Contents
ASTER
1. Ingkar?
Suara dering ponsel memenuhi kamar yang berukuran tak terlalu besar dengan cat dan hiasan serba pink. Sang empunya tengah tertidur dibalik selimut tebal, mengingat waktu masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Manusia tak berperikemanusiaan yang ada dibalik layar berukuran 5 inch itu adalah Cherry Alexandra.
“Duhhhh siapa sihhh, ganggu orang tidur aja,” gerutu pemilik ponsel sambil meraba-raba, mencari keberadaan benda pipih yang sedari tadi berbunyi.
“Green Elira Natusha, lo udah tidur?” tanya suara di seberang sana.
Green hapal sekali pemilik suara itu. Ia melihat nama yang terpampang di layar untuk memastikan. “Cherry Blossom.” Pantas saja, hanya Cherry yang berani meneleponnya di jam jam rawan begini.
Dengan suara serak, Green menjawab pertanyaan Cherry. “Lo gak punya jam Cher?”
“Hehe sori, jam di kamar gue mati Green.” Cherry menjawab pertanyaan Green sambil terkekeh pelan.
“Buruan! gue ngantuk banget.”
“Bentar, gue lupa mau ngomong apa.”
“Ck…udah ya gue tutup, sumpah lo gak penting banget, nelepon dini hari tapi gak tahu mau ngomong apa!” desis Green
Dari nada bicaranya, siapa pun tahu Green kesal, dan siapapun juga akan kesal jika memiliki teman seperti Cherry. Menelepon tengah malam seperti tak ada hari esok.
“Green, bentar! Gue udah inget sekarang.”
“Hmmm, apaan?” tanya Green dengan nada malas.
“Lo mau gak nikah sama Pak Langit?”
“Cherry! Beneran gue tutup nih ya,” ancam Green.
Green dapat mendengar suara Cherry yang tertawa terbahak-bahak. Dalam kondisi mata setengah tertutup, Green menunggu dengan sabar sampai Cherry mengatakan tujuan menelepon dirinya selarut ini.
“Haha santai dong. Lo udah ada partner buat tugas analisis novel?” tanya Cherry setelah berhasil meredam tawanya.
Green tak langsung menjawab, ia mengingat-ingat terlebih dahulu tugas mana yang dibicarakan Cherry. Ingatannya tertuju pada tugas dari dosen muda yang tak lain adalah Langit. “Oh itu, belum,” jawab Green santai.
“Sama gue aja ya, mau gak?”
“Oke.”
“Yeay! makasih Green. Yaudah lo lanjut tidur gih, bye,” sambungnya kemudian mematikan sambungan telepon secara sepihak.
Setelah panggilan berakhir, Green menyempatkan diri mengecek whatsappnya. Sedari tadi ia menunggu notifikasi dari seseorang. Namun, sampai waktu menunjukkan pukul 01.15 wib, orang tersebut tak kunjung membalas pesan.
“Mungkin masih sibuk,” batinnya.
Kantuk yang tadi dirasakan mendadak hilang entah kemana. Green beranjak dari kasur dan meneguk segelas air mineral, pikiran dan hatinya mengarah pada satu nama Altair Ardiya Arkana—kekasihnya. Sejak tadi pagi, Alta tak menjawab panggilan dan membalas pesan yang ia kirimkan. Sudah hampir satu minggu lebih Alta sering menghilang dan tak memberinya kabar. Padahal, kabar adalah yang terpenting dalam hubungan, apalagi Green dan Alta menjalani hubungan jarak jauh. Mereka menempuh pendidikan di kota yang berbeda.
“Dulu janji untuk selalu ngabarin, sekarang mana?” Green berbicara sendiri.
Green mensugesti pikirannya untuk selalu positif dan percaya pada Alta, lelaki yang telah membersamai langkahnya dari dulu hingga sekarang, “Besok pasti Alta bakal kabarin gue. Ya, pasti,” gumamnya meyakinkan diri.
