Try new experience
with our app

INSTALL

Mencari Jejak Bapak 

Jejak #3: Kesempatan Lagi, Penolakan Lagi

“Kang, jadi kita teh kumaya ayeuna? Gimana kita sekarang?” 

Pertanyaan itu sudah dua kali Laksmi ucapkan, dan sudah dua kali itu pula Juna hanya bisa diam membisu. Dia tidak tahu harus memberi jawaban apa yang dapat membuat Laksmi tenang.

“Mi….” Juna menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Laki-laki itu juga merasa tenggorokannya tiba-tiba seret, seolah dia baru menghabiskan satu bakul gorengan sendirian. Saking seretnya, dia sampai harus meneguk dulu air putih yang ada di hadapannya.

“Kang…. Coba pikirin perasaan Ami….” Laksmi kembali terisak. “Ami teh cinta sama Akang. Ami maunya sama Akang. Makanya Ami sampai bela-belain datang ke sini karena Akang nggak balas pesan Ami terus. Akang teh kunaon? Akang udah nggak sayang lagi sama Ami?”

“Bukan gitu, Mi….” Juna buru-buru menukas. “Akang tentu masih sayang sama Ami. Tapi….” 

Kata-kata Juna tercekat di tenggorokan. Dia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Tapi aku beneran anak haram, persis seperti tuduhan bapakmu.

Setiap mengingat momen itu, dada Juna seperti dihunjam oleh ribuan belati. Dia masih sangat sakit hati mengingat bagaimana perlakuan Aman terhadap keluarganya. Semua teriakan itu, caci maki itu, yang membuat Ibu jadi jatuh sakit karena tekanan batin…. Sulit rasanya untuk melupakan semua itu. Terlebih setelah itu keluarga besar Laksmi ikut berbisik-bisik dan melempar tatapan menghujat, seperti dia adalah seorang tersangka yang tengah menjalani pengadilan terbuka. 

“Tapi apa, Kang? APA?” Tangis Laksmi semakin kencang. Perempuan itu bahkan tidak peduli kalau air matanya telah membuat eyelinernya berantakan dan sebagian tetesannya membasahi hijab merah muda yang dia kenakan. Wajahnya yang putih bersih itu memerah karena tangisnya.

“Sekarang Ami tanya. Akang masih cinta nggak sama Ami? JAWAB, KANG! JAWAB!” tuntut Laksmi.

“Ami….”

“JAWAB, KANG! AMI BUTUH JAWABAN!”

“Akang masih cinta sama Ami!” tegas Juna. Laki-laki itu menatap serius ke arah Laksmi yang duduk di seberangnya. “Sampai saat ini Akang masih ingin Ami jadi istri Akang. Tapi, Mi, orangtua Ami…. Bapak Ami…. Nggak ada yang setuju sama Akang. Semua karena Akang… anak haram….”

Suara Juna melemah saat mengucapkan kata anak haram. Walau dia sudah menerima kenyataan itu, walau dia sudah bisa memaafkan Ibu dan segala kebohongannya, tetap saja perasaan rendah dirinya muncul saat menyebut asal usulnya itu.

Karena Juna sadar, separuh darah dalam dirinya berasal dari seorang laki-laki berengsek yang telah menodai ibunya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa kabar berita.

“Ami nggak peduli! AMI NGGAK PEDULI, KANG!” Laksmi kembali mengusap air matanya.“Mau Akang anak haram, mau Akang anak siapa juga, Ami nggak peduli. Ami cuma mau sama Akang! Kalau Akang masih cinta sama Ami, Akang harus berjuang untuk merebut hati Bapak. Akang mau kan berjuang untuk Ami? Untuk kita?”

Permintaan Laksmi itu tak sanggup untuk Juna tolak. Dia tidak mungkin mengabaikan permintaan Laksmi yang sengaja menemui dan memohon seperti ini. Karena itulah, Juna pun mengangguk, dan bertekad untuk kembali menemui Aman untuk meminta restu kedua kalinya.

 

*** 

 

“Maaf Nak Juna, tapi Bapak tidak bisa menerima keinginan kamu.”

Suara tegas Aman Yahya memecah keheningan di ruang tamu rumah megah itu. Nada suaranya kali ini memang tidak sekeras dan tidak sekasar sewaktu pria itu menolak lamaran Juna, tapi tetap saja terasa begitu menghunjam perasaan Juna.

