Contents
Hujan di Belanga (TAMAT)
6. Forever
Hari ini sangat melelahkan bagi Jettro. Dia merasa jika badannya agak kurang fit. Tadi, dia minta ijin ke paman Hendra untuk pulang lebih cepat. Dia ingin istirahat. Jam masih nunjuk jam setengah tujuh malam ketika Jett sampai di rumah. Dia ingin cepat-cepat tidur. Segera ia mandi. Guyuran air hangat dari shower sedikit mengurangi pegal-pegal badannya.
Setelah itu, dia makan, lalu minum vitamin agar tidak sakit. Jettro benci sakit. Karena kalau sakit, artinya dia akan merepotkan Bi Eti dan Mang Dayat, suami istri yang bekerja di rumahnya.
Jett membuka gorden sebelum merebahkan dirinya ke kasur. Tampak langit yang berwarna hitam. Cuaca sangat cerah malam ini, hingga bintang-bintang pun mau menampakkan diri dan memamerkan sinarnya yang gemerlap pada mahluk bumi. Dia mengambil buku milik Belanga yang masuk dalam target bahan bacaan bulan ini dan memutar lagu di stereo set. Mengalunlah lagu Muscle Museum, salah satu lagu favoritnya dari Muse sebagai pengantar tidur.
“She had something to confess to
But you don’t have the time so
Look the other way
You will wait until it's over
To reveal what you’d never shown her
Too little much too late
Too long trying to resist it
You’ve just gone and missed it
It's escaped your world
Can you see that I am needing
Begging for so much more
Than you could ever give
And I don’t want you to adore me
Don’t want you to ignore me
When it pleases you
And I’ll do it on my own”
Jettro hampir saja tertidur jika handphonenya tidak mengeluarkan bunyi panggilan masuk. Aduh, kenapa bisa lupa matiin hape!, keluhnya. Beringsut, dia mengecilkan volume stereo set dan mengambil ponsel di meja belajar. Siapa malam-malam begini menelepon?
“Hallo...Jettro?” tanya suara cewek di seberang sana.
“Yup, siapa ini?”
“Vira,”
Langsung Jettro menegakkan duduk.
“Vira?”
“Nah, ketahuan ya, kamu gak ngesave nomor hape aku? Kan beberapa kali aku WA, tapi gak pernah dibalas” kata Vira dengan nada sedih.
Jettro menyisir rambutnya dengan jari. Dia baru sadar kalau selama tiga hari berturut-turut, cewek itu beberapa kali kirim pesan dan dia tidak membalas. Jettro juga lupa ngesave nomornya.
“Aduh, lupa. Maaf, maaf”
“Gak apa-apa. Lagi apa, Jett?”
“Lagi di kamar, mau tidur”
“Jam segini udah mau tidur?” suara Vira terdengar keheranan.
“Hari ini agak gak enak badan”
“Ooh,” Vira diam sebentar
“Hmm, apa ada yang mau diomongin, Vir?”
“Ah, enggak. Aku,.. aku hanya pengen ngobrol aja”
Jettro mendesah. Ini bukan saat yang tepat, Vir, batinnya. Dia berdehem.
“Jangan sekarang, ya. Aku capek banget karena seharian kerja dan aku butuh istirahat. Kalau mau ngobrol, lain kali aja. Oke?”
“Yaa, Jettro...” suara diseberang tampak kecewa “Aku pengen ngobrol, sebentar aja”
“Sorry, ya?”
Vira hening sesaat,
“Ya udah deh kalau begitu. Tapi, jangan lupa simpen nomor aku ini”
“Ya, aku simpen. By the way, dari mana kamu tahu nomor hape aku, Vir?”
“Ada, deeeh...” Vira terkekeh
“Dari mana?”
“Aduh, gak penting deh Jett aku tahu dari mana. Udahlah”
Jettro diam. Dia adalah orang yang paling tidak suka main rahasia-rahasiaan.
“Jett? Kamu masih di sana?”
“Ya”
“Gak apa-apa kan, aku telpon? Gak ada yang marah, kan?”
“Gak apa-apa”
“Baik, besok aku telpon lagi ya”
“Ya”
“Thanks, Jett. Good night and sleep tight...”
