Try new experience
with our app

INSTALL

Nomaden (Ikatan Cinta FF 3.0) 

IC FF 42. Hutan

IC FF 42. Hutan


Aldebaran Alfahri sedang menata roncean bunga-bunga, dedaunan dan rumput-rumput hutan di pepohonan di salah satu sudut hutan di Kalimantan. Ia meletakkan pula ayunan dari kayu dan akar di salah satu ranting pohon yang besar, kokoh, dan bercabangnya horizontal. Kemudian, ia menata tikar anyaman mendoan di tanah dengan bantal-bantal yang ia bawa dari rumah berjalannya. Setelah beres, ia lekas kembali ke tiny house.


✨✨✨❤️✨✨✨


“Mas, bantal-bantal kita pada ke mana semua? Kata Reyna kamu bawa semua. Satu tikarnya juga katanya kamu bawa. Memangnya kamu bawa ke mana?”


“Sudah jadi! Yuk ikut!”


“Apa yang sudah jadi? Ikut ke mana? Bantal-bantal mana, Mas?”


“Ayo sudah, ikut saja! Nanti kamu juga akan tahu sendiri bantal-bantal pada ke mana.”


“Anak-anak?” tanya Andin bermaksud mau mengajak mereka.


“Anak-anak memangnya ke mana?”


“Main masak-masakan gelar tikar di belakang rumah.”


“Ya udah, kalau begitu sepertinya aman. Mereka anteng berarti aman buat mereka dan aman buat kita berduaan.”


“Tidak ajak mereka?”


“Bagaimana kita berduaan kalau mereka ikut? Biarkan saja mereka anteng bermain.”


“Meskipun begitu, kita tidak mungkin berduaan, Mas. Mas, lupa? Di perut ada dedek bayinya. Dedek bayinya mengerti lo kalau papanya sama mamanya ….” Andin menatap Al senyum-senyum sembari mengelus perutnya yang buncit. Al tersenyum lalu ikut mengelus perut Andin.


“Sudah ayo, mumpung yang dua main!” Aldebaran menawarkan telapak tangannya ke Andin. Andin meraihnya. Al menuntun Andin ke tempat yang telah ditatanya.


“Tidak tutup mata, Mas? Berarti ini tidak ada kejutannya ya?”


“Kamu mau hadiah?”


“Tidak sih, tapi kalau dikasih Mas Al sesuatu itu seeeeesuatu banget di hati.”


“Kapan-kapan kalau kita mampir ke kota kita ke mall, cari hadiah buat kamu. Sekarang kita berduaan saja dulu.”


Tanpa keduanya sadari, Reyna melihat kepergian keduanya. “Kok tidak ajak-ajak sih? Mau ke mana sih mereka? “ Reyna lalu mengajak Askara untuk mengikuti kedua orang tua mereka. 


✨✨✨❤️✨✨✨


Sampailah mereka di tempat yang telah ditata Aldebaran. “Wah … ini kejutan banget, Mas! Ini seeesuatu banget buat Andini Karisma Putri! Itu ayunan ya, Mas?”


“Mau naik, Sayang Andini Karisma Putri?”


“Mau ditambah banget.”


“Yuk, tapi hati-hati dan aku akan mengayunkannya sepelan mungkin.” Andin dibantu Al menaiki ayunan sederhana itu. Kemudian, ayunan itu sedikit saja digerakkan oleh Al, mengingat Andin sedang mengandung anak ketiga.


“Sudah, Mas, terima kasih. Aku sekarang mau duduk di tikar itu.” Sekarang Al membantu Andin duduk di tikar. Al menatakan menumpuk bantal agar Andin bisa nyaman senyaman mungkin.


“Terima kasih. Bahagia sekali rasanya selama nomaden ini meskipun ya banyak kerepotannya. Akan tetapi, itu justru rasanya mengikat kita kuat. Bekerjasama mengurus rumah dan anak-anak bersama Mas Al adalah seeesuatu banget, roookmantis banget kalau buat aku. Serasa dunia hanya milik kita yang bukan sekedar gombalan muda-mudi pacaran.”


