Contents
LATTE UNTUK MOCCA
Everythin’ Changes
JO keluar dari mobil, membanting pintu sekuat tenaga. Dia pernah mendengar tentang ucapan adalah doa. Sekarang, Jo tahu apa artinya itu. Baru saja dia mengatakan pada Ghi brengsek itu, kalau dia tidak akan membiarkan Ghi mengambil bayi Vanessa.
Dan ucapannya menjadi nyata!
Dalam hati rentetan kata makian diucapkan Jo. Dia tidak marah pada orangtuanya, tapi pada Vanessa, Ghi dan bayi yang membuatnya terperangkap masalah.
“Kenapa Mama nggak minta pendapat saya? Kenapa bayi itu harus kita bawa? Saya nggak punya tanggung jawab apa pun sama dia. Biarkan orangtua Vanessa yang ngerawat, Mama jangan khawatir, saya akan bayarin berapa pun biaya untuk bayi itu!”
Irma melihat urat-urat di leher Jo menegang. Dia tahu, Jo tidak bermaksud marah padanya. Lelaki itu sedang frustasi. Hidupnya berubah 180 derajat hanya dalam beberapa bulan. Pengkhianatan, perceraian dan pertanyaan yang tidak terjawab, membuat Jo seperti lalat yang terperangkap dalam jaring laba-laba.
Semakin bergerak semakin dia terjebak dalam jaring-jaring itu.
Tangan Irma meremas pundak Jo lembut. Lelaki itu membelakanginya, menyembunyikan wajah letih dan terluka.
“Orangtua Vanessa nggak sanggup ngerawat Adelia. Kamu tau kan Venny, juga baru saja bercerai,” kata Irma menyebut nama kakak Vanessa. “Sekarang dia tinggal di rumah orangtuanya bersama dua anak yang harus diurus dan dibiayai.” Irma menjelaskan, sengaja melambatkan setiap kata yang diucapnya. Dia mengenal Jo. Lelaki ini seperti air. Mudah panas, tapi juga mudah dingin.
“Itu bukan urusan kita. Vanessa yang bikin orangtuanya menderita. Bukan saya,” ucap Jo masih menyimpan amarah.
“Tapi … apa kamu tega kalo Adelia harus tinggal sama mereka?! Berdesakan di rumah itu, kamu tau kaya apa rumah Vanessa, kan?!” tanya Irma.
Jo terdiam. Membayangkan bayi kecil yang masih merah itu tidur satu ranjang dengan dua anak Venny. Membayangkan Adelia tinggal berdesakan di dalam rumah orangtua Vanessa yang tidak besar.
“Bayi itu nggak ada hubungan darah dengan kita, dengan saya,” ucap Jo.
“Mungkin iya, tapi kita nggak sedang ngomongin tentang hubungan darah, Jo. Gimana kalo kamu lupakan dulu tentang itu?! Ini tentang peduli atau nggak. Mama yakin kamu bukan laki-laki yang nggak punya hati. Kamu pasti peduli.”
Irma memaksa Jo berbalik, menghadapnya. Perempuan itu meletakkan satu tangannya di dada Jo. “Kamu peduli, pasti. Jauh ... di sini ... kamu peduli.”
Lelaki itu membuang muka, tidak sanggup menatap air mata Mamanya. Ya, dia memang peduli. Pada Mamanya, bukan pada Adelia.
Setelahnya, kakinya yang terasa remuk diseret mengikuti langkah Irma. Mereka berempat berjalan ke ruang bayi. Ketika Mamanya masuk lalu menggendong Adelia, Jo melihat perempuan yang disayanginya itu begitu senang. Dia tidak mungkin menolak permintaan Mamanya. Satu-satunya perempuan yang sangat berharga untuknya.
Dulu Vanessa dan Mamanya memiliki arti yang nyaris sama untuk Jo. Setelah Vanessa berkhianat, perempuan itu tidak lagi berarti apa-apa untuknya. Sekarang tinggal Mamanya, hanya Mamanya seorang, perempuan yang harus dibahagiakannya.
