Try new experience
with our app

INSTALL

LATTE UNTUK MOCCA 

Bayi Itu

JO tidak tahu sudah berapa lama dia bertingkah seperti orang gila. Berteriak pada jasad Vanessa yang sudah tidak bergerak. Dia begitu frustasi, karena membutuhkan jawaban dari pertanyaan yang membuat dirinya kacau.

Selama beberapa bulan ini dia terus-terusan dihantui pertanyaan itu. Bagaimana kalau bayi itu anaknya. Atau bagaimana kalau sebaliknya. Dia bisa saja meminta tes DNA, dan pertanyaannya terjawab. Lalu fakta lain memenuhi otak dan hatinya yang sakit. Jika bayi itu anaknya, dan dikandung ketika Vanessa ditiduri laki-laki lain. Ya Tuhan, itu memuakkan! 

Jo bahkan merasa perutnya bergolak hanya dengan memikirkan itu. Dia tahu itu tidak logis. Tapi dia jijik. Dan, juga terluka. Bagaimana bisa Vanessa membiarkan benihnya ‘terkontaminasi’.

 Dia nyaris gila memikirkan semua kemungkinan sialan itu. Dan sekarang satu-satunya orang yang bisa memastikan jawaban dari pertanyaannya sudah mati. Mati dan membawa semua misteri yang memuakkan. 

That’s it! Semuanya akan tetap menjadi misteri untuk Jo. Lelaki itu tersadar ketika merasakan tangan Mamanya yang memeluk lengannya lembut. Lalu Ayahnya juga merangkulnya. Mereka membawa Jo menjauh dari Vanessa yang sudah meninggal. Jo bahkan tidak sadar kalau pipinya sudah basah. 

Dia menangis. Tapi, bukan untuk meratapi kepergian Vanessa. Mungkin terdengar kejam, tapi Jo sama sekali tidak berduka karena istrinya meninggal. Perasaan sayangnya pada perempuan berambut ikal itu sudah mati. 

“Jo, minum dulu ya,” bujuk Irma. 

Tangan Jo yang bergerak seperti robot menerima saja air mineral itu. Diteguknya beberapa kali. Rasanya tenggorokannya kering dan perih. Mungkin karena dia berteriak-teriak dan menangis cukup lama. Orang yang melihatnya akan berpikir Jo sedang berduka. 

“Ehm, Jo. Tadi perawat bilang bayinya perlu diiqomahi,” kata Hadyan ragu. 

Mata Jo memicing menatap ayahnya. “Itu bukan bayiku, Yah.”

Hadyan yang tadinya bersandar di tembok mendekat, duduk di samping Jo dan menepuk-nepuk bahunya. “Kamu … nggak tau, Jo. Kamu nggak bisa memastikan itu.”

“Saya tau, Yah. Saya bisa merasakan itu. Bayi sialan itu bukan anak saya!”

“Jo,” tegur Irma. Perempuan itu menatapnya dengan sedih, sembari menggeleng. “Bayi itu nggak berdosa. Dia tidak minta dilahirkan, kamu nggak boleh bilang begitu.”

“Yang kamu rasakan sekarang itu namanya emosi. Kamu marah sama keadaan. Sama Vanessa, sama semua yang berhubungan dengan Vanessa. Tapi … jangan jadikan bayi nggak berdosa itu sasaran kemarahan kamu. Selama tidak ada orang lain yang mengakui, bayi itu anak kamu. Dan, kamu harus melakukan semua kewajiban sebagai orangtua,” saran Hadyan dengan bijak. 

Jo termenung mendengar itu. Ayahnya benar, tapi setiap kali teringat bayi itu bayangan perselingkuhan Vanessa mengejarnya lagi. Lengkap dengan pemikirannya tentang ‘benih yang terkontaminasi’. Membuatnya tidak bisa tidur. Karena itu dia harus menenggak alkohol. Menurut Jo bayi itu ikut bertanggung jawab atas hidupnya yang mendadak berantakan ini.

Irma akhirnya berdiri. Meremas bahu putra sulungnya lembut. “Mama mau liat bayinya dulu kalo gitu. Kamu tenangin diri dulu, nanti kalo kamu sudah siap Mama harap kamu mau datang nengok bayi kamu.”

Bayi kamu?! Dua kata itu mengganggu Jo.

Tanpa menunggu jawaban, Irma berjalan pergi. Dia tahu, Jo bukan laki-laki kejam yang akan tega meninggalkan seorang bayi tidak berdosa. Putranya pasti akan datang. Irma akan memastikan itu. 

Ketika sampai di ruang bayi, Irma dipersilakan masuk. Seorang perawat mengantarnya ke box bayi yang ditandai dengan angka tujuh. Dari papan identitas, Irma bisa membaca nama Jo dan Vanessa di situ. Rupanya Vanessa masih mencantumkan nama Jo sebagai ayah bayinya. Irma tersenyum samar. 

