Contents
Hujan di Belanga (TAMAT)
5.. Percaya
Sebulan sudah Liz dan Christian jadi pengunjung tetap perpustakaan Belanga. Sepertinya, tidak ada satu haripun dalam satu bulan ini yang terlewatkan oleh Christian dan Liz untuk mengunjungi tempat itu. Chris dan Jettro juga jadi sering diskusi tentang karya-karya sastra.
Kadang Lizkia tidak mengerti buku-buku seperti apa yang mereka bicarakan. Jettro yang ngakunya tidak begitu doyan bacaan sastra, nyatanya begitu menguasai topik itu. Mungkin karena sehari-hari dia berkutat sama buku-buku sastra.
Mereka diskusi tentang novel Layar Terkembangnya Sutan Takdir Alisyahbana, tentang novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tentang puisi-puisi Armyn Pane dan puisi ‘mbeling’ nya Remy Sylado. Mereka bisa seru diskusi tentang pemikiran sosialisme yang ada dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
“Pram itu sastrawan besar. Dulu karya Pramoedya dilarang beredar oleh pemerintah pada masa orde baru” jawab Jett, ketika Lizkia tanya siapa itu Pramoedya.
“Untung aja sekarang karya-karyanya boleh terbit lagi. Sayangnya, beliau sekarang sudah meninggal” kata Christian.
“Bener. Hilang deh satu orang putra bangsa yang karyanya bisa mendunia. Kita masih butuh orang-orang seperti itu untuk dapetin banyak nobel di bidang sastra, Chris” timpal Jett.
Lizkia mengangguk-angguk, walau dia tetap tidak tahu siapa itu Pramoedya.
“Oh, terus kalo Seno Gumira, menurut lo gimana? Lo suka kan karya-karya beliau?”
“Suka. Seno itu menurut gue hiperbola abis” jawab Jett.
“Bukannya dia surealisme?” potong Christian.
Sementara mata Lizkia seperti penonton yang sedang menonton permainan ping pong, melihat ke Chris kemudian ke Jett. Bolak balik. Itu Seno Gumira yang mana lagi? Tiba-tiba Lizkia merasa jadi orang bodoh dan dua cowok ini mendadak jadi keren dimata Liz. Obrolan yang seru.
“Surealism, yess. But I don’t think so, his writings is really surealism. Menurut gue, karya Seno lebih ke hiperbola. Dia mengeksplorasi cerita dan melebih-lebihkannya, tanpa kita sadari kalau itu hiperbola karena orang lebih menganggapnya surealis”
“Contohnya, gimana?”
Jett diam sebentar, seperti mikir.
“Tahu cerpen Saksi Mata?”
“Tahu, pernah baca kok. Yang ada di buku kumpulan cerpen Saksi Mata, kan?”
“Itu kan hiperbola. Seno nulis tentang darah yang mengalir dari mata si saksi mata, mulai dari lantai pengadilan, terus mengalir keluar sampai ke jalan raya. Anehnya, gak ada seorangpun yang ngelihat darah itu. Kesannya, darah itu dieksploitasi banget”
“Oh,” Chris membenahi duduknya jadi lebih tegak “Kalau menurut gue itu bukan hiperbola”
“Lalu?”
“Itulah hebatnya Seno Sang Surealis. Gaya bahasanya tinggi, kosa katanya canggih. Darah di cerpen itu menurut gue metafora, tentang realitas bahwa kekejaman itu udah begitu banyak, sampai-sampai hampir menenggelamkan manusia. Kekejaman di sana, disimbolkan Seno dengan darah yang tidak terlihat oleh seorang manusiapun” kata Christian.
“Kalau cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku? Apa masih bisa senja yang dipotong untuk diberikan sang pacar disebut metafora?” Jett lanjut bertanya.
Sementara pembicaraan itu masih berlangsung, Lizkia benar-benar sudah mengantuk. Akhirnya, dia menyilangkan kedua lengannya ke meja lesehan dan menopang kepalanya di atas kedua tangan itu, lalu tertidur.
*
Minggu ini, adalah minggunya Lizkia dan Fitria. Gimana tidak? Proposal karya ilmiah kelompok mereka masuk final Lomba Karya Ilmiah se-Jawa Barat. Jadi, karya mereka akan mewakili sekolah untuk diperlombakan di tingkat provinsi. Ini kabar yang luar biasa menggembirakan, karena baru tahun inilah, karya ilmiah sekolah mereka bisa masuk final.