Jo tersadar ketika Irma mengetuk kaca pemisah ruang bayi dengan lorong di luar. Wajah Adelia yang sedang tidur memenuhi ruang pandangnya. Dan saat itu pula dosa Vanessa terpampang begitu jelas.
Jo merasa perutnya bergolak, dan dadanya perih. Dengan kasar dia berbalik, berjalan menjauhi ruang bayi. Sampai kapan pun, bayi itu akan selalu menyebabkan hatinya serasa diiris-iris.
@@@
SINAR matahari yang menembus tirai kamar, membuat Jo membuka matanya yang berat. Dia mengerang. Jam di kabinet menunjuk angka delapan, lewat 10 menit. Seperti biasa, dia tidur lagi setelah salat subuh yang asal-asalan.
Salat itu pun dilakukan karena Ayahnya memaksanya, mendorongnya ke kamar mandi untuk berwudhu. Dia sudah terlambat untuk salat berjamaah di masjid perumahan. Ayahnya sudah menggedor pintu kamar, tapi Jo terlalu ngantuk untuk bangun.
Bukan hanya ngantuk, akhir-akhir ini dia merasa marah pada takdir. Takdir pahit yang ditulis untuk hidupnya yang kacau ini.
Sekarang ponselnya yang menjerit. Jo meraba-raba kabinet, menempelkan benda itu ke telinganya setelah menekan tombol hijau.
[Baru bangun, lu?!] Suara bentakan Yohan membuat telinganya berdenging.
[Brengsek! Nggak usah teriak!] balas Jo.
[Gue nggak bakal teriak kalo lu balas chat gue. Dari semalem cuma centang biru. Ini urusan kerjaan, bego! Lu lupa janjian sama Bu Vero, janjian sama Pak Joko masalah container. Punya otak tuh dipake, jangan sibuk merenungi nasib. Vanessa udah mati, nah elu?!]
Jo mengumpat lagi. Empat bulan terakhir ini Yohan selalu berbicara keras padanya. Dia tahu, sahabatnya itu bermaksud baik. Dia memang tidak bisa terus-terusan berkubang dalam duka. Bukan duka karena kehilangan Vanessa, tapi karena hidupnya yang berantakan ini.
[Iya, iya, gue bangun.]
Jo bangkit dari tempat tidur. Tidak susah-susah membantah Yohan. Sambungan itu dimatikan begitu saja. Ketika melewati cermin, Jo membeku. Bayangan wajahnya yang dipenuhi cambang, dengan mata cekung dan lingkaran hitam terlihat jelas. Kemeja yang tadi dipakainya salat bukan hanya kusut, tapi juga berbau alkohol.
Jo tahu dia terlihat menyedihkan. Sorot matanya yang penuh semangat hilang entah ke mana. Belum lagi senyumnya yang tidak pernah terlihat dalam tiga bulan ini. Kemana perginya semua itu? Dia sendiri heran. Lalu, suara rengekan terdengar. Dan tak lama berubah menjadi tangisan. Kepala Jo rasanya mau pecah mendengar itu.
Itu suara Adelia. Irma sengaja menempatkan kamar bayi itu tepat di sebelah kamarnya. Bahkan ada connecting door yang menghubungkan kamar bayi dengan kamar Jo. Jadi setiap malam, Jo bisa mendengar suara tangisan bayi itu. Dan dia sama sekali tidak tergerak untuk melihat Adelia. Dia tidak perlu kemarahan lain dalam hidupnya. Sebab setiap kali melihat bayi itu, bayangan perselingkuhan Vanessa selalu merangsek ke dalam kepalanya.
Sebelum Mamanya mengetuk pintu kamarnya, Jo cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Mungkin guyuran air dingin bisa mendinginkan kepalanya yang panas. Pikir Jo
@@@
"PAGI, Yah,” sapa Jo sambil menarik kursinya mendekati meja. Tangannya meraih kopi sembarangan.
