Try new experience
with our app

INSTALL

ASTER 

2. Bertemu Lagi

“Mas Langit…,” panggil seorang wanita yang berada tak jauh dari posisi Langit. Langit yang merasa terpanggil menoleh ke sumber suara, “Apakah novel ini ditulis berdasarkan pengalaman hidup mas Langit?” tanya wanita itu setelah berada di samping Langit yang tengah membaca buku.

Langit menatap wanita tersebut sebentar kemudian tersenyum, “Saya pikir tidak akan ada yang mengenali saya setelah menggunakan masker dan kacamata hitam ini,” tuturnya.

“Tidak mungkin, wajah mas Langit sangat terkenal di dunia literasi,” jawab wanita itu sambil terkekeh pelan.

“Jangan berlebihan, saya masih harus terus belajar,” ucap Langit merendah.

Wanita itu tersenyum lebar, “Jadi, bagaimana dengan pertanyaan saya tadi?”

Langit menghela napas pelan sambil tersenyum manis, “Bukankah akan sangat menyenangkan ketika membaca tanpa mengetahui ide dasar ceritanya?” tanya Langit masih dengan senyum manisnya.

“Baiklah,” wanita tadi mengerti arti ucapan Langit, “Bolehkah saya minta tanda tangan Mas Langit di novel ini?” 

Langit mengambil novel tersebut kemudian mengeluarkan bolpoint yang ada di saku celana dan membubuhkan tanda tangan di dalam novel itu, “Sudah.”

Senyum manis kembali terukir dari bibir tipis Langit, salah satu hal yang paling ia sukai adalah melihat orang lain bahagia karena hal kecil yang ia lakukan. Ini bukan kali pertama bagi Langit didatangi pembaca setia novelnya ketika berada di tempat umum, dan ketika hal itu terjadi, Langit akan dengan sangat terbuka meladeni para pembaca yang datang hanya untuk sekadar menyapa, meminta tanda tangan, atau mengajak foto bersama. 

“Wow.., terima kasih mas Langit.” Wanita itu berteriak girang kemudian melenggang pergi.

Langit kembali memfokuskan pandangannya pada lembar demi lembar buku di tangan, membaca kata demi kata dengan senyum mengembang. Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia literasi, Langit sangat suka membaca, karena baginya membaca dan menulis adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.

“Maaf-maaf, saya gak sengaja,” ujar seorang wanita yang tak sengaja menabrak pria yang terlihat buru-buru, buku-buku yang dibawa pria itu berserakan di lantai. Hal tersebut membuat Langit menoleh, ia melihat pria itu memarahi sang wanita. 

“Kamu buta?” tanya pria berbadan kurus dengan aura gelapnya.

“Sekali lagi saya minta maaf, saya bener-bener gak sengaja,” jawab wanita yang tak lain adalah Green. 

Sepulang bekerja dan sebelum mengerjakan tugas bersama Cherry, Green mampir ke toko buku lebih dulu untuk membeli novel yang akan mereka jadikan bahan analisis, pilihan Green jatuh pada Novel Kilas Balik. Saat hendak membayar, Green tak sengaja menabrak seorang pria yang menyebabkan pria tersebut marah-marah padanya.

“Kamu harus ganti rugi semua novel ini, kamu bisa lihat kan novel yang saya beli rusak gara-gara kamu?” hardik lelaki kurus itu.

Green melihat beberapa novel yang tergeletak di atas lantai, menurut Green kondisinya masih sangat baik, bahkan plastiknya saja tidak terbuka.

Green membungkuk dan mengambil novel-novel tersebut, “Mohon maaf sebelumnya, terlalu berlebihan jika Anda sampai minta ganti rugi, novel ini tidak rusak sama sekali.” Green mengatakannya sambil mengembalikan novel yang tadi terjatuh, “Saya permisi,” ucapnya kemudian meninggalkan lelaki tersebut.

“Hey, beraninya kamu..,” Lelaki itu tak terima, ia mengejar Green dan mencekal pergelangan tangannya. “Lepas!” Green setengah berteriak.

Langit yang sejak tadi memantau dari kejauhan tak bisa tinggal diam melihat ada lelaki yang menyakiti wanita di depan matanya. Langit menghampiri Green, membuka kacamata dan melihat lelaki yang tadi memaki dengan tatapan tak suka, “Ini tempat umum, seharusnya Anda tidak bersikap begitu pada wanita.” 

