Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) A Movie In Our Story 

Sechten Monat

“Kau tahu, kau punya asisten sutradara yang mengagumkan. Aku terkesan padanya.”

Tami menyesap teh hangatnya lagi, sebelum menaruh cangkir itu di atas meja di hadapan. Kalimat Geffrey beberapa hari lalu itu sedikit mengganggu pikirannya. Begitu sering melintas. Semakin dicegah, semakin menajamkan ingatannya. Ditambah perlakuan Geffrey beberapa hari ini yang mengusik ingatannya.

“Kau terlihat sangat lelah,” kata Geffrey beberapa hari yang lalu saat mereka selesai mengambil adegan di Roberto Beach. Lelaki itu berjalan mendekatinya yang sedang mengemas peralatan syuting.

Tami segera melempar pandangan dan berdecak sebal pada Geffrey sebagai balasan. Sebenarnya, yang membuatnya sangat lelah adalah menuruti segala keinginan lelaki ini. Membuat energinya terkuras lebih banyak dari yang diharuskan. 

Mata sipitnya menatap tajam Geffrey. Sayangnya, lelaki yang ditatap justru membalas dengan memasang wajah tak bersalah. Entah senyum apa yang harus ia percaya, menghina atau puas telah membuatnya lelah?

“Aku berharap, setelah syuting film ini berakhir, kita tidak akan pernah bertemu lagi,” tegasnya pada Geffrey. Berharap kalimatnya bisa dicerna baik-baik oleh lelaki itu.

“Sayang sekali, aku berharap sebaliknya.” Lelaki itu masih pada ekspresi tenang ketika menyelesaikan kalimatnya. Tidak peduli bahwa gadis di depannya sedang berjuang menekan kesabaran. “Aku justru ingin memintamu untuk menemaniku saat aku latihan bernyanyi soundtrack Melodie der Liebe pertama kali. Dan kau pasti tahu, kau tidak akan menolak ini sesuai kesepakatan kita tempo hari, bukan?” 

“Dengar baik-baik, Chauncy Geffrey.” Tami menghadap lelaki itu, membenarkan letak kacamatanya sebentar sebelum kembali berbicara. “Kalau kau berencana untuk mengencani salah seorang dari kru film ini, kau harus yakin, aku bukanlah orangnya…”

“Kau menganggapku begitu??” sela Geffrey terkejut, kedua matanya terbelalak. “Waaah, aku benar-benar tidak menyangka dengan gagasanmu. Kau lucu sekali, Tami Hiromasa!” Lalu, lelaki itu tertawa terbahak-bahak, sebelah tangannya mengacak-acak rambut Tami pelan.

Tami terperangah. Di tempatnya berdiri, ia berusaha menolak untuk mengakui bahwa detak jantungnya bergerak tak keruan. Sebuah kesalahan dalam dirinya telah terjadi!

Lelaki itu sedang mempermainkannya. Sebuah kalimat yang kali ini terngiang-ngiang di benaknya. Sampai saat ini, ketika ia duduk di atas bangku ruang tengah apartemen, berhadapan dengan televisi, sambil menatap secangkir teh hangat dan buku pribadi yang menjadi pelampiasan ceritanya tentang Toshiro Yoshi di meja. 

“Kau belum mau tidur?”

Tami menoleh pada gadis yang menyuarakan tanya padanya. Lalu, terlihat Aimee yang sedang menyalakan lampu ruang tengah yang semula gelap. Sosok gadis itu menjadi nyata di mata, menggantikan bayangan Geffrey yang bermain-main di kepala.

Aimee berjalan semakin dekat, membuat Tami menatapnya bisa lebih lekat. Sebagai sesama perempuan, pikiran bahwa Aimee akan terluka jika ia masih di dekat Geffrey terlintas tiba-tiba. Gagasan itu harus melekat baik-baik di kepala, sebagai senjata untuk melawan Geffrey ketika masih di dekatnya.

“Kau belum mau tidur?” ulang Aimee yang heran tidak mendapat jawaban. Kemudian, gadis Prancis itu duduk di bangku yang bersebelahan dengannya.

“Belum,” jawab Tami. “Kau sendiri kenapa di sini?” 

Aimee mengangkat bahu. “Sama, aku juga belum mau tidur. Lebih tepatnya, sulit untuk tidur.”

