Try new experience
with our app

INSTALL

Splash Love in Seoul 

Daehan Minguk

TUBUH TEGAPNYA TERPELANTING membentur pohon angsana. Percikan bunga api memancar ketika motor sport yang sedang ia kendarai berbenturan dengan aspal. 


\tBeberapa orang di sekitar langsung berlarian menuju tempat kejadian. Dengan cekatan mereka mengangkat raga seorang pria yang tak sadarkan diri, korban keganasan dan kebrutalan metromini. Pria itu kemudian dibawa ke dalam sebuah mobil seseorang yang berbaik hati memberikan pertolongan. Mobil itu melesat dengan kecepatan tinggi. Lajunya membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. 


***

\tLinangan air mata menganak sungai di wajahnya. Ia menatap tubuh yang tergolek tak berdaya. Kelopak mata yang terkatup, tampak damai, tanpa kebisingan apa pun. Tanpa bara yang membakar rasa. Detak jantung yang terdeteksi dari monitor kardiograf, menjadi bukti bahwa jiwa masih menyatu dalam raga, meski entah kapan mata tubuh akan kembali berkuasa. []


***



IMPIAN HARUS DIPERJUANGKAN, sehingga akan tertoreh sejarah untuk mereka yang berani dan mau menebusnya. Beberapa dari mereka, salah satunya adalah Jingga. Seorang gadis di penghujung usia dua puluhan. Namun, ia tak pernah letih mengejar mimpinya. Kini mimpi itu nyata di depan mata, mengantarkannya ke tempat ini. Terpilih sebagai peserta program pertukaran kebudayaan yang diselenggarakan oleh HUFS (Hankuk University Foreign Studies).


\tJilbab magenta gadis tersebut kontras dengan wajahnya yang kuning langsat. Parasnya selalu menyenangkan untuk dipandang. Terlebih ketika tersenyum, lesung pipit yang tersembul membuat semua orang sulit untuk mengalihkan pandangan darinya.  Penampilannya yang kasual dan memakai backpack. Tidak lupa juga tas slempang kecil berisikan kamera tercangklong di pundaknya. 


\tJingga Sovianna merapatkan jaket parkanya, ia melangkah pasti di sebuah bandara dengan desain futuristik. Bandara yang tak pernah tidur di negara yang juga selalu terjaga. Bandara Incheon. Ia terus berjalan menapaki ruangan yang dibatasi kaca dan baja putih yang kokoh. Tujuannya adalah terminal kereta bawah tanah yang akan menjadi tempat transitnya ke Seoul. 


\tNamun, seketika langkahnya terhenti. Ia terkesiap saat melihat dua orang yang telah dikenalnya sewaktu di tanah air, dan kini telah berdiri di depan terminal kedatangan, menyambutnya.  


\tPerempuan berparas oriental dengan kulit serupa pualam. Meski hanya dengan make up minimalis tetapi tidak memudarkan kecantikannya yang menawan. Di samping gadis Korea tersebut, berdiri seorang pria dengan wajah tirus berkacamata. Usianya pertengahan tiga puluhan melempar senyum kepadanya dengan penuh wibawa. 


\tYang perempuan bernama Kim So-eun dan kakak laki-lakinya bernama Kim Jun-su. Jingga memang telah lama mengenal mereka di tanah air terkait beberapa pekerjaan. Namun ia tidak menyangka mereka mengetahui kedatangannya hari ini, bahkan sampai menjemputnya.  Akan tetapi, ternyata dalam dunia yang luas, ada jaring-jaring yang tak kasatmata terkoneksi antara satu dengan yang lain. Menggariskan sebuah takdir yang beririsan. Seperti kedua Kim bersaudara, ternyata keduanya adalah keponakan Profesor Lee. Profesor yang menjadi sponsornya untuk mengikuti program pertukaran kebudayaan di negara ini.


\tMaka hal tersebut adalah suatu anugerah. Sebuah awal yang baik ketika ia diperlakukan selayaknya tamu kehormatan.  Sedangkan Jingga tengah meraba-raba akan seperti apa kehidupannya untuk enam bulan ke depan. 


\tPerlahan mobil mewah yang mereka naiki melaju meninggalkan Bandara Incheon menuju kediaman Prof. Lee di Distrik Gangnam. Keluar dari tol, mobil menuju jantung Korea Selatan, Seoul. Sepanjang jalan masih terdapat sisa salju semalam. 


