Try new experience
with our app

INSTALL

UNLOCK YOU 

Panggilan Masa Lalu

Lintang

 

GILA! Bisa-bisanya aku dipeluk Bara, cowok yang beberapa jam baru kukenal. Nggak. Ini nggak boleh dibiarkan. Aku nggak peduli dengan tatapan geli orang di kantin Ibu Indro. Apalagi Repi yang shocked menyaksikan poseku-mau jatuh, tapi ditahan tangan kekar Bara-seperti gerakan-gerakan dansa. Pokoknya, aku tetap kukuh teriak minta si sundel Bara melepas cengkeraman tangannya dari tubuhku. SEGERA!

"Lepasin gue!" teriakku kencang sambil melotot ke arah Bara yang cengengesan menikmati posisinya sekarang.

"Serius?" tanyanya pamer wajah khawatir.

Gue nggak akan termakan jurus ini.

"Le-pa-sin!"

Sial! Tanpa aba-aba, Bara melepaskan pelukan tangannya begitu saja.

"Aaahhh...." Aku mengaduh saat tubuhku mendarat di lantai depan kantin Ibu Indro. "Lo tega ya," kataku menatap Bara kesal.

Jelas ini tindakan amoral. Kelakuan kaum bar-bar. Bayangin, kok ya ada cowok tega membiarkan cewek nyusrup gitu saja di lantai, tanpa mempedulikan betapa malunya dia karena ditertawakan orang. Iya, dia itu aku. Namun, aku harus tetap tenang. Aku nggak akan rela kalau wajah Bara bahagia melihatku semakin menderita.

"Siapa tadi yang minta dilepasin pegangannya?" tanya Bara sambil cengengesan. Namun, dia mengulurkan tangannya. Kulitnya cokelat seperti terbakar matahari.

"Thanks," elakku dengan mengempas tangannya.

Aku berusaha kembali berdiri meski dengan teramat susah payah. Dengan tampang yang sok-nggak-terjadi-apa-apa aku berjuang untuk nggak nyengir kesakitan saat mencoba berdiri.

Ah, memang apes nasibku hari ini. Belum hilang nyeri kaki habis diinjak orang. Eh, ini badan sudah pegal-pegal karena (sengaja) dijatuhkan oleh monster bernama Bara. Mana nggak banget lagi pose jatuhnya, benar-benar memalukan dunia akhirat.

"Perlu diantar ke tukang urut?" canda Bara dengan nada menggoda.

Aku nggak menggubris sedikit pun candaan konyolnya. Tanpa bicara apa-apa, aku langsung nyelonong pergi. Meskipun dengan kaki nyeri dan jalan yang nggak lagi seksi, aku nekat ingin cepat-cepat lenyap. Tentu saja untuk satu tujuan: menjauhi Monster Bara yang menyebalkan.

Akhirnya, aku sampai juga di depan perpustakaan gedung B. Namun, nama manusia yang mati-matian ingin kuhindari muncul di layar ponsel. Aaarggh! Benar-benar hari sial.

Kak Rakai Calling.....

"Angkat nggak ya?"

Angkat? Nggak? Angkat? Nggak?

"Hallo, Kak Rakai?"

Iya, aku nyerah. Akhirnya mengangkat panggilan dari Jakarta ini. Aku pun memulai percakapan dengan Kak Rakai dengan nada sewajarnya. Tepatnya berpura-pura sewajarnya. Memang sangat sulit, jika harus berpura-pura di depan cowok yang pernah dekat lama. Karena saking lamanya bersama, dia kayak punya indera keenam. Mahir membaca pikiranku. Andai saja aku punya kemampuan kayak Bella Swan, nggak bakal deh Kak Rakai bisa baca pikiranku lagi.

"Ada apa ya, Kak?"

"Aku di Semarang sekarang," balasnya singkat. Aku nggak bisa bohong. Sesungguhnya aku juga sangat bahagia bisa mendengar suaranya kembali. Suara yang selalu membuat aku ingin hujan turun. Sekadar untuk menyembunyikan tangisku.

"Kakak baik kan?" tanyaku kikuk. Entah, kenapa setiap mendengar suaranya, satu hal yang selalu otakku adalah bagaimana keadaannya. Buatku, nggak ada yang lebih berarti daripada kabar baik-baik dari orang yang teramat kusayangi.

"Aku ke sini hanya pengin ketemu kamu," akunya lagi tanpa menjawab pertanyaan kabar dari.

Glek.

Aku langsung menelan ludah. Bagaimana bisa aku mengaku baik-baik saja mendengar alasannya jauh-jauh dari Jakarta dan datang ke Semarang hanya buat bertemu denganku? Dan sialnya, kenapa aku masih merasa bahagia?

"Kakak di mana sekarang?" tanyaku akhirnya menyerah dengan ajakannya untuk bertemu.

"Aku di taman hotel Plaza, depan kompleks kampusmu, Lin!" jawabnya penuh harap aku bisa datang menemuinya.

"Oke, gue ke sana," kataku cepat tanpa lagi pikir panjang.

"Bawa payung, Lin. Langit sedang mendung. Karena sendiri di Semarang, jangan anggap kamu bisa seenaknya hujan-hujanan. Aku nggak ingin kamu sakit."

Ya Tuhan, ini pesan yang selalu kudengar darinya. Kata-kata yang sama, yang selalu dia ucapkan saat mendung. Andai dia tahu, kenapa aku suka hujan? Sayang, dia nggak akan pernah tahu kalau dialah alasanku untuk selalu menyukai hujan.

"Nggak usah terlalu perhatian gitu. Ada yang lebih pantas mendapat perhatian kakak," jawabku getir.

"Aku tunggu, di sini, Lin," kata terakhirnya sebelum memutus pembicaraan.

Percakapan singkat, namun sudah seperti telah menguras separuh energi tubuhku. Kak Rakai memang selalu saja membuatku kembali lemah. Bukan keinginanku untuk memberi ruang buat dia lagi di hati. Namun, sisi hatiku berkata lain.

Tuhan, kuatin gue buat bertemu dia....