Tami mengangguk. Kemudian, ia kembali bungkam. Membiarkan ruang itu sunyi sebentar dari suara mereka yang masih sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Kau belum menceritakanku tentang ‘dia’.” Aimee memulai diri membuka suara. 

“Siapa?”

Aimee mengacungkan dagu dan menunjuk tanpa mengeluarkan suara pada buku milik Tami yang tergeletak di atas meja. Sebagai isyarat, bahwa ia ingin mengetahui cerita tentang foto lelaki yang terselip rapi di sana, yang pernah dilihatnya tempo hari.

Tami ikut melihat apa yang ditunjuk Aimee. Ia langsung paham dan membalas Aimee seraya mengangkat kedua alis. “Maksudmu Toshiro Yoshi?”

“Jadi, namanya Toshiro Yoshi?” Aimee berbalik tanya sebelum kembali mencecar, “Siapa dia? Pacarmu?”

Tami menunduk dan menghela napasnya. “Seharusnya begitu. Aku malah selalu menganggapnya lebih dari itu.”

Aimee mengernyitkan alis. “Seharusnya? Maksudmu, cinta bertepuk sebelah tangan?” tanyanya lagi. Dalam hati, ia sendiri merasa bahwa pertanyaan yang bertubi-tubi terhadap privasi orang lain bukanlah yang harus dilakukan. Tapi, ia sudah terlalu lelah untuk menduga-duga tentang hubungan Geffrey dengan Tami. Jadi, ia memutuskan untuk mengambil tindakan pertama dengan mencari tahu langsung tentang pribadi Tami.

“Bukan,” lugas Tami sebelum mengutarakan penjelasan terberatnya. “Dia sudah meninggal. Lima tahun yang lalu. Dan aku tidak bisa menganggapnya sebagai kenangan, kalau di mataku dia masih terlihat nyata.”

Aimee terkejut. Dirinya meradang, tidak tahu ekspresi apa yang harus dikemukakan.

“Lima tahun itu lama sekali, bukan? Tapi, sejak ia pergi, aku bertekad tak ingin melupakannya. Sampai-sampai, Ibu yang masih menganggapku berkabung atas kepergiannya, tak mengizinkanku untuk kuliah di Tokyo.” Tami menyesap tehnya sebentar, sebelum melanjutkan, “Lalu, Ibu mencari-cari info beasiswa ke luar negeri, menempatkanku di sini, dan tidak mengizinkanku pulang sampai aku terbukti bisa melupakan Yoshi.”

Aimee masih diam, sibuk mencerna kalimat Tami. Lalu bertanya lagi, lebih hati-hati. “Selama lima tahun di sini, memangnya tidak ada lelaki lain yang menggantikannya?” 

Tami menatap Aimee dengan mata yang dipicingkan, lalu mendengus. “Entahlah. Aku tidak ingin tahu tentang itu. Tidak peduli. Dulu, Yoshi meninggal saat ia belum tahu bahwa aku akan membalas cintanya. Dan sekarang, akan merasa bersalah jika aku membuka hati untuk lelaki lain.”

“Tapi, dia sudah tidak ada.” Aimee kembali menegaskan.

“Semua orang yang tahu pasti bilang begitu. Tapi, aku sangat mencintainya, maka aku menganggapnya ada.”

Kalimat Tami yang lugas itu membuat Aimee terpaku di tempatnya. Pikirannya sibuk membuat kesimpulan sendiri; Tami begitu kesepian. Ia sendiri juga tidak mengizinkan siapa pun untuk masuk ke dalam perangkap sepinya. Sekali pun hanya bentuk nasihat.

Pertanyaan baru yang menakutkan itu muncul lagi di benak Aimee; Ketika suatu hari nanti ia melihat seseorang yang bersungguh-sungguh untuk menggantikan Yoshi, apakah dia akan berubah pikiran?

Sedetik kemudian, bayangan Geffrey waktu itu bermain di kepala Aimee.

Jangan! lirihnya dalam hati sambil menggelengkan kepala tanpa sengaja. Jangan dia…

·

Aroma masakan enak tercium begitu Diana keluar dari kamarnya. Gadis yang sudah berpakaian rapi itu merapatkan syal sebelum bergabung dengan kedua temannya di meja makan.

