Try new experience
with our app

INSTALL

PARIS RAPUNZEL (TAMAT) 

7. Episode Jacques dan Nadine

Jacques sedang asyik mendengarkan rekaman latihannya melalui Mp3 player ketika seorang gadis menyolek bahunya. Mata Jacques terbelalak tidak percaya dengan pertemuan ini. 

"Kenapa Jacques? Kamu seperti baru saja melihat hantu?" tanya gadis itu.

"Nadine!"

"Hai, apa kabar?"

Jacques tercekat, meyakinkan matanya berkali-kali karena masih tidak percaya. Nadine adalah mantan pacarnya ketika masih SMA. 

Mereka sekolah di SMA yang sama dulu. Jacques sudah menyukai Nadine sejak sama-sama duduk di kelas satu. Nadinepun sama tidak percayanya bisa ketemu lagi dengan Jacques di dalam bus ini. Dia pikir sejak lulus SMA, Jacques pindah ke Vienna karena cita-citanya adalah ingin menjadi pemain Cello dalam orkestra. Melalui pertemuan ini, mau tidak mau, pikiran mereka melayang pada suatu masa beberapa tahun yang lalu..

***

"Nadine! Tunggu! Aku kan belum selesai bicara" katanya dengan napas tersengal-sengal. Nadine tidak peduli pada suara di belakangnya itu dan terus mempercepat langkah menuju halte bus. Setibanya di halte, gadis itu menoleh dan celingukan mencari sosok yang tadi mengejarnya seperti wartawan pemburu berita gosip. 

Dia menarik napas lega mendapati kenyataan bahwa dirinya tidak lagi dikejar-kejar seperti itu. Kini dia siap menanti bus yang akan membawanya pulang ke apartemen. Digosok-gosokan tangan untuk menciptakan rasa hangat meski hanya diujung jari-jari. Musim dingin belum tiba tapi sudah mengirimkan hawa dingin seolah hendak memberi tahu bahwa ia akan datang tidak lama lagi.

"Minum ini, biar tidak terlalu dingin". Nadine menoleh. Oh Shit! Dia lagi. Bukannya dia sudah capek mengejar tadi? Dilihatnya laki-laki itu nyengir sambil menarik lagi gelas kopinya.

"Ya sudah,kalau tidak mau. Yang penting aku sudah menawarimu minum" katanya lagi. Bibirnya yang merah seksi itu menyeruput kopi. Nadine mendesis. Dasar! 

"Hey, Nadine. Mumpung kamu lagi tenang nunggu bis kaya gini, aku mau ngomong lagi tentang hal tadi. Aku menawarkan kamu..."

"Sudahlah, Jacques!" tampiknya. Nadine melihat wajah itu sambil melotot. Jaques tampak tidak peduli. 

"Heran,ditawari sesuatu yang menyenangkan kok tidak mau" katanya "Ayolah,Nad. Kompetisi itu tidak terlalu susah buatmu. Aku tahu kamu bisa menari. Kalau menang di Perancis, kamu bisa ikut tingkat dunia di Moskow. Waah! Apa itu tidak hebat?"lanjutnya lagi. Kali wajahnya serius. Tidak cengar cengir seperti tadi. Nadine hanya diam. Malas menanggapi omongannya.

Bus yang akan membawanya pulang sudah datang. Dia segera naik. Tak disangka, si Jacques juga ikut naik, padahal jelas-jelas rumahnya berlawanan arah dengan apartemennya. Nadine menampik rasa heran dengan tidak memperdulikannya dan duduk disamping seorang ibu (tujuannya agar si Jacques tidak duduk disebelahnya jika dia memilih tempat duduk kosong). Tapi dasar Jacques, dia malah berdiri disamping Nadine, padahal banyak kursi yang masih kosong.

"Gimana, Nad? Kamu mau kan?" kata Jacques memulai usahanya lagi. Gadis pirang yang cantik itu memasang earphone dan mendengarkan lagu dari Mp3 player, sambil baca buku.

"Nad! Nadine!"panggilnya berulang-ulang. Dia pura-pura tidak mendengar.

