Try new experience
with our app

INSTALL

LATTE UNTUK MOCCA 

Masa Iddah

RUANGAN kantor berukuran 4x4 ini terasa sesak untuk Jo. Tidak seperti dua bulan yang lalu, ketika dia masih begitu bahagia dengan semuanya. Di tempat ini, Jo lebih sering menghabiskan waktunya. Bekerja lebih keras, merealisasikan mimpinya. Mimpi yang sekarang menjadi satu-satunya penghiburan. 

Ketika Vanessa masih menjadi istrinya, dia selalu merasa semua yang dilakukannya adalah untuk Vanessa. Untuk memenuhi keinginan perempuan itu. Mungkin bagi orang lain ini terdengar seperti dominasi perempuan pada suaminya. Tapi tidak untuk Jo. Dia senang melakukannya, karena dengan begitu dia merasa punya tujuan. 

Tujuan yang kemudian berkhianat. Menggunakan kesibukan Jo sebagai pembenaran untuk pengkhianatannya. Menuding Jo suami yang tidak punya waktu untuk istrinya. 

Jo menghembuskan asap rokoknya, menatap tanpa minat pada lingkaran-lingkaran asap yang dihembuskannya. Dia baru saja menerima telepon dari Andi, temannya yang menjadi pengacara. Berkas perceraiannya sudah diajukan. Dia tinggal menunggu panggilan dari pengadilan agama.

Bibir Jo tertarik, membentuk senyum sinis. Betapa lucunya hidup. Dua bulan yang lalu kata cerai tidak pernah terlintas di benaknya. Dan hari ini, nyatanya nasib itu menimpanya juga. 

Seseorang membuka pintu, menyalakan lampu dan membuat ruangan yang gelap itu menjadi terang.

“Jo, mau di sini sampai kapan? Ini sudah jam 12 malem, bro. Lebih malah.” Yohan muncul di ambang pintu. 

Lelaki berambut lurus itu menggeleng, karena tidak tahu harus berbuat apa. Melihat Jo yang sekarang terpuruk karena perselingkuhan Vanessa, tidak pernah terbayang. Mereka pasangan serasi. Raja dan Ratu semasa SMA. 

“Jo, lu harus pulang, bro. Istirahat, tidur. Liat muka lu, tuh. Ck, ngalah-ngalahin mukak koala kalo nggak tidur setahun,” ejeknya. 

“Kaya tau mukak koala kalo nggak tidur setahun aja, lu,” celetuk Jo. Tanpa ekspresi, hanya terus menghisap rokoknya. 

Yohan mengikik, lalu duduk di kursi, di depan Jo. “Nggak ada sedih selamanya, Jo. Lu harus move on pelan-pelan.”

“Nggak usah sok nasihatin gue, lu belum pernah ngerasain apa yang gue rasain sekarang,” kata Jo.

Yohan mengangkat kedua tangannya. “Iya deh, serah lu. Tapi gue nggak suka liat lu begini. Pulang, Jo. Tidur. Besok kita kerja lagi. Jangan lupa, lu masih punya mimpi besar. Punya franchise makanan yang gerainya ada di mana-mana, bisa dijangkau sama semua kelas. Inget itu, tiap kali otak lu mulai bego.”

Yohan bangkit, berjalan keluar ruangan. Meninggalkan Jo yang bengong. Sambil merutuk karena kata-kata Yohan benar, dia ikut bangkit. Berjalan terseok meninggalkan ruangan. Dia harus tidur, supaya punya cukup energi untuk mewujudkan impian besarnya. Dan cukup energi untuk menendang habis memori tentang Vanessa.

@@@

JO baru saja memasuki ruangan kantornya. Kepalanya pening karena beberapa minggu ini dia kurang tidur. Dengan lelah dia membanting tubuhnya yang menjadi sedikit kurus ke kursi kerja berwarna abu.

Ada keributan di luar ruangan. Tapi Jo tidak ambil pusing. Mungkin pegawainya sedang bercanda, berebut benda remeh seperti biasanya. Itu sudah biasa terjadi karena 4 dari 5 pegawainya adalah fresh graduate berusia antara 22 sampai 25 tahun. Hanya Vita yang sudah berpengalaman. Alasan Jo memilih fresh graduate simpel, mereka lebih mudah diarahkan.  