\tMereka melintasi terowongan yang menembus bukit-bukit, melewati aneka jembatan yang berdesain unik. Terlihat bangunan dengan arsitektur kuno, seperti beberapa istana yang masih terawat baik dan kuil-kuil konfusionisme. Bersanding harmonis dengan gedung-gedung pencakar langit berdesain modern. 


\tKawasan pedestrian di sepanjang aliran Sungai Cheonggyecheon menjadi salah satu primadona di kota ini. Sungai yang membelah kota dan selalu menjadi spot utama untuk dikunjungi. 


\tRamai lalu lintas jalan raya seolah menandakan bahwa dalam musim dingin pun negara itu tetap berada dalam kesibukan. Lalu lalang pejalan kaki di trotoar yang lebar dengan mengenakan beraneka model jaket tebal musim dingin. Jingga bak menyaksikan pertunjukkan fashion jalanan. 


\tHingga mobil mereka berhenti di di kediaman Profesor Lee. Rumah Profesor Lee bernuansa tradisional. Halamannya luas dengan rumput tertata apik serupa permadani. Terlihat bangunan utama dengan atap yang melengkung tinggi, kokoh, dan berpondasi batu. Tak banyak perabotan di dalamnya. Hanya beberapa hisan guci-guci kunoa, rak buku yang berderet hingga sudut ruangan, juga meja pendek di dalam ruangan berpenghangat. 


\tSejurus kemudian, muncul lelaki berperawakan tambun dan tinggi. Seorang profesor yang fasih berbicara bahasa Indonesia, dikarenakan ia mengampu mata kuliah bahasa Melayu-Indonesia di Universitas Hankuk, Professor Lee.


\tSetelah beramah tamah dan menerangkan segala keperluan Jingga selama di Korea, Profesor Lee tidak lupa berpesan kepada Jingga agar jangan sungkan untuk meminta bantuan kepadanya dan kepada keponakannya. 


\t“Selain mereka berdua, masih ada satu keponakanku lagi sebenarnya. Tetapi yang satu itu sulit didekati. Kakinya seperti tidak menginjak bumi.” Professor Lee berseloroh dan hanya ditanggapi senyuman oleh Jingga.  


\tMeski ia tidak mengerti apa yang dimaksud Professor Lee, tetapi ia menangkap bahwa Professor itu tulus membantunya. Akan tetapi hal itu menjadikan Jingga merasa sungkan. Ia sadar posisinya di negara itu, ia hanya orang asing. 


\tSelepas makan siang, Jingga mohon diri untuk menuju apartemen milik Professor Lee. Ia sampai di apartemen pukul dua siang, ia sudah tiba di apartemen yang lokasinya tak jauh dari Universitas Hankuk. Jingga memandangi ruangan yang serba minimalis. Meski kamarnya kecil, tetapi sangat nyaman dan hangat. Dinding kamar bercat cokelat muda. Selain kamar tidur, ada juga ruang tamu kecil yang hanya terdapat sofa, karpet, meja pendek, dan rak buku. 


\tIa kemudian menyibak tirai dari jendela yang berembun karena salju kemarin. Melalui lantai empat, terlihat butiran salju yang perlahan turun. 


\tJingga bertasbih dalam hati, memuji Sang Pemilik Semesta. Tasbihnya bersahut-sahutan dengan tasbih butiran-butiran salju lembut yang memutihkan kota. Hari pertama di negeri daehan minguk


***

\tKim Young-han, pria yang serius di depan monitor komputer. Wajahnya dingin dengan sorot mata yang tajam. Guratan wajah yang tegas dan rahang yang kokoh. Pembawaannya yang seperti itu, membuat siapa saja harus berpikir ulang jika memiliki keperluan dengannya. Berurusan dengan Kim Young-han, sama artinya bersiap dengan hari yang buruk. Ketika ia disibukkan dengan rancangan untuk model ponsel terbaru untuk perusahaan tempatnya bekerja, seketika telepon di ruangannya berbunyi. Ia menjadi jengkel. Makian tidak luput keluar dari mulutnya. Bunyi-bunyian macam itu yang membuat konsetrasinya buyar dan merusak pekerjaannya. 


\tYoboseo (halo).”


\t“Kutunggu di ruanganku sekarang juga!” perintah seorang pria yang tak lain adalah presiden direktur perusahaan tersebut.