“Bye”
Klik. Jettro memutuskan hubungan telpon. Lalu, dia memencet tombol off dan bernapas lega. Vira? Idola sekolah itu? Jettro berbaring dan segera memejamkan mata.
*
Di luar masih hujan. Sudah sejam mereka terjebak di mall ini. Christian dan Lizkia menunggu hujan reda sambil minum kopi. Christian asyik baca-baca buku yang baru saja dia beli. Sambil menyeruput Lattenya sedikit-sedikit, mata Chris tidak lepas dari novel Paulo Coelho. Sementara Liz membaca tabloid gosip. Merasa tidak ada berita artis yang menarik dari tabloid itu, Lizkia melipatnya dan memutuskan untuk main handphone saja. Sementara menunggu game favoritnya loading, matanya tertarik untuk menatap Christian yang sedang asyik baca.
Tanpa sadar, sudah berdetik-detik Liz memandanginya. Sekian lama berteman, baru kali inilah Liz memandanginya begitu lama. Dia amati tiap inci wajah itu. Wajah Chris lonjong dan matanya mengecil di ujungnya. Sebetulnya, mata Christian minus satu, tapi dia jarang memakai kacamatanya, kecuali jika sedang di kelas atau sedang membaca seperti ini. Dia kurang suka memakai kacamata karena menurutnya, itu mengganggu aktivitas dan mengurangi kegantengan wajahnya.
Lizkia tertawa ketika Christian mengaku dirinya ganteng. Menurut Liz, Yuri jauh lebih cakep, sayang cowok itu begitu cepat pergi, sebelum Liz tahu Yuri mencintainya juga atau tidak.
Kulit Christian putih, lebih putih dari kulit Liz dan bersih seperti tanpa pori. Kemudian, rambutnya yang hitam terlihat sangat halus. Lizkia belum pernah menyentuh rambutnya, tapi sepertinya rambut itu halus. Christian juga punya poni yang dibiarkan panjang dan jika sedang menunduk, poni itu jatuh didahinya. Hm, cool juga. Tanpa sadar Lizkia senyum sendiri.
Postur tubuh Chris tinggi. Menurut beberapa teman, Chris itu kurus. Tapi bagi Liz postur tubuh Christian ideal-ideal saja. Oh My God! Kenapa Lizkia baru sadar, kalau ternyata, Christian sahabatnya sejak kecil ini sebenarnya...sangat menarik!!
“Liz, kopinya jangan dibiarin dingin” kalimat itu keluar dari bibirnya yang tipis kemerahan dan selalu basah.
Liz tergeragap. Meski sambil bilang begitu, mata Christian tidak melihat ke arahnya, tapi Liz merasa kepergok. Wajahnya mendadak panas. Waduh, jangan-jangan Christian sadar kalau dia sedang diperhatikan! Buru-buru dia buang pandangan keluar kaca kafe dan menangkap pemandangan yang sangat menarik.
Seorang perempuan anggun dan tentu saja cantik sedang berjalan bersama seorang cowok. Liz kenal ceweknya, Vira dan juga tahu cowoknya, Sena. Sena putra pengusaha sepatu merek terkenal di Bandung, siswa SMA Persada III. Kemarin Liz dengar rumor kalau Vira kini lagi pacaran sama Bastian, anak pengusaha juga. Sekarang kok jalan sama Sena?
Lizkia melirik Christian yang masih asyik baca. Dia berdoa semoga Chris tidak melihat adegan itu. Vira dan Sena masuk ke supermarket yang berseberangan dengan kafe, yang masih satu area dalam mall ini. Mata Liz mengikuti sampai bayangan dua manusia itu hilang. Liz lega. Mungkin keduanya sedang tidak ingin minum kopi, jadi mereka tidak ditakdirkan ketemu di sini.
“Lihat apa? Serius amat” tanya Chris lagi, membuat Lizkia tergeragap untuk yang kedua kalinya.
“Ayo, Chris, kayaknya hujan udah berhenti” ujar Lizkia.
“Ayo, deh” kata Chris sambil mengemasi buku-bukunya.
