Try new experience
with our app

INSTALL

Sang Penakluk 

Part-1 [Id Card]

"Kencan buta sialan!" murka seseorang sembari masuk ke dalam ruangan presdir. Pria itu melonggarkan dasi yang terasa sangat mencekik lehernya. Tidak peduli dengan tanggapan para karyawan, karena kemurkaan dirinya.


Lagi, dan lagi. Dengan semena-mena, ayah dan ibunya membuatkan sebuah kencan buta untuknya, ayolah ... Ia tidak memiliki waktu untuk itu.


Apa belum cukup mereka membuatnya pusing dengan urusan di perusahaan yang tiada habisnya. Ia sampai merelakan masa mudanya, demi menjadi penerus perusahaan. Sedangkan, ayah dan ibunya terus memaksa untuk menghadiri kencan buta, demi tuhan. Padahal, mereka sudah lama tinggal di luar negeri, tapi kenapa masih sibuk mengatur hidup putranya.


"Aku tidak mau!" serunya lagi.


"Tapi tuan muda, orang tua anda mengancam akan--"


"Persetan dengan ancaman! Aku juga bisa mengancam. Katakan kepada mereka, jika aku akan mengundurkan diri dari posisi presdir ini, jika mereka masih mengatur kencan buta untukku!" serunya, sembari memijat pelipisnya. Apa ayah dan ibunya pikir, posisi sebesar ini bisa memiliki waktu untuk berkencan seperti itu?


"Rajendra, maksud ayah dan ibumu baik. Mereka ingin melihat putranya hidup--"


"Angga! Lebih baik tutup mulutmu!" selanya. Ia menghela napas, "Setelah ini, apa jadwalku?" tanyanya.


Angga, sang sekretaris melihat jurnal miliknya, melihat jadwal Rajendra sore ini. "Kau tidak memiliki jadwal lagi," paparnya.


Rajendra menghela napas, melepaskan dasi miliknya, dan melemparnya ke sembarang arah. "Aku akan pergi ke bar. Kau akan ikut?"


Angga menggeleng, "Tidak tuan muda, aku masih memiliki beberapa pekerjaan," tolaknya.


Rajendra mengangguk, "Baiklah, aku akan menghubungimu nanti," katanya.


Kemudian, Angga memberikan sebuah kunci mobil kepada Rajendra yang merupakan sahabat, sekaligus atasannya itu. "Hubungi aku, jika kau sudah mabuk," pesannya.


Rajendra mendengkus kasar, merampas kunci mobil dari tangan Angga dengan kasar. "Berisik! Lakukan saja tugasmu dengan baik," katanya. Lalu kemudian sosok itu lenyap dari pandangan Angga yang tengah menghela napas, lagi-lagi ia harus membuat alasan Rajendra tidak pergi ke kencan buta.


Sedangkan, sang pembuat masalah itu tengah mengendarai mobilnya, meninggalkan perusahaan untuk melepaskan semua beban pikirannya, dengan pergi ke sebuah bar. Minum-minum sampai mabuk, dan menelepon Angga untuk menjemputnya.


Terus terang saja, posisi dirinya kini sangat berat. Di usia muda, ia telah memiliki banyak sekali pencapaian, dan mengembangkan perusahaan milik ayahnya. Tapi, di balik itu semua, ada masa muda yang harus ia korbankan, ada tubuh yang sakit karena terus bekerja, dan juga pikiran yang lelah setiap hari.


Belum lagi, ia harus di pusingkan dengan kencan buta sialan, yang telah di rancang oleh kedua orang tuanya. Ah, benar-benar menyebalkan! Memangnya, dirinya tidak cukup laku, hingga orang tuanya merancang semua itu?


Rajendra mengemudi, membelah jalanan kota jakarta yang cukup padat di jam pulang kantor seperti ini.

"Jakarta, selalu macet," gumamnya, sembari menikmati alunan lagu yang ia putar di dalam mobil.

Seolah baru keluar dari ruangan yang sangat pengap, Rajendra menghirup udara jalanan dengan sangat rakus, melalui kaca mobil yang sengaja ia buka. Sejenak, ia merasa sangat bebas, kala angin berembus ke wajahnya. Ia lupa, kapan terakhir kali dirinya merasa sangat nyaman seperti ini, setelah resmi menyandang gelar presiden direktur, di Alister Group.


"Sepertinya, bulan depan aku harus meminta Angga mengosongkan semua jadwalku. Aku ingin berlibur," cetusnya, setelah tiba-tiba terbersit sebuah ide untuk pergi liburan.


Jujur saja, sebenarnya ia lelah dengan jabatan yang ia genggam. Mungkin, semua orang berpikir ingin bisa berada di posisinya seperti ini. Tapi, jika boleh jujur, Rajendra justru ingin mundur. Ia ingin memiliki kebebasan dalam melakukan apa pun, seperti orang lain di usianya, termasuk berkencan.

Rajendra kembali menjalankan mobilnya, begitu lalu lintas sedikit melenggang. Ia sudah tidak sabar untuk segera sampai, dan melepaskan bebannya.


❤❤❤


"Kenapa kau melakukan ini semua kepadaku?" bentak seorang wanita, kepada seorang anak laki-laki muda yang bekerja di bar.


Semua mata tertuju kepada sosok itu, termasuk Rajendra yang baru sampai. Ia menghentikan langkahnya, begitu suara wanita itu terdengar.


"MATIKAN MUSIKNYA!" wanita itu kembali berteriak, bersamaan dengan musik bar yang mati. Semua orang fokus kepada wanita yang masih sangat marah kepada seorang pelayan di sana.