\tDengan malas, Young-han menuju ruangan sang presdir. Ia masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu, tanpa permisi atau bahkan sekedar basa-basi. Di dalam ruangan, seorang pria tengah berdiri memunggunginya, menghadap ke luar jendela dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Sejurus kemudian, pria tersebut menoleh. Wajah Kim Young-han semakin mengeras. 


\t“Semalam aku menghubungimu, tapi tak bisa,” ujar pria itu lalu tersenyum.


\t“Aku mematikannya,” jawab Young-han cepat, juga ketus. 


\tNo neun i bappeun geoya (apa kau sibuk)?”


\t“Ya.”


\t“Hmm ... jangan terlalu tegang. Eh, kudengar kau pindah apartemen lagi. Di mana?”


\t“Pertanyaan pribadi. Masih jam kerja, Tuan Kim. Aku mohon diri,” sahut Young-han dingin. 


\tIa lantas membungkukkan badan pada Kim Jun-su, hendak meninggalkan ruangan. Namun, langkah Young-han seketika tertahan oleh pertanyaan sang presdir.


\t“Apa nanti kita bisa bertemu di Bar Halla?”


\tYoung-han memerlukan waktu sepersekian detik untuk menjawab. “Tapi tidak lama.”


\tTanpa menunggu tanggapan atasannya, ia bergegas keluar.


\tJun-su menatap kepergian lelaki itu sambil menggeleng-geleng prihatin. 


\t “Appa, aku akan berusaha lebih keras,’ lirih Jun-su.


***

\tKedua pria itu sudah duduk selama beberapa menit di bar, tetapi tak satu pun yang memulai percakapan. Mereka senyap dalam keramaian alunan musik. Beku dalam ingar bingar kemeriahan lampu. Sampai akhirnya, Kim Jun-su memulai pembicaraan, memecah kebekuan.


\t“Bagaimana kabarmu?” 


\tYoung-han menyeringai. “Pertanyaanmu macam orang tak pernah bertemu saja!” 


\tYoung-han mengangkat gelas berisi bir dan menatapnya.  Meski tatapannya juga kosong. Ada bara yang masih menyala di hati setiap kali berdekatan dengan pria di sampingnya itu. Sementara Kim Jun-su menghela napas panjang. Ia pun memiliki perasaan tidak nyaman. Namun sekuat tenaga ia menata perasaannya dari  berbagai kecamuk. 


\t“Oh iya, jadi benar kalau kau menempati salah satu apartemen Lee Samchon?” 


\t“Begitu pentingkah untukmu?” tanya Young-han tajam, tanpa sedikitpun menatap Jun-su.


\t“Tentu saja penting, selama namamu masih tercantum dalam akte sebagai putra kedua Kim Min-dong.” Jun-su berusaha menjawab dengan tenang seraya meletakkan tangannya pada pundak Young-han. Namun Young-han cepat menepisnya dengan kasar. Kali ini Young-han menatap Jun-su tajam. Seperti melihat musuh bebuyutan yang siap ia terkam. 


\t“Mungkin jika namaku sudah terhapus dari akta, kau sudah tidak lagi menganggapku penting. Begitu, ‘kan?”


\tJun-su menyeringai. Tiba-tiba saja ia sudah berada dalam situasi yang sama dengan Young-han. Pertahanan emosinya hampir hancur lebur. “Jangan salah paham lagi. Bagaimanapun kau adikku, mana bisa seperti ini terus.”


\t“Adik? Masih mengakui aku sebagai adikmu?” 


\tKali ini, Jun-su sudah hampir tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Dengan gusar ia cengkeram kuat-kuat gelas minumannya. Kalau dibolehkan, rasanya ia ingin melemparkan gelas di tangannya tepat ke wajah Kim Young-han. Tetapi otal warasnya masih bekerja dengan baik. 


\t“Pulanglah ke rumah kita, jalani hidup dengan normal. Sudah lama sekali seperti ini. Apa kau tak merasa lelah dengan amarah yang menguasai hatimu itu?” ujar Jun-su parau. Kesabarannya hampir mendekati titik nadir.


\t“Lelah?” seringai Young-han. “Jika kau lelah, maka mulai sekarang, berhentilah mencampuri urusanku!” bentaknya, kemudian bangkit meninggalkan Jun-su.


