Try new experience
with our app

INSTALL

Bunga Lily 

Chapter 1

Aku selalu terkesima memandang wajahnya yang bercahaya bak bulan purnama. Terang temaram, terasa sejuk dipandang. Rambutnya lurus panjang halus terurai. Mengingatkanku pada sayap burung jalak uren. Bola matanya yang jernih bercahaya seperti kerlip bintang. Dinaungi sepasang alis tebal mirip barisan semut hitam. Hidungnya bagus, tidak pesek juga tidak mancung. Bibirnya tipis merah jambu. Segar menawan. Kulitnya putih bersih laksana batu pualam! 

Namanya Lily, seperti nama bunga. Setiap pagi dia berangkat ke sekolah diantar oleh sopir ayahnya. Turun di depan gerbang sekolah, lalu melangkah dengan tenang menuju ruang kelasnya, 12 IPA 2. Saat dia berjalan bisa dipastikan beberapa pasang mata, terutama kaum cowok, akan tersedot ke arahnya. Tak terkecuali aku. Tapi aku merasa diriku tak ubahnya setitik debu diantara lautan pasir pengagum Lily. Aku seperti menyemai benih harapan di atas tanah kerontang. Kusirami dengan kesabaran. Tapi entah, kapan akan tumbuh pohon kenyataan berbuah cinta? 

“Hei, Awan! Kenapa bengong? Lagi ngeliatin Lily, ya? Kamu naksir sama dia?” Suara teguran dari arah belakang mengagetkanku. 

Dengan gugup aku menoleh. Andi sudah ada di sampingku dengan senyum menggoda. Aku melengoskan wajah, jengah. Pertanyaan Andi yang bernada menuduh itu membuatku salah tingkah. Bisa kurasakan wajahku yang dijalari semburat merah. Bahkan saking kerasnya berdegub, jantungku serasa hendak melesat keluar. 

“Aku nggak ngeliatin apa-apa, kok,” jawabku berdusta. 

“Jangan bohong, Wan. Aku tahu, kamu naksir sama Lily!” 

Aku seperti pencuri tertangkap basah. Meski aku tak pernah mengungkapkan perasaan kepada siapa pun, tapi Andi seperti bisa membaca bahasa tubuhku. 

“Mendingan kamu buang jauh-jauh deh, keinginanmu mendapatkan dia. Dilihat dari sudut mana pun, dia nggak selevel denganmu. Sori ya, bukannya aku mau merendahkanmu, tapi kamu mesti mengukur diri juga. Kamu lihat Lily itu siapa? Dia cantik, pintar, alim, berprestasi, dan dari keluarga kaya raya. Yang naksir dia banyak. Fendi, Tio, Sandy, Riko, bahkan Pak Toro, guru olah raga yang masih bujangan itu. Sudah deh, kamu bakal kalah saingan dengan mereka!” cerocos Andi. 

Dari awal dia sudah mengingatkanku tentang propabilitas mendapatkan Lily. Kemungkinan kegagalannya lebih besar dibanding keberhasilan. Tapi meski sudah diperingatkan, hati kecilku tak mau menyerah. Aku masih penasaran, mengingat sampai saat ini belum ada satu pun cowok mengaku diri sebagai pacar Lily. Bunga cantik itu ternyata bukan sekadar bunga yang sembarang mau disentuh kumbang. Ia begitu kukuh mempertahankan putik bunganya dari bujuk rayu kumbang-kumbang yang berkeliaran. Maka, masih terbuka peluang bagiku menyuburkan tanah pengharapan! 

***

Siang ini cuaca panas. Suasana jalan di depan toko nampak sepi. Beberapa pejalan kaki memilih menepi, berteduh di selasar pertokoan atau masuk ke warung-warung makan yang banyak berjajar di pinggir jalan. Aku duduk di balik rak kaca toko, menggantikan tugas Mbak Sari yang sedang keluar. Di toko milik Pak Tono itu aku bekerja serabutan. Kadang jadi kuli angkat barang, kurir, tapi kadang juga menjadi pelayan toko. Seperti sekarang ini, aku didapuk menunggu toko. 

Karena suasana toko saat itu sedang sepi, aku menggunakan kesempatan untuk membuka-buka buku pelajaran. Sebentar lagi ujian akhir, aku tak mau gagal!

“Mas, mau beli ini!” Tiba-tiba terdengar suara lembut yang sepertinya sangat kukenal. Segera aku berdiri. Dan seperti tersihir aku terpana memandangnya. 

“Awan?” Kudengar bibirnya menyebut namaku penuh keterkejutan. 

“Li… ly...” Bisa kurasakan bibirku gemetar mengeja namanya. 

“Kamu kok ada di sini?” 

Aku jadi agak gugup dan salah tingkah. 

“Ya, Ly… aku kerja di sini…” 

“Kamu kerja?” 

Aku hanya mengangguk sambil senyum-senyum malu. Aku menundukkan kepala, tak tahan oleh binar matanya yang terasa menikam ke ulu jantung. 

“Kamu hebat ya, bisa sekolah sambil kerja!” Nada pujiannya bagai angin sepoi menyejukkan hati. Namun sejurus kemudian aku menampik rasa ge erku. Apa yang hebat dari seorang pelayan toko? 

“Kamu mau beli apa, Ly?” Aku segera mengalihkan pembicaraan. 

“Oh ya, lupa. Aku mau beli…” Lily lalu menyebutkan satu persatu barang yang akan dibelinya. Sesekali dia menengok ke secarik kertas di tangan, sepertinya daftar belanja. Aku mengambilkan barang-barang yang disebutkan. Kesempatan ini tak kusia-siakan untuk mengajaknya ngobrol.