Contents
UNLOCK YOU
Hujan dan Kenangan
Lintang
PERLU lima belas menit dari kampus gue buat sampai ke Hotel Plaza. Setelah melewati resepsionis hotel, gue langsung berjalan ke arah taman. Kaki gue terasa berat saat masuk ke taman yang nggak terlalu luas ini. Lapangan yang terletak di tengah-tengah bangunan kamar-kamar ini dihiasi tanaman-tanaman pot dengan alas rumput Jepang yang terawat. Di beberapa spot terdapat kursi dari logam yang di cat putih mengilap, bergaya melingkar, dengan ornamen ranting-ranting pohon melingkari sisi-sisi kursi. Kaki kursinya pun melengkung di bagian ujung, menambah kesan cantik dan artistik.
Sekarang, gue hanya melihat satu orang yang sedang duduk di taman. Bukan musim wisuda membuat hotel ini terasa sepi dan senyap. Gue coba mendekati tubuh yang mematung itu. Kemeja putih tipis dengan celana khaki boot cut membalut tubuhnya yang gagah. Matanya menerawang, kosong, menatap ke arah rerumputan Jepang di depannya. Dia duduk di salah satu kursi dekat dengan pohon palem hijau yang berdiri kokoh. Gue yakin, dialah yang menelpon gue beberapa menit lalu, Kak Rakai.
Kini hanya beberapa depa jarak kami berdua. Tapi, sepertinya dia belum sadar juga akan kehadiran gue. Lalu, gue beranikan diri mendekati kursi dari logam itu, dan mencoba duduk di sampingnya. Sengaja, gue nggak ingin mengacaukan lamunanya, beringsut pelan ke arah samping tubuhnya, tanpa menimbulkan suara gesekan yang berarti.
Dari sampingnya jelas kupandangi semua yang ada pada dirinya. Rambut basah yang tertata rapi, hidung mancung, dan bibirnya... Ah, bibir yang paling indah yang pernah gue temui. Dan semua membaur dalam komposisi yang pas, mencipta mahluk Tuhan ini terlihat selalu sempurna di mata gue. Meskipun, dia masih seperti yang dulu, dengan kesempurnaan fisiknya yang tak berubah sedikitpun, tapi gue tahu, jiwanya sudah bukan lagi milik gue. Ya, dia bukan lagi milik gue!
“Sudah lama, kamu duduk di sini?” tanyanya mengagetkan lamunan gue.
Bodohnya gue membiarkan pesonanya membius pikiran gue hingga gue lupa jika telah diam-diam duduk di sampingnya. Malahan gue yang sekarang kepergok ngelamunin dia. “Hmm... baru saja kok,” tampik gue kikuk dan grogi. Namun, sepandai-pandainya gue menutupi apa yang ada di pikiran gue, tetap saja dia seperti bisa membaca pikiran gue. Sampai, dia dulu pernah bilang, kalau gue itu seperti buku, yang gampang sekali untuk dia baca. Dan gue juga nggak seratus persen membantah itu.
“Aku kangen sama kamu, Lin” ucapnya lirih dengan bibir bergetar.
Sebenarnya, bukan hal yang mudah untuk dia mengucapkan kata-kata itu sekarang. Gue tahu, itu hal yang sangat berat buatnya. Tapi, sialnya kenapa justru gue bahagia mendengar kata kangen darinya. Banyak alasan kenapa semua menjadi terasa terlalu sulit. Baik itu bagiku atau baginya. Yang jelas, kini dia bukan siapa-siapa gue lagi, dan masa itu sudah lama sekali terlewat. Tapi, di saat menjelang pertunangannya—yang pasti bukan dengan gue—kenapa dia seolah datang lagi, mengaku nggak pernah rela lepasin gue?
“Kakak sadar, dengan ucapan kakak?” tanya gue sedikit tersulut emosi juga sedih.
“Lin—”
“Ada hati lain yang akan tersakiti, Kak! Dan gue nggak bakal mau menjadi penyebabnya. Ingat itu, kak!” lanjut gue tegas. meski gue hampir saja kalah dengan kata-kata manis lelaki di samping gue ini.
“Kenapa nasib kita bisa seperti ini, Lin? Masih ingatkah, saat kita merencanakan semuanya?” ucapnya getir, seperti dia sedang mengingat-ingat kenangan usang yang teramat perih dan menyakitkan. Matanya merah, sembab.
Ya Tuhan, itu pertanyaan bodoh yang pernah gue dengar. Mana mungkin gue bisa lupa dengan semua yang telah gue rencanakan dengannya. Rencana pertunangan yang indah, dengan sekotak cincin bermata batu kecubung asli dari Kalimantan timur, rencana membuat sebuah acara sederhana dengan sahabat gue sendiri sebagai EO-nya, rencana tentang hari dan tanggal yang sengaja masih gue dan dia rahasiakan buat memberi surprise kepada orang tua kami masing-masing. Ah, mana mungkin gue bisa lupa itu semua?
“Nggak perlulah mengungkit masa lalu. Sudah, biarkan gue cari hidup gue sendiri. Inget, Kak, gue udah berkorban dengan rela pindah kuliah di Semarang. Dan gue harap lo ngerti Kak, apa sebenarnya tujuan gue ke kota ini?”
Jujur, itu kata-kata terberat yang pernah gue ucapin seumur hidup. Gue merasa sakit banget menyebutnya dengan ‘LO’. Sampai-sampai, nyeri kaki dan di sekujur tubuh gue seperti tak terasa lagi. Terganti, dengan sakit hati.
“Kamu nggak serius kan, Lin?” ucapnya kini memastikan.
Matanya begitu tersiksa, dia lebih terlihat menderita dari biasanya. Mungkin, karena tanggal pertunangan sekaligus pernikahannya telah ditentukan. “Jadi, bagimu, semua kenangan kita? Hanya rongsokan—
“Iya, dan kakak hanya bagian masa lalu gue. Plis, jangan ganggu hidup gue lagi, Kak. Gue sudah cukup sakit.”
“Kumohon Lin, jangan lakukan aku seperti ini,” mohonnya lemah kepada gue.
“Sepertinya gue harus pergi, sekarang Kak.”
Ucap gue dengan hati remuk redam. Semuanya yang keluar dari mulut gue adalah kebalikan yang ada dalam hati gue. Memang terasa sakit, tapi mau bagaimana lagi? Gue belum mau dikatakan menjadi perebut calon suami orang. Dan gue juga sudah tidak punya hak apa-apa lagi untuk mempertahankan cinta yang menurut gue bulshit dan mustahil ini.
Keputusan gue buat meninggalkannya sendiri di kursi taman itu, sepertinya hal yang tepat. Mungkin hati kami sama-sama remuk dengan keadaan ini. Tapi, memang inilah jalan terbaik bagi hubungan ini.
“Hujan!” ucap batin gue ketika tetes-tetes air mulai jatuh membasahi tubuh gue. Terlebih hati gue.
Sepertinya, Tuhan tahu perasaan gue saat ini. Dengan hujan, Dia seakan telah memberikan kesempatan buat gue untuk menangis. Bukankah, di bawah rinai hujan, air mata gue tak akan pernah terlihat oleh siapapun? Gue juga nggak perlu menyembunyikan luka yang sebenarnya masih menganga di hati gue kan?
Hujanlah yang telah menyelamatkan gue dari air mata gue sendiri.
“Terima kasih kakak, atas luka demi luka yang telah kamu berikan....”