\tJun-su membeku sejenak. Darahnya menggelegak. Jantungnya berdebar-debar tidak karuan.  Ia lantas membanting gelas dengan kalap. Emosinya yang selama ini terkontrol baik kini porak poranda. Tak ada lagi kesabaran. Semua sudah hancur berkeping-keping ... seperti pecahan gelas itu.


\tIa pun larut dalam minuman beralkohol, hingga berbotol-botol. Tak lama, tertunduk di meja bar seperti pecundang yang kalah perang. Tubuhnya seakan melayang ke dalam suatu fantasi yang hanya ia sendiri yang tahu. Kepala Jun-su terlalu berat untuk diangkat. 


\tTak lama, asistennya datang untuk memapah pria itu keluar dari bar, memasukkannya ke mobil. Kendaraan mewahnya melesat di tengah kemilau malam kota. 


***

\tPukul sembilan pagi, suhu masih di kisaran minus lima derajat celcius. Jingga sudah berada di halaman apartemen. Acara pembukaan program pertukaran budaya masih satu jam lagi. Dia sengaja keluar lebih awal sebelum berangkat ke kampus demi memotret suasana kota saat pagi, meski harus berjuang menahan dingin.


\tJingga sibuk memutar lensa zoom dan menekan tombol shutter. Kemudian membidik sudut-sudut kota yang menurutnya menarik. Kamera bukan lah hal baru baginya. Setiap ia bepergian, kamera adalah benda wajib yang tidak boleh tertinggal. Meski ponselnya pun cukup canggih untuk menghasilkan kualitas foto yang baik, tetapi ia tetap lebih nyaman untuk memfoto menggunakan kamera jenis DSLR.


\tSementara dari jarak yang tidak terlalu jauh, seorang pria di atas motor sport hitam dengan wajah tertutup helm mengawasi  gerak-gerik gadis asing di halaman apartemennya. Namun tiba-tiba saja ia terkesiap saat si gadis tiba-tiba menoleh dan mengarahkan lensa kamera kepadanya. Sebuah snapshot yang begitu lancang dan kurang ajar membuat pria itu berang.


\tIa buru-buru menyalakan mesin motor dan melaju ke arah gadis berhijab itu. Pria itu lantas membuka helmnya lalu berkata setengah menghardik, “Kemarikan kameramu!”


\tJingga menurunkan kameranya dan tersenyum tipis. Ia malah dengan beraninya menatap pria itu tanpa rasa bersalah. “Maaf, ada perlu apa?”


\t“Masih bertanya? Kau mengambil gambarku tanpa izin. Kau tidak punya hak untuk itu. Dasar tidak sopan!”


\t“Oohh, yang tadi. Jhwesonghamnida (mohon maaf), saya tidak bermaksud mengganggu Anda,” sahut Jingga sopan. Ia kemudian menundukkan badan. “Saya pikir tadi Anda minta difoto.”


\tPria itu memelotot . “Difoto?! Kau ini seorang pengarang cerita atau sedang mengigau?!”


\t“Ya, memang benar Anda tidak meminta secara verbal pada saya. Namun tampak dari gerak-gerik Anda yang mengawasi saya tadi sepertinya Anda ingin saya foto,” jawab Jingga dengan senyumannya.


\t“Ingin sekali?!” Suara si pria semakin meninggi. Ia tak habis pikir dengan sikap gadis ini yang seolah-olah tak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Andai manusia lancang ini laki-laki, maka ia tidak akan kesulitan menentukan tindakan selanjutnya.


\t“Kenapa Anda mengawasi saya?” tanya Jingga tiba-tiba.


\tSontak Young-han terkejut. Ia sungguh tidak menyangka kalau gadis asing itu menyadari keberadaannya sedari tadi.


\t“Itu karena kau terlihat begitu aneh!” sahut Young-han salah tingkah. Ia lantas menghidupkan kembali mesin motornya, bersiap pergi. “Semoga aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi, gadis aneh!” teriaknya kepada Jingga.


\tSepersekian detik kemudian, deru motor terdengar memekakkan telinga, seolah-olah mewakili perasaan pengendaranya.


\tJingga tersenyum tipis sambil memandangi kamera. Sebenarnya sudah sejak lima belas menit pertama ia merasa risih diperhatikan. Ia bahkan sempat berpikir bahwa ada orang berniat tidak baik kepadanya. Rupanya hanya pria lancang dan kurang kerjaan macam itu. Ia lantas melangkah pergi menuju kampus HUFS. Upacara akbar akan segera dimulai.

