Contents
LATTE UNTUK MOCCA
Remain Unanswered
MINGGU berganti bulan, dan Jo masih hidup dalam kegalauan. Beberapa kali dia memergoki Vanessa dan Ghi bersama. Dengan sikap Ghi yang sangat perhatian pada calon mantan istrinya itu, membuat Jo serasa gila karena murka
Rutinitas Jo berubah drastis. Selain sering menghabiskan waktunya untuk bekerja, lelaki berkulit gelap itu juga mulai rajin ke klub malam. Gosip yang berhembus semakin kencang tentang perselingkuhan Vanessa, dan pandangan mata iba yang menatapnya membuat Jo merasa tidak sanggup menghadapi dunia.
Klub dan minum-minum menjadi pelariannya. Dalam benaknya yang kacau, Jo menganggap minuman bisa sejenak mengenyahkan ingatannya tentang siang itu. Siang ketika dia menemukan Vanessa menghancurkan dunianya.
“Halo ganteng, aku Prilly.” Seorang perempuan dengan rambut light ash brown muncul di samping Jo.
Lelaki dengan blazer krem itu hanya melirik tak peduli. Lalu menyesap isi gelasnya yang tak berwarna. Favorite Jo, vodka, Grey Goose The Peak Connoisseurs. Level alkoholnya 40 persen, sehingga beberapa teguk saja sudah membuat Jo bisa melupakan sejenak pahitnya dikhianati.
“Nama kamu siapa?” Prilly belum menyerah. Sekarang menggelayut manja di lengan Jo.
Lelaki itu tidak menjawab, hanya mengibas tangan Prilly. Lalu sibuk menenggak minumannya lagi.
“Turun yuk,” ajak Prilly. Mengarahkan matanya ke lantai dansa yang mulai ramai.
“Nggak minat,” kata Jo ketus.
“Minatnya apa?” Prilly membusungkan dadanya yang terlihat menggiurkan. Bagian dada di gaunnya yang terlampau minim dibuat dari bahan transparan. Baju itu gagal menyembunyikan apa pun yang seharusnya ditutupi.
Jo masih diam. Tangan Prilly mulai bergerilya di pahanya. Perempuan itu sudah beberapa kali melihat Jo di klub. Baru kali ini dia berani mendekat, setelah memastikan Jo tidak akan mengusirnya pergi.
Karena Jo tidak memberi respon, Prilly mengira lelaki itu mengijinkannya berbuat lebih. Tangan Prilly semakin nakal. Tepat ketika dia akan menyentuh bagian paling sensitif Jo, lelaki itu menahan tangannya. Mencengkram pergelangan tangan Prilly dan menepisnya kasar.
Prilly terkejut, memelotot menatap Jo. Sedangkan lelaki itu menandaskan minumannya dengan tenang. Lalu berdiri, melirik dengan benci ke arah Prilly.
“Saya bukan pezina. Jangan berani-berani nyentuh saya!” geramnya.
Prilly terlalu kaget. Belum pernah ada lelaki di klub ini yang menolak dan mempermalukannya. Prilly tidak tahu, Jo berbeda. Lelaki itu sangat muak dengan perzinahan. Tentu saja, karena dia merasakan akibat pahit perzinahan Vanessa.
@@@
5 bulan kemudian …
IRMA sesekali menoleh, menatap Jo yang berjalan gontai. Putranya itu terlihat jauh lebih kurus dan letih. Hidupnya dalam lima bulan terakhir ini menjadi sangat tertutup. Apalagi setelah memberitahu keluarganya kalau Vanessa hamil, dan dia terpaksa menunggu sampai perempuan itu melahirkan untuk melanjutkan perceraian. Dia merasa tidak lagi mengenal Jo.
“Jo, sini duduk sama Mama,” ajaknya.
Jo hanya mengangguk, lalu menghempaskan tubuhnya di samping Irma. Malam ini Oma dari pihak ayahnya berulang tahun. Wanita sepuh itu sebenarnya tidak ingin ada acara apa-apa. Hanya saja anak-anaknya ingin berkumpul, dan membuat Ibunya senang.
Dan Jo yang sudah lama menjaga jarak dengan keluarganya akhirnya diseret Irma untuk ikut. Menurut Irma, Jo perlu bertemu dengan orang-orang. Supaya tidak terus-terusan tenggelam dalam kisah pernikahannya yang menyedihkan.
“Ma, jam sembilan saya ke kantor ya. Ada yang harus diselesaikan,” bisik Jo. Sesungguhnya dia tidak ada acara apa-apa. Hanya saja berusaha melarikan diri dari keramaian ini.