“Anda siapa? Berani sekali ikut campur dengan urusan saya,” teriak pria kurus dengan nada marah.

“Andai Anda tidak melakukannya di depan mata saya, saya tidak akan mencampuri urusan Anda.” Langit menatap lelaki itu dengan tatapan menusuk. “Saya bisa laporkan apa yang Anda lakukan tadi ke pihak yang berwajib, orang-orang seperti Anda tidak pantas dibiarkan berkeliaran,” tekannya.

Nyali laki-laki kurus itu seketika ciut, nada bicaranya yang tadi penuh amarah telah hilang, berganti dengan suara rendah sarat permohonan, “Saya mohon jangan lakukan itu, saya minta maaf.” 

“Minta maaf pada wanita ini, bukan pada saya!” tegas Langit sambil melirik Green yang berada di sampingnya.

“Mbak, saya minta maaf, tolong jangan laporkan saya ke polisi.” mohnnya dengan perasaan bersalah.

Green hanya menjawabnya dengan anggukan, Langit yang melihat hal itu mengusir lelaki tersebut, “Pergi dari tempat ini sebelum saya berubah pikiran.”

“Baik Pak, terima kasih Mbak.” Lelaki itu pergi meninggalkan Langit dan Green dengan langkah buru-buru. 

Tak ada yang membuka suara setelah kepergian lelaki itu, sampai akhirnya Langit membungkukkan badan untuk menatap Green, “Kamu gak apa-apa?” tanya Langit.

“Saya baik-baik saja, terima kasih sudah menolong,” jawab Green seraya meninggalkan Langit dan melanjutkan niat untuk membayar buku yang ada di tangannya.

Semoga kita bisa bertemu lagi,” batin Langit sambil memakai kacamata hitamnya.

***

Green berjalan sambil melamun, Alta tak kunjung menghubunginya, entah kemana perginya laki-laki itu, kesibukan apa yang tengah dikerjakan sampai membalas pesan yang hanya dua detik saja tak sempat dilakukan.  

Merasa lelah dengan penantian menunggu kabar, Green mengalihkan pikirannya agar tak selalu tertuju pada hal tersebut. Green diam sejenak, ingatannya kembali pada kejadian tadi, ia seperti mengenal lelaki yang beberapa menit lalu menolongnya, wajahnya tidak asing, tapi ia tak ingat pernah bertemu lelaki itu dimana, “Sekilas gue kayak pernah liat, tapi dimana ya?” 

Novel yang sejak tadi berada ditangannya belum sempat ia buka, Green tersenyum membaca quotes yang terdapat dalam sampul depan novel tersebut. Untuk Kamu yang Pernah Terluka di Masalalu, begitulah bunyi kutipan itu. Sejak pandangan pertama, novel tersebut telah menarik minatnya. Green menertawai diri sendiri, masalalunya memang tidak indah, ia memiliki banyak kenangan buruk, dan untuk sampai dititik ini bukan hal mudah baginya. Rasa terima kasih yang selalu ia lontarkan pada diri sendiri adalah bentuk apresiasi tertinggi karena mampu bertahan sampai hari ini. 

Green terus berjalan dengan senyum mengembang seolah baru mendapat suntikan energi positif, sampai akhirnya ia tiba di rumah Cherry. Rumah bercat putih bersih dengan berbagai tanaman hias dan kolam ikan mini serta air mancur itu tak lepas dari pandangan Green, ia melihat lagi alamat dan nomor rumah yang diberikan Cherry. Ini adalah kali pertamanya berkunjung ke rumah wanita itu, “Bener sih ini alamatnya, tapi kok sepi banget ya?”

Green memutuskan untuk menghubungi Cherry, “Cher, gue udah di depan,” ujarnya saat panggilan terhubung.

“Lo masuk aja Green, tadi gue udah bilang ke satpam yang ada di depan, pintunya juga gak dikunci, gue lagi mandi,” jawab Cherry.

Pantas saja Green seperti mendengar suara gemercik air, ternyata Cherry tengah berada di kamar mandi, “Oke, gue masuk ya.”

“Iya.”

“Pak, saya Green temennya Cherry.” Green memperkenalkan diri pada satpam berkepala botak yang tengah berjaga di rumah Cherry.

“Saya Ardi, biasa dipanggil Pak Ardi atau Mas Ardi juga boleh, satpam yang selalu setia menjaga rumah ini dengan sepenuh hati dan jiwa,” ucap Pak Ardi dengan tawa jenakanya. “Silakan masuk Non, Non Cherry ada di dalam,” tutur pak Ardi sembari membuka gerbang dengan sempurna.

