Try new experience
with our app

INSTALL

Mencari Jejak Bapak 

Jejak #2: Awal yang Tak Diharapkan

“Ibu mengenal Kang Yuda dari seorang teman.” Puja memulai ceritanya. Wanita itu berhenti sebentar untuk menarik napas panjang, seolah apa yang akan dia ceritakan ini begitu berat untuk diucapkan. “Dia lebih tua dua atau tiga tahun dari Ibu. Dari sejak pertama bertemu, Kang Yuda memang terlihat berbeda dari laki-laki lain yang ada di sekitar Ibu waktu itu. Apa ya? Dia memang ganteng, gayanya keren, sikapnya manis, pokoknya pintar memperlakukan perempuan. Terlihat seperti laki-laki idaman sekali. Makanya waktu dia nembak Ibu waktu kita baru tiga kali ketemu, Ibu langsung mau.”

“Waktu itu umur Ibu baru 16 tahun,” kenang Puja. “Kalau dibanding teman-teman Ibu waktu itu, Ibu termasuk biasa-biasa saja. Nggak cantik, tapi juga nggak jelek. Nggak gemuk, juga nggak kurus. Nggak pintar, tapi nggak bodoh. Betul-betul biasa. Sama sekali nggak menonjol. Karena terlalu biasa, jadinya Ibu belum pernah ngerasain ditaksir sama lawan jenis. Belum pernah ada yang menganggap Ibu istimewa. Makanya, waktu laki-laki seperti Kang Yuda nembak Ibu, rasanya Ibu senang sekali. Apalagi teman-teman Ibu yang lain, yang lebih cantik dan juga naksir Kang Yuda, nggak ada yang dilirik sama dia. Pas Kang Yuda memilih Ibu, rasanya seperti baru menang lotere. Ibu yang biasa-biasa ini bisa mengalahkan cewek-cewek yang lebih cantik itu.”

Juna masih diam sambil terus memijat kaki Puja, sementara otaknya mulai bisa membayangkan situasi yang terjadi saat itu. Sebetulnya, Juna selalu menganggap Ibu sangat cantik dan awet muda. Di usianya yang sudah menginjak 41 tahun ini pun Puja masih terlihat seperti di awal 30-an. Sulit dipercaya kalau ternyata dulu Ibu menganggap dirinya sangat biasa dan tidak menarik.

“Sejak mulai pacaran, Kang Yuda selalu memperlakukan Ibu dengan baik,” lanjut Puja. Kali ini suaranya sedikit serak. “Dia selalu mengantar jemput Ibu, suka memberikan hadiah-hadiah kecil, pokoknya selalu bikin Ibu senang. Tapi… Ibu nggak mengira, sama sekali, kalau ternyata itu cuma akal-akalan dia saja. Laki-laki berengsek itu ternyata sengaja melakukan itu… karena dia punya maksud buruk….”

 

***

 

14 Februari 25 tahun lalu.

 

“Ih, Kang Yuda mana sih?” gerutu Puja sambil melirik jam di tangannya. Gadis itu lalu celingukan ke kanan dan ke kiri, membuat rambutnya yang diikat dua pun bergerak ke kanan dan ke kiri. Namun, jalanan di depannya masih selenggang sebelumnya. Karena kesal, Puja pun mengentak-entakkan kakinya. Dia bosan menunggu, tapi saat ini dia tidak punya pilihan lain. Sedangkan untuk menelepon di wartel—warung telepon—pun rasanya percuma, karena orang yang ditunggu seharusnya sudah pergi menemuinya. 

Kira-kira sepuluh menit kemudian, sebuah motor berhenti di depannya. Pengemudinya adalah seorang pemuda yang mengenakan jaket jin biru muda yang dipadukan dengan celana robek-robek. Begitu melihat sang pemuda, raut wajah Puja pun terlihat semringah.

“Akang ke mana aja, ih? Meuni lama pisan!” semprot Puja sesaat setelah si pemuda mematikan motor dan melepas helmnya. Namun, yang disemprot hanya tertawa saja.

“Jangan marah-marah, ah,” kata Yuda sambil tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. “Aku beli sesuatu dulu, makanya telat.” Setelah mengatakan itu, Yuda pun meraih tas sekolahnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam. Setangkai bunga mawar merah dan dua batang cokelat.