"Anak muda, apakah kau tidak bisa duduk? Di belakang banyak kursi kosong" tukas pak sopir yang bertubuh tambun. Jacques tampak kebingungan menjawab pertanyaan pak sopir. Nadine tersenyum menyeringai.

"Nona, apa kau kenal dia? " tanya pak sopir jelas itu ditujukan pada Nadine. Dia memandang Jacques sekilas lalu menggeleng.

"Tidak, Pak! Saya tidak kenal dia" Jacques mengangkat alis dan melongo. Akhirnya Jacques menyerah, kemudian dia memilih duduk di kursi yang kosong. Nadine tersenyum puas dan melanjutkan acara membaca buku.

Dia memandang keluar jendela. Bus baru saja melewati Des Invalides. Itu berarti apartemennya masih lumayan jauh. Lalu menoleh pada Jacques, cowok itu tersenyum lalu melambaikan tangannya. Nadine melengos dan tiba-tiba teringat sesuatu. Dia harus ke perpustakaan besar untuk mencari beberapa referensi bahan tulisan. Seketika dia berdiri ketika bus berhenti di salah satu halte. Dilihatnya dengan ekor mata, Jacques mengikutinya turun.

"Hati-hati, Nona. Lapor polisi saja jika kau merasa terganggu dengan orang ini" pesan pak sopir sebelum gadis itu turun. Dia mengucapkan terimakasih sedang Jacques memilih diam.

Nadine tersenyum lega keluar dari perpustakaan. Buku-buku yang dia perlukan untuk bahan tulisan sudah didapatkan. Dia ingin rehat sejenak melepas penat. Duduk di quais de Montebello, di pinggiran sungai Seine di siang bolong seperti ini adalah pilihan yang tepat. Sengaja dirinya memilih tempat yang memberi pemandangan gereja Nôtre Dame. Siapa tahu bisa memberi inspirasi. Whhhuuah..dia menggeliat.

"Enak juga ternyata duduk disini" ujar Jacques. Astaga! Dia masih saja mengikuti. Apa sih maunya ini anak!?

"Selama aku tinggal di Paris, baru sekarang aku nongkrong disini. Kalau kamu pasti sering ya? Kamu kan sudah lama tinggal disini" lanjutnya lagi. Nadine cuek saja sambil membaca-baca buku yang baru saja dipinjam. Sekolahnya, akan mengadakan lomba menulis cerita bersambung bertema remaja dan sekolah. Hadiahnya lima ratus Euro. Beberapa teman mendukung untuk ikutan karena mereka tahu Nadine punya bakat menulis. Cerpennya beberapa kali dimuat di majalah remaja. Iya, semua mendukung untuk ikut lomba menulis itu. Kecuali mahluk satu yang kini lagi duduk santai di sebelahnya ini.

"Di Marseille, kami biasa nongkrong di pantai. Asyik lho, Nad. Melihat orang bermain parasailing, ski air, berenang. Kalau kamu pernah pergi ke pantai? Kalau belum sayang sekali. Aku juga pernah diajak sepupuku ke sebuah pantai di La Rochelle. C'est formidable!  Disana ombaknya sangat besar dan kami..."

"Kamu bisa diam gak sih, Jacques? Gak lihat apa aku lagi konsen baca!?" sentaknya. Cewek itu merasa sudah kehabisan kesabaran. Jacques terkejut mendengar itu sedangkan Nadine sedikit menyesal membentaknya. Kemudian cowok itu mencangklong tasnya dan berdiri. 

"Ok. Aku sudah terlalu mengganggu ya? Maaf kalau begitu.." katanya lalu beringsut pergi.

"Jacques! Jacques! Tunggu. Hey!" kata Nadine sambil berlari mengejarnya. Ia menghentikan langkahnya tapi tidak menoleh.

"Maaf kalau aku mengganggumu. Aku janji, tidak akan mengganggumu lagi.." katanya.

"Jacques, bukan begitu. Aku..Aku.." 

Ah! Kenapa Nadine jadi kehilangan kata-kata begini. Jacques melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Rupanya dia benar-benar tersinggung. Yah, sudahlah. Mungkin besok juga baikan lagi, kata Nadine dalam hati.

