Try new experience
with our app

INSTALL

Mencari Jejak Bapak 

Jejak #4: Bagaimana Jika...?

JUNA menatap langit-langit kamarnya dengan lesu. Sejak bermenit-menit lalu dia tidak melakukan apa pun selain berbaring diam dengan mata terbuka, sementara pikirannya berkelana ke mana-mana. 

Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Penolakan keluarga Laksmi untuk yang kedua kalinya ini betul-betul melukainya. Sialnya, dia juga mengakui kalau Aman memiliki alasan kuat untuk menolaknya.

Ya, memang benar dia tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari orang tua yang seperti apa. Dia tidak bisa menolak takdirnya yang terlahir sebagai anak di luar nikah. Namun, Aman pun tidak salah. Orang tua mana pun pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Dari tiga aspek kriteria calon menantu idaman, Juna sudah memenuhi dua aspek: bebet dan bobot. Dia hanya tidak memenuhi kriteria bibit dan, sialnya, justru itu kriteria terpenting bagi keluarga Laksmi.

Dengan kata lain, kata “restu” dari keluarga Laksmi kini seperti permata yang dikelilingi oleh benteng yang tinggi, yang terlalu sulit untuk dia daki walau berusaha sekeras apa pun. 

Tururu~

Ponsel Juna berdering, pertanda ada yang menelepon. Tangan laki-laki lantas bergerak meraih ponsel yang berada di nakas. Sejak tadi notifikasi ponselnya terus berbunyi, tapi dia abaikan karena kepalanya terlalu penat. Namun, kali ini dia terpaksa mengangkat panggilan tersebut yang berasal dari temannya, Mario.

“Jun, ke mana aja kamu?” Suara Mario langsung terdengar begitu Juna menekan tombol hijau. “Gue cariin lo dari kemarin! Jangan bilang lo lupa kalau sebentar lagi deadline kerjaan lo, ya!”

Juna langsung mengusap wajahnya dengan kasar. Sungguh, masalah hubungannya dengan Laksmi ini betul-betul menyita seluruh perhatian dan emosinya, sampai-sampai dia mengabaikan pekerjaannya.

“Sori, Yo… Gue….”

“Gue tahu. Gue udah denger berita tentang lo.” Tiba-tiba saja Mario mengatakan itu. “Gimana juga kita teman lama, Jun. Gue barusan sekalian pengin nanyain gimana kabar lo setelah gagal nikah.”

JLEB.

Kata-kata Mario yang diucapkan secara lugas itu sukses membuat Juna mengusap kasar lagi wajahnya. Dia dan Mario memang sudah berteman sangat lama, dan dia paham kalau temannya itu memang terkadang mulutnya tidak disaring lebih dulu. Namun, tetap saja pertanyaan barusan menghunjam perasaan Juna.

“Kok… lo tahu?”

“Tahu lah gue.” Mario terkekeh di seberang sana. “Rumor cepat berkembang, bro. Gue justru marah karena lo nggak cerita soal itu ke gue. Sekarang, gue tanya. Gimana keadaan lo? You okay?”

“Ya, gitu lah.” Juna tertawa miris. “Gue pernah lebih baik dari ini. Tar kapan-kapan kita cerita.”

“Oke, oke. No worries. Gue paham lo lagi ada masalah, jadi gue mau kasih kelonggaran sedikit buat lo. Desain ilustrasi untuk project buku cerita bergambar itu gue mundurin dua hari. Lusa preview-nya harus udah gue terima ya. Jangan sampai telat ya, bro.”

Telepon itu ditutup sepihak dan Juna pun tercenung cukup lama. Dia baru benar-benar sadar kalau sudah mengabaikan pekerjaannya dalam beberapa hari terakhir. Padahal, sebagai ilustrator freelance yang bekerja dari mana sajadia harus pandai-pandai menjaga hubungan baik dengan klien karena pemasukannya 100% bergantung dari fee per-project. Kalau dia terus-terusan begini, bisa-bisa dia akan kehilangan kepercayaan klien dan pemasukannya berkurang, bahkan menghilang.

