, kepanasan, kedinginan, atau kehujanan. Kasihan sih ....” Ia lantas menatap ke arah di mana ia meninggalkan Subang Larang. Ia ingat-ingat jalannya. Pikirnya, tanpa bekal apa pun, Subang Larang mungkin tidak akan jauh-jauh dari tempat itu.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


“Sekarang aku bagaimana? Aku sudah tidak punya uang sama sekali.” Subang Larang bingung sendiri.


Kemudian, ia menyadari penampilannya akan menarik perhatian orang-orang. “Di luar berpakaian mewah seperti ini tidak baik. Aku harus mengganti baju ini, tapi aku tidak membawa baju ganti. Lalu bagaimana? Sebaiknya aku ke alas dulu. Di alas sepi, tidak akan ada yang memperhatikan aku.”


Subang Larang kembali melangkah menuju hutan. Belum sampai di hutan, ia melihat rumah warga. Di rumah itu tampak sepi dan ada jemuran baju perempuan begitu lengkap.


“Apa aku minta bajunya? Aku masih ada perhiasan yang bisa aku tukarkan dengan bajunya. Em ... kalau aku bertemu orangnya nanti, ia akan bertanya-tanya kenapa aku harus menukar bajunya dengan perhiasan. Hubunganku yang sedang tidak baik dengan Gusti Prabu akan diketahui rakyat jika begitu. Sebaiknya aku diam-diam saja mengambil baju itu. Aku akan tinggalkan emas dan baju bagus ini sebagai gantinya.”


Akhirnya, Subang Larang mencuri baju itu. Setelah dapat, ia pergi dulu ke alas ke pepohonan yang rimbun semak untuk berganti baju. Setelah itu, diam-diam, ia kembali ke rumah penduduk itu meletakkan baju bagusnya yang di dalam lipatannya terdapat semua perhiasannya. Setelah beres, ia kembali pergi ke hutan.


“Jemuranku ke mana? Ya Allah, masak baju saja hilang? Eh, ini baju siapa? Bajunya bagus sekali. Eh, ada perhiasannya! Ah, tidak apa-apa yang jelek hilang. Sudah dapat ganti yang lebih-lebih.”


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


“Sekarang aku bagaimana?” Subang Larang bingung lagi untuk melanjutkan hidupnya. Ia mencoba berpikir. “Aku tidak punya apa pun. Itu artinya aku harus cari uang. Iya, aku harus mencari pekerjaan. Aku akan menyamar, akan aku buat kerudungnya menjadi cadar.”


Subang Larang meletakkan salah satu ujung pasmina di wajahnya. Lalu ia tarik ke belakang kepalanya. Kemudian, bagian pucuk-pucuknya yang ia tarik itu ia ikatkan di belakang kepala. Setelah itu, panjangnya pasmina ia putar-putar ke kepalanya dan ia tata rapi.


“Selesai. Sekarang aku akan mencari pekerjaan.” Pergilah Subang Larang dari hutan menuju ke perkampungan padat penduduk lagi.


✨✨✨✨❤️✨✨✨✨


“Di mana aku bisa mendapatkan pekerjaan? Mungkin rumah yang besar ada yang membutuhkan tenagaku. Iya, jadi pembantu. Tidak masalah jadi pembantu. Memang hanya menjadi pembantu saat ini pekerjaan yang bisa aku lakukan. Setidaknya aku punya pengalaman di dapur. Bersih-bersih juga bukan hal yang susah untukku. Kalau begitu, sekarang aku harus mencari rumah yang besar.”


Setelah berjalan melalui beberapa rumah, akhirnya ia melihat ada dua rumah besar. Ia pun berbinar berseru, “Ada dua!”


Yang mana yang akan aku datangi? Aku coba yang ini dulu. Kalau tidak diterima aku akan coba rumah satunya.” Subang Larang memasuki salah satunya.


“Assalamualaikum! Assalamualaikum! Sampurasun!”


Bersambung

Terima kasih

✨❤️❤️❤️✨


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)