Nadine tahu kenapa Jacques sangat ingin dirinya ikut kompetisi tari ballet yang diadakan oleh Departemen Kebudayaan. Karena dia tahu, Nadine seorang ballerina (dia pernah menemukan foto masa SMP Nadine dengan baju ballet di sebuah laci meja belajar). Tapi yang Jacques tidak tahu adalah bahwa sudah tiga tahun ini, gadis itu tidak pernah lagi menari. Sejak..sejak..Tidak! Nadine menutup mata. Berusaha tidak lagi mengingat kejadian tiga tahun lalu yang telah merenggut nyawa seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Mama!

Ketika itu, sedang diadakan kompetisi tari ballet tingkat nasional. Nadine sangat berharap mama bisa hadir mendukung pada saat dirinya pentas di hadapan juri. Mamanya sangat sibuk. Jadwal kerjanya yang padat di perusahaan advertising kadang membuatnya lupa bahwa ia punya suami dan anak perempuan yang perlu perhatiannya.

Tariannya sangat sempurna. Tapi diakhir bagian tari, tiba-tiba kaki nadine terkilir dan terjatuh. Semua orang berteriak menyesal. Nadine apalagi. Seadainya dia tahu kalau itu adalah sinyal firasat buruk. Mama, hari itu akan menonton pentasnya. Ia ijin dari kantornya dan hanya diperbolehkan pergi satu jam. Mamanya terburu-buru menuju gedung pertunjukkan membuatnya tidak konsen mengendalikan mobilnya. Ia kecelakaan dan meninggal dunia. Mama meninggal dunia gara-gara mau menonton Nadine menari!!

Sejak saat itu gadis yang sejak umur empat tahun telah menari itu meninggalkan dunia ballet. Disimpannya segala pernak-penik ballet yang sudah dia geluti sejak masih kecil. Nadine sangat kecewa pada diri sendiri, kenapa dia begitu ngotot supaya mama menonton pertunjukkannya. Papanya membawa pindah dari Nice ke Paris dan rela pindah pekerjaan, supaya mereka berdua bisa melupakan kejadian itu. Kemudian Nadine bersekolah di sini, memulai kehidupan baru. Tapi sejak Jacques menemukan foto lamanya dan tahu bahwa dirinya dulu adalah seorang ballerina, sedikit demi sedikit kenangan itu terkuak kembali. Nadine samasekali tidak menyalahkan Jacques. Dia hanya tidak tahu mengapa dirinya tidak lagi mau menari. 

**

Mata Nadine mencari-cari sosoknya. Biasanya pagi-pagi begini dia sudah nongkrong di kafe, menunggu bel masuk sekolah berbunyi. 

"Cari Jacques ya?" tanya seseorang dari belakang mengejutkannya. Nadine menoleh dan tersenyum. Rupanya Chloë. Teman sekelasnya.

"Iya nih. Tumben ya, pagi-pagi begini dia belum nongol" tukas Nadine.

"Nad, dia memang tidak masuk sekolah hari ini, ada keperluan keluarga katanya" ujarnya kemudian. 

"Tadi pagi, dia sengaja kerumahku untuk mengatakan hal ini dan ia titip surat buat kamu. Nih baca!" ujar Chloë seraya menyerahkan sepucuk surat pada Nadine. Gadis itu tersenyum geli. Dasar Jacques. Kaya anak kecil saja pake surat-suratan. 

"Nad, beruntungnya kamu ada seseorang yang sangat memperhatikanmu" ujarnya sambil berlalu. Nadine terheran-heran.

"Hey, Chloë! Apa maksudmu? Aku gak ngerti!" tanyanya setengah berteriak karena Chloë sudah menjauh. Chloë membalikkan badan dan menebar senyum termanisnya.

"Sensitiflah sedikit, cewek bodoh!" katanya setengah berteriak juga. Nadine melotot dan segera berlari mengejarnya sampai ke kelas.

**

"Nadine..Maaf kalau merasa jengah baca surat dariku ini. Aku bisa saja langsung bicara padamu, tapi kurasa akhir-akhir ini kamu selalu saja menghindariku. Aku sangat menjengkelkan ya?