Hari ini, Liz dan Fitria akan mempresentaskan hasil kerjanya di depan juri daerah untuk dinilai dan bila menang, mereka akan berlomba di tingkat nasional.
Ketika berita ini disampaikan, Lizkia dan Fitria sampai terlonjak-lonjak saking senangnya. Mereka juga tidak menyangka ide mereka untuk karya ilmiah itu menarik perhatian juri. Teman-teman sekelas juga ikut menyalami Liz dan mendoakan semoga Lizkia dan Fitria berhasil nanti.
Dan, hari ini, Liz dan rekannya satu kelompok di eskul karya ilmiah harus berangkat ke gedung lomba. Tadi guru sudah mengumumkan bahwa tidak satupun murid yang boleh bolos untuk mendukung Liz dan Fitria. Semua tentu saja kecewa karena mereka ingin sesekali keluar pada jam sekolah, walaupun untuk mendukung tim karya ilmiah.
Tapi, Lizkia dan Fitri belum bisa berangkat kesana karena ternyata mereka kesulitan membawa alat-alat peraga. Alat yang akan dibawa dari lab Kimia dan Biologi ke gedung lomba banyak sekali. Liz kemudian minta pada Bu Ratmi, guru Kimia sekaligus pembimbing tim karya ilmiah yang sedang mengajar di kelas Liz untuk memperbolehkan satu teman yang hari ini bawa mobil untuk mengantar.
Banyak yang mengajukan diri jadi sukarelawan. Bu Ratmi hanya senyum saja. Kelihatan sekali mereka ingin keluar.
“Jangan salah sangka. Ini demi kepraktisan saja. Bukan karena mereka manja ya minta diantar mobil” ujar Bu Ratmi. Lizkia dan Fitri disuruh memilih sendiri siapa yang akan mengantar. Lizkia bingung.
“Kamu aja yang milih, Liz. Ini kan kelas kamu dan kamu yang kenal mereka” kata Fitri. Mereka memang tidak satu kelas. Fitri duduk di kelas IPA-2, kelas tetangga.
“Hm, ibu ajalah yang milih mereka, saya bingung” kata Lizkia menyerah. Bu Ratmi berdiri dan melihat satu persatu murid yang mengacungkan tangan dengan sukarela itu. Mata bu guru tertuju pada seorang murid yang duduk paling pojok belakang.
“Kamu saja, Jettro Hendra!” tukas beliau tegas. Yang lain menurunkan tangan dengan kecewa. Lizkia dan Fitria lega karena dengan terpilihnya Jettro, mereka akan segera berangkat ke gedung lomba. Sedang Jettro, tentu senang bukan main diberi kesempatan mengantar Liz dan Fitria ke gedung lomba karya ilmiah itu.
Setelah memasukkan semua alat-alat peraga ke dalam bagasi, mereka bertiga berangkat. Jett melirik Liz yang duduk manis di sebelahnya. Wajahnya berseri-seri. Fitria rekannya duduk di jok belakang, asyik ngoceh tentang teori-teori yang nanti akan mereka pakai jika di ‘serang’ penguji. Mereka berdua mengatur strategi untuk presentasi nanti.
Jett mendengarkan diam-diam sambil konsentasi menyetir. Dua cewek ini memang cerdas. Dia kira selama ini hanya Lizkia cewek paling pintar, ternyata Fitria juga tidak kalah cerdas. Tidak heran jika penelitian mereka bisa masuk final. Jettro sendiri tidak masalah jika tidak diajak ngobrol. Selain tidak mengerti pembahasannya, bukankah hari ini dia mengabdikan diri untuk jadi supir mereka?
Perjalanan mereka berlanjut, menembus kemacetan Bandung yang kian hari kian tidak terkendali. Macetnya, justru di jalan-jalan yang merupakan akses ke gedung lomba. Lizkia dan Fitri bersamaan melirik jam tangan. Satu jam lagi.
Tiba-tiba, mobil terguncang-guncang. Lizkia dan Fitria teriak panik. Jett menepikan mobil ke sisi jalan dan mematikan mesinnya.
