Contents
Before Wedding
BAB 6: Ampas Kopi yang Tersisa Pada Sudut Bibir
Lentera tak pernah membuat kopi lebih dari dua sendok teh bubuk kopi. Pun, tak pernah kurang. Dia juga menambahkan tiga sendok teh gula, apabila ingin kopinya terasa manis. Akan tetapi, itu jarang terjadi. Ia menyukai kopi tanpa gula. Sehingga, dia tak pernah minum kopi kemasan.
Gilang, sedikit tahu mengenai hal itu. Tempo hari, ketika Lentera mencicipi kopi hitam buatan Gilang yang mendingin, kopi tersebut pahit. Tak ada gula sama sekali.
Lelaki yang membuatkannya kopi tempo hari, kini telah berdiri di hadapannya dan Deenar. Bosnya itu menyambut Gilang dengan ramah, seakan bertemu kawan lama. Meskipun, mereka bertemu hanya sekali. Tahun lalu, ketika Deenar menghadiri Temu Media. Sedangkan, Lentera hanya tersenyum kecil, berusaha keras bersikap biasa.
Deenar mengajak Gilang ke ruang meeting, Lentera mengikuti.
Selama pertemuan berlangsung, Gilang menjelaskan mengenai niatnya untuk mengajak kerja sama HaloNona. Dia berencana untuk mengadakan kegiatan yang kedua media yakni HaloNona dan Lentera Media. Gilang memilih HaloNona, sebab media tersebut sama-sama berada di Surabaya. Ketika ditanya kenapa tidak media lain di Surabaya, Gilang menjawab dengan jawaban yang membuat Lentera maupun Deenar kesal.
“Tak banyak media di Indonesia yang melakukan kerjasama semacam ini,” ujar Gilang. “Atau bahkan, belum ada.” Lelaki itu sekilas melihat ke arah Lentera, perempuan itu buru-buru mengalihkan wajahnya. Gilang tersenyum tipis, kemudian berkata, “Kalian tidak bertanya kenapa aku ingin bekerjasama dengan HaloNona?”
“Ya, kenapa?” sahut Deenar.
“Pertama,” Gilang memulai, “kita satu kota. Saya tahu, di Surabaya sudah ada beberapa media daring yang cukup dikenal. Bahkan ada media nasional yang bersarang di Surabaya.”
“Ya, kami tahu itu,” sahut Deenar.
“Kedua, media kalian sepi.”
Lentera menarik napasnya, kemudian mengeluarkannya. Sejak tadi, dia hanya diam mendengarkan ocehan Gilang. Lelaki itu memang memiliki daya tarik. Sifatnya yang tak acuh dan kalimatnya tanpa basa basi. Akan tetapi, dia terlalu terus terang mengenai media tempat Lentera bekerja.
“Alasan macam apa itu?” sahut Lentera. Dia tidak tahan untuk tidak berkomentar. Dia bukan tipe perempuan pendiam, yang bisa memendam perasaan selama berhari-hari. “Kau ingin bekerja sama dengan kami, lantaran media kami tidak seramai mediamu?”
Gilang menarik sudut bibirnya. Sejak tadi, perempuan incarannya itu hanya berdiam diri. Menyimak setiap kata yang terlontar dari bibirnya. Nampaknya, Lentera benar-benar tak ingin berinteraksi dengan Gilang. Akhirnya, perempuan itu terpancing juga.
“Itu kenyataan,” sahut Gilang. “Tak banyak orang yang mengenal HaloNona. Media kalian hanya dikenal dari kalangan kalian sendiri, sangat jauh dari Lentera Media.” Gilang mengambil jeda. “Dan kebetulan di Lentera Media tidak ada ceruk mengenai perempuan. Jadi, kupikir, kerja sama ini akan sangat bagus.”
Deenar terlihat berpikir, kemudian berkata, “Apa rencana dari tawaranmu?”
