Contents
Bunga Lily
Chapter 2
“Kamu sendirian saja?”
“Ya, sama sopir.”
“Kok kamu sendiri yang belanja? Di rumah kamu nggak ada pembantu?”
“Ada! Aku sudah biasa belanja sendiri kok. Omong-omong, kamu belum lama kerja di sini, ya? Soalnya aku baru lihat kamu sekarang. Padahal aku sering ke sini…”
“Iya. Aku belum lama kerja di sini.”
Lily mengangguk-angguk. Setelah semua barang dihitung Lily lalu membayar pada kasir. Diam-diam aku memperhatikannya. Debar jantungku masih terus berdetakan kencang. Ada perasaan senang, tak percaya, dan heran bercampur jadi satu.
***
Pertemuan tak terduga dengan Lily di toko membuatku menemukan sebuah link. Selama ini aku menghadapi banyak halangan untuk bisa ngobrol berdua dengan Lily. Di sekolah aku hanya bisa bertegur sapa sekilas. Terlalu banyak pemuja gadis itu, sehingga aku berada pada antrian terakhir. Lagi pula aku dihinggapi syndrome inferior. Aku cuma anak orang miskin. Aku tak punya cukup keberanian mengajak Lily ngobrol, apalagi mengajaknya kencan. Aku juga takut tak dianggap oleh gadis itu.
Tapi Tuhan telah mendengar doaku. Diberi-Nya aku kesempatan bisa ngobrol berdua dengan Lily pada suasana dan tempat yang tak diduga-duga. Tak ada yang tahu kebiasaan Lily belanja di toko tempatku bekerja, paling tidak seminggu dua kali. Hanya aku yang tahu, hari apa dan jam berapa dia datang ke toko. Kesempatan ini tak kusiakan untuk mengajak ngobrol, di sela waktu berbelanja. Lily tidak merasa terganggu, bahkan dia terlihat senang bisa ngobrol denganku.
“Sori ya, Ly, kalau aku mengganggu waktumu,” kataku tak enak hati.
“Nggak apa-apa, Wan. Aku malah senang. Ada temen yang bisa diajak ngobrol,” timpalnya riang.
“Memang kamu nggak punya temen deket yang bisa diajak sharing?” pancingku.
“Maksudmu?”
“E, maksudku... Kamu tentu sudah punya…?” Aku tak bisa meneruskan kalimatku karena jadi kikuk sendiri. Pertanyaanku terlalu menjurus.
“O ya, aku tahu. Kamu mau bilang aku sudah punya pacar?”
Ragu-ragu aku mengangguk.
“Aku belum berpikir untuk punya pacar!” ujarnya seakan menjawab pertanyaannya sendiri.
“Kamu dilarang orangtuamu?”
Lily menggeleng.
“Kamu pernah dikhianati?”
Lily kembali menggeleng.
“Lalu?”
“Aku nggak yakin ada cowok mau menerima diriku!”
Aku tersedak. Rasanya tak percaya mendengar ucapannya. Gadis secantik dia tidak yakin ada yang mau menerimanya? Ah, dia terlalu merendahkan diri.
“Apa nggak salah, Ly. Banyak cowok naksir berat sama kamu! Fendi, Tio, Sandy, Riko, bahkan Pak Toro!” Aku menirukan ucapan Andi. “Dan juga aku!” Dalam hati aku menambahkan.
“Aku tahu itu, Wan. Justru karenanya aku jadi tak yakin!”
“Kenapa tidak yakin? Apakah mereka semua tidak ada yang memenuhi kriteriamu? Atau… kamu sudah punya pilihan yang lain?”
Lily menggeleng. Wajahnya tiba-tiba disapu mendung. Aku jadi penasaran. Sikap Lily penuh teka-teki dan misteri.
Akhir-akhir ini aku mulai jarang bertemu Lily di toko. Entah, apa yang membuatnya tak muncul lagi. Sakitkah? Atau jangan-jangan dia marah atas pertanyaanku kemarin? Batinku dipenuhi prasangka.
Siang itu, ketika sedang membereskan meja kerja majikanku, tiba-tiba aku menemukan sebuah kartu undangan acara pernikahan bersampul warna merah bata dengan bentuk artistik. Kertas undangan itu juga berbau wangi. Aku membaca tulisan dalam kertas undangan. Alisku menaut. Dengan jelas aku membaca nama si mempelai yang akan menikah; ZAHRA ARYANI SETIAWATI. Disebutkan dia adalah anak tunggal pasangan suami istri: Bapak BUDI RAHARJA dan Ibu MELIANAWATI!
***
Hari ini aku kembali bertemu Lily. Seperti biasa aku mengajaknya ngobrol di sudut toko. Sebuah pertanyaan yang selama ini kusimpan dan mengganjal dalam hati segera kulontarkan. “Maaf, Ly. Bukan bermaksud untuk lancang, aku cuma heran saja. Kemarin aku membaca undangan pernikahan dari kakakmu. Tapi di undangan itu tertulis kalau kakakmu adalah anak tunggal orang tuamu. Apa tak salah itu?” cetusku.