“Bu, maaf, Ibu nggak bisa ketemu Kak Jo. Dia sedang sibuk, nggak bisa diganggu.” Itu suara Vita, pegawai paling senior di kantor ini.

“Minggir, atau kamu nyesel, Vit!”

Jo menajamkan telinganya. Apa dia salah dengar? Tapi suara itu mirip suara Vanessa. Sial, bahkan dia masih ingat seperti apa suara perempuan itu.

“Bu, saya nggak bisa mem-“

Brak!

Pintu ruangan Jo dibuka kasar. Vanessa muncul begitu saja. Dengan tampilan memukau seperti biasa. Dress hitam selutut, dan rambut ikal yang dijepit sederhana. Jo menyeringai. Apa lagi yang diinginkan perempuan ini?!

“Jo kita perlu bicara!” 

“Oh ya?! Saya sudah selesai bicara sama kamu.” Jo mengabaikan Vanessa yang terlihat geram.

“Kamu nggak bisa menceraikan aku, Jo!”

“Kenapa? Kamu perlu apa?! Harta yang mana yang mau kamu klaim?! Apa duit Ghi kurang banyak buat ngidupin kamu?!” Kalimat terakhir itu terasa mengiris hatinya. Fakta terbaru yang diketahuinya, uang Ghiandra ternyata jauh lebih banyak darinya. Dalam istilah yang lebih mudah: lelaki sialan itu kaya raya. Dan itulah alasan yang sebenarnya. Alasan kenapa Vanessa mau membuka kakinya lebar-lebar untuk Ghi.

“Jo, ini bukan tentang uang!” balas Vanessa putus asa.

Funny,” balas Jo sarkastis. “Ada hal lain yang lebih menarik buat kamu ternyata.”

“Joaquin! Aku hamil!” 

Mata Jo mengerjap, menatap tajam pada Vanessa. Lalu lelaki itu terbahak keras. “Selamat kalo gitu! Mungkin kamu ngerasa terhormat karena ada benih perzinahan di dalam perut kamu.”

“Itu anak kamu, Jo,” cicit Vanessa. “Kita nggak bisa bercerai sekarang.”

Jo merasa seakan ruangan ini terbalik dan menjatuhkan puing-puing ke atas tubuhnya. Dia tidak memahami maksud Vanessa. Anaknya?! Sejak kapan?! Bukankah perempuan ini terakhir kali dilihatnya sedang mendesah-desah ribut ditindih Ghi. Lalu sekarang Vanessa bilang hamil dan mengatakan sesuatu yang terdengar seperti ‘anak kamu’ di telinganya. 

“Kalo kamu mau ngelawak ini sama sekali nggak lucu, Nes. Silakan keluar, kamu tau di mana pintunya.”

Mata Vanessa mulai berkaca-kaca. Perempuan itu mulai sesenggukan. Sembari merapatkan cardigan putih tulang yang dikenakannya, dia masih berdiri. Berharap Jo percaya padanya. 

“Aku nggak bohong, Jo. Ini anak kamu. Dan kamu nggak boleh menceraikan perempuan yang sedang hamil.” Vanessa memohon. “Orangtuaku bakal syok, Jo. Please.”

“Mestinya kamu sudah pikirkan itu, sebelum kamu mau ditidurin Ghi,” balas Jo tanpa ekspresi.

“Tapi gimana aku harus jelasin sama orangtuaku, Jo?!”

Jo bangkit dari kursinya, berjalan dan membuka pintu lebar-lebar. “Bukan urusanku. Keluar, Nes!”

Perempuan itu terlihat salah tingkah, lalu melangkah lebar. Jo masih sempat mendengar isakannya. Tapi simpatinya untuk Vanessa sudah mati, sehingga dia sama sekali tidak terusik dengan suara tangisan perempuan itu.

@@@

"PROSES perceraian kamu masih bisa berjalan, bro. Tapi masa iddahnya adalah sampai Vanessa melahirkan.”

Joaquin mengerang. Sial! Hidupnya sekarang mendadak penuh drama. Vanessa yang dulu dianggapnya dewi keberuntungan dalam hidupnya, sekarang berubah menjadi dewi kesialan.

“Itu bukan anakku, Ndi,” tolak Jo.

