Try new experience
with our app

INSTALL

Mencari Jejak Bapak 

Jejak #5: Pranayuda Si Penakluk Wanita

TOK, TOK, TOK.

“Saha?” tanya seorang wanita yang berada di balik pintu.

“Juna, Bu.”

“Masuk we, atuh. Da teu dikunci.

Setelah dipersilahkan, Juna langsung membuka pintu kamar ibunya dengan sedikit susah payah. Tangan kanannya membawa segelas teh manis panas, sementara tangan kirinya membawa piring kecil berisi roti bakar. Juna lantas bergerak menuju nakas untuk meletakkan barang-barang bawaannya dan kemudian duduk di tepi ranjang.

Mata Juna bergerak mengamati Ibu yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang, sementara kakinya tersembunyi di balik selimut. Di pangkuannya ada Al Quran yang berada dalam posisi terbuka. Sepertinya Ibu tengah tadarusan karena wanita itu terlihat mengenakan atasan mukenanya. Saat melihat kondisi Ibu yang lebih segar dari kemarin, Juna pun lega.

“Juna bawain teh sama roti buat Ibu. Dimakan ya,” kata Juna sambil mulai memijat-mijat kaki Ibu.

Puja terkekeh. “Iya, nanti Ibu makan. Ari Aa udah makan, belum?” Puja memang membiasakan untuk memanggil Juna dengan sebutan Aa, atau kakak dalam bahasa Sunda, sekalipun Juna anak satu-satunya.

“Udah, Bu. Tadi ngemil batagor, dibawain sama Ambar.”

“Lho, Ambar ke sini? Kok Ibu nggak tau? Udah pulang belum?” tanya Ibu heran.

“Tadi cuma sebentar da, nganterin batagor aja,” jelas Juna. “Abis itu dia pulang. Katanya mau ngasih obat buat Mamang.” Mamang yang dimaksud oleh Juna adalah pamannya; ayah Ambar, sekaligus adik sepupu Puja, yang beberapa waktu lalu terkena stroke. Penyebab stroke-nya karena gula darah dan hipertensi yang tidak terkontrol. Saat ini Mamang harus rutin mengkonsumsi obat untuk memulihkan kesehatannya.

“Oh….”

Setelah itu Puja pun diam, begitu juga dengan Juna. Namun, insting keibuan Puja mengatakan ada sesuatu yang tidak biasa dengan Juna sore ini. 

Ari Aa teh kenapa? Kayak lagi banyak pikiran? Cerita atuh sama Ibu?”

Saat mendengar pertanyaan dari Ibu, Juna langsung mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia memang tidak bisa membohongi Ibu. Sungguh, perasaan seorang Ibu memang sangat tajam adanya.

“Bu, Juna teh penasaran….” Juna berhenti sejenak. Dia bingung harus mulai dari mana.

“Ya? Penasaran naon?”

“Itu, Bu…. Juna penasaran…. Bapak sekarang ada di mana? Apa Ibu tahu?”

Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Puja sedikit berubah, dan Juna melihat itu. Wajah Ibu yang semula memancarkan aura kelembutan, kini terlintas ada kepedihan di sana. 

“Ibu… nggak tahu, Aa,” kata Puja kemudian. Wajahnya terlihat begitu sendu.

“Beneran Ibu nggak tahu?” tanya Juna sekali lagi. “Bukannya Juna nggak percaya, Bu. Tapi Juna harus tahu Bapak ada di mana.”

“Untuk apa? Sudah, biarkan saja bapakmu itu.” Puja menggeleng. “Ibu nggak mau berhubungan lagi dengan dia, Nak. Sudahlah, kita berdua saja sudah cukup. Aa nggak perlu nyari Kang Yuda.”

“Bukan begitu, Bu….” Juna menggaruk tengkuk belakangnya yang sebetulnya tidak gatal. Dia bingung bagaimana harus mengatakan ini tanpa melukai hati Ibu.

“Kenapa, Aa? Kalau Aa ingin berbakti pada dia, Ibu rasa tidak perlu,” tegas Puja. “Kang Yuda memang bapakmu, tapi dia sama sekali tidak pernah menafkahi, apalagi mengurusmu. Atau… Aa mau… menyalahkan Kang Yuda karena ulahnya dulu pada Ibu? Kalau seperti itu pun Ibu rasa nggak perlu. Walau dia tidak layak disebut bapak, tapi tetap dia bapakmu. Sedikit banyak kamu harus tetap menghormatinya, jadi—”

“Juna pengin tahu apa Juna punya saudara lain, Bu!” sela Juna cepat.

Kata-kata itu berhasil membuat Puja tertegun. Wanita itu menatap Juna dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Juna akhirnya mengembuskan napas, dan mulai menjelaskan maksud tujuannya dengan hati-hati.

“Juna sudah putus dari Ami, Bu,” katanya pelan-pelan. “Juna nggak tahu ke depannya bakal punya pasangan lagi atau nggak. Tapi, kalau memang Juna bernasib baik dan punya calon yang bisa menerima Juna apa adanya, Juna tetap harus tahu… harus tahu, apa dia saudara Juna atau bukan.”

DEGH!

Penjelasan Juna barusan rupanya terdengar bak sambaran petir di telinga Puja. Wanita itu seketika tergagap. Raut wajahnya pucat, dan tangannya menutup mulutnya yang terbuka lebar. Dan, tahu-tahu saja wanita itu sudah menangis sesenggukan.

“Bu? Bu!” Juna refleks mendekat dan merangkul Ibu yang kini tersedu-sedu. Dia bingung, kenapa Ibu tiba-tiba begini? Apa barusan dia mengatakan sesuatu yang salah?

“Ya… ya… Ibu ngerti….” Racau wanita itu dalam pelukan Juna. Dia kemudian terisak hebat, sementara Juna hanya bisa memeluk ibunya tanpa tahu harus melakukan apa lagi.

Lama berada dalam pelukan anaknya, akhirnya Puja melepaskan dirinya dan mengusap air mata yang masih meleleh di sudut matanya. Matanya terlihat memerah, begitu juga dengan hidungnya. Dia lalu manggut-manggut sambil tetap sesenggukan.

“Ibu mengerti, Ibu mengerti,” katanya berulang-ulang.

“Bu?”

“Aa, kamu harus mencari bapakmu.” Tiba-tiba saja Puja berkata begitu. “Asal Aa tahu, Kang Yuda itu terkenal playboy dan punya banyak pacar. Pergaulannya sangat bebas. Setelah ibu hamil kamu pun petualangan Kang Yuda sama perempuan nggak berhenti juga. Setelah Kang Yuda pergi dari sini, Ibu sempat dengar kabar dia menghamili anak perangkat desa di dekat rumahnya. Makanya dia menghilang karena dikejar-kejar untuk dimintai pertanggung jawaban. Ibu juga sempat dengar, katanya Kang Yuda punya beberapa anak lainnya dari beberapa perempuan.”

Setelah itu, Puja menatap sungguh-sungguh mata Juna. “Aa harus mencari Kang Yuda. Cari tahu kamu teh sebenernya punya berapa saudara. Jangan sampai… aduuuh, amit-amit…. Jangan sampai nantinya kamu menikah dengan perempuan yang ternyata saudaramu sendiri. Cari bapakmu, Juna!” []