Try new experience
with our app

INSTALL

TEMAN SEHARI 

7. YOU MIGHT BE RIGHT, BUT YOU'RE NOT

Damar tidak bisa duduk diam. Dia membiarkan kursi kamarnya ditempati Kinan. Gadis itu meremas jari-jarinya sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Terakhir kali Damar marah besar seperti itu rasanya sudah setahun lalu, ketika Kinan diganggu oleh mahasiswa senior yang menyukai Damar.

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Damar berkelahi. Damar bukan anak laki-laki yang mudah melayangkan pukulan, tetapi jika sudah menyangkut orang-orang terdekatnya, Damar tidak segan-segan menghajar orang. Jika terakhir kali karena Kinan, kali ini Damar melakukannya karena Lula. Dan yang lebih mengusik Damar adalah karena Kinan terlibat dalam urusan Lula kali ini.

Kinan terpaksa ikut Damar pulang tanpa melanjutkan pembicaraannya. Bagaimana Damar bisa membiarkan Kinan di sana sementara emosi Damar sudah memuncak sampai-sampai dia harus menghadiahkan pukulan untuk kliennya itu. Damar tahu Kinan terpaksa mengikutinya pulang. Emosi Damar memang meledak-ledak, wajar saja Kinan takut dan menurut.

“Lo kenapa nggak bilang kalau kliennya itu Danu? Buat urusan putus kayak gitu juga kan biasanya gue yang handle, kenapa lo ambil, Nan?” protes Damar cepat.

“Kliennya kasih pesan khusus, Dam. Lo bilang kan ke gue, klien adalah raja. Ya masa gue tolak? Lagian gue mau bilang, tapi kapan? Slot lo juga lagi penuh, kan? Klien lo numpuk! Kapan coba lo punya waktu? Buat makan malam bareng nyokap aja lo minta gue yang datang ke rumah.” Kinan melawan, membuat Damar bungkam. Semua yang diucapkan Kina nada benarnya. Lagipula, Damar tidak akan pernah menang jika berdebat dengan Kinan. Gadis itu selalu punya sepuluh kalimat untuk tiap satu kalimat yang dikeluarkan Damar.

“Gue nggak suka lo ambil kerjaan ini,” ujar Damar tegas.

“Lah, kenapa, Dam?”

“Lo nggak seharusnya ikut campur urusan ini, Kinan. Danu itu brengsek dan lo nggak seharusnya bantuin orang brengsek kayak dia!”

“Ini bukan karena Danu, kan? Kalau lihat lo yang bereaksi kayak tadi ke Danu, gue makin yakin kalau lo kenal sama Danu dan ceweknya. Atau mungkin kalau targetnya bukan cewek itu, lo bakal diam saja, kan? Gampang banget baca lo, Dam!” Kinan meraih kasar tas yang diletakkannya di atas meja belajar Damar dan cepat-cepat berjalan keluar.

Pintu kamar Damar dibanting keras ketika Kinan keluar. Dari dalam kamar, Damar mendengar suara ibunya yang bertanya mengapa Kinan pergi secepat itu. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya pintu kamarnya diketuk pelan.

“Mama masuk ya, Dam?” tanya Rissa dari luar. Tanpa menunggu jawaban Damar, ia membuka pintu kamar itu perlahan dan mengintip ke dalam. Damar kini duduk di tempat tidur, menunduk sambil mengusap kepalanya frustrasi.

“Kinan teh kunaon? Ada masalah ya kalian?” tanya Rissa pelan.

“Tadi sore aku ketemu Danu, Ma.”

Setelah mendengarnya, baik Rissa maupun Damar sama-sama terdiam. Mereka berdua hanyut dalam sunyi dan pikiran masing-masing.