Mata Puja langsung berbinar-binar. Pipinya bersemu merah. Sikap marah-marahnya menghilang, berganti dengan mengulum senyum dan menggerakkan badannya malu-malu.

“Kan hari ini Hari Kasih Sayang. Makanya aku beliin ini cuma buat kamu,” kata Yuda sembari mengulurkan bunga dan cokelat tersebut. “Buat Ayang. Nih.”

“Ih, Kang Yuda… Puja jadi maluuu.” Wajah Puja kini betul-betul merona bahagia.

Yuda terkekeh, lalu menepuk jok belakang motornya. “Yuk? Kita jadi bolos, kan?”

“Jadi.” Puja mengangguk-angguk antusias, lalu duduk di jok belakang tersebut. “Bapak sama Emak juga lagi nggak di rumah. Nggak bakal tau kalau aku bolos. Lagian sekarang juga udah siang, udah telat juga kalau ke sekolah.”

“Mau ke mana atuh si Geulis teh?” Yuda melirik lewat spion motor Honda CBR-nya. “Main ke rumah aku, mau? Lagi nggak ada siapa-siapa di rumah. Nanti kita beli kue dulu buat rayain Valentin. Mau?”

Puja terlihat ragu. “K-ke rumah Akang?”

“Iya,” balas Yuda mantap sambil menyerahkan helm pada Puja. “Kalem we atuh, nggak ada siapa-siapa da. Daripada jalan-jalan trus ada yang liat kita bolos, terus bilang ke Bapak sama Emak, kan? Mending we di rumah.”

Karena melihat Puja masih bergeming, Yuda pun mengembuskan napas panjang. “Ih, emangnya kamu pikir kita mau ngapain di rumah aku? Palingan juga kita bikin mie, makan kue, kitu-kitu we. Kamu nggak percaya sama aku?” Tak cukup sampai di sana, Yuda kembali melanjutkan. “Lagian, emangnya kamu mau pulang trus sendirian di rumah?”

Saat mendengar itu, Puja langsung menggeleng cepat. Dia benci rumahnya yang sepi. Bapak dan Emak selalu sibuk sendiri, dan Puja selalu saja ditinggal di rumah sendirian. Memang sih ada asisten rumah tangga yang menemani, tapi tetap saja rasanya dia kesepian.

“Nah. Kan? Nggak mau, kan? Makanya, yuk ke rumah aku aja.”

Karena merasa tak ada pilihan lain, Puja pun akhirnya mengangguk setuju. Yuda langsung tersenyum lebar, dan mulai menyalakan motornya. Motor itu pun melaju, meninggalkan kawasan Margacinta, menuju rumah Yuda di daerah Gedebage.

Saat itu, Puja belum tahu kalau setelah hari itu hidupnya akan berubah, selamanya.

 

*** 

 

“Hari itu, di rumahnya yang kosong, Kang Yuda menodai Ibu.” Suara Puja bergetar menahan emosi. Matanya terlihat berkaca-kaca, dan suaranya pun serak. “Bujuk rayunya sangat manis, sampai-sampai Ibu percaya kalau dia tidak akan melakukan apa pun. Tapi, ternyata dia bohong.”

Puja masih ingat betul saat Yuda memberinya minuman. Setelah meminumnya, kesadarannya seperti menghilang. Dia hanya samar-samar merasakan Yuda menggendongnya ke kamar, dan di sana lah laki-laki itu menodainya. Namun, dia tidak bisa melawan karena tenaganya seperti tidak ada. Kesadarannya baru betul-betul pulih dua jam kemudian, dan saat itu Puja hanya bisa menangis, menyesali semuanya.

“Dua bulan kemudian, Ibu baru tahu kalau Ibu… hamil. Hamil kamu, Juna,” lanjut Puja yang kini kembali terisak. “Bapak dan Emak murka. Ibu dihajar habis-habisan karena dianggap mempermalukan keluarga. Bapak minta Ibu buat menggugurkan kandungan Ibu, tapi Emak melarang. Katanya, jangan menambah dosa. Bapak dan Emak sempat mendatangi keluarga Kang Yuda untuk meminta pertanggungjawaban, tapi percuma. Kang Yuda bilang, kami melakukan itu atas dasar suka sama suka. Dasar pembohong!” 