Dia kesulitan berdiri. Sigap, Lizkia membantu memegangi tangannya dan sampai di pintu keluar kafe, Liz masih saja memegangi tangannya. Christian tidak keberatan sahabatnya berbuat begitu, karena sudah biasa dari kecil. Lizkia juga ingin santai, tapi dia terlanjur sadar bahwa Christian sangat menarik baginya setelah diamati tadi. Dia jadi agak sedikit malu. Lalu pelan-pelan, dilepaskannya pegangan tangannya dari lengan Chris.
***
Liz, lagi sibuk gak? Aku pengen ketemu kamu karena ada hal penting yang ingin aku obrolin. Ditunggu di Belanga, ya. Thx.
Liz mengerut alis membaca WA Jettro. Dia memintanya datang ke Belanga. Hal penting apa, ya? Liz mondar mandir di dalam kamar dan melihat jam dinding. Sudah jam lima sore. Sejenak dia ragu, pergi atau tidak.
Dia menelpon Christian. Ada nada sambung, tapi tidak diangkat. Liz mengigit bibirnya, hatinya ragu lagi. Lebih baik gak usah ajak Chris, deh. Siapa tahu hal penting yang akan Jettro omongin nanti, tidak perlu diketahui Chris. Tapi, masa sih? Liz merasa jika Christian dan Jettro sudah seperti sahabat lama. Mereka dekat dan cocok banget. Mereka jadi semakin sulit dibedakan dimata Liz.
Kedekatan mereka kentara sekali. Teman-teman sekelas juga sudah tahu, jika Jettro sekarang dekat dengan sepasang sahabat itu. Tiada hari tanpa Jettro diantara Lizkia dan Chris. Bahkan, akhir-akhir ini, Jettro sudah berani bergabung di taman kecil di belakang perpustakaan sekolah, tempat menyepinya Christian dan Liz. Karena seringnya ketemuan disitu, mereka jadi sering bercerita dan curhat segala macam. Jadi, kalau dia mengajak Chris ke Belanga sekarang, sebetulnya gak masalah, kan? Tapi....ah, sebaiknya gak usah, deh. WA Jettro tadi menyiratkan jika dia tak perlu mengajak Christian.
Liz pun berganti baju dan melesat ke Belanga menemui Jettro. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak memberi tahu Chris jika dia ke Belanga sekarang. Baru sekaranglah, Liz ketemu Jettro, tanpa ditemani Christian.
Di Belanga, seperti biasa, suasana lengang dan damai. Musik khas tanah Sunda mengiringi langkah Liz menuju ke perpustakaan. Jettro sudah disana. Dengan wajah segar habis mandi, dia menyambut Liz di depan pintu dan meraih payung yang dipegang cewek itu.
“Hai” sapanya sambil senyum lebar.
“Hallo...” sahut Liz sambil mengibaskan anak rambut yang terkena tetesan air hujan.
“Maaf, ya ngerepotin kamu. Hujan-hujan musti datang kesini. Tadinya, aku yang mau main ke rumah kamu. Tapi, biasa deh..” Jettro mengangkat bahu, memohon maklum.
“Never mind”
“Kesana aja, yuk” Jettro menunjuk bangunan sebelah, lalu membimbing Lizkia menuju rumah panggung yang mirip bangunan Joglo itu.
Di depan pintu, tiba-tiba Liz ragu untuk masuk ke dalam. Dilihatnya disana banyak sekali benda-benda antik. Samar tercium wangi bunga sedap malam dan asap dari aroma terapi kayu cendana. Lizkia mengurungkan niatnya masuk rumah itu. Wangi ini, mengingatkannya pada hal-hal mistis. Liz merinding.
“Ayo, masuk aja. Gak apa-apa. Itu bau bunga sedap malam. Tuh, bunganya. Aku beli di pasar Simpang Dago” kata Jettro, menjawab keraguan Liz. Dia meraih tangan Liz, membantunya menaiki lima anak tangga.
“Sebetulnya aku libur hari ini, tapi kebetulan Paman lagi ke Surabaya, ada peluncuran buku seorang temannya di sana. Jadi, aku disuruh stay” lanjutnya.
Kemudian, Jettro menuangkan teh dari poci yang sepertinya sudah disiapkan sedari tadi. Liz menerima teh hangat itu dengan senang karena dia memang butuh air hangat.
“Liz,” kata Jettro seraya menatap Liz tanpa berkedip.