“Guten Morgen,Diana.” Aimee segera membalikkan badan dan menyapa begitu menyadari Diana mengambil posisi di salah satu kursi makan mereka. “Kau mau mencoba Spegeleier mit Speck buatanku? Tentu saja, aku bisa menjamin kelezatannya dibanding masakan restoran.”

Diana tersenyum tipis tanpa menatap Aimee yang bersikap ekspresif. “Terima kasih, tapi aku tak pernah suka dengan daging babi yang dicampur telur ceplok itu,” jawabnya datar.

Aimee mengernyitkan alis. Lalu, ia mengangkat bahu dan kembali dengan masakan, tak ingin ambil pusing dengan sikap Diana yang begitu ketus menanggapinya.

Dalam duduknya, Diana tak ingin banyak berbuat. Lalu, ia mengambil sehelai roti dan mengoleskan selai jeruk di permukaannya.

Kenyataan waktu itu masih bermain-main di kepala sehingga membuatnya enggan berbicara pada Aimee. Perasaan takut muncul tiba-tiba ketika ia berhadapan dengan gadis Prancis itu. Takut sama terluka dengan kisah Sarie, karena Matt pergi meninggalkannya demi Aimee.

Berseberangan dengan Diana, Tami merasakan ada suasana mengganjal pada kedua temannya meskipun ia belum mendapatkan sebab. Lalu, ia membetulkan letak kacamata dan menatap Diana yang sedang menggigit rotinya. “Diana, apa rencanamu hari ini?” tanyanya mencoba menghangatkan situasi.

“Aku mau ke kampus. Bertemu dengan HerrBraun,” jawab Diana di sela mengunyah rotinya. “Kau sendiri?”

“Hari ini aku dan Aurich akan sibuk di studio musik untuk rekaman soundtrack. Kalau kau tak keberatan, kau bisa bantu kami di sana, sekalian untuk bertemu Aurich.”

Nama itu lagi! Diana melirih. Memang, meskipun hatinya diam-diam masih ingin tahu keberadaan lelaki itu, tetapi untuk kali ini, otaknya enggan untuk mengingat nama Aurich.

Aimee meletakkan piring berisi masakannya di tengah-tengah meja, juga mengambil posisi duduk di antara Diana dan Tami. “Jadi, kau akan seharian bersama Geffrey hari ini?” tanya Aimee. Ditatapnya wajah Tami Hiromasa lekat-lekat untuk menunggu jawaban.

Tami berdiam sebentar, lalu membalas tatapan Aimee untuk memastikan. “Jangan khawatir, aku bisa menjamin tingkah laku Geffrey beberapa hari yang lalu tidak akan terjadi lagi.”

Aimee tersenyum getir. “Begitukah?” Lalu, ia menyuap Spiegeleier mit Speck-nya tanpa menatap mata Tami. “Entah aku harus percaya atau tidak untuk orang yang belum mengenal Geffrey.” Lalu, mengalihkan wajah pada Diana yang sedang menunduk bermain ponsel sambil menggigit bagian terakhir rotinya. “Jadi, Diana, kau akan tetap ke kampus atau ikut Tami ke studio?”

“Kampus,” jawab Diana tak acuh dengan kepala yang tak teralih dari ponselnya.

“Kalau begitu aku akan ikut bersamamu.”

Diana mengangkat wajah, melihat Aimee di sampingnya dengan mata dipicingkan. Lalu, ia berdecak pelan tanpa peduli ekspresi Aimee yang keheranan.

·

“Kalau lihat daun-daun yang berjatuhan di musim gugur ini, aku jadi ingat Bill.” Wajah Aimee bersemu ketika menyelesaikan kalimatnya. Matanya menjelajah halaman luas HFF yang kini dihiasi daun-daun yang gugur meninggalkan pohon. Indah. Lalu, ia menoleh pada Diana yang berjalan di sampingnya. “Hei, kau mendengarkanku, tidak?” tanya Aimee begitu menyadari bahwa lawan bicaranya sedari tadi memasang headphone di kepala.

Diana membuka headphone, mengalungkannya di leher dan menengok pada Aimee dengan tenang. “Kenapa?”

Aimee melengos. “Kau benar-benar tidak mendengarkanku sama sekali?”