Nad,, aku hanya ingin kamu bisa melanjutkan bakatmu dalam menari ballet. Aku tahu kamu hanya trauma dengan apa yang dialami oleh mamamu. Itu bukan kesalahanmu, Nadine. Samasekali. Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagimu untuk berhenti menari karena mama kamu meninggal. Aku rasa, mama kamu di surga juga lebih senang kamu tetap menari. Dengan alasan kamu seperti ini, tentu ia akan sedih sekali.

Oke, sebagai penutup aku tidak akan memaksamu untuk ikut kompetisi itu (aku menyesal telah mengatakannya karena awalnya aku tidak tahu alasanmu yang sebenarnya-jangan salahkan Chloë, dialah yang memberitahuku). 

Tapi pesanku, Nadine, jangan bohongi perasaanmu. Jujurlah pada kehidupanmu.

Bissous , Jacques"

Tiba-tiba dadanya terasa hangat. Nadine tersenyum. 

Nadine membuka kembali peti kayu buatan papa. Isinya adalah barang-barang kenangan yang menyakitkan tapi masih sayang jika dibuang. Dikeluarkan isinya satu persatu dan ada foto-foto mama ketika masih muda. Juga ada foto mereka bertiga ketika berlibur ke Mount Blanc. 

Baju balletnya masih bagus. Berwarna pink lembut terbuat dari satin. Sepatu balletnya juga masih tampak bagus. Dua benda itulah yang dia pakai terakhir kali tiga tahun lalu sebelum memutuskan untuk menggantung sepatu. Nadine berdiri di depan kaca, mematut-matut diri yang kini telah terbalut baju dan sepatu ballet. Dia melakukan gerakan memutar, berjinjit dan tiba-tiba terjatuh. Dia teringat bagaimana kakinya terkilir di panggung yang merupakan firasat ketika mama tercintanya kecelakaan di jalan raya. 

Nadine menangis. Aku tidak sanggup. Tidak sanggup!!, teriaknya. Segera ditanggalkan lagi baju dan sepatu balletnya kemudian menangis tersedu di sudut kamar.

**

Di sebuah auditorium yang besar, Nadine menari seorang diri. Meskipun gelap dari atas panggung, tapi dia yakin, berpuluh-puluh pasang mata kini sedang memperhatikan tiap detil gerakan tarian yang dibawakannya. 

Diiringi komposisi "The Blue Danube" dia menari bak seekor angsa yang sedang bermain di danau biru. Meliuk ke kanan, ke kiri, berputar menyamping dan sesekali 'terbang'. Nadine trance dan sangat menikmatinya. Dari arah samping panggung, papa melihatnya penuh kasih. Sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang luar biasa. Nadine sempat melempar senyum pada lelaki tercintanya itu, tapi tiba-tiba dari arah samping panggung yang lain, seorang penari laki-laki keluar dan menari bersamanya. Nadine heran. Dalam skenario, tidak ada laki-laki yang menari bersamanya saat ini. Dia hanya membawakan tarian tunggal. Seluruh penonton bertepuk tangan menyambut kehadiran pria itu. Pria itu tersenyum. Oh,God! Itu Jacques!! Tubuhnya mendadak kaku, kakinya tidak bisa bergerak!!

"Ayo, Nadine! Lanjutkan tarian kita. Kita sudah latihan begitu lama, bukan?" tanyanya seraya menebar senyum. Nadine melongo, kapan aku latihan dengannya?

"Jangan kecewakan penonton yang sudah lama merindukanmu. Ups! Salah. Merindukan kita berdua, duet di atas panggung" lanjutnya lagi. Nadine semakin merinding. Tiba-tiba lampu menyorot ke arahnya. Ugh! Silau. Nadine memejamkan mata dan terbangun. Astaga! Rupanya dia bermimpi. Apa artinya ini? mimpi menari lagi begitu luwesnya seperti tiga tahun lalu, bersama Jacques?! Apakah karena suratnya tadi malam sangat mempengaruhi pikiranku? Nadine menggeleng-gelengkan kepala. 