“Aku sudah menyiapkan beberapa pilihan dan aku juga ingin mendengar ide dari kalian. Untuk itu, apa kalian setuju dengan kerja sama ini?”
***
“Tidak.”
Deenar menoleh ke arah Lentera. Keduanya sedang berada di pantri, menyeduh kopi dari mesin kopi. Usai pertemuan dengan Gilang, lelaki itu langsung pamit. Lentera bersyukur, mereka tidak perlu bertatap muka lebih lama lagi.
“Kenapa?” tanya Deenar. Perempuan itu menaruh kopinya di atas meja dan duduk di kursi tinggi yang ada di dapur HaloNona. “Apa alasanmu, aku harus menolak tawaran Gilang?” Deenar memijat pelipisnya. Dia benar-benar hampir putus asa dengan media yang dia dirikan. Memang, media ini sudah memberikannya kehidupan lebih baik, dia pun memberikan kehidupan kepada karyawannya. Akan tetapi, seakan ada yang kurang.
“Apa kau yakin, dengan kerja sama dengan Lentera Media akan lebih baik?” sahut Lentera.
“Siapa tahu?”
Lentera mendesah. Dia meraih cangkir, memasukkan kapsul kopi ke mesin, lalu meletakkan cangkirnya di bawah mesin tersebut. Kopi hitam yang kental pun keluar dan mengisi cangkir Lentera.
“Aku juga memikirkan HaloNona, Dee,” tukas Lentera. “Jangan kau pikir tidak.”
“Aku tidak berkata apa-apa, Ra,” sahut Deenar. Perempuan itu menyesap kopinya. “Aku hanya berpikir, ini kesempatan bagus. Kau bilang sendiri, ketika acara Temu Media LM mendapat penghargaan. Dan, yah, kupikir kenapa tidak? Lagi pula, aku belum memutuskan. Aku sedang berpikir, bagaimana HaloNona ke depannya. Aku merasa ada yang kurang. Bahkan, investor pun tidak bertambah.”
Lentera menyerah. Dia merasa apa kata Deenar ada benarnya juga. Hanya karena Lentera tak ingin terus menerus bertemu Gilang, dia harus menghambat kesempatan untuk HaloNona. “Baiklah, aku akan memikirkan beberapa pilihan untuk kerja sama ini.”
Lentera menyesap kopinya sampai habis, menaruh cangkir kotor ke bak cuci, mencuci tangannya dengan air keran. Kemudian, berkata, “Kau bisa berkata pada Gilang, kita akan bekerja sama.”
“Ra,” panggil Deenar. Lentera menoleh di ujung pintu dapur. “Kau ada masalah dengan Gilang? Apa pun itu, kuharap tidak akan mempengaruhi kerja sama ini.”
Perempuan itu mengangkat bahunya. “Jangan khawatir.”
***
Lentera mendapat tugas untuk datang ke Lentera Media. Dia tidak bisa menolak, karena memang sudah pekerjaannya. Menjadi kaki tangan dari Deenar, memang membuatnya senang. Selain mereka memang teman baik, mendapat kepercayaan mengurus HaloNona membuat Lentera lebih percaya diri dan berarti. Meskipun itu artinya, selain menjadi penulis konten, dia harus rela memakan waktunya lebih banyak untuk HaloNona.
Sesampainya di Lentera Media, Lentera merasa sedikit aneh. Di mana-mana ada namanya. Pada pintu masuk, pada meja resepsionis. Bahkan, pada kartu kunjungan yang ia dapatkan. Berbeda dengan HaloNona, memang Lentera Media lebih megah dan desainnya benar-benar mencerminkan pemiliknya.
Lentera melihat Gilang duduk di antara karyawannya, berbicara serius mengenai pekerjaan masing-masing. Lalu, seseorang menepuk bahunya, mengatakan bahwa ia dicari oleh perempuan bernama Lentera. Gilang menoleh ke arah Lentera, Lentera tersenyum kecil.