Diana menggelengkan kepala dan memasang wajah tak bersalah.

“Tadi, aku bilang kalau aku suka melihat daun-daun yang berjatuhan di musim gugur ini,” ulangnya. Lalu, Aimee mengusap-usap kedua tangannya yang mulai kedinginan. Pipinya bersemu. “Karena, aku jadi ingat Bill yang suka musim gugur di Prancis.”

“Bill? Lelaki yang kau pilih dari Geffrey dulu itu? Kau masih mengingatnya?” Diana menjengitkan alis setelah tanpa sadar mengeluarkan kalimat yang bernada sengit.

Aimee menoleh pada Diana. Lalu, memicingkan mata. Ia keheranan. “Kau kenapa? Hari ini aku merasa kau berbeda. Kalau aku melakukan kesalahan, aku minta maaf…”

Diana mengangkat bahu dengan wajah yang terlihat tidak ingin peduli. Lalu, menoleh lagi pada Aimee dengan sorot tajamnya. “Sebentar. Ada yang ingin kutanyakan padamu.” Matanya menyusuri tubuh Aimee tertutup oleh coat berwarna pink yang senada dengan warna topi wol yang menutupi rambut keriting pirangnya, sebelum mata mereka saling bertatapan. “Apa alasanmu untuk tetap merespons perasaan lelaki lain? Padahal, sebenarnya kau tahu bahwa di hatimu hanya ada Geffrey dan tidak ada mereka.”

Segurat senyum yang sedikit memaksa tergaris di bibir Aimee. “Yang aku tahu, akan lebih menyakitkan ketika kita tidak lagi dipedulikan oleh orang yang kita sukai. Sekali pun hanya sebagai temannya.”

Diana memalingkan muka ke depan. Tidak lagi ingin memaksa diri untuk menatap Aimee kalau itu akan lebih menyakitinya. Pahit.

“Oh, ya…” Aimee kembali mengambil situasi. Berharap suasana hati Diana yang tiba-tiba sulit ditebak ini kembali membaik. “Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan Aurich. Ternyata, dia orang yang lucu dan menyenangkan. Pantas kau menyukainya!”

Diana menelan ludah. Rasanya, tidak ingin mendengar nama itu dulu dalam kondisi seperti ini. “Begitukah?” Ia tertawa kecil sebentar sebelum melanjutkan, “Entah aku harus percaya atau tidak pada orang yang diam-diam ingin lebih mengenal Aurich di belakangku.” Ada nada puas terdengar di sana begitu ia bisa mengembalikan kalimat itu pada pemiliknya. 

Diana kembali memasang headphone-nya berjalan mendahului Aimee tanpa peduli. Pikirannya meracau dan rasa takut itu semakin menyerang. Beginikah yang biasa dilakukan Aimee ketika ia berhasil merebut orang yang disukai temannya?

·

Tami meletakkan kertas-kertas yang dipegangnya di atas meja, lalu, menghampiri Geffrey. “Kau mau minum apa? Schwarzen Kaffee[1] atau Mokka?”

Mokka,

“Ja.” 

Tami segera meninggalkan ruang studio musik mereka yang berada di lantai tiga. Kemudian, berjalan menuruni anak tangga dan menuju dapur yang terletak di lantai dua.

“Tami Hiromasa!”

Tami memutar cepat kepalanya dan mendapati Ruff yang setengah berlari menghampiri.

·

“Wah, kau pandai sekali membuat Kaffee. Ini enak sekali,” gumam Ruff di dapur sambil mengacungkan cangkir di tangan dan menyesap sekali lagi Kaffee-nya.

Tami menyeringai. “Danke. Ini mudah sekali membuatnya, bukan? Kau bisa mencoba sendiri di rumah nanti.”

Ruff mengangguk mantap. “Omong-omong, ini punya Geffrey?” tanyanya sambil menunjuk cangkir yang sudah tertuang bubuk Mokka instan di depan.

Ja, kenapa?”

Senyum jail tergurat di wajah Ruff. “Kau tahu? Belakangan ini aku melihatmu perhatian sekali pada Geffrey.”

“Kau jangan mengada-ada.”

“Aku berani taruhan! Apa yang kau lakukan sekarang ini sama seperti yang dilakukan gadis-gadis lain yang menyukai Geffrey dulu. Kalau tidak salah, Aimee juga pernah melakukan ini.”