“Alhamdulillah, semua berkat Allah. Semoga nomaden kita ini selalu lancar seperti ini. Segala keribetannya bisa kita berdua atasi.”


“Aamiin.”


Al kemudian mendekat ke Andin menyediakan dirinya untuk sandaran Andin dan memeluk Andin. Beberapa kecupan dan usapan di puncak kepala Andin sungguh membuat rileks Andin. Reyna dan Askara yang mengintip senyum-senyum. Kemudian, Reyna mengajak Askara pergi untuk memberikan kesempatan bagi kedua orang tuanya berduaan.


“Kita pergi yuk, jangan mengganggu,” ajak Reyna dengan berbisik. Askara mengangguk.


✨✨✨❤️✨✨✨


Ketika baru mau berjalan menuju ke tiny house, Reyna dan Askara melihat seekor rusa. “Itu!” tunjuk Askara dengan tangan menunjuk dan mata berbinar.


“Rusa itu, Dek!” Reyna pun berbinar-binar. 


Akibat ditunjuk Askara, rusa itu lari. Askara langsung berlari mengejar.


“Tunggu, Dek!” Reyna pun berlari mengejar rusa itu dengan berbinar-binar.


Rusa menghilang di kelebatan hutan. Reyna dan Askara menjadi berhenti berlari. Keduanya mengedarkan netra masing-masing mencari-cari keberadaan rusa itu. Kemudian, terdengarlah oleh keduanya suara geram-geram. Reyna menajamkan telinganya mencari tahu sumber suara. Ia kemudian melangkah tanpa kata dan mengendap-endap ke arah suara. Askara mengikutinya dengan pelan juga. Saat sampai di sumber suara, ternyata yang mereka lihat bukannya rusa. Mereka melihat keluarga beruang. Ada papa beruang, ada mama beruang, dan ada dua anak beruang.


“Itu namanya beruang, Dek!” seru Reyna berbinar-binar.


“Beruang! Beruang!” Askara melonjak kegirangan.


Beruang menjadi menengok ke mereka. Deg, Reyna melihat dua beruang tubuhnya besar. Reyna merasakan itu bahaya buat dirinya dan adiknya.


“Dek, lari! Beruang binatang buas! Kita bisa dimangsanya!” Reyna meraih tangan Askara. Keduanya lari ke arah kedua orang tua mereka berada. Beruang jantan mengejar mereka.


✨✨✨❤️✨✨✨


“Pa … ada beruang!” seru Reyna saat berlari menggandeng Askara menghampiri Aldebaran dan Andin.


“Beruang? Di mana?” tanya Al.


“Di sana, Pa!” tunjuk Reyna.


“Loh, kalian kan main di belakang tiny house, kok bisa sampai ke sana?” heran Andin. Reyna menggigit bibirnya. Andin dan Aldebaran saling pandang. Keduanya sama-sama menduga kalau anak-anak mengetahui kalau kedua orang tua mereka sedang mesra-mesraan.


Kemudian, tampaklah beruang jantan yang mengejar Reyna dan Askara. Al yang melihatnya terlebih dahulu. Al segera meletakkan telunjuknya ke bibir, mengkode keluarganya untuk diam. Lalu Al mengajak mengendap-endap, sembunyi di semak-semak. Kemudian, Al mengarahkan keluarganya untuk tiarap dan melangkah demikian dengan tetap di balik rimbunan tanaman. Beruntung, perut Andin belum besar, tetapi ia tetap berhati-hati sehingga seringkali ia hanya jongkok di balik semak-semak. Akhirnya, mereka berhasil melewati beruang itu.


“Pa … Reyna masih mau melihat beruangnya. Lain kali belum tentu beruntung bisa melihat beruang sedekat ini.”