Green tersenyum tipis kemudian melangkahkan kaki menuju rumah besar Cherry. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah beberapa foto keluarga dan lukisan di dinding serta berbagai furniture lainnya. Green dapat menebak seluruh furniture di rumah tersebut adalah barang-barang mahal yang sampai kapanpun tak akan mampu ia beli. Perhatiannya jatuh pada sebuah guci antik yang berada di ruang tamu, Green memperhatikan guci tersebut dengan seksama. Sadar bahwa apa yang dilakukannya tidak sopan, Green memundurkan langkahnya, memutuskan untuk menunggu Cherry di teras saja sambil melihat-lihat tanaman hias yang berada di halaman rumah, pemandangan yang sungguh sangat menyegarkan mata.

Green hanyut pada pemandangan hijau di depannya, ia tak menyadari bahwa Cherry telah berdiri di sampingnya, “Woii serius amat, liatin apa sih?” tanya Cherry. Wanita itu mengenakan kaos dan celana pendek khas pakaian rumahan dengan sandal bulu berwarna kuning motif lebah. Rambut panjangnya dicepol asal.“Yuk masuk.”

Belum sempat Green menjawab pertanyaan tadi, Cherry menariknya masuk ke dalam rumah, “Cher, rumah lo gede banget tapi kok sepi ya?” tanya Green yang penasaran mengapa tak ada orang lain di dalam rumah sebesar itu.

“Emang rumah gue sepi Green, cuma ada ART, satpam yang jaga di depan, sama tukang kebun. Gue tinggal sama Kak Langit, nyokap sama bokap di Bandung. Gue belum pernah cerita ya?” tanya Cherry sambil membuka pintu kamarnya.

“Belum,” jawab Green singkat.

“Iya, jadi di sini gue cuma tinggal sama Kak Langit. Ini salah satu konsekuensi karena gue milih buat kuliah di Jakarta, jadinya ya harus jauh dari orang tua.”

Green mengangguk-anggukan kepala, “Gak apa-apa, Jakarta-Bandung kan deket.”

Cherry mengerucutkan bibirnya, “Ia tapi kan tetep aja gak serumah,”

“Sabar ya, kan cuma sementara.”

“Iya Green,” ujar Cherry sambil mempersilakan Green masuk ke kamarnya, “Masuk Green.”

Di kamar Cheery, Green disuguhkan dengan pemandangan serba kuning. Sprey kuning, boneka kuning, karpet bulu berukuran cukup besar dan tebal berwarna kuning, serta pernak-pernik lainnya yang juga berwarna kuning. Kamar itu tertata rapi dengan beberapa tanaman hidup di dalamnya, Green melihat bunga anggrek yang menghadap kearah jendela, ia teringat almarhum ibunya yang juga sangat menyukai bunga anggrek.

“Lo mau bunga itu? kalau lo mau nanti gue suruh mang Ujang bawain, di depan masih ada,” tawar Cherry yang melihat mata Green berbinar-binar saat melihat bunga anggrek kuning miliknya.

Green tak menjawab, matanya berkaca-kaca mengingat betapa sang ibu dulu merawat bunga anggrek dengan sepenuh hati hingga tumbuh subur, “Lo kenapa?” tanya Cherry yang menangkap kesedihan dari mata Green yang semula berbinar.

“Gak apa-apa Cher,” Green mengusap air matanya, “Yaudah yok mulai, biar gak kemaleman,” ajak Green sembari mengeluarkan laptop dan alat tulis yang berada di dalam tas.

Meskipun Cherry paham bahwa ada sesuatu yang tengah dirasakan Green, ia enggan bertanya lebih jauh karena menghargai privasi wanita itu. Cherry dan Green duduk di atas karpet bulu dengan beberapa camilan dan minuman kaleng, “Green, kalau mau apa-apa ambil aja ya di kulkas, anggap aja rumah sendiri, jangan sungkan. Oke?” 

Green tersenyum tipis, “Oke.”

“Jadi, novel apa yang mau kita analisis?” tanya Cherry yang mulai berusaha untuk fokus pada tujuan awal mereka.

“Ini..,” Green menunjukkan novel yang tadi dibelinya. Cherry yang melihat novel tersebut menatap Green dengan tatapan yang sulit diartikan, “Lo serius mau analisis novel itu?” 