Suasana bar yang semula begitu bising, tiba-tiba saja begitu hening. Sampai kemudian, hanya ada suara langkah kaki milik Rajendra yang terdengar, dan mendekat ke arah wanita tersebut. "Permisi, apa kiranya yang membuat anda begitu sangat marah, hingga meminta bar ini mematikan musiknya?" tanyanya di sela-sela keheningan yang terjadi.

Wanita itu tampak enggan menjawab pertanyaan dari Rajendra, wanita itu hanya mendengkus kasar, dan mencengkeram lengan pria muda di hadapannya hingga meringis. Rajendra yang merasa terabaikan, dan melihat pria muda itu tidak berdaya, lantas mencoba melepaskan cengkeraman tangannya pada pria itu.


"Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau ikut campur, urusanku!" raung wanita itu, wajahnya benar-benar terlihat sangat marah sekali.


Rajendra terkekeh pelan, "Bar ini bukan milikmu. Kau tidak berhak---"


Lagi-lagi wanita itu mendengkus, "Anda juga tidak memiliki hak untuk ikut campur--"


"Kak! Ayo bicara di luar," akhirnya, sosok pria muda itu membuka suara juga.


Tanpa membuang waktu, pria muda itu menghampiri wanita yang masih sangat marah, dan menariknya keluar, di ikuti oleh Rajendra. Rajendra bukan penasaran akan masalah mereka berdua, Rajendra hanya kesal karena wanita itu berani menantangnya. Heh, apa wanita itu tidak tahu, siapa dirinya?


"Kenapa kau berhenti kuliah?"


Rajendra terhenti. Wanita yang beberapa saat lalu menentangnya, kini menangis sembari memukuli dada sang adik.


"Kenapa berhenti kuliah?" tanyanya lagi, masih dengan suara tangisnya.


Wanita itu memijat pelipisnya, "Kau tidak suka kuliah kedokteran? Kau ingin pindah kuliah, atau bagaimana? Kakak akan mendukungmu," katanya.


Sang adik menghela napas, "Kak. Sungguh, bukan seperti itu maksudku. Aku hanya tidak mau terus merepotkanmu. Aku ingin menghasilkan uang sendiri--"


"Dirga. Katakan, apa uang yang selama ini kakak berikan, kurang?"


Dirga menggeleng, "Tidak kak. Kak Rose, selama ini kakak sudah sangat bekerja keras untuk membiayai hidupku. Kak Rose juga memiliki kehidupan, kakak tidak boleh hanya terus memikirkanku,"


Lantas, Dirga memeluk sang kakak, tapi Rossaline melepaskan pelukan sang adik. Ia menghargai keputusan adiknya, untuk berhenti kuliah. Tapi, tidak bisa membiarkan Dirga tinggal jauh dengannya.


"Kita pulang ya,"


Dirga menggeleng, "Maaf kak, sekali lagi aku mengecewakanmu. Aku sudah tinggal di sebuah kost, bersama dengan temanku,"


"Dirga--"


Dirga menggeleng pelan. "Kak, aku bukan lagi anak kecil. Sudah saatnya, aku hidup dengan mandiri,"

Rajendra yang semula ingin membuat perhitungan dengan wanita itu, mendadak terharu melihat pemandangan tersebut. Pemandangan sang kakak yang tampak enggan melepas sang adik yang kian beranjak dewasa. Rajendra dapat menyimpulkan, jika sang kakak adalah orang yang sangat penyayang, dan rela melakukan apa pun untuk kebaikan sang adik.


Rajendra tersentuh, tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca. "Damn! ada apa denganku?" gumamnya, sembari mengusap matanya yang mulai memanas.


"Berjanjilah, kau akan makan dengan baik. Menjaga kesehatan, dan tidur yang cukup. Pintu apartemen kakak, selalu terbuka untukmu," Akhirnya, Rossaline hanya bisa pasrah akan keputusan sang adik.


Dirga mengangguk, "Tentu, aku akan sering mengunjungi kakak,"


Rossaline mengusap sisi wajah sang adik dengan lembut. "Kakak pulang dulu, jaga dirimu baik-baik," pesannya.

Dirga mengangguk, lalu melambaikan tangan pada sang kakak yang beranjak meninggalkan tempatnya bekerja. Kemudian, ia berbalik untuk kembali melanjutkan pekerjaannya, ia sedikit terkejut melihat sosok Rajendra yang tengah menatapnya. Tanpa ia duga, pria itu menghampiri dan membelai rambutnya, dan berkata : "Good Boy!" serunya.


Dirga hanya tersenyum simpul, lalu bergegas kembali masuk ke dalam. Sementara itu Rajendra hanya menghela napas pelan, "Sial, aku jadi ingin pulang," gumamnya.


Lantas, Rajendra melangkahkan kakinya untuk meninggalkan bar tersebut. Ia memutuskan untuk tidak minum hari ini, dan bergegas pulang ke rumah. Tapi, lagi-lagi langkahnya terhenti saat kakinya menginjak sebuah id card.


Rajendra mengambil, dan menatap id card tersebut, yang ia yakini milik seorang wanita yang sempat beradu mulut dengannya barusan. Tanpa sadar, Rajendra tersenyum. "Jadi, ia bernama Rossaline, dan seorang dokter," gumamnya.

Rajendra tersenyum, dan memasukkan id card tersebut ke dalam saku jasnya. Entah kenapa, wanita bernama Rossaline itu sangat menarik baginya.