“Askala juga mau,” ujar Askara yang belum teteh mengucapkan huruf R.


“Dedek di perut Andini Karisma Putri juga mau, Mas.”


“Kalau gitu kita kembali, kita lihatnya dengan sembunyi dan jangan bersuara biar aman.” Andin dan Reyna menunjukkan ibu jari mereka. Askara ikutan menunjukan ibu jarinya dengan terlambat. Aldebaran mengusap memberantakkan rambut Askara dengan gemas. Mereka kembali ke beruang.


Santai-santai melihat papa beruang, tiba-tiba ….


“Hajim!” Aldebaran bersin. Beruang seketika menengok ke mereka. Deg, semua menatap Al dengan tatapan menuduh. “Maaf,” ucap Al merasa bersalah. Beruang menghampiri mereka. Deg, deg deg deg deg deg deg …. “Lari! Eh, tapi Andin kamu pelan saja sama aku, jalan cepat saja! Anak-anak kalian duluan!” Al khawatir kalau Andin lari-larian.


 Al mematahkan sebuah ranting tipis di pohon yang ditemui lalu melemparkan ke beruang, tetapi sedikit serong agar tidak kena beruang dan berharap beruang beralih berbelok memburu ranting.


“Jangan, Mas, kasihan beruangnya!” larang Andin.


“Tidak kena, aku hanya mengalihkan perhatiannya. Tuh lihat, dia mengambil rantingnya!” Al dan Andin menjadi jalan santai.


Namun, tanpa mereka sadari saat mereka jalan santai, beruang jantan itu ikut jalan santai di belakang mereka. Saat sampai di area mereka meletakkan tiny house, Reyna dan Askara melihat beruang itu ada kurang lebih dua meter di belakang Andin dan Aldebaran.


“Pa, Ma, beruangnya di belakang Mama Papa!” seru Reyna. Al dan Andin menengok ke belakang. Sontak keduanya terbelalak.


“Reyna, Askara, masuk ke mobil! Andin ayo!” Kali ini, Andin refles langsung lari ke mobil. Al segera berada di bangku setir. Al menyalakan mesin dan tancap gas.


“Ha … selamat … selamat!” Andin mengelus dada bernapas lega.


“Kandungan kamu?” tanya Al. Andin merasakan perutnya. Lalu tersenyum.


“Aman.”


“Alhamdulillah.” Al kali ini yang menghempaskan napas lega.


“Rumah tiny house kita ditinggalkan, Pa?” tanya Reyna yang duduk di kabin belakang bersama dengan Askara.


“Rumah!” pekik Al dan Andin terbelalak. Mereka menjadi putar balik ke tempat mereka meletakkan tiny house.


“Lihat-lihat dulu! Kalau beruangnya tidak ada baru kita turun ambil rumah,” intruksi Al.


“Sudah tidak ada, Mas, beruangnya.”


“Ya sudah yuk, kita bereskan rumah tiny housenya lalu kita pindah ke tanah Melayu, negeri tetangga!” seru Aldebaran.


“Yeah yeah!” sorak Reyna dan Askara. Mereka segera bekerja sama memasang tiny house ke mobil pickup empat kabin dan melipat apa yang harus dilipat.


“Bantalnya, Mas?”


“Gampang, nanti kita beli saja lagi.”


“Aku mau bantal yang boneka yang besar-besar dan baaaanyak!” ujar Reyna.


“Siap, Cantik!” ujar Al.


“Semua sudah beres, Mas, tidak ada yang tertinggal kecuali bantal-bantal dan satu tikar,” terang Andin.


“Ayo, naik ke mobil, kita ke negeri tetangga! Andin, jangan lupa siapkan berkas-berkas biar nanti tidak ribet.”


“Sudah selalu siap, ada di tasku di mobil.” 


✨✨✨❤️✨✨✨


Sampailah mereka di negeri tetangga. Mereka ke mall terlebih dahulu untuk membeli bantal-bantal dan bahan makanan. Setelah itu, mereka mulai berpikir akan parkir di mana. Mereka makan di restoran sembari berembuk.