Setelah memikirkan itu, Juna lantas mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Dia tidak boleh lama-lama terpuruk. Pikirannya boleh sedih, perasaannya boleh kalut, tapi perutnya tetap harus diberi makan. Karenanya, Juna pun bersiap untuk kembali menuju laptopnya dan mulai bekerja. Namun, sebelum melakukan itu, dia kembali mengecek ponselnya untuk mengecek apa mungkin ada pesan dari klien yang belum dia balas. Sialnya, dia malah tak sengaja membuka pesan dari Laksmi.

 

Citra Laksmi Amartya:   

Kang, jadi Akang bener-bener udah menyerah?

Akang nggak mau memperjuangkan kita lagi?

Ami harus gimana, Kang? Ami maunya cuma sama Akang.

Apa kita kawin lari aja?

 

Pesan itu membuat Juna mengembuskan napas lelah. Dia bingung, sungguh bingung. Di satu sisi Laksmi terus memaksanya untuk berjuang, sementara di sisi lain Juna juga mengerti kalau restu keluarga sangat penting. Dan, dia juga tidak boleh egois dengan mengiyakan ajakan untuk kawin lari. Dia tidak sampai hati untuk merampas seorang putri yang dijaga baik-baik oleh keluarganya hanya untuk memenuhi ego mereka berdua.

Karena bingung harus menjawab apa, Juna memilih untuk mengabaikan saja pesan Laksmi. Namun, tangannya lantas tak sengaja membuka pesan dari sebuah nomor tidak dikenal.

 

No name:

Anak haram mau coba-coba dapetin tuan puteri

Ngaca, bos!

 

Pesan itu membuat Juna menggeratakkan giginya. Terlebih setelah dia mengecek pesan-pesan yang masuk ke nomor WA-nya, ada beberapa pesan dari nomor tidak dikenal lainnya yang menyuarakan hal yang sama. Rata-rata menyinggung soal anak haram yang, entah kenapa, Juna curiga berasal dari kerabat Laksmi. Bukan apa-apa, lamaran waktu itu dilakukan secara tertutup dan hanya disaksikan oleh pihak keluarga Laksmi, sedangkan Juna hanya membawa ibunya, satu kerabat jauhnya, dan Ambar—sepupunya—saja. Dan, saat dia mengecek pesan di direct message Instagram-nya, ada satu pesan dari akun yang dia ketahui adalah kakak sepupu Laksmi, Citra. Juna dan Citra sebetulnya tidak begitu dekat, hanya pernah saling meninggalkan komentar di postingan masing-masing. 

 

Citraaaa_aaa_aa:

Maafin Uwak ya, tapi aku harap kamu ngerti, Jun.

Buat keluarga kami, terutama keluarga Uwak, bibit itu penting

Anggap saja ini pelajaran hidup, Jun. 

Jangan sampai mengulangi kesalahan orang tuamu dulu, yang DP dulu sebelum nikah, hehe

 

“Ck.” Juna berdecak jengkel. Pesan barusan itu betul-betul membuat suasana hatinya menjadi semakin ambyar. Tangannya lantas bergerak untuk memblokir akun Citra. Setelah itu, dia matikan ponselnya dan kembali berbaring menatap langit-langit kamar.

 

***

 

“Sibuk, Kang?”

Suara sapaan itu membuyarkan fokus Juna yang tengah sibuk menyelesaikan berbagai pesanan desainnya yang tertunda. Laki-laki itu menoleh. Dia langsung memutar bola matanya malas saat melihat siapa yang barusan menyapanya.

Seorang perempuan dengan hijab model pashmina lilit melambaikan tangannya dari arah pintu. Tangan kanannya menenteng kotak berukuran sedang, sementara tangan kirinya membawa helm full face warna merah menyala. Perempuan itu, Ambar, langsung mendekati Juna, yang saat ini tengah fokus dengan tabletnya, sambil memasang cengiran lebar. Dia lalu menyodorkan kotak di tangan kanannya itu.