“Mbak, langsung ke lantai atas saja, ya. Nanti Pak Gilang menyusul,” ucap laki-laki yang tadi menepuk bahu Gilang. “Ah, ya, saya Dion.” Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Lentera. Perempuan itu menyambutnya.
“Lentera,” sahut Lentera.
Perempuan itu berjalan ke arah anak tangga, naik ke lantai dua. Di sana dia menemukan seperangkat sofa warna abu-abu dan meja berwarna hitam. Lentera menaruh tasnya terlebih dahulu ke atas sofa dari beledu itu, baru duduk di sana. Dari tempatnya duduk, dia melihat sebuah ruangan yang hanya disekat oleh kaca tembus pandang. Dia berpikir, pasti itu ruang kerja Gilang. Pada sisi lain ada ruangan, serupa dengan ruang kerja Gilang. Hanya saja, ruangan tersebut lebih besar, di dalamnya ada meja memanjang berwarna hitam dengan di kelilingi kursi-kursi.
Mendadak Lentera resah. Setelah apa yang terjadi di Bandung tempo hari, ini kali pertama dia dan Gilang akan bertatap mata berdua saja. Dia mendesah. Dia tak pernah segugup ini apabila bertemu klien perempuan maupun laki-laki. Tapi, ini memang berbeda. Apa yang terjadi di Bandung tidak bisa begitu saja dia lupakan.
Suara langkah kaki terdengar dari anak tangga, Lentera menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Dia harus bisa membawa dirinya sendiri. Mengontrol emosinya, agar apa yang terjadi di Bandung tidak mempengaruhi kerja sama mereka.
“Maaf lama,” ucap Gilang. Lelaki itu langsung duduk di sisi sofa yang lain.
“Seperti biasa,” sahut Lentera. Gilang menarik sudut bibirnya.
“Kopi?” tanya Gilang.
“Ya.”
“Seperti biasa,” Gilang membeo kalimat Lentera. Lelaki itu berdiri, berjalan ke arah anak tangga, kemudian berteriak, “Dion, kopi tanpa gula dan teh melati.” Setelah itu, dia kembali duduk di atas sofa.
“Aku senang kalian setuju dengan kerja sama ini. Kupikir, kalian akan menolaknya. Terutama kau,” ucap Gilang, tanpa basa basi. “Setelah apa yang terjadi di Bandung ....”
“Tak terjadi apa-apa di Bandung,” sahut Lentera. Dia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu melihat ke arahnya. Lentera tak habis pikir, kenapa Gilang harus membahas kejadian Bandung dengan leluasa seperti ini? Terutama ketika mereka di kantor, untuk urusan pekerjaan.
“Pada kenyataannya, memang ada yang terjadi,” ucap Gilang dalam.
Lentera menarik napas dalam, kemudian mengeluarkannya. “Aku di sini untuk membicarakan kerja sama kita, bukan mengenai apa yang terjadi di Bandung.” Dia mengambil jeda. “Kalau tidak ada yang penting, aku pergi saja.”
Perempuan itu meraih tasnya, beranjak dari sofa. Gilang ikut bangkit dari sofa, “Hei, tenang,” tukasnya. Dia menarik sudut bibirnya. “Baik, kita bicara soal pekerjaan. Tapi, setelah itu, kita bahas mengenai kita.”
“Kita?”
“Ya, kita.”
***
Lentera menyalakan keran air, menekan botol yang berisi sabun, membersihkan tangannya. Dia mendesah, melihat ke arah kaca di depannya. Pada pantulan dalam kaca tersebut, kedua alis Lentera saling bertaut, bibirnya turun ke bawah sedikit, rambutnya terurai sedikit berantakan, kemeja putihnya terlepas dari rok jeans berwarna biru terang. Bisa dikatakan, Lentera sangat berantakan untuk ukuran perempuan.