\t***

\tDengan tergesa-gesa Young-han memasuki ruang kerja. 


\t“Sial! Gara-gara memperhatikan gadis asing yang aneh itu, aku jadi terlambat lima menit!” rutuknya.


\tDan tanpa ia sadari, Jun-su sudah berada di ruangannya.


\t“Terlambat lima menit, bersiaplah gajimu bulan depan akan dipotong dua puluh lima persen!” tukas Jun-su. Ia kemudian tersenyum dingin, dan melangkah keluar ruangan.


\tSebenarnya Jun-su bisa menjadi alasan bagi Young-han untuk menumpahkan segala kekesalannya. Namun, untungnya ia masih cukup waras untuk tidak berbuat konyol di kantor itu. 


\t“Kenapa tidak limapuluh persen saja sekalian?” desis Young-han sengit. Ia bergegas mengiringi langkah Jun-su dan berjalan tepat di sisinya. “Hitung-hitung, untuk membayar ganti rugi gelas yang kaupecahkan semalam,” lanjutnya dengan nada mengejek.


\t“Tidak perlu. Aku mampu membayar ganti ruginya. Duapuluhlima persen itu cukup untuk membayar harga minuman yang tidak kau bayar tadi malam. Sisanya untuk membayar waktuku yang terbuang percuma,” sahut Jun-su dingin. Ia kemudian melenggang penuh wibawa meninggalkan karyawannya.


\t“Berengsek!!” umpat Young-han. Wajahnya merah padam dan tinju yang terkepal.


***

\tGebyar-gebyar cahaya lampu, keindahan gerak gemulai para penari, serta suara alat musik tradisional yang mengesankan, menjadi pemandangan menarik saat upacara pembukaan Cultural Program for Foreigner. Panggung megah dengan permainan teknik hologram. Istana Deoksu sebagai latar belakang, menampilkan hologram Raja Sejong yang tengah duduk di singgasananya dengan gagah. 


\tDari atas panggung, muncul dua penari wanita mengenakan gwanbok dengan paduan warna-warni yang begitu cerah, diiringi dengan alat-alat musik tradisional Korea Selatan.


\tTaepyeongmu adalah sebuah tarian dari Dinasti Juseon. Menggambarkan perdamaian bagi seluruh negeri. Sesuai dengan misi kami kali ini, yaitu menyebarkan damai bagi seluruh negeri dengan budaya.” Suara narator terdengar, memperkenalkan tarian yang sedang dipertontonkan. 


\tTarian Taepyeongmu merupakan tarian raja-raja dari dinasti Juseon. Dibawakan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum gwanbok, pakaian yang kala itu dikenakan oleh para raja dan ratu dari kerajaan Korea.


\t“Kau dari Indonesia?” tanya seorang wanita Kaukasoid yang duduk di sebelah Jingga. Gadis itu menoleh dan tersenyum.


\t“Iya, benar,” jawab Jingga ramah.


\tWanita Kaukasoid tersebut balik tersenyum ramah. Parasnya cantik dengan hidung mancung dan kulit eksotis. Rambut lurusnya disemir cokelat, tergerai sampai pundak. Ia mengenakan kain sari berwarna kuning emas. 


\tJingga menyodorkan tangan padanya. “Perkenalkan, namaku Jingga Sovianna. Namamu Pretty Shereen Singh, ‘kan?”


\tWanita India tersebut menyambut jabat tangan itu dengan ekspresi terkejut. “Wow! Ternyata kau tahu namaku.” Ia menatap Jingga. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”


\t“Tentu saja belum. Aku hanya mengintip ID card-mu.”


\tPretty semakin antusias. Mata indahnya yang dihiasi maskara membulat. “Great! Amazing! Kau memperhatikan aku rupanya.”


\tTak butuh waktu lama, kedua perempuan berbeda bangsa ini langsung akrab. Dalam hati, Jingga bersyukur sudah memiliki teman baru. Selepas dari acara seremonial itu ia pun berkenalan dengan beberapa mahasiswa asing lainnya. Seperti Yamazaki Naoko dari Jepang, Nikita si cantik dari Rusia, dan Pierre pria asal Polandia. Ia berharap semoga waktu enam bulan ke depan akan berjalan baik-baik saja. 

