Contents
Sempurna Harmoni
PERASAAN ANEH
TAK terasa satu bulan terlewati dengan cepat. Besok adalah hari terakhir dari rangkaian praktikum fisika. Jadwal ujian praktikum mata kuliah fisika dasar. Seluruh mahasiswa semester satu yang mengambil mata kuliah fisika dasar dan telah mengikuti praktikum lengkap, diwajibkan menjawab soal dengan sistem ting tes --asisten praktikum akan menata soal di tiap-tiap meja praktikum dengan jarak 30 cm, sampai berjumlah 20 soal. Nantinya peserta ujian akan berjalan secara berurutan sambil menjawab soal yang ada di depan mereka. Kemudian jika bel berbunyi ting dibunyikan, maka peserta ujian diharuskan pindah ke soal yang ada di sebelahnya. Begitu pun seterusnya sampai semua soal selesai terjawab.
Demi hasil ujian praktikum yang memuaskan, mereka berlima berencana belajar bersama, tapi karena Jasmin, Lily, dan Dani tidak dapat hadir, maka hanya Rendra dan Alya yang tetap melanjutkan rencananya. Hujan turun saat Rendra memberi Alya kabar bahwa dia telah berada di depan kosnya. Alya terkejut dan sekaligus senang karena Rendra tetap datang menepati janjinya meskipun sedang turun hujan.
Dia meminta izin untuk menutup video call bersama mamanya yang baru saja sampai pada obrolan tentang asal usul aglonema, koleksi tanaman barunya. Mamanya merajuk demi mendengar putrinya yang telah lama tidak pulang, dan tidak meneleponnya tiba-tiba izin memutus video call ini, apalagi saat dia sedang membicarakan topik yang sangat digemarinya. Namun saat Alya membicarakan alasannya menutup telepon adalah karena besok dia akan ujian praktikum dan saat ini temannya telah menunggunya di depan kos untuk belajar bersama, mamanya menjadi melunak.
“Iya kak, kebahagiaan itu nggak perlu dicari kok, mama bisa menciptakan kebahagiaan sendiri, mama terima dengan lapang kamu memutus video call yang baru kita mulai lima menit ini.”
“Ma, jangan gitu dong. Janji deh aku bakal langsung pulang setelah semua ujian selesai, aku sudah kangen banget sama masakan mama.”
“Semoga sukses untuk semua ujiannya ya kak,” pamit Kinanti, mama Alya.
***
ALYA membawakan secangkir teh hangat pada Rendra saat keluar dari pintu kosnya. “Ya ampun Ren, dibatalin aja sebenernya nggak apa-apa. Takut kamu malah jadi flu nanti.”
“Makasih ya Al, maaf jadi merepotkan,” ucap Rendra menerima teh hangat dari Alya.
“Aku buatin mie rebus dulu ya Ren, kayaknya sudah mateng tuh. Bentar aku tinggal ke dalam sebentar.”
“Al ya ampun, beneran malah jadi ngerepotin nih aku di sini.”
Beberapa menit kemudian, Alya keluar dengan membawa semangkuk mie dengan asap yang mengebul tanda baru saja matang diangkat dari panci.
“Ini Ren, makan dulu,” ucap Alya kini menyodorkan mie rebus yang baunya menggugah selera makan, apalagi dengan cuaca dingin seperti ini.
“Makasih Al, aku makan dulu ya. Aduh sungkan banget aku Al, ke sini maunya belajar malah jadi ngerepotin.”
“Santai aja kali Ren, anggap aja ini ganti dari roti yang selama ini selalu kamu kasih ke aku selama ini,” jawab Alya.
Hujan telah berganti menjadi gerimis. Namun aroma tanah yang basah tersiram air hujan yang sangat menenangkan masih tetap bisa tercium oleh Alya. Membuatnya jatuh cinta seperti biasa. Sungguh detik ini merupakan momen terindah dalam hidup Alya. Kombinasi yang sangat harmoni antara aroma tanah basah terkena siraman air hujan, dipadu dengan aroma gurih mie rebus yang baru saja matang, yang dipegang oleh lelaki sederhana di hadapannya. Entah mengapa Rendra dengan kaus hitam polosnya –yang sebagian basah terkena air hujan, membuatnya tak bisa berpaling sedetik pun darinya.