Deadline lomba menulis cerita bersambung seminggu lagi berakhir. Tapi Nadine belum bisa menyelesaikan tulisannya sampai batas halaman yang ditentukan. Pikirannya kacau. 

Entah sudah berapa bâteau mouche yang lewat mondar mandir di depannya. Biasanya ketika duduk di pinggir sungai Seine ini, dirinya selalu menghitung berapa kali perahu pesiar dalam kota itu lewat di depan hidungnya. Nadine masih saja memegang kertas dan bolpen, berusaha membuat ending cerita bersambungnya. Tapi tetap tidak ada ide. Bahkan dia tidak mampu menulis satu kalimatpun!

"Kamu tidak bisa menulis dalam keadaan seperti ini, Nadine" kata sebuah suara. Nadine menoleh dan mendapati Jacques sudah berdiri di sampingnya yang sedang duduk lesehan. Iapun ikut duduk sambil menawarkan burger dan cola dingin. Nadine segera menyambutnya karena dia memang kelaparan.

"Merci "katanya. Mereka lalu terdiam beberapa saat.

"Jacques.."

"Nad.."

Mereka berdua tertawa kecil.

"S'il vous plaît, Mademoiselle" katanya mempersilahkan Nadine untuk berbicara duluan. Nadine menarik napas sejenak sebelum mengucapkan terimakasih atas suratnya dan Nadine samasekali tidak marah kemarin. Jacques tersenyum dan mengangguk.

"Maaf kalau aku begitu lancang memasuki duniamu yang belum banyak aku ketahui. Aku hanya tahu kau seorang penari, jadi kupikir sayang jika bakat besarmu terpendam sia-sia" katanya. Kemudian tertunduk. Angin sungai Seine menggoyang-goyangkan rambutnya yang agak gondrong. Sudah saatnya bersikap lunak padanya, bisik Nadine.

"Tidak apa-apa, Jacques. Aku maklum kalau kamu tidak tahu alasanku kenapa aku tidak mau lagi menari.." katanya. Semoga itu adalah jawaban yang dikehendakinya. 

"Ya, Nad" Jacques mengangguk-angguk.

"Jacques, boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Nadine. Jacques menoleh dan mengangkat alisnya.

"Silahkan. Kamu mau tanya apa?"

"Hmmmm, mengapa kamu..Kamu..sangat peduli padaku, Jacques?"

Cowok itu tersenyum. Matanya memandang Nadine agak menyipit.

"Kamu tidak tahu?"

Nadine menggelengkan kepala.

"Benar-benar tidak tahu?"

Nadine menautkan alis dan menggeleng. Dia melengos dan menarik napas.

"Kamu ini benar-benar bodoh atau tidak sensitif, ya?" tanya Jacques.

"Apa maksudmu, Jacques? Aku gak ngerti!"

Tiba-tiba dia menarik bahunya sehingga wajah mereka hampir saja menempel. Nadine tercekat dan tentu saja deg-degan setengah mati. Apalagi untuk Nadine tidak pernah sedekat ini dengan pria, kecuali dengan papanya.

"Dengar, Nadine. Aku mencintaimu!!"

Nadine merasa tidak salah dengar. Tapi dia tak sanggup berkata-kata. Hanya matanya yang memandangi kedua bola mata Jacques bergantian. 

"Sudah lama, Nad. Sejak aku melihatmu pertama kali. Ketika kita berdua sama-sama jadi murid baru di sekolah. Ketika aku baru saja pindah dari Marseille dan jadi warga Paris. Satu setengah tahun yang lalu. Kamu tahu itu??"

Nadine menggeleng. Shit! Betapa bodohnya dia! Mengapa selama ini dia tidak tahu kalau Jacques, teman sepermainan mereka di sekolah, ternyata menyukainya? Apa dia memang tidak sensitif atau terlalu memikirkan diri sendiri?

"Nad, aku sangat menyayangimu. Sangat! Aku selalu berusaha mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi padamu. Kamu terlihat begitu tertutup. Introvert. Bahkan kepadaku, atau kepada Chloë dan teman-teman yang dekat denganmu" katanya panjang lebar. Tentu saja ini membuat gadis itu terkejut. Kemudian Jacques menarik napas.