Selama membahas pekerjaan dengan Gilang, Lentera memberikan ide-idenya mengenai kerja sama kedua media tersebut. Begitu juga dengan Gilang. Lelaki itu fokus memberikan ide-idenya, Lentera mencatat apa saja ide yang sesuai dengan media masing-masing. Lalu, keduanya sepakat akan membahasnya lagi bersama Deenar dan Gilang akan mengajak beberapa rekannya untuk membicarakan lebih lanjut.
Usai pertemuan tersebut, Lentera pamit ke kamar kecil. Tentu saja, dia hanya mencari alasan agar tidak berlama-lama bersama Gilang, tanpa membahas pekerjaan. Tapi, Lentera tahu, dia tidak bisa berlama-lama lari dari Gilang, hanya karena malu atas apa yang mereka berdua lakukan di Bandung.
“Kenapa aku bodoh begini, sih?” Lentera bermonolog. Memandangi wajahnya kembali pada pantulan cermin. Dia memasukkan kemeja putihnya, merapikan rambut dan meraih pemoles bibir dari tas. Setelah puas dengan bersih-bersih diri yang dia lakukan, ia berbalik dan keluar dari kamar kecil.
“Kau lama sekali.” Gilang berada tepat di depan pintu kamar kecil. Lelaki itu menghadang Lentera. Kamar kecil yang dipakai Lentera berada di lantai dua, satu lantai dengan ruang kerja Gilang. Awalnya, Lentera ingin memakai kamar kecil karyawan yang berada di bawah, tetapi Gilang melarang.
“Astaga!” pekik Lentera. “Kau membuatku kaget.”
“Maaf.”
Lentera tak acuh dengan Gilang, dia berjalan terus ke arah anak tangga menuju lantai satu. “Aku akan kembali ke HaloNona,” ujarnya, sembari menuruni anak tangga. Gilang mengikutinya. “Akan kusampaikan pada Deenar. Nanti kita komunikasi lagi, untuk kerja sama ini.”
Gilang menarik tangan Lentera, mengajak perempuan itu kembali ke lantai dua. Lentera sedikit terkejut, tetapi dia tidak menolak.
“Ada yang belum kita bicarakan,” tukas Gilang. “Kau yakin akan membiarkan ini selamanya?”
“Apa maksudmu?”
Gilang berkacak pinggang, “Ayolah, Ra. Kau tahu apa yang aku maksud.”
“Malam itu sebuah kesalahan,” tukas Lentera. “Maaf.”
Gilang tertawa kecil, tidak menyangka Lentera akan berkata demikian. “Kesalahan?”
“Ya,” sahut Lentera. Dadanya berdetak cukup kencang, tetapi dia berusaha untuk tenang. Sejujurnya, Lentera tidak tahu harus menyikapi masalah mereka berdua seperti apa. “Jadi, aku harap kau lupakan apa yang terjadi di Bandung.”
“Kau sudah terbiasa melakukannya?” tanya Gilang. Nadanya penuh keputusasaan.
“Ya.”
Gilang memegang dagunya. “Baiklah, aku akan melupakannya. Seperti yang kau inginkan.”
“Itu bagus,” sahut Lentera. “Aku akan pulang,” ucapnya sedikit canggung. Dia mengulurkan tangannya ke arah Gilang dengan ragu. Lelaki itu menyambutnya, tanpa berkata apa pun.
Lentera melihat ke arah Gilang sekali lagi dan perempuan itu pergi meninggalkan kantor Lentera Media.
Lentera pikir, dengan mengakhiri hubungan pribadinya dengan Gilang, akan membuatnya lega. Sayangnya, itu sama sekali tidak terjadi.
***
Dua cangkir kopi terhidang di atas meja. Pada sisi lain, ada secangkir teh melati dan beberapa piring kue basah. Gilang duduk di sofa dekat pintu masuk, sedangkan Lentera, ayahnya dan ibunya berada di sofa yang lain.