“Buat Akang,” katanya. “Camilan, buat yang lagi patah hati.” Setelah mengatakan itu, perempuan tadi memasang cengiran lebar.

“Sialan,” umpat Juna tertahan. Namun, dia tetap saja menerima kotak itu. Aroma lezat langsung tercium begitu kotak itu berpindah ke tangannya. “Batagor?” tanyanya.

“Hummm,” jawab Ambar. “Asupan biar Kang Juna semangat ngejar deadline.” Perempuan itu lantas meletakkan helmnya di meja, lalu mengempaskan dirinya di kursi sebelah Juna. Dia lalu mengamati sekitarnya, lalu bersiul kagum. “Wah, bunga anggreknya Uwak[1] udah mekar ya?”

Juna mengangguk tanpa menjawab. Dia masih fokus membuat sketsa bunga anggrek yang milik Ibu untuk memenuhi pesanan klien. Untuk itulah dia sengaja duduk-duduk di teras depan rumahnya sore ini.

“Tumben ke sini?” tanya Juna setelah dia berhasil menyelesaikan sketsa kasarnya. Laki-laki itu lantas meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku.

“Baru dari apotek, trus sengaja mampir sini buat bawain batagor. Soalnya aku tahu Kang Juna pasti butuh asupan buat ngejar deadline. Aku kan sepupu yang baik, Kang, hehe,” kata Ambar sambil cengengesan.

Jawaban itu membuat Juna refleks melayangkan tangannya untuk mencubit pipi Ambar dengan gemas. Sepupunya itu memang paling tahu kesukaannya. “Nuhun, Mbar,” katanya. Tangannya lantas bergerak untuk membuka kotak tersebut, lalu mencomot satu batagor dan memasukkannya ke mulut. Segera saja mulutnya membuka-tutup karena batagor tersebut ternyata masih panas.

“Santai atuh Kang,” balas perempuan tomboi itu sambil terkekeh. “Ngomong-ngomong, Uwak kumaha? Masih stress teu gara-gara masalah lamaran kemarin?”

Juna mengembuskan napas panjang, lalu memijat glabelanya. Entah untuk ke berapa kalinya dia menerima pertanyaan ini, seolah-olah semua orang di dunia ini sudah tahu statusnya sebagai anak di luar nikah. Hal itu jadi membuat kondisi psikis Puja jadi terganggu, sehingga kesehatannya pun sedikit menurun.

“Ya, kitu we, lah,” balas Juna seadanya. “Gitu aja lah. Udah mendingan dari waktu itu, tapi masih belum sehat bener.”

“Kalau… teh Ami?” Ambar langsung meringis saat melihat Juna melotot ke arahnya. “Santai, Kang. Aku kan cuma kepo.”

Juna mendengus kesal, lalu menutup tabletnya. Dia sudah selesai membuat sketsa dan berencana untuk menyelesaikannya di dalam rumah. Namun, dia batal berdiri saat tangan Ambar menahan lengan bajunya.

“Kang, punten ini mah, tapi aku jadi penasaran,” kata Ambar tiba-tiba. “Sebenernya aku teh udah lama pengin nanya ini ke Akang.”

“Naon?”

“Anu….” Ambar menggaruk kepalanya sambil meringis lebar. “Uwak Yuda kan udah lama pergi ninggalin Uwak Puja. Trus mereka teh udah lama putus kontak. Nah, Akang pernah kepikir nggak kalau… kalau mungkin aja Akang punya saudara lain?”

Tak cukup sampai di sana, Ambar pun melanjutkan, “Kang Juna kan sekarang udah putus sama Teh Ami. Gimana kalau nantinya Kang Juna… nggak sengaja pacaran sama saudara sendiri?”

Pertanyaan itu sukses membuat Juna terdiam. []


 

[1]Kakak dari ayah/ibu (b.Sunda), atau Pakde/Bude (b.Jawa)