"Sekarang kamu tahu, kan? Kalau aku perhatian padamu, karena aku menyukaimu!"

Nadine tertunduk kemudian menitikkan airmata. Dia sangat terharu dengan pernyataan Jacques. Dia sangat jujur mengungkapkan isi hatinya. Dia sangat jujur pada kehidupannya. Nadine jadi malu pada diri sendiri. Dia tidak jujur pada kehidupannya. Ya, aku masih mencintai dunia ballet. Mengapa justru aku meninggalkannya? Jacques benar. Kematian mamanya, bukanlah alasan untuk mundur dari ballet. Itu murni kecelakaan. Bukan gara-gara dirinya. Mungkin karena itulah selama tiga tahun terakhir ini, Nadine selalu tertutup seperti yang dikatakan Jacques, karena dia mulai tidak jujur lagi pada hidupnya. Aku mengkhianati kehidupanku sendiri. Sungguh menyedihkan!!

Nadine menurut saja saat Jacques menggandeng tangannya untuk pulang. Dia berjanji dalam hati akan jujur pada kehidupannya. Dia sudah membuat keputusan untuk kembali ke dunia ballet yang memang sudah mendarah daging dalam tubuhnya. 

**

Nadine tersenyum memandangi Jacques yang juga tengah menatapnya tak percaya. Sejak lulus SMA mereka berpisah tanpa ada kata 'putus' dan Jacques mengira Nadine kembali lagi ke Nice, tempat asalnya dulu sebelum pindah ke Paris. Tapi ternyata..

"Aku melanjutkan kuliah di School of Performing Arts di Roma dan kini aku ada di Paris lagi untuk multi komparasi selama satu musim"

"Jadi, kamu akan berada di Paris, selama tiga bulan ke depan?" tanya Jacques. Nadine mengangguk kemudian mengajak Jacques turun ketika bus mereka berhenti dan Jacques mengikuti.

"Kami akan berdiskusi, tukar ilmu, seminar dan jika memungkinkan akan pentas gabungan. Seharusnya aku ikut tahun kemarin, tapi terlambat mendaftar jadi ya, baru bisa tahun ini" Nadine menunjuk sebuah tempat yang dulu selalu menjadi tempat kencan mereka. Quai de Montebello. Dia melirik Jacques.

"Kita kesana?" tanyanya dan Jacques mengangguk setuju. 

"Selama di Paris, kau tinggal dimana?"

"Di asrama mahasiswa di daerah Boulevard Voltaire" jawab Nadine "Kalau kamu, masih tinggal di banlieu  bersama ibu dan adikmu?"

"Tidak" Jacques menggeleng "Aku sekarang hidup mandiri. Tinggal di sebuah studio di jalan Olivier de Serres"

"Olivier de Serres...? Sebentar, aku lupa di mana itu ya?"

"Convention"

"Ah!" Nadine menepuk dahinya "Daerah lima belas? Wah, ujung ke ujung dong kita" komentarnya. Jacques tertawa. Setelah itu mereka masuk ke salah satu kafe perahu di sungai Seine. Setelah memilih tempat duduk di buritan kafe perahu, Nadine memandangi gereja Nôtre Dame. 

"Mengingatkan masa lalu" gumamnya. Jacques tertawa.

"Masa lalu?"

"Iya. Kita sering kencan di sini, kan? Tapi hanya duduk-duduk di quai saja. Aku menulis cerita dan kamu menganggu" jawab Nadine. Setelah itu sunyi. Mereka tenggelam pada pikiran masing-masing.

"Alors, apa kamu sekarang punya pacar?" tanya Nadine. Jacques menatap Nadine. Ingin diceritakannya tentang Vania, gadis Indonesia blasteran Belanda yang selama beberapa bulan terakhir ini dekat dengannya. Tapi demi melihat Nadine yang mengembalikannya pada masa lalu, niat itu diurungkan.

"Pas encore” jawabnya. Nadinepun tersenyum.