“Sebentar ya, aku periksa mesinnya dulu”
Fitria langsung memasang muka panik stadium empat. Satu jam lagi menuju presentasi, mungkinkah mereka bisa sampai kesana? Segera Lizkia dan Fitri menyusul turun dari mobil dan menghampiri Jettro yang sedang mengutak atik mesin.
“Mobil kamu kenapa?” tanya Liz.
“Air karburatornya kering. Aku lupa nambahin airnya kemarin-kemarin. Sorry ya, kalian bisa nunggu sebentar kan? Biar mesinnya agak dingin dulu” kata Jettro lemas.
Liz dan Fitria mengangguk pasrah, karena mereka tidak mengerti apa-apa soal mobil. Mereka ingin percaya pada Jettro yang bilang bahwa mobilnya bisa jalan lagi dalam beberapa menit. Sambil nunggu, Jett duduk di pinggir trotoar jalan dan mulai menyalakan rokok. Sementara, Fitria mulai asyik pegang-pegang handphone. Jettro tidak mau kalah, diapun mengeluarkan handphone dan mulai sibuk mengutak-atiknya.
Liz pasrah. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain melihat Fitri dan Jettro yang sibuk dengan handphonenya masing-masing dan menunggu mobil bisa jalan lagi. Terus terang saja, konsentrasinya sudah agak terpecah sekarang. Bagaimana kalau mereka terlambat dan panitia memutuskan diskualifikasi? Oh, Lizkia tidak bisa membayangkan jika mereka sampai didiskualifikasi. Itu akan mengecewakan banyak orang, termasuk Lizkia dan Fitri sendiri.
Tiba-tiba, handphone yang ada disaku baju Lizkia bergetar, tanda ada pesan masuk. Liz mengambil dan membuka aplikasi WA-nya. Dari Jettro. Hm? Liz menautkan alis dan menoleh ke arah Jettro yang sedang serius menatap layar handphonenya. Dia berlagak tidak peduli pada Liz. Terang aja kejadian ini bikin Liz senyum sendiri. Konyol!, batinnya. Kenapa gak ngomong langsung aja?
Liz, sorry ya, aku harap kamu gak terpengaruh sama kejadian ini dan tetap konsen sama presentasi nanti. Aku janji gak bakal bikin kalian terlambat. Kamu percaya?
Liz senyum membacanya. Jettro, Jettro, ada-ada aja. Kenapa dia boros-borosin kuota hanya untuk bilang ini? Kan bisa bilang langsung. Lagipula kan bukan hanya dia yang diantar? Kan ada Fitria juga? Tapi akhirnya, Liz membalas juga WA Jettro itu. Seru, nih, chattingan padahal orangnya dekat begini, batin Liz.
Ok, I trust you, Jett. Jgn ngecewain, ya...
Jett membaca sambil senyum-senyum, kemudian menulis balasannya.
N-E-V-E-R
Fitri mendekati Liz dan berbisik-bisik,
“Liz, apa kita naik taksi aja? Ntar telat lho!”
Liz menoleh pada Jettro. Sejenak hatinya ragu, ingin menuruti kata Fitria naik taksi, atau percaya pada Jett. Tapi dia ingat kata Jettro tadi dan hatinya langsung mantab menunggu saja.
“Gak usah, Fit. Yakin deh, Jettro gak bakal ngecewain kita” ujar Liz. Fitria mencibir,
“Yakin?”
Lizkia mengangguk sambil tersenyum. Fitria menatap Liz penuh arti. Kayaknya ada apa-apa nih antara Jettro sama Lizkia, batinnya.
Dihampirinya Jettro yang lagi sibuk di kap mesin.
“Jettro, gimana mobilnya?” tanya Fitria tiba-tiba, membuat Jettro kaget.
“Ya, udah diisi air lagi. Tunggu sebentar lagi, ya”
“Oke. By the way, makasih ya udah mau nganterin kita”
“Iya, no problem”
“Aku baru tahu, lho ada anak namanya Jettro di sekolah dan orangnya baik lagi” lanjut Fitria. Lizkia melihat Jett yang tampak tenang saja dipuji begitu.
“Mudah-mudahan aja pacar kamu gak cemburu karena nganterin dua cewek yang manis-manis ini” goda Fitri makin gencar.