Tami menyimpulkan senyum. “Kau jangan bilang begitu. Aku hanya melakukan sekadarnya. Jangan sampai Aimee salah paham.”

Ruff menyeringai. “Oh, ya. Kapan terakhir kali kau bertemu Aimee?”

Tami mengerlingkan mata, mencoba untuk mengingat. “Karena beberapa hari ini aku lebih sering berada di antara lokasi syuting dan menginap di studio, jadi….” Tami menghitung dengan jemarinya. “Sekitar tiga hari sepertinya. Hanya sesekali aku pulang ke apartemen. Itu pun tidak bertemu Aimee dan Diana di sana.”

“Hubunganmu dengan Aimee baik-baik saja?”

Kedua alis Tami bersatu. Dahinya mengerut. “Tentu saja. Maka dari itu, kuharap tidak gosip apa pun yang bisa membuatnya salah paham. Omong-omong, aku ingin tahu, kau tahu bagaimana hubungan antara Geffrey dan Aimee?”

Ruff tersenyum sinis, lalu mengangkat bahu. Ia menengok lagi pada cangkir di depan dan mengacungkannya. “Kutuang air panas, ya.” Kemudian, diletakkan cangkir miliknya dan menuangkan air panas dari dispenser ke cangkir Geffrey. 

“Sebenarnya, sedikit-banyak aku bisa menggambarkan hubungan mereka lewat cerita Aimee.”

“Oh. Lalu?”

“Lalu… -Oh, cepat hentikan tuangan air panasnya, Ruff!” seru Tami yang tiba-tiba tersentak ketika melihat cangkir yang dipegang Ruff hampir penuh dengan air panas, membuat Ruff ikut terlonjak di tempatnya.

“Kenapa? Bukankah Geffrey yang meminta agar Mokka-nya panas?”

“Iya. Tapi, tidak sebanyak ini air panasnya.” Tami segera merebut cangkir itu dari tangan Ruff dan melihat isi cangkir yang nyaris penuh oleh air panas dengan wajah memelas. “Kadar rasanya akan kurang enak kalau air panas sebanyak ini. Aku ingat betul kalau Geffrey tidak suka.”

Ruff ternganga, sulit mempercayai apa yang didengarnya. “Wow! Sepertinya, tadi aku salah. Ternyata, kau yang paling perhatian di antara gadis lain yang kukenal menyukai Geffrey. Menakjubkan!”

·

Pintu ruang studio terbuka dan menampilkan Ruff bersama Tami dari luar. Lengkap bersama cangkir di tangan mereka.

“Kenapa kalian lama sekali?” sahut Geffrey yang sekilas melihat keduanya sebelum kembali pada lirik lagu yang di tangan.

Tami menyeringai tanpa menjawab sepatah kata. Ia menghadapkan secangkir Mokka dari tangannya ke hadapan Geffrey, sambil menengok ke seseorang di sebelah lelaki itu. “Oh, ada Aurich? Kapan datang?”

“Baru beberapa menit yang lalu,” tukas Aurich, lalu matanya beralih pada cangkir Mokka milik Geffrey. “Jadi, kau tidak membuatkanku minuman? Hanya untuk Geffrey?” gerutunya dengan memasang wajah patah hati yang didramatisasi dengan tangan yang menepuk-nepuk dada seolah sedang kesakitan. “Kau ini ternyata benar-benar pilih kasih!”

“Berlebihan.” Tami meledakkan tawa. “Salah kau sendiri baru datang sekarang.”

Aurich memicingkan mata ketika Geffrey ikut tertawa di sampingnya. Lalu, Geffrey menyesap Mokka dan tersenyum puas. “Wah, seperti biasa! Aku harus mengakui ini adalah Mokka yang paling enak selama aku tinggal di Jerman. Keren sekali kalau pembuatnya justru orang Jepang. Danke, Tami!” sahutnya sambil mengacungkan cangkir Mokka di tangan.

Kemudian, Tami tersenyum senang sebagai jawaban. Senyum yang sempat membuat Geffrey tersentak di tempatnya. Tanpa sadar, ingatannya tergali begitu saja, menerawang sejak pertama kali bertemu Tami saat ia masih di Bayreuth. Dan sedetik kemudian ia mendapat jawaban, bahwa ini adalah pertama kali Tami tersenyum semanis ini di depannya.