Green mengikat rambut panjangnya asal, netranya tak lepas dari ponsel yang berada di atas meja, berharap Alta segera menghubunginya.
Diliriknya jam dinding yang telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, Green mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Pikiran dan hatinya tak sejalan, hatinya ingin menghubungi Alta, namun takut mengganggu, sementara pikirannya meminta ia melakukan itu. Untuk pertama kali dalam hidup, Green abai pada hatinya, rasa khawatir membuatnya memilih menghubungi Alta, takut sesuatu yang buruk terjadi pada kekasihnya.
Green mengambil ponsel dan menelepon Alta. Sampai percobaan kelima, panggilan tersebut tak kunjung mendapat jawaban, hanya tulisan berdering yang memenuhi layar. Hatinya berkecamuk, tak biasanya Alta melakukan itu.
Green menitikkan air mata. Perasaannya mendadak emosional,. Janji-janji manis yang pernah Alta ucapkan untuk menikahinya tahun depan menari-nari di kepala, sifat hangat lelaki itu satu bulan lalu masih jelas terekam dalam ingatan.
“Al, kamu gak akan ingkar janji kan? tahun depan kamu bakal nikahin aku seperti janji kamu itu kan?”
***
Sejak pukul 02.00 dini hari tadi, Green tak lagi memejamkan mata hingga pagi menjelang. Suara ayam berkokok menandakan malam telah berganti. Green memutuskan bangkit dari tempat tidur untuk membersihkan diri dan bersiap melaksanakan ibadah salat subuh. Pagi ini ia akan mencoba menghubungi Alta lagi, setelahnya bekerja seperti biasa kemudian mengerjakan tugas kuliah bersama Cherry.
“Gue yakin, Alta setia sama gue, dia gak akan macem-macem,” gumamnya.
Tepat setelah Green selesai beribadah, ponselnya bergetar. Dengan cepat Green menyambar benda itu, berharap ada pesan masuk dari Alta. Helaan napas terdengar dari bibirnya, setelah melihat pesan yang ia terima bukanlah dari orang yang diharapkan.
“Green, hari ini kita ngerjain tugasnya di rumah gue aja ya.”
“Oke”
Selepas membalas pesan Cherry, Green membuka media sosial. Matanya terbelalak sempurna kala melihat postingan Alta. Lelaki itu membagikan momen kebersamaan dengan teman-teman kampusnya. Ia melihat momen tersebut dibagikan 30 menit yang lalu, Alta bisa melakukan itu namun tak membalas pesan atau pun menghubungi dirinya.
“Alta, kamu bisa bikin story tapi gak bisa ngabarin aku sama sekali? Apa aku udah gak sepenting itu buat kamu? Kalau iya, kenapa kamu menjanjikan hal-hal indah dulu? Kenapa kamu hadir sebagai penyembuh luka kalau akhirnya buat kecewa?” tutur Green dalam hati, ia menatap nanar layar ponsel sembari melihat storygram yang dibagikan Alta secara berulang.
Sepagi ini, hati Green telah diporak-porandakan oleh lelaki yang dulu selalu membuat tersenyum, memberi semangat untuk memulai hari, dan memotivasi untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
“Green, lo harus percaya sama Alta. Lo gak boleh mikir yang macem-macem.” Green bermonolog pada diri sendiri, berusaha meyakinkan hatinya bahwa semua akan baik-baik saja, dan Altanya akan kembali seperti sedia kala.
Green mengingat momen-momen terbaiknya bersama Alta. Semua terasa indah, apalagi saat lelaki itu berjanji akan menikahinya. “Sayang, tahun depan aku bakal nikahin kamu. Kamu mau kan tunggu aku?”
Saat itu, tentu saja Green bahagia, apa lagi Alta mengatakannya tepat di anniversary mereka yang ke-4. Perasaan cintanya semakin membuncah, sampai sekarang. “Aku masih tunggu kamu, Al. Aku percaya kamu gak bakal ingkar janji.”