***

\tPukul sepuluh malam, pertama kalinya Jingga pulang malam hari setelah dua pekan berada di kota ini. Aktivitasnya begitu padat. Pembelajaran dimulai pukul sembilan pagi hingga sore hari. Kemudian di sore harinya, ia lanjut ke perpustakaan sampai larut. Kadang pula sampai melewatkan waktu makan malamnya. 


\tSungai Cheonggyecheon memantulkan gemerlap cahaya kota kaca. Meski malam, Jingga menikmati pemandangan di kota itu. Kemewahan kota itu nyata seperti yang tampak pada layar televisi. Ia terus berjalan menyusuri pedestrian lebar yang berjajar beragam took-toko, restaurant, dan coffe shop. Seketika langkahnya mendadak terhenti, ketika ia menangkap suara yang memanggil namanya. 


\t“Sovi?”


\tJingga menoleh perlahan. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu selama ini.


\t“Kak Pras?” Jingga membelakkan mata tidak percaya. Nyaris ia berpikir bahwa ia tengah bermimpi.


\tLelaki itu mengangguk, kemudian mendekat. 


\tAssalamualaikum, Sovi.”


\tJingga merasa lidahnya seketika kelu. Kerongkongannya mengering. Jantung mulai berdegup kencang tak beraturan. 


\t“Wa’alaikumussalam,” jawab Jingga gugup. Ia berusaha menata hati, tanpa sedikit pun berani menatap wajah Prasetyo.


\tPras mengangguk kaku, tersenyum canggung. Ia juga kehilangan kata-kata untuk berbicara pada gadis itu. Mati-matian Jingga berusaha bersikap biasa. Ia berbasa-basi ala kadarnya dengan menanyakan perihal keberadaan Pras di Seoul, begitu pula Pras yang bertanya serupa. 


\t“Kak, sudah malam. Aku harus segera pulang,” ucap Jingga  akhirnya. Semakin lama bertemu Pras, semakin tak menentu hatinya.


\t“Iya, sudah malam,” jawab Pras tak kalah gugup.


\tIa hanya sanggup memandangi kepergian Jingga. Bahkan untuk bertanya gadis itu tinggal di mana saja ia lupa. 


\tPras termangu. Sebenarnya sejak ia melihat Jingga di bandara dan dijemput oleh pria Korea Pras menahan diri untuk menyapa Jingga. Tetapi semakin lama semakin penasaran. Pras tidak mempercayai sebuah kebetulan, tetapi mengapa hari ini ia bertemu Jingga tepat di kota ini?  Barangkali ini adalah jawaban atas pertanyaannya selama ini. Bisa jadi pula, hal itu adalah pertanda, bahwa ia harus menyelesaikan urusannya dengan Jingga. 


***

\tPrasetyo Wibowo, senior Jingga di kampus. Kedekatan antara Jingga dan pria itu terjadi ketika mereka menjadi partner kerja di sebuah organisasi kemahasiswaan. Mereka sering terlibat dalam urusan program di universitas. Tak hanya urusan pekerjaan saja, ternyata diam-diam, urusan perasaan pun menjadi dekat. Dalam diam, Jingga memendam rasa yang tak biasa untuk Pras.


\tTerlalu lama memendam hingga akhirnya waktu yang menggerus semua harapannya. Harapan yang berlebihan menimbulkan rasa sakit yang tidak sebentar. Sampai ia memutuskan untuk mengakhiri perasaannya ketika ia mendengar kabar bahwa Pras telah melamar Novia, temannya sekelasnya kala itu. Sesuatu yang memang ditakdirkan berakhir, ia tentu tak kuasa menepis takdir. Dan kisah usang itu mengapa kembali menyapanya? Seperti meruntuhkan bangunan yang telah susah payah ia bangun. Bangunan harapan. Harapan bahwa ia pun sanggup berjalan lagi, ketika yang ia harapkan telah menjauh pergi. Bahwa ia akan baik-baik saja memulai hidup baru dengan sejuta impiannya. Seketika ia merasakan nyeri yang tidak tahu di mana letaknya. 


\tHingga pikirannya yang tidak sedang baik-baik saja membuatnya tidak mendengar bahwa ada suara yang memintanya untuk menahan lift. Ia baru tersadar ketika pria itu benar-benar satu lift dengannya dan berkata kepadanya.


\t“Suatu hari kau akan menyadari, bahwa melamun di tempat umum bisa mengancam nyawamu dan juga nyawa orang lain!” ujar pria itu dengan ketus. 