Tunggu dulu. Manis?

Geffrey menggeleng kepala yang disusul dengan tatapan heran orang-orang di sekitarnya. Ia meringis. Dulu, ia berpikir Tami adalah sasaran tepat untuk menyingkirkan Aimee dari hadapannya. Dan sekarang, ketika Aimee terlihat mulai mundur, pikiran baru bermunculan. Semoga ia masih ingat pada prinsipnya sendiri untuk menempatkan Tami sebagai senjata penangkal. Semoga…

·

Aimee menghentikan langkah kaki ketika ia sudah berdiri tak jauh dari gedung studio musik. Perasaannya kusut. Antara ingin melanjutkan langkah dan bergabung dengan kru yang lain, atau harus mundur ketika ia tahu bahwa Geffrey akan menghindarinya lagi. Kenyataan yang paling menyakitkan adalah; ia harus melihat sendiri bahwa Geffrey tersenyum ketika berhadapan dengan Tami, sama seperti senyumnya dulu ketika mereka masih bersama-sama di Prancis. Lelaki itu… sukakah dengan temannya?

Aimee menelan ludah. Ia membalikkan langkah, bertolak menuju kafe terdekat di sana. Kemudian, duduk di salah satu kursi di sudut kafe yang dekat dengan jendela besar setelah memesan segelas Orangensaft[2].

“Aimee?”

Sebuah suara yang memanggil namanya membuat Aimee menoleh.

“Bingo! Kita bertemu lagi. Kenapa tidak langsung ke studio?”

Aimee tersenyum pada Aurich yang menyuarakan tanya padanya. “Tidak apa-apa. Kudengar, Orangensaft di sini rasanya enak,” ucapnya berbohong. Lalu, kembali menatap Aurich yang sekarang mengambil posisi duduk di hadapannya. “Kau sendiri kenapa di sini?”

“Hanya ingin memesan minuman. Sama sepertimu,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Tadi, aku terlambat ke studio, jadi, tidak bisa mencicipi Mokka enak buatan Tami. Kau tahu? Sepertinya Mokka itu enak sekali, karena Geffrey langsung terkesan begitu mencicipi. Sayangnya, Tami tidak ingin membuatkan satu lagi untukku. Menyedihkan,” terang Aurich ekspresif.

“Geffrey terkesan dengan Mokka buatan Tami?” ulang Aimee.

Aurich mengangguk cepat. “Aku yakin sekali. Setelah melihat senyum puas di wajah Geffrey saat menyesap pertama kali, aku menyimpulkan dua hal; ia senang karena Mokka-nya enak, atau ia menyukai orang yang membuatkan Mokka seenak itu untuknya.”

Aimee tertegun. Penuturan jelas dari Aurich membuat kepalanya menyimpulkan sendiri. Firasat buruk itu kembali datang, yang tanpa sadar melelehkan air matanya.

“Aimee…” panggil Aurich pelan. “Ada yang salah dengan ucapanku?” Lelaki itu mencoba menyelidik.

Aimee menggeleng, diulasnya senyum, padahal tidak bisa mengelabui air mata yang jatuh.

Pelan-pelan, Aurich menghampiri gadis pirang itu dan merengkuhnya. Lelaki itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Sebuah adegan singkat yang membuat Aimee terkejut. Tapi, tubuhnya terlalu lemah untuk memberontak. Ia membebaskan dirinya untuk dipeluk Aurich.

Sama dengan pemilik sepasang mata lain yang terkejut menatap keduanya di balik jendela. Ia juga tidak bisa memberontak, meski hatinya sudah diburu oleh api cemburu. Ia juga tidak mengerti kenapa semesta mengizinkannya untuk melihat lelaki yang disukai memeluk teman sendiri. Apa ini yang harus ditanggung, supaya tidak terjebak perasaan terlalu larut?

Lalu, dengan cepat Diana membalikkan badan. Ia tidak bisa membebaskan matanya menatap adegan itu terlalu lama. Karena air matanya mulai jatuh satu-satu. Sakit...

¸


 

[1] Kopi hitam.

[2] Sari buah jeruk.