Pada momen ini Alya segera menyadari sesuatu, bahwa Rendra telah membuka pintu di salah satu sudut kecil di hatinya yang selama delapan belas tahun ini terkunci. Alya telah sempurna jatuh cinta pada lelaki yang duduk di depannya. Namun saat perasaan ini baru saja dikonfirmasi olehnya, Alya segera mengeyahkan pikiran itu jauh-jauh. Alya menggelengkan kepalanya pelan. Dia berpikir siapa dirinya hingga bisa jatuh cinta pada lelaki yang sempurna seperti Rendra. Bagai pungguk merindukan bulan, dia memperingatkan dirinya sendiri dalam hati.
***
"PAGI, Al.”
Alya yang baru saja turun dari motornya langsung menoleh ke arah sumber suara. Suara ramah dan merdu itu kini telah terekam di otak bawah sadar Alya. Meski telah dicegah berkali-kali, tapi tetap saja pemilik suara indah itu selalu menerobos masuk ke dalam mimpinya setiap malam.
Alya menjawab sapaan hangat Rendra kikuk, lengkap dengan menunjukkan senyumnya yang sangat kaku.“Hai Ren.”
Sejenak dia terkesima dengan penampilan Rendra. Nampak ada yang berbeda dengannya hari ini. Setelah mencari beberapa detik, Alya menyadari bahwa tenyata Rendra memangkas rambutnya. Rambut hitamnya terlihat lebih rapi, cocok sekali dipadukan dengan kemeja semi formal berwarna hitam polos yang dipakainya hari ini. Kemeja panjang itu dilipat sebagian di bagian lengannya, seolah semakin mempertegas garis urat tangannya. Agar terkesan lebih casual, dia memadukan kemejanya dengan celana jeans dan sneakers berwarna senada dengan kemejanya.
“Ini Al buat kamu,” ucap Rendra sembari memberikan roti kesukaannya pada Alya.
“Eh... makasih ya Ren,” ucap Alya menerima roti dari Rendra, ragu-ragu.
Namun saat Alya sedang menghadapi momen serba kikuk ini, Lily tiba-tiba datang menegur Alya dan Rendra. “Percaya deh, yang tiap praktikum selalu diberi roti. Aku kapan Ren?”
“Eh, ini buat kamu aja, Li.” Jawab Rendra refleks memberikan rotinya pada Lily.
“Jangan Ren, punyaku aja yang buat Lily. Aku masih kenyang kok,” cegah Alya.
“Ya ampun so sweet banget sih kalian berdua, jadi iri tahu gak. Weekend masih lama nih. Nasibnya LDR gini amat.”
Karena tak tahan dengan sahabatnya yang terus-menerus menggodanya, Alya pun dengan sigap segera menyeret Lily menjauh dari Rendra karena ucapannya semakin tidak terkendali. Dari jauh Rendra melihat Alya membungkam mulut Lily, dia tertawa geli melihat tingkah dua sahabat itu.
Setelah satu jam yang terasa amat panjang, akhirnya mereka keluar dari laboratorium fisika. Raut wajah mereka mencerminkan tingkat keberhasilan jawaban dari tes yang mereka selesaikan. Jika ada yang keluar dengan raut wajah ceria dan cerah, tandanya dia telah menjamin keberhasilan tesnya di atas 75%. Pun kebalikannya dengan yang raut wajahnya sedih, maka dia hanya menjamin jawaban benar hanya di bawah 50%. Alya, Rendra, dan Dani termasuk dalam kategori pertama, sedangkan Jasmin dan Lily tidak termasuk dua golongan di atas. Karena mereka hanya datar menanggapi pertanyaan yang lain tentang bagaimana tesnya.
Kerjakan dan lupakan, itulah prinsip mereka dalam kuliah. Lily yang seorang beauty and fashion addict lebih tertarik untuk segera men touch up lipstiknya yang pudar setelah makan. Sedangkan Jasmin yang sebutannya the cooking queen lebih tertarik untuk riset dari youtube, memikirkan resep apa lagi yang harus dicobanya saat weekend bersama pacarnya nanti.
Seperti biasa, setelah selesai jadwal praktikum fisika, mereka berempat --minus Dani yang langsung menuju stasiun, karena kampung halamannya membutuhkan waktu 12 jam dari kota mereka kuliah, pergi ke kantin jurusan. Kali ini mereka bebas mengobrol hal lain selain materi praktikum dan perkuliahan. Ini adalah hari terakhir mereka di kampus, karena mulai besok libur semester pertama telah dimulai.