“Iya, emang kenapa?”

“Ishhhh, novel lain aja gimana?”

“Emang kenapa kalau novel ini? lagian tadi lo bilang terserah gue,” jawab Green tak mau kalah, ia sudah menggunakan uang jajannya untuk membeli novel tersebut, jangan sampai novel itu tidak jadi dipakai karena ulah Cherry.

“Itu kan novel Kak Langit, gue punya lebih dari satu di rumah.”

“Hah?” Green tak paham dengan apa yang dikatakan Cherry.

Cherry menatap Green serius, “Pak Langit dan Kak Langit itu orang yang sama Green.”

“Berarti penulis novel itu dengan dosen yang ngasih tugas ini juga orang yang sama?”

“Betul, lo kemana aja sih? Seantero kampus juga tau, di goa mulu sih,” ujar Cherry sambil tertawa karena melihat ekspresi kaget Green.

Pantas saja, Green merasa tidak asing dengan wajah laki-laki yang tadi menolongnya, meskipun baru bertemu di kelas saat semester 7, ia pernah beberapa kali melihat Langit berada di sekitar kampusnya. Akan tetapi, penampilan Langit saat berada di kampus dengan di luar kampus sangat berbeda, membuatnya tak mengenali sosok itu. Tapi tunggu dulu, jika pak Langit adalah Kakak Cherry, berarti lelaki itu tinggal di rumah ini? Green memang pernah mendengar Cherry memiliki kakak yang berprofesi sebagai dosen, namun karena tak mau tau lebih banyak, ia jadi tak tahu kalau kakak wanita itu adalah Langit, “Haha ia kali ya, kudet (kurang update) banget sih gue,” sahut Green sambil tertawa.

“Ya ampun Green.., ini serius lo baru tahu Pak Langit kakak gue setelah semester 7?” tanya Cherry yang dibalas dengan anggukan. 

“Berarti sekarang udah tau kan? Jangan kaget kalau nanti liat dia seliweran di rumah ini.”Cherry mengingatkan.

“Iya Cherry Blossom.”

Obrolan mereka tentang Langit berhenti, Green menatap sampul depan novel tersebut, terdapat inisial LDA di depannya. Cherry yang menangkap kebingungan Green segera bersuara, “LDA, Langit Danendra Adyaksa.”

Green menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan, “Lo kenapa gak bilang kalau punya novel ini lebih dari satu? Tau gitu kan gak usah beli.” Green merasa rugi mengeluarkan uang untuk membeli novel yang seharusnya bisa ia pinjam, maklum uang jajannya terbatas. 

“Lo juga gak bilang belinya novel itu,” jawab Cherry tak ingin disalahkan.

Green menatap novel yang ada ditangannya kemudian menatap Cherry secara bergantian, “Jadi, ini gimana?”

“Ya gak gimana-gimana, punya lo gak usah dibuka kali aja bisa dijual lagi.”

“Ide bagus,” jawab Green dengan senyum sumringah. 

Suara ketukan pintu menghentikan pembicaraan mereka, Cherry dapat menebak bahwa itu adalah Langit, tapi untuk apa laki-laki itu datang ke kamarnya? Biasanya jika ada perlu Langit akan menelepo. “Masuk kak, pintunya gak dikunci,” tutur Cherry dari dalam kamar.

Tak lama kemudian pintu terbuka, menampilkan sosok Langit dengan kemeja hitam yang digulung sebatas siku, dan celana jeans hitam serta sandal rumahan, “Balikin chargeran laptop Kakak,” ucap Langit tanpa basa-basi.

Cherry berdiri sambil memberikan chargeran laptop yang dimaksud Langit, “Lo kok kesini? biasanya kalau butuh apa-apa telepon?” tanya Cherry dengan tatapan heran.

“Kakak udah nelepon berkali-kali tapi gak diangkat, makanya Kakak samperin.”

“Hehe maaf gak denger, lagi ada temen soalnya. Green, ini pak Langit versi di rumah.” Cherry memperkenalkan Langit versi di rumah pada Green, sementara Langit baru menyadari bahwa ada manusia lain di kamar adiknya.

Green yang merasa terpanggil menghampiri Cherry dan Langit yang berada di ambang pintu, Green tersenyum seadanya sambil mengulurkan tangan, “Saya Green, Pak.”

Langit menerima uluran tangan Green dan menjabat tangan mungil itu, “Hai Green, senang bertemu lagi.”