“Sekarang mau di kota apa di desa nih?” tanya Al.


“Sebelumnya sudah di hutan, ya sekarang di kota saja biar ganti suasana,” kata Andin.


“Oke, kalau begitu kita coba cari di kotanya ini ada tanah yang bisa kita sewa tidak untuk parkir rumah kita selama sepekan atau lebih.”


“Coba aku tanyakan ke Ibu berhijab itu. Sepertinya beliau warga asli negeri ini.” Andin menhampiri salah satu pengunjung restotan itu juga.


“Permisi, boleh saya bicara sebentar. Saya Andini Karisma Putri dari Indonesia.”


“Saya, Hasanah, asli negeri ini dan rumah saya juga ada di kota ini. Ada yang bisa saya bantu?” Hasanah mengucapkan dengan bahasa Melayu.


“Saya sekeluarga nomaden tinggal di mobil dan tiny house. Kami sedang ingin tinggal di negeri ini di kota karena sebelumnya kami di Kalimantan di hutannya. Biar ganti suasana. Kira-kira di kota di negeri ini, ada tanah yang bisa kami sewa untuk parkir, di mana ya? Kami kira-kira akan sewa sepekan atau lebih.” Andin berbahasa biasa karena bahasa tidak terlalu berbeda. Orang yang diajaknya bicara juga tampak sangat paham. Andin sendiri paham apa yang Hasanah katakan.


“Halaman depan rumah saya luas. Bagaimana kalau tinggal di rumah saya. Saya orangnya senang kalau ada tamu. Senang menjamu tamu. Gratis kalau tinggal di rumah saya. Boleh pakai air dan listrik gratis bebas semaunya.”


“Apa nanti tidak merepotkan?”


“Tidak, malah senang.”


“Keluarga Anda?”


“Keluarga saya juga akan sangat senang.”


Andin tersenyum. “Akan saya sampaikan ke suami dan anak-anak saya. Itu mereka sedang makan di meja itu. Saya ke sana dulu ya?”


“Iya, silakan.” Andin kembali ke meja keluarganya.


“Ada gratis di halaman rumah Ibu itu. Ibu itu sendiri yang menawarkan dengan senang hati. Katanya boleh pakai air dan listrik semaunya gratis. Bagaimana, Mas?”


“Anak-Anak, semisal tinggal di halaman rumah orang apa kalian tidak masalah?”


“Tidak masalah, Pa,” jawab Reyna.


“Ya udah, oke, kalau anak-anak dan kamu tidak masalah.” Andin tersenyum.


✨✨✨❤️✨✨✨


Akhirnya, mereka tinggal di halaman rumah Hasanah. “Tiny housenya bagus. Semoga betah tinggal di rumah saya. Kalau mau menginap di dalam rumah atau pakai toilet di dalam boleh, silakan saja.”


“Kami sangat berterima kasih,” ucap Andin.


“Saya tinggal masuk ke dalam rumah ya? Mau masak.”


“Iya,” jawab Andin. Hasanah meninggalkan keluarga Aldebaran masuk ke dalam rumah.


“Ayo, kita tata tiny housenya!” seru Al. Andin dan Al bekerja sama melepaskan tiny house dari mobil dan menata. Rumah tidak berat karena beroda. Cukup didorong-dorong. Reyna dan Askara mengambil yang ringan dan menata seperti keset, pijakan kaki yang berfungsi sebagai anak tangga, ganjal, dan lain-lainnya dari pickup.


“Sudah, ayo kita masuk!” ajak Andin saat telah tertata sempurna.


Saat mereka masuk ke dalam rumah ….


Jerenggg!


Andin sekeluarga terbelalak. Di dalam rumah mereka ada seekor beruang.


Bersambung

Terima kasih

✨❤️❤️❤️✨


DelBlushOn Del BlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)