Lizkia cantik sekali sore ini. Matanya bening, bernaung pada dua alis tebal yang melengkung bagus
“Makasih ya udah mau datang”
“Iya, gak apa-apa. Ohya, ada hal penting apa? Serius amat kayaknya..”
Jettro tersenyum dan ces! Dia mulai menyulut rokok, lalu menghisapnya dalam-dalam. Liz menarik napas. Jettro ini perokok berat, batinnya.
“Gak, cuma pengen ngobrol aja ama kamu. Mumpung Paman lagi gak ada, jadi rumahnya bebas aku jajah” Jettro nyengir jahil.
“Ooh,” Liz mengangguk kecil dan menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Ruang tamu yang superluas tanpa sekat ini lebih mirip galeri ketimbang rumah.
“Ini rumah siapa, Jett? Paman kamu?”
“Iya”
“Jadi, paman kamu aslinya pemilik Belanga?”
Jettro mengangguk sekali lagi.
“Wah, keren..” desis Lizkia.
“Malam ini aku disuruh nginep di sini. Sebetulnya..” Jettro menggantung kalimatnya.
“Kenapa..?”
“Sebetulnya, ketika masih SD aku tinggal di sini. Sekarang aku udah pindah lagi, nempatin rumahku sendiri. Paman sih nyuruh supaya aku tinggal di sini terus, tapi, aku lebih senang tinggal di rumah sendiri” lanjut Jett.
Lizkia sering sekali mendengar Jettro mengucap kata ‘disuruh’ terutama disuruh oleh pamannya yang notabene pemilik Belanga. Kenapa Jettro tampak begitu menurut pada pamannya itu?
“Kenapa dia nyuruh kamu tinggal di sini?” Lizkia bertanya berdasar apa yang Jettro selalu katakan, ‘disuruh’ “Kamu kan punya rumah sendiri. Lagipula, gimana dengan orangtua kamu kalau kamu disuruh tinggal di sini?”
“Aku lupa, aku belum cerita ya?”
Jettro menggeser duduk lebih dekat dengan Liz.
“Lizkia, anak yang sekarang di depan kamu ini, udah gak punya orangtua. Orangtua aku udah meninggal, ketika masih SD kelas dua” ujarnya lirih.
“Ooh, maaf, Jett. Aku gak tahu. Sorry, ya?” kata Liz cepat. Perasaannya mendadak jadi tidak enak dan dia merasa bersalah tanya hal itu ke Jett. Duh, bodohnya!
“Gak apa-apa. Nyantai aja. Aku pikir kamu musti tahu juga hal ini”
“Kira-kira meninggalnya kenapa?”
Jett diam. Sekali lagi, Lizkia merasa salah menanyakan hal itu. Dia segera putar otak untuk mencari topik lain. Tapi Jettro menjawab,
“Gak tahu persis gimana mereka meninggal dan karena apa. Keluarga besar gak pernah cerita apa-apa”
“Ooh, gitu...”
“Liz, ingat gak, kan kamu pernah tanya waktu itu ‘Aku kerja karena ingin atau karena harus’. Masih ingat?”
Liz mengangguk. Tentu saja dia masih ingat banget.
“Masih ingat gak jawabanku waktu itu?”
“Kalau gak salah, kamu cuma cerita kalau papa kamu bilang : Bekerjalah karena ingin, bukan karena harus. Dan kita diskusi soal itu. jadi, sebetulnya kamu belum jawab pertanyaan aku, Jett”
Jettro tertawa dan beranjak dari kursi. Dia menghampiri jendela dekat Liz duduk, lalu memandang keluar. Hujan masih rintik-rintik sedari tadi siang, menambah dinginnya udara Bandung. Jett menggosokkan tangan, mencoba memberi efek hangat pada tubuhnya.
“Kamu emang pintar, Liz” Jettro tertawa kecil “Dulu, aku terima tawaran paman kerja, karena butuh uang. Aku gak bisa terus-terusan minta uang sama paman Hendra, adiknya Mama, atau Om Iwan, adik Papa atau sodara yang lain. Selain itu, ada alasan lain diluar uang yang bikin aku mau kerja disini; supaya ada kegiatan sepulang sekolah”
Liz menoleh pada Jett karena kalimat terakhir Jett tadi membuatnya teringat pada kertas yang berisi tulisan tangan Jettro.