“Boleh saya gendong, Sus?” tanya Irma. 

“Silakan, Bu.” Perawat mengambil bayi dengan kulit kemerahan yang sedang menggeliat kaku di balik kain flannel berwarna pink. 

Irma menerima bayi mungil itu dengan hati-hati, lalu mendekapnya lembut. Dia tidak bisa menahan air matanya melihat wajah mungil tanpa dosa itu. Entah kenapa, bayi ini mengingatkannya pada Jo ketika bayi. Begitu tenang dan senyap, seperti air yang mengalir tanpa gaduh. Hanya berkemericik, tapi berambisi untuk mengalir terus mencapai tujuan. Tidak peduli jika sesekali harus membentur batu, atau terjatuh dari ketinggian.

“Bayinya belum diberi nama, Bu. Apa Ibu sudah menyiapkan nama?” tanya perawat yang masih berdiri di dekat Irma. 

“Namanya … Adelia … Adelia Nandita Dewi,” bisik Irma. Dipandanginya bayi mungil yang sekarang menggeliat lucu itu. Irma menciumnya perlahan. Dulu, Irma pernah begitu menginginkan bayi perempuan. Tapi, keinginannya harus dikubur dalam karena dokter menyatakan dia tidak boleh lagi mengandung setelah Jordan lahir. Kondisi jantungnya lemah, terlalu berisiko untuk mengandung dan melahirkan.

Lamunan Irma buyar karena suara rengekan pelan terdengar. Matanya menelisik wajah Adelia lagi. Rasanya tidak sampai hati kalau harus membiarkan bayi ini menanggung kesalahan Vanessa. Irma terisak lagi teringat itu. 

Suara ketukan di kaca menyadarkannya. Irma spontan berbalik, dan menemukan Jo bersama Hadyan berdiri di sana. Irma mendekat ke kaca, membuka sedikit kain flannel yang menutupi wajah Adelia. 

“Hey, Papa … please meet Adelia,” bisik Irma dengan air mata berderai lagi. 

Dan Jo bergeming. Menatap bayi itu dengan tatapan yang entah apa artinya. 

@@@

LANTUNAN doa dan isakan lirih berdengung di area pemakaman. Tidak seperti di adegan film, hari ini cerah. Matahari siang memancarkan sinarnya dengan garang. Untunglah semilir angin masih bertiup, menggerakkan dedaunan dan kelopak bunga kamboja. 

Jo berdiri kaku. Terlihat letih dan kosong. Dia kurang tidur dan kejadian hari ini terasa menghajarnya berkali-kali. Kemeja putih yang dikenakannya basah dengan keringat. Cuaca terik hari ini sepertinya tidak bersahabat pada Jo. 

Beberapa menit kemudian orang-orang yang berkumpul mengelilingi makam mulai bubar. Mereka menyalami ayah dan ibu Vanessa yang masih terlihat syok. Jo berniat menyampaikan duka cita setelah pelayat mulai sepi nanti. Dia hanya sedang memilih kata yang pantas untuk diucapkan. Kedua orangtua Vanessa masih layak mendapat respek, terlepas dari apa yang telah diperbuat Vanessa padanya. 

“Ikut berduka cita ya, Jo. Nggak nyangka Vanessa bakal pergi secepat ini.” Salah seorang teman Vanessa mendekat dan menyalami Jo. 

Lelaki itu hanya diam saja. Enggan merespons karena menurutnya ucapan itu salah alamat. Tanpa bermaksud bersikap kejam, tapi Jo memang tidak berduka. Dia hanya frustasi dan marah karena pada saat terakhir hidupnya Vanessa masih meninggalkan masalah untuknya. 

“Oh ya, selamat juga ya atas kelahiran bayi kalian.” Perempuan itu menyambung, sambil tersenyum tipis. 

“Jo, yo, ikut berduka ya, bro. semoga kamu kuat, sabar. Kalo perlu bantuan jangan sungkan-sungkan kasi tau aku.” Itu Dendy, teman SMA yang juga sering nongkrong dengannya dan Yohan, dan … Ghi. 

Jo tahu, lelaki ini sama sekali tidak berniat menyindir dengan ucapannya. Hanya saja, setiap kali bertemu teman-teman SMAnya wajah brengsek Ghi langsung terlintas di benak Jo. 

“Ya, makasih, Den. Aku cabut dulu ya,” pamit Jo. Dia melihat orangtua Vanessa sudah tidak dikelilingi pelayat. Ini kesempatan untuk mengucapkan sesuatu yang pantas lalu pergi. 