Selama beberapa waktu Juna hanya bisa diam, menunduk sembari menautkan jari jemarinya dan menatap ujung kakinya. Dia membutuhkan waktu untuk mengatur emosi yang kini sudah mulai meluap memenuhi dada dan membuatnya sesak. Setelah dia merasa cukup kuat, barulah Juna kembali mengangkat kepalanya.

“Saya mencintai Ami, Pak,” kata Juna. Nada suaranya sedikit bergetar. “Dan saya yakin Ami juga mencintai saya. Saya akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Ami. Saya bersedia berkorban untuk membuat Ami bahagia. Apa yang bisa saya lakukan supaya Bapak mengijinkan kami bersama?”

“Tidak ada.”

Jawaban itu langsung meluncur begitu saja dari mulut Aman, tanpa ada jeda barang sedetik pun setelah Juna menyelesaikan kata-katanya. Seolah memang hanya jawaban itu yang layak diberikan untuk Juna.

“Apa ini semata karena asal usul saya?” Juna menatap mantan calon ayah mertuanya itu dengan tatapan terluka. “Bukankah Bapak juga mengerti, kalau seorang anak tidak bisa memilih asal usulnya? Bagaimana seseorang dilahirkan dan dari orang tua yang seperti apa, itu sama sekali bukan kuasa kita, Pak. Apakah adil kalau Bapak menilai saya, dari masa lalu yang sama sekali bukan kehendak saya?”

Sejenak Juna menghentikan kata-katanya.

“Ada hal-hal yang bisa kita ubah dan tidak bisa kita ubah, Pak,” lanjut Juna dengan nada suara berat. “Saya tidak bisa mengubah asal usul saya. Tapi Bapak bisa mengubah keputusan Bapak, demi kebahagiaan Ami.”

Aman menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Pria itu tentu mengerti apa maksud Juna. Sebetulnya dia sama sekali tidak membenci Juna. Hanya saja, ada bagian dari dirinya yang tetap bersikeras ingin mempertahankan pendapatnya.

“Bapak sangat paham, semua bayi terlahir suci. Begitu pun juga kamu, Juna. Sekalipun asal usulmu kurang baik, tapi tetap kamu terlahir sebagai bayi yang tidak berdosa.” Aman mengusap kumis tebalnya, lalu mengembuskan napas panjang.

Juna terdiam, menunggu kata-kata selanjutnya dari ayah Laksmi ini. Laki-laki itu cukup mengenal Aman, sampai-sampai dia bisa menebak kalau pria itu pasti tidak akan mudah mengubah keputusannya.

“Tapi….”

Nah, benar kan?

“Ya, Pak?” tanya Juna dengan harap-harap cemas.

“Bapak harap kamu juga paham, Juna,” lanjut Aman. “Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Laksmi adalah anak pertama kami. Tentunya kami menginginkan yang terbaik untuk pasangannya kelak, mulai dari bibit, bebet, dan bobotnya.”

“Kami tidak mempermasalahkan bebet, atau tingkat ekonomimu. Kami juga mengetahui bagaimana bobot-mu, atau kepribadianmu. Tapi, dari segi bibit atau asal-usul, mohon maaf….”

Suasana kembali hening. Yang terdengar hanya bunyi detak jam dinding di ruangan besar ini.

“Bagaimana pun, kamu terlahir dari sebuah perbuatan haram.” Aman mengembuskan napas berat. “Kamu mungkin tidak bisa mengubah itu, Juna, dan tidak ada yang bisa. Kamu mencintai anak kami, tapi kami juga mencintai anak kami. Sebagai orang tua, kami menginginkan yang terbaik. Kami tidak bisa mengubah takdir, tapi kami bisa berusaha menjaga anak keturunan kami supaya terhindar dari hal-hal yang kurang baik. Terhindar dari pasangan yang bibit-nya kurang baik, dengan harapan supaya pernikahannya kelak langgeng, mendapat ridho Allah SWT, dan anak keturunannya pun baik-baik.”

“Kamu tidak salah, Juna. Tapi, mohon maaf, kami harus menolak lamaran kamu sekali lagi. Jika kamu benar mencintai Laksmi dan menginginkan yang terbaik untuknya, lepaskan dia.” []