“Biar gak ngerasa kesepian?”
Jettro terpaku ditempatnya.
“Kamu gak pernah ngerasa kesepian ya, Liz?”
“Tergantung, Jett. Tapi rasanya, gak pernah. Aku selalu cari kegiatan yang bikin ngerasa gak kesepian. Kita jadi banyak teman”
Lizkia, kamu benar-benar tidak tahu arti kesepian yang sebenarnya. Kesepian bukan hanya karena kita tidak punya teman..Kesepian itu datangnya dari hati yang beku. Dan hati yang beku tercipta karena banyaknya kehilangan.
Liz berdiri, mendekati Jettro.
“Jett, di sekolah kan banyak eskul, kenapa gak pilih salah satu aja, supaya gak ngerasa kesepian?”
Ya, Lizkia yakin jika Jettro kesepian karena tidak ada teman sebayanya. Jettro tidak terlihat berteman dengan anak lain di sekolah, kecuali dengan Lizka dan Christian. Itupun baru-baru saja.
“Gak mau” Jettro menggeleng kepala. Dia memang tidak suka eskul-eskul seperti itu.
“By the way, segitu kesepiannya kah hidup kamu, Jett? Bukannya kamu punya teman, di sekolah dan di Belanga? Ada aku, Christian dan ..”
“Kamu gak akan pernah tahu apa itu kesepian, Liz, kalau kamu masih punya orangtua, kakak, adik. Kamu juga masih punya Christian, sobat kamu dari kecil. Kamu gak akan pernah memahami orang yang kesepian kayak aku. Aku ini,...” Jettro menghentikan kalimatnya dan menarik napas dalam-dalam.
“Aku anak yatim piatu, gak punya kakak, adik, bahkan sahabat. Lengkap deh!!”
Jettro menyulut rokok lagi, dengan tangan gemetar. Segera Lizkia merampas rokok itu dari tangan Jettro dan mematikannya di asbak.
“Cukup, Jett. Kamu udah terlalu banyak ngerokok. Dengar, Jett. Kamu gak boleh bilang gitu. Kamu itu, orang yang gampang banget menghakimi sesuatu. Barusan kamu bilang aku gak bakal bisa memahami orang kayak kamu. Aku bisa kok!”
“Bisa apa?”
“Bisa memahami orang kayak kamu!”
Jett menghadap Liz, lalu menatap mata cewek itu dalam-dalam.
“Yakin? Kamu yakin bisa paham orang kayak aku? Kalau begitu, bilang sekarang, seberapa besar dan seberapa banyak kamu udah paham aku?”
Lizkia terdiam dan tak mampu menjawab pertanyaan itu. Betul, seberapa banyakkah aku sudah memahaminya? Lizkia mungkin bisa dibilang berhasil memahami Christian, tapi Jettro? Dia tatap dalam-dalam mata Jettro. Ya, benar. Telaga hitam yang dalam itu diam tak beriak.
“Liz, sebetulnya aku minta kamu datang kesini karena ada hal yang pengen banget aku omongin”
“Iya, aku nunggu itu dari tadi. Kamu mau ngomong apa?”
“Aku, ... pengen banget kita bisa bareng terus. Kamu dan aku”
“Hum?”
“Mungkin ini kedengarannya bodoh. Tapi aku pengen banget kita barengan terus, sekarang, selamanya. Boleh kan?”
“Jettro,...” Lizkia terkekeh “Selama beberapa bulan ini kan kita selalu barengan!”
“Iya, tapi bukan yang seperti itu..”
“Jadi, maksud kamu barengan yang seperti apa?”
Jett diam. Dia sendiri bingung mau ngomong apa. Dia merasa malu telah bicara hal itu ke Lizkia. Jettro hanya ingin menuruti dorongan hati yang selama ini bicara sejak Lizkia datang untuk pertama kalinya ke Belanga beberapa bulan lalu. Jettro sendiri tidak tahu itu apa!