“Aku gak punya pacar, Fit” jawaban itu membuat Fitria makin senang menggoda.
“Ohya??” tanya Fitri, entah kaget betulan atau dibuat-buat.
“Iya, cariin dong” lanjut Jettro sementara Lizkia tersenyum saja. Tampaknya, Jettro jujur, tidak punya pacar. Terbukti dari kedekatan mereka selama kurang lebih satu bulan kemarin. Tidak ada tanda-tanda Jettro punya pacar atau dekat sama cewek atau apa.
“Waduh, padahal tampang kayak kamu ini lagi ngetrend lho! Kayak Korea-Korea gitu!!”
“Kroya, kali ya” timpal Jettro, lalu tertawa
“Sayang aku udah punya cowok. Tapi gak apa-apa deh, cowok aku jauh kok, lagi kuliah di Amerika. Kita pacaran aja yuk??” Fitria bilang gitu sambil ketawa-ketawa. Rupanya, tanpa mereka berdua sadari, Fitria sengaja mencari pelampiasan untuk mengurangi rasa gelisah menjelang presentasi yang sangat penting ini, sekalian menggoda Jettro dan melihat reaksi Lizkia. Dia cemburu atau tidak Jettro-nya digoda seperti ini.
“Aduh, aku gak mau macarin cewek yang udah punya cowok. Ntar kualat” jawab Jettro lagi.
Tak urung, Lizkia makin keras cekikikan, sementara Jettro hanya bisa tersenyum-senyum. Begini ya kalau cewek udah stress, pikir Jettro.
“Ayo, berangkat. Mesinnya udah dingin” kata Jett sambil menutup kap mesin. Diapun masuk ke mobil. Kedua gadis itu mengucap syukur. Di dalam, Jettro menoleh pada Lizkia,
“Liz, pakai sabuk pengaman” Jettro berkata begitu sambil menggerung-gerungkan gas mobil “Kalian gak mau terlambat nyampai ke gedung lomba, kan? Fitri, pegangan yang kencang ya”
“Maksudnyaaa?” tanya Fitria panik.
Jettro tidak menjawab dan langsung melajukan mobil kencang-kencang. Dua cewek itu teriak-teriak ketakutan. Jettro serius ingin mereka tidak terlambat sampai ke gedung lomba dengan tancap gas seperti itu. Dia menyalip mobil, motor dan kendaraan lain yang menghalangi jalan mereka. Fitria ngomel-ngomel sendiri di belakang, sedang Lizkia memandang jalan raya di depannya yang ramai dan tak mampu berkata apa-apa. Dia terlanjur percaya pada Jett dan dia yakin Jettro tidak akan mencelakai mereka. Inilah janji yang dia ucapkan melalui WA-nya tadi, bahwa dia tidak akan membuat mereka terlambat.
*
Presentasi mereka selesai dengan gemilang. Para juri memberikan tepuk tangan kepada wakil dari SMA Persada II itu. Mereka membawakannya dengan bagus sekali dan para juri yakin kalau mereka adalah salah satu kandidat pemenang provinsi. Mendengar itu Lizkia dan Fitri senang dan punya harapan tinggi.
Mereka jadi lupa dengan kejadian yang mereka alami ketika perjalanan kesini tadi. Yang terbayang adalah wajah bangga guru-guru, teman-teman dan orangtua mereka jika mereka benar-benar juara provinsi.
Lizki dan Fitri keluar ruangan dan menghampiri Jettro yang sudah menunggu di depan pintu keluar.
“Gimana, presentasi kalian sukses kan?” tanya Jett.
“SUKSES!!!” teriak Liz dan Fitri bersamaan.
“Wah, selamat ya buat kalian berdua” ujar Jett lalu menyalami Fitria. Mereka berjalan beriringan. Jett menoleh ke Lizkia.
“Selamat ya Liz. Kamu hebat banget”
“Makasih, Jett...”
Fitria melihat Jett dan Lizkia bergantian. Jettro memuji Lizkia hebat, pake banget lagi. Fitria makin yakin kalau antara Jettro dan Lizkia ada sesuatu. Diapun tersenyum penuh arti, lalu berjalan duluan, memberi ruang pada mereka berdua.
***