 

\tEkspresi dingin dan sorot mata tajam pria itu masih membekas dalam ingatan Jingga. Gadis tersebut bahkan harus mengerjap beberapa kali, tak percaya bahwa mereka kembali dipertemukan dalam keadaan yang sama tidak menyenangkannya.


\t“Saya sangat menyesal untuk kejadian barusan. Mohon maafkan saya. Saya benar-benar tidak mendengar.” Jingga kembali membungkukkan badan.


\tTelanjur kesal, pria itu tak menggubrisnya. 


\tLift sudah sampai di lantai empat. Dengan perasaan jengkel Kim Young-han keluar diikuti dengan Jingga. Dalam hati, mereka merasakan adanya kejanggalan. 


\tTiba di koridor apartemen, Young-han menoleh ke belakang dan terkejut saat melihat Jingga membuka pintu apartemen.


\tMau apa dia di sana? Apakah gadis aneh itu tamu Paman, yang pernah Paman ceritakan beberapa hari lalu? Young-han bertanya-tanya dalam hati.


\t***

\tTelah dua bulan Jingga mengikuti semua rangkaian kegiatan program dari Universitas Hankuk. Beberapa hari lalu, para peserta membuat kimchi. Sebelumnya mereka juga diperkenalkan pada upacara darye dan melihat cara pembuatan bangcha. Selanjutnya mereka akan mengunjungi situs-situs budaya di Seoul dan Gyeongsang Utara. Istana-istana peninggalan kerajaan kuno menjadi salah satu agenda penting dalam jadwal kunjungan peserta. 


\tTanpa terasa, musim dingin perlahan pergi. Pucuk-pucuk bunga bermekaran, kuncup azalea yang berwarna-warni mulai menghiasi kota. Musim semi tiba di negeri ginseng. 


\tMinggu pagi pertama pada musim semi, Jingga menyusuri taman kota. Setelah beberapa bulan ia berkutat dengan tugas-tugas, sepertinya ia membutuhkan reward untuk mengisi semangatnya. Sebenarnya Pretty, Naoko, Pierre, dan Nikita mengajaknya pergi ke norebang, tetapi ia menolak secarahalus. Ia ingin menikmati kesendirannya. Berburu objek fotografi seperti biasanya. Ia memilih Seoul Forest sebagai tujuannya, taman luas dengan ratusan jenis vegetasi dan pepohonan rindang serta kawasan yang dialiri sungai Han. Setelah puas mengambil beberapa foto di sana, ia beristirahat di sebuah gazebo dekat kolam. Menikmati bekal nasi gorengnya, seraya melihat-lihat kembali hasil bidikannya.


\t“Namamu Jingga?” tanya seorang pria di sampingnya.


\tJingga menoleh, lalu menghela napas. Sosok angkuh itu lagi!


\t“Iya, benar. Maaf, ada apa, ya? Apa saya punya salah lagi?” jawab Jingga dengan berani.


\t“Iya dan akan menyulitkanmu!” tandas Young-han ketus. Disodorkannya ponsel kepada Jingga. “Ini milikmu?”


\tJingga mengernyit, mengamati ponsel itu beberapa saat. 


\tSeketika wajahnya memucat. Jantung gadis itu berdegup lebih kencang. Buru-buru Jingga merogoh backpack-nya. Ternyata ponselnya tidak ada di dalam tasnya. Masih tak yakin, ia kembali mengeluarkan seluruh isi tas ke kursi taman. Nihil.


\t“Sepertinya memang milikku,” ujar Jingga lirih.


\tTanpa permisi, ia segera menyambar benda tersebut dari genggaman Young-han. Gadis itu buru-buru membuka kunci dengan menekan kombinasi nomor dan huruf. 


\t“Terima kasih!” ucap Jingga seraya membungkukkan tubuhnya dalam.


\t“Kutemukan tergeletak di depan pintu apartemenmu. Dasar ceroboh!” Young-han mendengus. “Tidak perlu berterima kasih!”


\tNamun, Jingga tetap melakukannya lagi. Membungkukkan badan dan berkata dengan wajah semringah, “Gamsahamnida.”



\tYoung-han lagi-lagi tak menggubris. Ia kemudian berlalu meninggalkan Jingga sambil merutuki diri berkali-kali, betapa konyolnya dia hari ini. Akibat kecerobohan gadis itu, dia sampai harus berbalik arah dan mengikutinya sampai ke Seoul Forest

\tBenar-benar gadis yang merepotkan! []