Di sela-sela menunggu nasi pecelnya tiba, Jasmin bertanya pada Alya dan Rendra. “Besok kalian jadi nggak pulang bareng?”
“Jadi kok, aku sudah beli tiket dari seminggu yang lalu,” jawab Rendra.
“Iya, kalau belinya mepet pasti kehabisan. Kalau kalian gimana?” tambah Alya.
“Kalau kita besok dijemput sama pacar kita, tapi kita jalan-jalan dulu di sini, nggak langsung pulang,” jawab Lily antusias.
“Eh iya ya, rencana ini dadakan banget. Coba kalau Alya belum beli tiket kan kita bisa ajak mereka juga. Lumayan kan kita bisa triple date,” seru Jasmin yang langsung disambut anggukan Lily.
Di tengah perbincangan seru tentang rencana liburan itu, Alya tiba-tiba berdiri meninggalkan meja. Dia menyembunyikan pipinya yang merah karena tersipu mendengar komentar sahabatnya. “Kalian udah deh.”
Rendra refleks berdiri hendak mengejar Alya yang tiba-tiba meninggalkan mereka. “Al, mau ke mana?”
Jasmin dan Lily saling tatap, mereka berdua pun sama bingungnya dengan Rendra, mengapa Alya tiba-tiba pergi seperti itu. Lily lalu memberi isyarat pada Rendra agar dirinya dan Jasmin saja yang menyusul Alya. Rendra mengerti, kemudian duduk kembali sambil tetap melihat ke arah pintu keluar kantin mencoba mencari Alya dari dalam kantin. Jasmin dan Lily pun segera berlari menyusul Alya.
“Al, kamu kenapa?” tanya Jasmin saat berhasil mencegah Alya menaiki motornya.
“Iya Al, maaf kalau kita salah. Tapi seenggaknya beri tahu kita salahnya di mana?” tambah Lily.
“Rendra nggak ada kan?” Alya balik bertanya.
Demi mendengar pertanyaan itu, Jasmin dan Lily saling menatap, mereka sempurna mengerti mengapa sahabatnya tiba-tiba melakukan hal yang tak biasa.
***
JASMIN dan Lily mengajak Alya ke masjid universitas, di sana Alya bebas mencurahkan perasaannya pada mereka tanpa takut Rendra tiba-tiba muncul. Mata Alya berkaca-kaca saat duduk berhadapan dengan kedua sahabatnya yang kini mengetahui isi hatinya. Berulang kali Alya mengusap matanya untuk mencegah air mata tumpah tak terkendali. Berulang kali pula dia menarik napas panjang mencoba menenangkan diri.
Alya membuka kalimatnya dengan terbata-bata. “Ehm, awalnya aku nggak tahu ini apa.”
“Mungkin karena aku terbiasa ketemu dia, terbiasa berkomunikasi dengannya, terbiasa menerima perhatiannya. Daaan...itu terjadi setiap hari selama satu bulan ini. Jadi Sekarang aku...yaaaah kayak gini,” tambah Alya dengan diikuti embusan napas panjang.
Setelah Alya diam beberapa detik untuk menguasai dirinya, sesaat Alya menarik napas panjang bersiap melanjutkan kalimatnya. “Aku... nggak tahu harus gimana. Aku nggak sebanding sama dia. Nggak pantes.”
“Bener-bener contoh nyata pungguk merindukan bulan nggak sih,” tambah Alya dengan suara yang pelan, hampir tak terdengar.
“Please jangan ngomong kayak gitu Al,” hibur Lily sembari memeluk Alya.
Jasmin sambil mengelus lengan Alya, mencoba menguatkan. “Semua orang berhak untuk jatuh cinta sama siapapun Al.”
Alya terisak menceritakan pengalaman jatuh cintanya yang pertama pada kedua sahabatnya. Sungguh jatuh cinta adalah hal yang indah. Seharusnya diceritakan dengan suasana yang ceria. Namun hari ini di masjid universitas, gadis yang selama delapan belas tahun hidupnya tak pernah merasakan jatuh cinta, merasakan jatuh cinta pada orang yang tak mungkin bisa digapainya.