Penjelasan Ibu itu berhasil membuat emosi Juna ikut menggelegak. Dadanya terasa panas. Dia tidak mengira kalau orang yang sempat dia anggap sebagai “ayah yang sudah meninggal” ternyata bisa melakukan hal sehina itu pada ibunya. Namun, sebisa mungkin Juna menahan emosinya. Dia menunggu Ibu menyelesaikan seluruh ceritanya.

“Proses meminta Kang Yuda untuk bertanggung jawab berlangsung selama berbulan-bulan. Akhirnya dia mau bertanggung jawab, dan kami menikah secara agama. Setelah menikah, untuk menutupi aib karena perut Ibu terlanjur membesar, kami tinggal di rumah Uwak di Sumedang. Tapi, beberapa bulan setelah kelahiranmu, Kang Yuda tiba-tiba menghilang.”

Puja kembali menangis sesenggukan sehingga terpaksa menghentikan ceritanya lebih dulu. Juna pun memeluk Ibu dan menepuk-nepuk punggungnya, sekadar untuk menguatkan wanita yang telah melahirkannya itu.

“Jangan dipaksa, Bu,” lirih Juna di tengah pelukannya. “Juna tidak perlu mendengar sisanya. Sudah cukup—”

“Nggak, Nak,” sela Puja. “Ibu berutang penjelasan padamu. Biarkan Ibu melanjutkan sedikit lagi.” Setelah menghapus air matanya, wanita itu pun kembali melanjutkan. 

“Kang Yuda menghilang, dan Ibu bingung harus ke mana mencari dia,” lanjut Puja dengan raut muram. “Ibu pernah menggendongmu naik kendaraan umum ke Gedebage, ke rumah Kang Yuda, tapi keluarganya menutupi keberadaannya. Bahkan, beberapa bulan kemudian, keluarganya pindah diam-diam dari sana. Ibu kehilangan jejak ayahmu. Ibu betul-betul bingung….

“Waktu itu, hanya Uwak yang tetap mau menerima Ibu. Makanya Ibu terus bertahan di Sumedang walau sudah melahirkan, dan akhirnya sampai sekarang Ibu masih tinggal di sini, walau beda kecamatan dari rumah Uwak, karena berat rasanya untuk kembali lagi ke rumah dan melihat wajah Bapak dan Emak.”

“Berengsek….” Akhirnya Juna tidak bisa lagi menahan kekesalannya. Dia mulai mengumpat tertahan, sementara tangannya mengepal erat. Sekarang dia mengerti asal usulnya, dan itu membuat hatinya terasa sakit bercampur marah. Ternyata benar rumor yang beredar selama ini. Dia anak haram.

Seketika raut wajah Juna berubah murung. Kata-kata mantan calon mertuanya beberapa hari lalu pun terbayang kembali di kepalanya. 

“Jadi… Juna anak haram, Bu?” Juna menyuarakan isi hati yang sudah sejak tadi dia tahan.

Namun, Puja menggeleng keras.

“Nggak, Nak. Nggak,” kata wanita itu sambil mengusap air matanya. “Kamu bukan anak haram. Semua manusia terlahir suci, begitu juga kamu. Yang haram adalah kebejatan Kang Yuda, dan juga kebodohan Ibu yang mau saja diajak berduaan dengan laki-laki yang bukan suami Ibu. Yang haram adalah kami, Nak. Bukan dirimu.”

Puja menjeda dulu kalimatnya untuk membelai rambut Juna dengan penuh kasih sayang. “Kamu adalah berkah di tengah kekacauan hidup Ibu waktu itu. Dulu, Ibu sangat tertekan karena sering digunjingkan oleh tetangga-tetangga di sekitar rumah Uwak. Apalagi Bapak dan Emak tidak mau melihat Ibu lagi. Berkali-kali Ibu terpikir untuk bunuh diri. Tapi, keinginan untuk bunuh diri itu lenyap setelah kelahiran kamu, Juna. Suara tangismu membuat Ibu sadar, ada yang membutuhkan Ibu. Sejak saat itu, Ibu mencoba untuk bangkit supaya bisa membesarkan kamu dengan layak.”

“Jadi, ingat selalu, Nak. Kamu bukan anak haram. Kamu adalah berkah bagi Ibu, sampai kapan pun juga. Itulah kenapa Ibu tidak sanggup bercerita tentang Kang Yuda, karena Ibu sayang Juna. Ibu nggak mau Juna tertekan kalau… kalau tahu kamu anak di luar nikah. Maafkan Ibu, Nak.” []