“Bang, itu kopiku,” sergah Jordan. Adiknya memandang Jo dengan sebal.
“Minta lagi sama Mbak Sri,” jawabnya tak peduli.
Hadyan hanya menatap kedua anaknya. Tidak menemukan kalimat apa pun untuk merespon.
Sedangkan Jordan mendengkus kesal, tapi tetap berdiri dan menghampiri Mbak Sri yang sedang mengaduk nasi goreng. Dia dan Jo biasanya mengobrol tentang apa saja di ruang makan. Mereka bisa dibilang akur walaupun menekuni pekerjaan yang berbeda. Jo seringkali mengambil kopi atau sarapan miliknya. Jordan akan protes, dan Jo akan membujuknya dengan gaya alay. Membuat Jordan bergidik ngeri. Lalu mereka akan terbahak bersama.
Sekarang semua berbeda. Tidak ada lagi keakraban adik-kakak yang dulu. Jo tidak lagi menanggapi obrolan Jordan. Dia hanya akan menggeram lirih untuk menjawab pertanyaan Jordan. Seakan Jordan sangat mengganggunya. Dan lelaki berumur 29 tahun itu mulai berhenti berusaha mengajak abangnya mengobrol.
Jordan kembali lagi ke kursinya. Sudah memegang cangkir kopi yang baru. Setelahnya piring-piring berisi nasi goreng dihidangkan.
“Yah, saya makan duluan ya. Harus cepet-cepet ke kampus. Ada rapat masalah uji kompetensi,” kata Jordan.
Hadyan mengangguk, sambil menatap ke arah lantai dua. Dia menunggu istrinya turun dengan Adelia. Ada kebiasaan baru dalam empat bulan terakhir ini. Irma yang biasanya sudah menunggu suami dan dua anaknya di ruang makan, akan turun belakangan. Itu karena dia harus memandikan dan mendandani Adelia, sebelum Muti, ART yang mengasuhnya, mengambil alih tugas Irma.
Tak lama Irma muncul, dengan tunik batik berwarna biru dan jilbab berwarna lebih gelap. Tangannya mendekap Adelia yang sudah rapi. Bayi 4 bulan itu mengenakan dress lengan pendek berwarna salem, memperlihatkan pahanya yang gemuk dan menggemaskan.
“Pagi cucu Opa,” sapa Hadyan sambil mengulurkan tangannya pada Adelia.
“Pagi, Opa,” balas Irma. Dia menyerahkan Adelia pada suaminya. Sambil tersenyum gemas menatap Adelia.
Jordan ikut mendekat, menyapa Adelia dan menciumi tangan gemuknya. Untuk sejenak mereka bertiga sibuk memperhatikan Adelia. Mengabaikan ekspresi masam Jo yang otomatis terpasang setiap kali Adeli muncul.
“Ini bajunya yang dibeliin Om Jordan kemarin loh, lucu ya,” ucap Irma.
“Lucu, cantik. Nanti Om beliin lagi ya. Ma, minggu kita ajak Adelia jalan-jalan gimana? Atau ke baby spa?” saran Jordan dengan semangat.
“Kamu dari mana tau baby spa segala?” Irma menatap anak bungsunya heran.
Jordan nyengir. “Itu, si Made kan juga baru punya anak. Story WA-nya pernah nunjukin bayinya lagi baby spa,” katanya salah tingkah.
Hadyan dan Irma tergelak mendengar itu.
“Sama Papa Jo juga dong ke baby spa,” usul Irma sambil melirik Jo.
Lelaki itu diam. Meneguk kopinya, lalu berdiri. “Jo berangkat dulu, Yah, Ma.”
Ruang makan itu mendadak senyap. Hanya suara langkah kaki Jo yang menjauh, dan diakhiri dengan suara pintu yang ditutup. Itu saja.
Jo sama sekali tidak tertarik untuk berdekatan dengan Adelia.