“Ya, untuk memastikan itu kita harus nunggu sampe bayi kamu lahir, Jo. Dalam hukum islam istri yang dicerai ketika hamil masa iddahnya sampai dia melahirkan,” terang Andi. 

“Berhenti bilang itu bayi aku. Itu bukan anakku!” geram Jo dengan wajah memerah.

Andi mengangkat dua tangannya. “Sorry, Jo, sorry. Aku keceplosan. Ya kan nggak mungkin aku nyebut itu anak Ghiandra.”

Jo melotot mendengar nama itu. Diteguknya cold cappuccino di depannya. Setelah Vanessa datang kemarin, Jo menghubungi Andi. Teman sekaligus pengacaranya itu menegaskan kalau memang yang dikatakan Vanessa tentang menunda perceraian bisa terjadi. Terlepas apakah anak yang dikandung Vanessa memang anaknya atau bukan, Jo harus mengubur mimpinya untuk cepat-cepat menyingkirkan Vanessa dari hidupnya sampai … paling tidak sembilan bulan lagi.

Bah! Ini menyebalkan. Sangat. 

Jo merasakan seseorang menepuk pundaknya. Dia mendongak dan menemukan masalah lain. 

“Jo, apa kabar kamu?! Gila, nggak pernah muncul tau-tau bikin heboh aja.” Katrina, teman SMA-nya sudah berdiri di sampingnya. Menatap Jo dengan mata bersinar kasihan. 

“Hai,” balas Jo pendek. 

“Kamu tuh tetep aja irit bicara ya. Joaquin Airlangga yang selalu bikin orang melongo. Bahkan berita perceraian kamu aja bisa bikin kamu tambah ngetop, tau nggak?!” Katrina sama sekali tidak peka menangkap ekspresi masam Jo. Malah dengan santainya menarik kursi dan duduk sambil menyilangkan kaki.

“Grup SMA lagi bahas kamu loh, Jo,” sambung Katrina lagi. 

“Bagus lah,” kata Jo tak peduli.

“Semuanya pada heran kok bisa Vanessa lebih milih Ghi daripada kamu,” Katrina terkekeh.

Brengsek!

Jo mengumpat dalam hati. Dia meraih rokoknya dan mulai menyulut. Berita kehamilan Vanessa dan perceraiannya yang harus menunggu sembilan bulan sudah cukup buruk. Tidak perlu ditambah ocehan Katrina sinting ini, rutuknya.

Andi sudah bolak balik memberi kode supaya Katrina diam. Tapi perempuan itu entah tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. Dia terus saja menyerocos tentang gosip Jo, Vanessa dan Ghi.

“Ghi ternyata tajir gila. Villanya di Bali ada sepuluh, pantesan aja Vanessa pindah ke lain hati,” Katrina meracau. Dan masih terus mengatakan ini itu tentang kekayaan Ghi. 

“Ndi, aku balik kantor ya. Masih banyak kerjaan,” pamitnya sambil berdiri dan menjejalkan puntung rokok ke asbak. 

“Loh, mau ke mana sih?! Belum juga selesai ngobrol,” gerutu Katrina. 

“Sibuk, nggak kaya kamu yang kerjanya cuma ngegosip. Udah ya, cabut dulu.” Jo ngeloyor pergi. Tidak menghiraukan tatapan kesal Katrina yang mulutnya menganga. 

Berjalan menuju parkiran yang cukup padat, Jo merasa kepalanya sesak lagi. Jadi begini rasanya digosipkan dan dibandingkan dengan laki-laki lain. Rasanya semua kata makian tidak cukup untuk mengungkapkan kekesalan Jo. 

Dia sudah melangkah ke mobilnya ketika suara manja itu terdengar. Vanessa baru saja keluar dari mobil keren berwarna merah. Dan tangan Ghi sedang meraih tangannya. Membantu Vanessa turun dari mobilnya. Jo bahkan sempat melihat bagaimana tangan Ghi mengelus lembut perut Vanessa.

Rahang Jo mengetat. Sampai kapan dia harus dihadiahi berbagai pemandangan ini?! Teringat masa iddah sembilan bulan yang diucapkan Andi tadi. Emosi Jo semakin memuncak. Apalagi ketika mata Vanessa menangkap kehadirannya, menatap Jo dengan mata yang bersinar entah mengejek atau kasihan.