Ada rasa cemas di hati Jo. Bagaimana jika keluarga besarnya tahu tentang perceraiannya. Pasti akan ada banyak pertanyaan, penghakiman dan penghiburan. Semua hal yang tidak diperlukan Jo.
“Iya, kita tunggu sampai Oma selesai potong kue ya,” bujuk Irma. Jo tidak menjawab, hanya mengeluarkan ponsel dan memusatkan perhatiannya pada benda berlambang apel itu.
“Jo, ayo ngucapin selamat dulu sama Oma,” ajak Irma, sambil menarik Jo untuk berdiri. Lelaki itu menurut saja. Menghampiri Oma tanpa semangat.
“Selamat ulang tahun, Oma. Semoga sehat selalu ya,” ucap Jo sambil mencium pipi Omanya.
“Terima kasih Joaquin, kamu sama Vanessa?” tanya Oma to the point.
Jantung Jo langsung mencelos, dia menggeleng berat.
“Vanessa kok tumben nggak ikut?” Tante Lisa yang duduk di sebelah Oma ikut bertanya.
“Lagi nggak bisa, Tante.” Jo menjawab kaku, lalu berancang-ancang untuk pergi. Ketika itulah dia melihat Vanessa, bergandengan dengan Ghi. Keduanya terlihat saling bertukar senyum. Saling menatap dengan penuh cinta.
Rahang Jo mengetat. Bersamaan dengan tangannya yang mengepal kuat. Dalam hati dia mengutuk dua makluk keparat itu habis-habisan. Sambil berharap keluarganya tidak melihat Vanessa. Apalagi perut perempuan itu mulai terlihat besar.
“Bang Jo, itu bukannya Mbak Vanessa?”
Sial!
Umpat Jo dalam hati. Doanya tidak terkabul karena Indria, salah seorang sepupunya menunjuk ke arah Vanessa. Semua mata langsung menatap ke arah yang ditunjuk Indria. Dan detik itu mereka membeku.
Vanessa yang hamil, dan sedang bermesraan dengan lelaki lain.
“Jo, Vanessa hamil? Tapi … dia lagi sama siapa?” Pertanyaan pertama terlontar. Entah dari siapa.
Lelaki berkemeja garis-garis itu membeku. Seharusnya dia bisa mengantisipasi ini dan menyiapkan jawaban yang bagus. Tapi sialnya dia sedang dalam mode bodoh kali ini.
“Akhirnya Vanessa hamil. Jo bawa Vanessa ke sini dong. Oma mau ketemu,” kata Oma dengan naif.
“Maaf, Oma. Saya nggak bisa.” Hanya itu kosakata yang muncul di benak Jo. Setelahnya lelaki itu berjalan menjauhi keluarga besarnya.
Dengan amarah yang siap menyembur, Jo menghampiri Vanessa yang sedang duduk sendiri, menunggu Ghi yang sejenak menghilang. “Ikut aku,” bentaknya. Tanpa menunggu persetujuan, Jo menarik Vanessa menjauh dari keramaian.
“Jo, apa-apaan sih?! Kamu nggak berhak nyeret aku kaya gini,” protes Vanessa.
“Kamu plin plan. Kemarin dulu nggak mau dicerai, sekarang bilang aku nggak berhak. Denger ya, kamu boleh berzina sesuka kamu. Aku nggak peduli, tapi jangan berani-berani muncul di tengah-tengah keluargaku, ngerti?!”
Jo mengatakan ini karena tadi sempat melihat pandangan terluka Ayah dan Mamanya ketika beberapa keluarga bertanya tentang Vanessa. Sudah cukup dia yang terluka. Tidak perlu menyakiti orangtuanya juga.
“Terserah aku lah, ini juga tempat umum,” sahut Vanessa dengan bibir mengerucut.
“Fine, terserah kamu. Tapi sekali lagi kamu muncul kaya gini dan bikin Ayah Mamaku sedih, habis kamu! Aku nggak peduli walaupun kamu punya Ghi sebagai beking!” Jo mengucapkan ini tepat di depan wajah Vanessa.
“Jo, bisa nggak bersikap lebih lembut sama perempuan?” Ghi tiba-tiba muncul. Rupanya sejak tadi lelaki itu mencari-cari Vanessa.
“Nah baru disebut langsung muncul. Kamu udah mirip jin aja ya, Ghi. Jin pecinta selangkangan!” sembur Jo.
“Jaga mulut kamu, Jo!” Ghi berang.
“Right, nih jaga juga asset buat selangkangan kamu!” Jo mendorong Vanessa ke arah Ghi yang mukanya sudah merah padam.
Tanpa menoleh lagi, dia meninggalkan restoran. Dengan ego dan harga diri yang terasa diinjak-injak.