*

Kinan masuk ke dalam kelas beberapa menit sebelum kelas dimulai. Dia duduk di deretan kursi belakang sambil membenamkan wajahnya pada tas kanvas hitam yang warnanya kini sudah berubah menjadi abu-abu saking sering Kinan memakainya. Damar tidak terlihat di mana pun sejauh Kinan mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Entah berada di mana anak satu itu, pikir Kinan. Sejak pertengkaran mereka kemarin malam, Kinan sama sekali belum menghubungi Damar. Entah Kinan atau Damar yang memilih untuk menghilang, yang jelas Damar memang tidak bisa ditemukan di mana pun. Kinan mencari ke beberapa tempat yang biasa menjadi tempat Damar berada, hasilnya pun nihil.

Beberapa anak datang setelahnya, beberapa datang sambil berbisik pelan, sebagian lagi berbisik lebih keras hingga bisa tertangkap telinga Kinan. Tidak sampa sepuluh menit Kinan memejamkan matanya, dia sudah merasa harus mengangkat kepalanya lagi. Ada begitu banyak mulut menyebut namanya hari itu, seolah-olah hari itu adalah hari istimewa Kinan. Ini janggal. Biasanya, di hari istimewanya pun Kinan tidak pernah menjadi pusat perhatian.

“Itu Kinan sudah datang,” gumam salah satu anak perempuan yang menduduki tempat duduk dua baris di depan Kinan.

“Kasihan ya Damar jadi korban,” sahut temannya yang lain.

Kinan menoleh ke kiri dan ke kanan, membuat orang-orang di sekelilingnya menutup mulut tepat ketika matanya bersirobok dengan mata Kinan. Sebenarnya, Kinan sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Masalah dengan Damar saja sudah membuatnya pusing, dia merasa tidak perlu memikirkan masalah lainnya yang bisa membuatnya bertambah pusing.

“Soalnya kalau dilihat-lihat, itu memang foto Kinan, lho. Tasnya sama. Sepatunya juga.”

Kinan mendorong mejanya sebelum bangkit dari tempat duduk dan menatap ke kerumunan beberapa mahasiswa dua baris di depannya. Mereka terdiam, menatap Kinan dan ponsel mereka bergantian sebelum saling menyenggolkan lengan dengan gestur yang sangat canggung. Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan, pikir Kinan.

“Kalian pikir dari tadi gue nggak sadar ya jadi bahan omongan kalian? Ada apa sih sebenarnya? Gue pernah ada masalah sama kalian atau gimana?” Kinan berjalan ke arah kerumunan itu sebelum seseorang menyodorkan ponselnya ke arah Kinan.

“Lo masuk akun gosip kampus tuh, Nan. Inisial sih, tapi banyak yang bilang itu lo. Benar nggak sih?” Salah satu anak perempuan yang sejak tadi sudah Kinan perhatikan itu berujar. Kinan sontak meraih ponsel anak perempuan berkaos ungu yang barusan berbicara dan melihat foto yang terpampang di sana. Foto itu diambil dari samping. Kinan mengenakan kaos kuning mustard dan tengah berpelukan dengan orang asing. Kinan tahu itu dirinya dan Emil. Tapi yang tidak Kinan tahu adalah siapa yang mengambil foto dan menyebarkannya. Beruntung, foto yang tersebar hanya foto saat ia bersama Emil. Bagaimana jika fotonya dan Danu di sore hari juga tertangkap kamera?

“Siapa sih yang bikin akun nggak penting kayak gini?” tanya Kinan santai sambil menyerahkan kembali ponsel anak itu.

“Karena diunggah di akun gosip kampus, lo tenar dadakan, Nan. Tadi ada beberapa teman gue anak teknik juga tanya-tanya. Beberapa merasa kenal sama lo malahan.”

“Udah bisa verified jadi artis dong nih gue?” komentar Kinan.

“Itu mah lo ngarep, Nan. Tapi lo beneran jalan sama cowok bule itu ya, Nan? Kenalin dong!” celetuk anak perempuan di depannya itu. Celetukannya menyebalkan, membuat Kinan mendengus keras sembari membuang pandangan ke arah lain.

“Kinan kemarin pergi sama gue, kok!” Belum sempat Kinan menjawab rasa penasaran anak-anak, Damar berseru dari pintu kelas, berjalan dengan santai menuju kursi di belakang Kinan.