“Ya udahlah gak usah dipikirin” Jettro berkata begitu sambil melempar pandangan keluar jendela. Diluar sana masih hujan. Tak ada yang bisa memastikan kapan butiran-butiran air itu berhenti jatuh ke bumi. Dia merasa tidak pantas menahan Lizkia lama-lama disini
“Ayo, kita pindah ngobrol ke rumahmu aja” ujar Jettro akhirnya.
“Kamu mau antar aku pulang?” Lizkia nyengir. Jujur tadinya dia bingung mau pulang naik apa.
Di perjalanan pulang, Jettro menyetir mobilnya dalam diam. Sementara, Lizkia masih sibuk dengan perasaannya. Jika Jettro selalu ingin bersama-sama dirinya, bagaimana dengan Christian? Selama ini kan Liz gak pernah terpisah dari Chris. Apa maksudnya, Jettro ingin selalu bersama Chris juga? Jadi mereka bersahabat bertiga? Atau bagaimana? Bersama-sama yang seperti apa?
Pernyataan Jettro tadi sangat membingungkannya. Lizkia mengigit bibir. Dia teringat lagi sama Yuri. Mungkinkah Jettro adalah penggantinya? Ah, tidak mungkin. Lizkia tidak punya perasaan apa-apa ke Jettro, seperti perasaannya pada Yuri.
Mereka berbeda. Mereka tidak sama. Tapi jika Jettro ingin ‘masuk’ dalam lingkaran persahabatan mereka, ini benar-benar akan seperti formasi mereka ketika di SMP dulu. Lizkia, Christian dan Yuri.
Lizkia menggelengkan kepala. Tidak. Itu tidak akan sama.
Saking sibuknya dengan pikiran-pikiran, Lizkia tidak sadar jika sudah mendiamkan Jettro sepanjang perjalanan mereka dan tidak terasa juga, mobil Jettro sudah parkir di depan rumah Liz.
“Jadi, kan, mau lanjut ngobrol di dalam?” tanya Liz.
“Pasti dong. Sekalian aku mau bilang sama orangtua kamu, minta maaf udah bawa anak gadisnya pulang sampai malam” jawab Jettro.
“Abis minta maaf, jangan buru-buru pulang. Kita makan malam bareng ya?”
“Kebetulan banget. Aku lapar dan gak punya uang buat beli makan”
Jettro membantu Liz memegang payung dan bayangan mereka hilang ditelan pepohonan rimbun di halaman rumah.
Tanpa mereka tahu, ada seseorang di seberang jalan yang sedang melihat kejadian itu. Christian, tadinya mau ke rumah Liz setelah membeli sesuatu di ruko depan kompleks. Niatnya mampir dia urungkan. Lizkia dan Jettro pergi bareng, kenapa gue gak tahu?, tanyanya dalam hati. Tiba-tiba dadanya terasa sesak.
Sementara itu, di dalam rumah Lizkia...
“Hai semuanya, kita kedatangan tamu.” Kata Lizkia ketika dia dan Jettro masuk ke ruang tengah. Rupanya, mereka sudah bersiap di meja makan. Lizkia dan Jettro langsung bergabung.
“Kenalin ini teman sekelas Liz, namanya Jettro. Kita baru aja kerja kelompok” sambung Liz sedikit berbohong. White lie.
“Hai, Hallo” sapa semuanya ramah. Jettro sedikit canggung duduk bersama keluarga Lizkia di meja oval itu. Lizkia memperkenalkan ayahnya, ibunya, dan Reza, adiknya, kemudian menunjuk foto Lena, kakaknya, yang terpajang di salah satu dinding.
“Itu Lena, kakakku yang lagi kuliah desain di Jakarta.”
“Hai, Kak Lena!” sapa Jett pada foto Lena, bercanda, membuat semuanya tertawa.
“Nanti kalau dia pulang ke Bandung, aku ajak ke Belanga, deh. Dia senang baca novel pop. Ada novel-novel pop kan di Belanga?”
“Iya, ada”
“Mari, kita mulai makannya” Ayah Lizkia memimpin do’a dan merekapun mulai makan sambil sesekali mengobrol. Jettro jadi
central person
di meja makan dan hampir semua pertanyaan mengarah padanya. Canda dan tawa di meja itupun tak berhenti berderai. Hangat sekali. Jettro senang di rumah ini. Enggan rasanya pulang.