Tergesa Jo mendekat, lalu menyalami ayah dan ibu Vanessa. Dia mengucapkan dukacita dan minta maaf entah untuk apa. Dia sendiri bingung dan tidak menemukan kalimat yang lebih baik dari itu. Setelahnya Jo berbalik dan berjalan pergi. Semakin cepat semakin baik, pikirnya. 

Dia melihat ayah, ibu dan Jordan di kejauhan. Jo semakin memacu langkahnya. Tapi, seseorang muncul menghadangnya. Dan sebelum Jo sempat berpikir akan bereaksi bagaimana, suara itu sudah menghampiri pendengarannya. 

I’m so sorry for Vanessa,” ucap Ghi. Ekspresinya campuran antara sedih dan marah.  

Kaki Jo mencengkram tanah dengan kuat. Rahangnya mengatup menahan letupan amarah yang bisa saja mempermalukan dirinya.

“Aku nggak pernah bermaksud merayu Vanessa, dia yang datang ke aku. Dia butuh laki-laki seperti aku, Jo. Joaquin yang begitu diidolakan di sekolah, ternyata tidak cukup untuk Vanessa. What a shame,” desis Ghi. 

Lelaki itu terlihat terluka entah untuk alasan apa. Mungkin saja merasa kehilangan Vanessa, dan karena itulah dia memancing emosi Jo. Bukankah tidak ada pembalasan yang lebih manis, selain membuat orang yang dibenci merasakan hal yang sama pedihnya. 

“Pernah kebayang, ketika kamu sibuk dengan studimu di Jepang sana Vanessa mendatangiku karena kesepian. Kamu sama sekali nggak peka, nggak tahu betapa dia kesepian. Dan sekarang, kamu biarkan dia mati merana. Tapi ya … paling nggak aku sudah membuat dia bahagia di saat-saat terakhirnya.” Mata Ghi mulai bersinar redup. Lelaki ini terlihat sedang berduka. Jauh lebih berduka daripadi Joaquin. 

“Satu hal, Jo. Satu hal, bayi itu … aku akan mengambilnya. Kamu sama sekali nggak pantes jadi ayahnya. Dan … kita nggak pernah tahu siapa ayah kandungnya,” ejek Ghi. 

Tangan Jo menarik kerah kemeja hitam Ghi. Mencengkramnya dengan keras. Dia tidak ingin membalas perkataan Ghi. Hanya sorot mata yang dipenuhi kebencian itu yang menjawab. 

“Kamu bajingan brengsek! Nggak akan aku biarkan kamu ngambil bayi itu. Nggak akan!”

Jo mendorong Ghi kasar. Membiarkan lelaki tampan dengan rahang persegi itu terjerembab ke tanah. Tanpa repot-repot menoleh, Jo berjalan pergi. Dia tahu baru saja membuat satu kesalahan. Untuk apa dia mengatakan kalau tidak akan membiarkan Ghi mengambil bayi itu?

Itu akan menjadi masalah baru bagi Jo.

@@@

BEGITU memasuki mobil, Jo langsung bersandar dan menutup matanya. Lelah. Energinya terkuras selama sekitar sembilan bulan ini. Dan hari ini adalah puncaknya. Kematian Vanessa, dan kehadiran bayi itu seperti menghisap habis energinya. 

Dia tahu Ayah, Mama dan Jordan saling memandang. Mereka pasti bertanya-tanya siapa lelaki yang bicara dengan Jo. Apa yang mereka bicarakan sehingga Jo terlihat sangat marah. Tapi tidak ada yang berani bertanya padanya. Ketiga orang itu sepakat untuk membiarkan Jo meredakan dulu amarahnya. 

Ketika mobil berhenti, mata Jo perlahan terbuka. Dia tertidur di sepanjang jalan. Dengan pikiran belum sepenuhnya tersambung, dia melihat sekitar. 

“Kok ke sini, Ma?” tanyanya bingung. Tidak mengerti mengapa mereka malah kembali ke rumah sakit.

“Mama … ada perlu,” jawab Irma gugup.

Jo menatap Ayah, Mama lalu Jordan bergantian. Dia merasa ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Dan itu membuat jantungnya berdetak gelisah. Ada selintas dugaan di kepalanya. 

“Ma, apa ada sesuatu yang Mama nggak bilang sama saya?” tuntut Jo. 

Tiga orang itu diam. Irma menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. 

“Ma, bilang sama saya. Apa yang Mama rahasiakan?!”

Hadyan yang duduk di jok depan mengulurkan tangannya, menyentuh pundak istrinya perlahan. Dia mengangguk, seperti memberi isyarat pada Irma untuk bicara. 

“Kami … sepakat untuk membawa Adelia pulang, Jo,” bisik Irma lirih.

Selama beberapa detik suasana terasa hening. Hanya ekspresi penuh tanya dan ketidaksetujuan Jo yang menguar nyaring.