“Saya sudah memikirkannya dengan baik,” ucap Gilang. Lelaki itu tiba-tiba saja muncul di rumah Lentera sore itu. Lentera tidak tahu tujuan Gilang ke rumahnya untuk apa, akhirnya dia mengikuti saja apa permainan lelaki itu, dengan ikut duduk di ruang tamu. “Saya juga sudah bicarakan dengan ibu saya dan beliau memaklumi.”
“Apa yang, Nak Gilang, maksudkan?” tanya Ella, ibu Lentera.
“Mengenai perjodohan saya dan Lentera,” sahut Gilang. Lentera langsung melihat ke arah Gilang. “Kami rasa, hubungan kami tidak akan berhasil,” Gilang berbicara dengan tegas dan mantap. “Saya datang untuk mempertegas saja, agar saya dan Lentera tidak saling membebani.”
Ibu Lentera menyentuh tangan putrinya. Lentera sendiri tidak tahu apa yang terjadi di sini. Memang, dia menginginkan perjodohan ini berakhir. Tapi, melihat Gilang memutuskan untuk menghentikan perjodohan mereka tanpa memberitahu Lentera membuatnya tidak nyaman. Sebenarnya, ada apa dengan lelaki itu?
Sial, batin Lentera.
Ayah Lentera mengambil cangkir kopinya. “Diminum dulu, Nak.” Dia meminum kopinya sedikit, diikuti oleh Gilang dan Lentera. “Saya mengerti dan memaklumi. Tapi, apa ini benar-benar keputusan kalian berdua? Lentera?” Ayah Lentera melihat ke arah putrinya.
Tiga pasang mata di ruangan itu, melihat ke arah Lentera. Menunggu jawaban. Tak seperti biasanya, Lentera sama sekali tidak tahu harus menjawab apa. Seperti ketika dia dijodohkan dengan Gilang, dia menolak habis-habisan. Tapi, kini ketika perjodohannya berakhir, Lentera bimbang.
Perempuan itu menarik napas dan mengeluarkannya. “Ya, mungkin ini yang terbaik. Lagipula, kami akan terus bertemu karena ada pekerjaan antara Lentera Media dan HaloNona. Lebih baik, seperti ini.” Lentera mengucapkan kalimat demi kalimat dengan ragu. Tapi, dia tidak menyesal mengucapkannya.
“Sayang sekali,” ucap ibu Lentera. “Tapi, mau bagaimana lagi. Ibu tidak akan memaksa lagi. Tapi, ibu masih berharap kalian bisa berjodoh.”
“Sudahlah, Bu,” sahut ayah Lentera.
Setelah itu, Gilang pamit pulang. Lentera mengantar Gilang sampai dia berada di sisi mobilnya yang terparkir di bahu jalan. Kala itu, suasana sepi, seperti perumahan pada umumnya. Keduanya terlihat teramat canggung.
“Sejujurnya, aku terkejut kau akan memutuskan perjodohan kita,” Lentera membuka suara.
Gilang tersenyum kecil. “Aku hanya tak ingin kau tidak nyaman saat bertemu denganku.”
Lentera mendesah. Ada sesak dalam dadanya, tetapi ia berusaha keras untuk tidak terbawa emosi. Apa artinya Gilang akan berhenti berharap kepadanya? Seharusnya, Lentera senang dengan hal ini, tetapi ada sesuatu yang mengganjal dalam dadanya.
Gilang mengulurkan tangannya, menyentuh sudut bibir Lentera. Perempuan itu terkesiap, tetapi diam saja. “Ada ampas kopi.”
Sentuhan singkat jemari Gilang pada bibirnya, mengingatkan Lentera akan malam itu. Ketika keduanya menikmati malam bersama, sentuhan-sentuhan Gilang pada tubuhnya, bisikan-bisikan lelaki itu dan desahannya.
Ah, aku benar-benar sudah gila
.