Beberapa orang mengangguk paham setelah mendengar ucapan Damar. Sebagian memilih percaya, sementara sebagian lainnya masih merasa penjelasan Damar terkesan seperti kamuflase untuk menutupi gosip Kinan. Menurut mereka, hasil foto yang diunggah di akun media sosial itu nyata. Kinan sebenarnya tidak begitu peduli pada pandangan orang-orang itu. Lagipula, rumor cepat atau lambat pasti akan hilang dengan sendirinya jika dirinya tidak menanggapi. Kinan sudah terbiasa dengan itu.

“Damar, lo masih marah?” Selang beberapa detik, Kinan sudah menarik kursi ke dekat meja Damar, mengabaikan keributan soal fotonya. Kerumunan yang tadi ia sebabkan sudah bubar sejak Damar memberikan klarifikasi palsu barusan.

“Nggak, gue nggak marah. Lo itu yang harusnya gue tanya, lo nggak apa-apa?” tanya Damar sambil menatap mata Kinan lekat-lekat.

“Nggak apa-apa apanya?” Bukan menjawab, Kinan malah balik bertanya. Kinan ganti menatap Damar dengan tatapan penuh tanya. Di satu sisi, Kinan ingin sekali menertawakan ekspresi Damar. Dahinya berkerut, dia seperti tengah menunggu nilai hasil ujian ketimbang menunggu jawaban Kinan atas pertanyaannya.

“Lo sendiri kan udah tahu kalau Emil klien Temansehari dan lo juga pasti tahu lah kalau gue sama dia nggak ada apa-apa. Jadi, lo kenapa bingung gitu, sih? Cie, cemas sama gue ya?”

“Jangan mimpi, lo.”

“Lo kayak baru kenal gue aja, Dam. Santai, ah, gue nggak kenapa-kenapa, kok.” Kinan tersenyum sambil menepuk punggung tangan Damar pelan, meyakinkan laki-laki itu bahwa dirinya baik-baik saja.

Kinan mengulum senyum ketika melihat Damar mengangguk tipis. Damar hari itu sangat berbeda dengan Damar pada hari biasanya. Hari itu Damar lebih irit bicara, meskipun memang tidak suka berbicara, tapi kali itu lebih parah dari biasanya. Damar yang seperti ini selalu membuat Kinan takut. Kinan menunggu, menunggu Damar berbicara padanya. Tentang apa pun. Kerjaan baru, cerita klien yang menyebalkan, atau hanya basa-basi seperti pembahasan akun gosip kampus setara lambe turah yang baru saja membuat Kinan terkenal secara instan. Tapi kalimat yang keluar dari mulut Damar setelahnya tentu bukan sesuatu yang Kinan harapkan.

“Setelah gue pikir-pikir semalaman, mungkin lo benar, Nan. Ini bukan karena Danu. Mungkin dari awal ini memang ini tentang Lula, bukan Danu.”

Kinan selalu sadar, beberapa orang tidak akan pernah menang jika berlomba dengan masa lalu. Apalagi Kinan. Kinan bahkan bukan siapa-siapa, posisinya dalam hidup Damar pasti tidak begitu penting, sementara itu masa lalunya sudah lebih dahulu singgah di sana, melibatkan rasa sampai sekarang.

“Lo nggak usah kerjain apa yang Danu minta, Nan. Gue nggak mau lo kena masalah cuma karena mempertahankan reputasi Temansehari dari klien brengsek kayak dia,” sambung Damar.

Kinan menghela napas. Ada sesak di dada yang tidak bisa dikeluarkannya. Selanjutnya, Kinan memilih untuk melempar senyum dan menepuk lengan Damar pelan.

“Temansehari sama-sama berarti buat gue, ataupun lo, Dam. Gue bisa jaga diri, seperti gue menjaga diri gue di pekerjaan-pekerjaan dari klien sebelum Danu. Danu atau klien lain buat gue…”

“Kinan.” Damar memotong ucapan Kinan cepat-cepat, menatap gadis itu lekat, menarik napas dalam dan membuangnya cepat sebelum melanjutkan kalimat.

“Apa mungkin udah waktunya kita tutup Temansehari?”