@@@
4 bulan berlalu …
SEMAKIN hari Jo semakin menutup diri. Menghilang dari pergaulan. Dunianya hanyalah kantor dan pekerjaannya. Lalu ke klub untuk minum-minum dan pulang menjelang dini hari. Dia akan tertidur begitu menyentuh kasur, tanpa sempat melepas sepatu atau mengganti baju. Terbangun sebentar ketika Mamanya memaksanya salat subuh. Setelah itu dia akan meringkuk lagi di balik selimut.
Tidak ada lagi berkumpul dengan teman-teman atau keluarga. Ajang semacam itu hanya akan menyebabkan sakit yang lebih parah untuk Jo. Pernikahannya yang kandas sudah terdengar oleh keluarga besar. Berbagai macam komentar dilontarkan, tapi kebanyakan rasa iba dan penghakiman yang menyudutkan Jo.
Hari itu masih gelap, karena jam masih menujuk angka tiga. Ponsel Jo yang tergeletak di atas kabinet berdering. Jo mengabaikannya karena matanya masih dikuasai kantuk. Ponsel itu berdering lagi, ribut dan terdengar tidak sabar. Begitu terus sampai Irma akhirnya masuk ke kamar Jo.
“Jo bangun,” katanya sambil mengguncang badan Jo.
“Masih ngantuk, Ma.”
“Jo ini penting, ayo bangun,” desak Irma lagi.
“Ada apa, Ma?” tanya Jo dengan suara berat. Matanya masih terpejam.
“Vanessa di rumah sakit, dia mau melahirkan,” tutur Irma.
Mata Jo terbuka sedikit, lalu senyum mengejeknya terbit. “Biar aja dia melahirkan, itu bukan urusanku.”
Jo masih sempat membatin lega saat itu. Akhirnya sudah waktunya Vanessa melahirkan. Artinya sebentar lagi dia akan bebas.
“Jo, kita harus ke sana. Mamanya Vanessa nelepon Mama. Vanessa kritis, Jo.”
Jo bergeming. Dia memang sudah tidak peduli lagi pada perempuan itu. Apa bedanya kalau Vanessa mati atau hidup. Jo tidak ambil pusing.
“Jo, kamu harus ketemu Vanessa. Dia … mau minta maaf,” kata Irma. Dengan sekuat tenaga dia menarik Jo hingga lelaki itu terpaksa berdiri dan menyeret kakinya mengikuti Irma.
Lelaki berkulit gelap itu masih setengah sadar ketika tahu-tahu dia sudah berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Dengan Irma dan Hadyan setengah menyeretnya. Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir kantuk. Tapi gagal.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu, dan Jo terheran-heran karena wajah-wajah yang dilihatnya muram. Lelaki itu bertanya-tanya apa yang terjadi. Kenapa dia harus datang ketika Vanessa melahirkan? Toh dia bukan ayah bayinya. Seharusnya Ghi yang ada di sini.
“Jo, Vanessa nyariin kamu,” ucap Mama mertuanya yang sesenggukan.
“Saya? Kenapa?” tanyanya linglung.
Irma mendekat, mendorong Jo lembut untuk memasuki ruangan yang beraroma desinfektan itu. Lelaki itu merasa ada sesuatu yang menariknya untuk masuk. Lalu, di situlah Vanessa. Terbaring lemah dengan berbagai peralatan medis yang kelihatan menakutkan.
Vanessa membuka mata, memaksakan senyum. “Maaf, Jo, please,” ucapnya lemah.
Wajah Jo membesi. Dia tahu mestinya hatinya tersentuh, tapi bayangan Vanessa yang sedang ditindih Ghi tidak mau pergi dari kepalanya. Lalu, satu pertanyaan itu terlintas begitu saja.
“Bayi itu … anak siapa?” tanyanya kaku.
Air mata Vanessa mengalir deras. Bibirnya bergerak, ingin mengucap sesuatu. Tapi Jo tidak mendengar apapun selain bunyi elektrokardiograf yang berdenging menyeramkan. Garis datar muncul di monitor, dan Jo merasa dadanya sakit.
“Vanessa, siapa ayah bayi itu?! Jawab aku!” kata Jo frustasi. Dia bergerak serampangan, ingin mendekat tapi takut setengah mati melihat Vanessa yang sudah pucat.
“Siapa ayahnya?! Jangan mati dulu, jawab aku!” Jo berteriak seperti orang gila. Tapi, tidak ada jawaban. Bibir Vanessa yang pucat terkatup rapat. Tidak akan pernah lagi berbicara dan memberitahu Jo jawaban dari pertanyaannya.